INKHEART - Cornelia Funke
Review oleh Luckty Giyan Sukarno
Sumber: Facebook Note
https://www.facebook.com/notes/luckty-giyan-sukarno/review-inkheart/10151620153042693
Barang siapa mencuri buku atau tidak mengembalikan buku yang
dipinjamnya, di tangannya buku itu akan berubah menjadi ular yang
mematikan. Otaknya tidak akan berfungsi lagi dan kelumpuhan melanda
sekujur tubuhnya. Begitu nyaring dia akan berteriak memohon ampun, namun
deritanya takkan dikurangi sampai ia mulai membusuk. Ngengat buku akan
menggerogoti isi perutnya seperti cacing-cacing maut yang tidak bisa
mati. Dan jika dia menjalani hukuman terakhirnya, api neraka akan
memanggang tubuhnya sepanjang masa.
(Prasasti di Perpustakaan Biara San Pedro, Barcelona, dikutip oleh Alberto Manguel)
Adalah
Meggie yang hidupnya dipenuhi buku-buku. Ayahnya yang merupakan ‘dokter
buku’ mampu memperbaiki segala bentuk buku yang rusak. Meggie pun
membantu ayahnya untuk urusan 'membedah' buku. Meggie memanggil ayahnya
dengan nama Mo.
Apa yang bisa membuat orang tersandung
di rumah mereka selain buku? Di setiap penjuru rumah ada tumpukan buku.
Buku-buku itu tidak hanya di rak-rak seperti rumah biasa, tetapi juga
ada di bawah meja, di kursi, di pojok kamar. Di dapur, di kamar mandi,
di atas televisi, dan di dalam kamar lemari pakaian juga ada tumpukan
buku. Ada yang rendah, ada yang tinggi. Buku yang tebal, tipis, lama,
baru, semuanya ada. Buku-buku itu menggoda Meggie di meja makan saat
sarapan dengan halaman-halamannya yang terbuka, mengusir kebosanan
jauh-jauh, dan kadang membuat orang tersandung.
Beberapa buku harus kita coba
Beberapa bisa ditelan,
Namun hanya ada sedikit yang bisa kita kunyah lalu cerna dengan sempurna. (hlm. 15)
Dalam buku aku bertemu dengan mereka yang telah mati, seolah mereka masih hidup,
Dalam buku aku melihat apa yang akan datang, semua akan hancur dan musnah seiring berlalunya waktu;
Yang terkenang akan terlupakan,
Jika Tuhan tidak menganugerahkan buku untuk menolong manusia yang fana.(hlm. 513)
Dulu
kadang Meggie mencari figur yang pas untuk menjadi ibunya di buku-buku
yang ia baca, namun dalam buku-buku kesukaannya, pencariannya nyaris
tidak menemui hasil: Tom Sawyer? Tidak punya ibu. Huck Fin? Juga tidak.
Peter Pan, anak-anak The Lost Boys? Tidak ada ibu satu pun dan dalam
dongeng yang ada cuma ibu tiri yang jahat, tidak punya hati, ibu
pencemburu. Dulu hal ini sering membesarkan hati Meggie. Sepertinya
tidak punya ibu bukan keadaan yang luar biasa aneh, setidaknya itulah
yang ia tahu dari buku-buku favoritnya.
Cerita,
novel, dongeng –semua seperti mahluk hidup dan mungkin memang mahluk
hidup. Semua punya kepala, kaki, sistem peredaran darah, dan pakaian
seperti manusia sungguhan. (hlm. 263)
Selama ini
Meggie selalu percaya Mo punya banyak sekali buku. Namun begitu ia masuk
ke rumah Elinor, Bibi Ibunya Meggie, keyakinannya berubah. Tidak ada
tumpukan buku yang berantakan seperti di rumah Meggie. Setiap buku
seperti punya tempat sendiri. Di tempat-tempat yang biasanya dipasangi
hiasan, gambar, atau dibiarkan saja menjadi sebidang dinding kosong,
Elinor malah memenuhinya dengan rak-rak buku. Di ruangan besar yang
pertama mereka masuki bersama Elinor terdapat rak-rak putih yang
tingginya mencapai atap. Di dalam kamar yang mereka lewati kemudian,
rak-raknya berwarna hitam, sehitam ubin yang menutupi lantainya, begitu
juga selasar yang mereka masuki setelah itu.
