Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

30 November 2015

MITOSPEDIA VEDA - Brihaspati, Dewa Guru - Jupiter


MITOSPEDIA VEDA / VEDIC / HINDU
BRIHASPATI – DEVA-GURU
 

Ras: Dewa
Golongan : Nawagraha
Kediaman : Brihaspatiloka (Jupiter)
Pasangan : Tara
Anak : Kacha (anak kandung), Budha (anak tiri)
Peran : Guru Para Dewa, Penguasa Jupiter.
Awatara : Drona

==LEGENDA==
Brihaspati adalah salah seorang dari tiga putra Saptarsi Angirasa, yang merupakan salah satu rsi yang dipercaya telah mendengarkan Atharwaweda langsung dari ayahnya, Brahma. Brihaspati mendapat pendidikan dari ayahnya bersama dengan Shukra (yang kelak akan menjadi rival abadinya). Angirasa dalam mendidik lebih menyayangi Brihaspati sehingga Shukra kemudian pergi mencari guru lain, menjadikan Angirasa punya lebih banyak waktu untuk mendidik Brihaspati menjadi brahmana hebat.

Setelah dewasa Brihaspati karena pengetahuannya yang luas dan ketaatannya yang luar biasa pada aturan-aturan dharma (kebajikan) serta ketaatannnya pada para Trimurti diberi anugerah untuk menjadi guru (pembimbing) bagi dewa-dewi di Swargaloka. Brihaspati juga bertindak sebagai penasehat utama bagi Indra meski dalam beberapa kesempatan Indra tidak mau mendengar saran Brihaspati.

Meski terkenal sebagai guru yang bijak, kehidupan rumah tangga Brihaspati sempat bermasalah. Tara, satu-satunya istri Brihaspati, sempat jatuh hati dan tergila-gila pada Chandra, dewa bulan, bahkan mereka berdua akhirnya melakukan perbuatan tidak senonoh yang akhirnya menyebabkan dua peristiwa :
1. Terjadi ketegangan di kubu para dewa. Chandra dan Brihaspati sudah siap bertempur habis-habisan untuk memperebutkan Tara (dan mempertahankan kehormatan mereka) kalau saja Brahma tidak turun tangan dan menyuruh Tara pulang pada Brihaspati dan meminta Chandra cukup puas dengan istrinya yang sudah segudang itu.
2. Tara hamil dan melahirkan Budha (Merkurius). Budha yang kemudian sadar bahwa Brihaspati bukan ayah kandungnya ketika Chandra hendak mengklaim Budha untuk dibawa ke Chandraloka akhirnya memusuhi Brihaspati.
Ketegangan antara Brihaspati dengan Shukra (Venus) juga sering terjadi sampai pada satu kesempatan Brihaspati mengutus salah satu putranya yakni Kacha untuk berguru pada Shukra. Putri Shukra Dewayani jatuh hati pada Kacha dan menikahi putra Brihaspati itu. Tidak dijelaskan apakah sejak resmi jadi ‘besan’ ketegangan antara keduanya mengendur atau tidak. Meski begitu Brihaspati dikatakan pernah menggantikan Shukra mengajari para Asura selama beberapa tahun saat Shukra tidak ada di tempat.

==AWATARA : DRONA==
“Yudhistira memasuki Kota Surgawi Indra. Dan di sini ia disambut oleh Kresna, Drupadi, dan saudara-saudaranya dalam suatu perayaan yang megah. Bisma tampak ada di antara para Wasu (delapan elemen), sebab dari sanalah ia berasal. Karna telah bersatu dengan Matahari, Drona bersatu dengan Brihaspati, sementara Widura dengan Dharma (Yama).”
(Mahabaratha, Swargarohana Parwa)

Nama lain : Durna, Begawan Drona, Dronachaya
Ras : Manusia Awatara
Pasangan : Kripi
Anak : Aswathama
Profesi : Brahmana, Guru Ilmu Perang Hastina, Senopati (Panglima Perang) Hastina, Penguasa Pancala (Sementara)

Drona terhitung masih keturunan Saptarsi Angirasa dan konon sekaligus merupakan awatara dari Brihaspati pada era Mahabharata. Masa kecilnya sulit dan ia hidup miskin namun ayahnya Bharadwaja ditunjuk oleh raja Pancala saat itu untuk menjadi guru bagi putra mahkota mereka yakni Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi kawan baik hingga suatu ketika Drupada bersumpah bahwa jika suatu ketika Drona dalam kesulitan, Drona boleh datang pada Drupada dan ia akan memberinya tanah, kedudukan dan harta.

Setelah dewasa ternyata nasib Drona malah semakin terpuruk. Legenda mengatakan bahwa Aswathama suatu ketika meminta susu pada ibunya. Karena tidak ada susu di rumah, istri Drona mencampur perasan suatu dedaunan yang warnanya putih dengan gula lalu mengatakan pada Aswathama bahwa itulah susu. Drona yang memperhatikan hal itu kemudian bertekad keluar dari kemiskinan. Ia sempat datang kepada Parasurama Awatara yang baru saja menaklukkan ratusan raja dan membagi-bagikan tanah mereka pada para brahmana namun saat Drona datang Parasurama hanya tinggal memiliki sebuah busur semata. Drona menerima busur itu dan berguru pada Parasurama mengenai seluruh ilmu beladiri dan ilmu perang dari Sang Awatara Wisnu.

Sekembalinya dari tempat Parasurama, Drona mendatangi Pancala, menghadap pada Raja Drupada dan menagih janji Drupada di masa lalu. Drupada ternyata ingkar janji bahkan mengatakan bahwa mereka saat ini mereka tidak bisa lagi berteman karena status mereka sudah ‘berbeda’. Drupada sekarang raja sementara Drona hanya guru miskin. Persahabatan mereka di masa lalu terjadi karena mereka sama-sama murid Bharadwaja tapi sekarang Drona tidak berhak memanggilnya teman. Drona pun kemudian pergi dari istana dengan membawa sumpah bahwa ia akan balas dendam.

Nasib Drona membaik ketika ia pergi ke Hastina dan diminta Bisma untuk mendidik para Pangeran Kuru (Kurawa dan Pandawa). Drona kemudian menjadi guru perang bagi Kurawa dan Pandawa serta melatih mereka hingga suatu ketika Drona membawa Pandawa dan Kurawa untuk menyerang Pancala, merebut Pancala dari Drupada kemudian mengambil setengah wilayah Pancala untuk dirinya dan mengembalikan setengahnya pada Drupada sambil berkata, “Sekarang kita setara kan, Temanku?”

Atas intervensi Bhisma, Drona akhirnya melepas klaimnya atas wilayah Pancala dan mengembalikan wilayah itu pada Drupada. Tapi Drupada yang sudah terlanjur sakit hati kemudian memohon pada para dewa supaya diberikan anak yang kelak akan membunuh Drona. Dari permohonan Drupada lahirlah Drestadyumna.

Sekembalinya dari penaklukan Pancala, Drona melanjutkan profesinya sebagai guru perang bagi para pangeran Hastina. Kala Pandawa dibuang ke hutan selama 12 tahun Drona diangkat menjadi penasehat Duryodhana dan kelak dalam perang Bharatayudha Drona ditunjuk menjadi ahli strategi dan kemudian senopati setelah Bisma tumbang di tangan Srikandi.

Kala Drona menjadi senopati Kurawa pada hari ke-13, ia sukses membunuh Abimanyu. Namun pada hari ke-15, Bima – atas perintah Kresna – membunuh seekor gajah bernama Aswathama lalu berseru lantang bahwa Aswathama telah mati. Drona kemudian mendekati Yudhistira dan bertanya apa kabar itu benar? Yudhistira pun menjawab, “Benar,” yang disambung dengan perkataan, “Tapi itu Aswathama gajah, bukan putra Guru.” Meski begitu Drona sama sekali tidak mendengar kalimat kedua dari Yudhistira. Drona yang kehilangan semangat hidup akhirnya membuang busurnya dan duduk bersemadi. Pada saat itulah Drestadyumna datang dan memenggal kepalanya.

==TRIVIA==
• Drona pernah bersumpah akan menjadikan Arjuna pemanah terhebat di dunia meski begitu ada dua pemanah lain yang ternyata bisa menandingi Arjuna yakni Palghunadi (Ekalawya) serta Rhadeya atau Adipati Karna.
• Drupada akhirnya terbunuh di tangan Drona pada Bharatayudha
• Drupada kelak akan menurunkan Drupadi, istri Yudhistira.

Sumber Gambar :
www.saryth.deviantart.com
 

Referensi :
https://en.wikipedia.org/wiki/Drona
https://en.wikipedia.org/wiki/Brhaspati
Dalal, Roshan. 2014. The Religions of India: A Concise Guide to Nine Major Faiths. Penguin UK
Verma, Virendra. 2000. The Mahabaratha. Pitambar Publishing : New Delhi.