Elianor
memang cukup kaya. Tapi suatu saat nanti dia mungkin akan semiskin
tikus karena membelanjakan semua uangnya untuk membeli buku. Aku takut
dia juga tak akan ragu menjual jiwanya, jika ada iblis yang bisa
memberikan buku yang diinginkannya.” (hlm. 40)
“Di
sini semua buku dirawat baik. Kau tahu sendiri. Mereka anak-anakku,
anak-anak yang terbuat dari tinta hitam. Aku merawat dan mengurus
mereka. Kujauhkan mereka dari sinar matahari, kubersihkan mereka dari
debu-debu, serta kulindungi mereka dari sinar matahari, kubersihkan
mereka dari debu-debu, serta kulindungi mereka dari ngengat dan
tangan-tangan kotor manusia. Buku yang satu ini akan mendapat tempat
terhormat dan tidak akan ada yang bisa melihatnya sampai kau kembali.
Pengunjung memang sebenarnya tidak kuharapkan kehadirannya di
perpustakaanku. Mereka cuma meninggalkan sidik jari dan remah keju dalam
buku-bukuku yang malang. Selain itu, seperti yang kau tahu,
perpustakaan ini dilengkapi alarm yang sangat mahal.” (hlm. 54)
Meggie
ingin belajar membuat cerita, seperti yang dilakukan Fenoglio. Ia ingin
belajar memancing kata-kata sehingga bisa membaca untuk ibunya tanpa
harus khawatir siapa yang akan keluar dari cerita itu dan menatapnya
dengan mata penuh kerinduan pada tempat asalnya. Hanya kata-kata yang
bisa mengirim mereka kembali, mereka yang diciptakan dari huruf-huruf,
karena itulah Meggie bertekad menjadikan kata-kata sebagai keahliannya.
Dan di mana lagi ia bisa belajar lebih baik kalau bukan di rumah yang
kebunnya menjadi tempat tinggal para peri dan buku-buku berbisik di
malam hari? Seperti yang pernah dikatakan Mo: menulis cerita juga
semacam keajaiban.
Ada banyak sekali kalimat favorit yang berhubungan dengan buku:
- Buku cerita bukan roti. Orang bisa hidup tanpa buku cerita. (hlm. 20)
- Buku-buku memang harus lebih diperhatikan daripada anak kecil. (hlm. 83)
- Semua kolektor buku adalah perampas dan pemburu. (hlm. 137)
- Tidak ada yang lebih baik daripada beberapa lembar halaman buku yang menghibur kita. (hlm. 241)
- Bunyi
yang ditimbulkan lembar-lembar buku pertama kali dibuka tidak
pernah sama, tergantung ia sudah tahu apa yang akan diceritakan buku
itu untuknya atau belum. (hlm. 10)
- Buku bisa jadi seperti
kertas antilalat, menarik segalanya ke dekatnya. Tidak ada tempat
yang bisa mengikat ingatan sebaik halaman-halaman yang dicetak.
(hlm. 23)
- Buku pasti berat karena seluruh dunia ada di dalamnya. (hlm. 27)
Selain
bertebaran kalimat yang berhubungan dengan buku, di buku ini kita juga
menemukan banyak pengetahuan seputar buku. Ternyata, jaman dulu banyak
buku yang judulnya tidak langsung terlihat. Dan memang sebenarnya
menuliskan judul buku di sampul adalah kebiasaan yang relatif baru.
Waktu orang masih menjilid buku begitu rupa sehingga punggung buku
melengkung ke dalam, judulnya ditulis di samping. Tapi kebanyakan judul
buku baru akan terlihat kalau kita membuka bukunya. Setelah para
penjilid buku mulai belajar menggunakan jilid yang dipunggungnya
membulat ke arah luar, barulah judul buku di pindah ke sampul.
Nahhhh…
pasti bakal meleleh kan ama kisah Meggie?!? Itu belum seberapa. Ada
banyak sekali kisah yang harus dilalui Meggie. Dia bertemu banyak tokoh
yang ada di buku-buku yang pernah dibacanya. Uniknya, Meggie punya
kemampuan ajaib seperti yang dimiliki ayahnya, Mo. Meggie mempunyai
keahlian membaca yang tidak bisa biasa dimiliki seperti kebanyakan
orang. Kemampuannya itu sedikit banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya,
termasuk teki-teki hilangnya ibu yang selama ini tak pernah ditemuinya.
Suka banget ama buku ini!! Benar-benar ajaib kisah yang dituangkan oleh penulisnya,
Cornelia Funke.
Imajinasinya membawa kita terbang ke dunia ciptaannya. Versi filmnya
meski lumayan berbeda dengan versi bukunya, pun tak kalah seru!!
ƪ(♥▿♥)ʃƪ(♥▿♥)ʃƪ(♥▿♥)ʃ
Jangan bikin janji yang tidak bisa kau tepati. (hlm. 379)
Keterangan Buku:
Judul : Inkheart
Penulis : Cornelia Funke
Alih bahasa : Dinyah Latuconsina
Editor : Dini Pandia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : September 2009 (Cetakan keempat)
Tebal : 535 hlm.
ISBN : 978-979-22-4271-3