Sumber Artikel:
Le Chateau de Phantasm Page di Facebook
https://www.facebook.com/LCDP.Official/?fref=photo

22 November 2015

[BATTLE OF REALMS 5 - ROUND 2] Vajra - Bumi Dipijak, Langit Dijunjung





Bun – Dyna Might – Vajra. Ilustrasi oleh Sam Riilme


[ROUND 2 – CORE LEVEL]
VAJRA – BUMI DIPIJAK, LANGIT DIJUNJUNG

Penulis: Andry Chang


Di manapun bumi dipijak, di sanalah langit dijunjung.

Sekali lagi, Vajra memasuki portal antar-dimensi dalam keadaan sekarat, nyaris kehabisan darah.

Bedanya kali ini, segala deraan nyeri itu hilang saat tubuh langsing-semampai pria berambut hijau dikepang ekor kuda itu melayang menyusuri terowongan portal. Tak hanya kembali segar-bugar dan merasa kenyang, prana alias tenaga dalam tubuh pemuda bernama asli Raditya Damian ini pulih sepenuhnya. Jadi ia tak perlu melakukan ritual pemulihan prana dan kondisi tubuh yang disebut tapa brata.

A-ada apa ini? batin Vajra, mengerutkan dahinya saat menatap tubuhnya dan bekas-bekas lukanya. Jangan-jangan kondisiku sudah amat gawat, hingga aku harus dipulihkan di sini. Tapi mengapa pranaku juga ikut pulih?  

Belum lagi kesimpulan diambil, ponsel pintar Vajra berdering. Ya, inilah ponsel radar berupa sebentuk kristal hitam yang tahan gempuran sedahsyat apapun, cinderamata dari misi pertarungan di kaldera bersalju, Los Soleil. Mata hijau pria muda itu menatap layar monitor. Ada kiriman surel untukku? Tak ada nama pengirimnya pula. Tanpa pikir panjang, Vajra menekan simbol “terima” di layar sentuh ponsel itu. Sebuah layar hologram terpancar dan melayang di atas ponsel, dan ia membaca isi teks surel yang terpampang di sana.


Tarung Tiga Arah di Ruang Inti Perpustakaan Utama Alforea
Syarat Kemenangan: Bunuh atau lumpuhkan lawan dengan membuat health bar mereka habis.
Peserta: Bun vs. Dyna Might vs. Vajra
Waktu Pertarungan: Segera


Gila! Apa yang kaupikirkan, Hewanurma? Masa’ tak ada waktu untuk setidaknya menenangkan diri dari kelelahan lahir-batin akibat pertarungan yang lalu? Inikah yang kausebut turnamen antar-ranah yang “alami, mengukir kenyataan dan manusiawi”? Dewa macam apa kau ini?

Sebuah suara bernada maskulin dan berwibawa terngiang di benak Vajra. “Jangan berburuk sangka dulu. Selidiki dulu perkaranya, baru putuskan tindakan yang tepat untuk mengatasinya.”

Ekspresi tegang di wajah Vajra yang tertutup topeng merah separuh mengendur seketika. “Kau benar, Guru Gatotkaca,” katanya dalam hati. “Hewanurma sempat memberitahuku, ada peretas-peretas yang sedang berusaha untuk mengacaukan turnamen ini, bahkan berusaha menghapus eksistensi para peserta. Siapa biang keladinya, dan apa tujuannya?”

“Aku yakin kau akan menemukan petunjuk tentang itu bila kau menyelidikinya dengan seksama,” susul suara lembut berkharisma khas Arjuna, salah seorang dari Pandawa Lima dalam Kitab Mahabharata.

Suara lantang Bimapun bergema, “Tenangkan dulu dirimu sendiri, baru kau siap menghadapi tekanan dan tantangan apapun, kapan saja, secepat apapun itu terjadi!”

“Terima kasih juga, Guru Arjuna dan Guru Bima.” Sebelah mata hijau Vajra seakan berpendar penuh tekad, matanya yang tertutup pun berkilau keemasan. “Mulai saat ini, aku takkan ragu dan berprasangka buruk lagi.”

Sang pendekar dalang sakti telah menantang kuda dewata raksasa dan jadi yang terakhir bertahan hidup di Kaldera Candradimuka Bersalju. Segila apapun tantangannya, pasti ia jalani.

Namun masih ada satu hal yang mengganjal di hati Vajra. Sesuatu tentang salah seorang peserta tarung tiga-arah yang bakal menantinya di ujung portal antar-dimensi ini.

==oOo==

Sebuah lingkaran cahaya berlambang pelbagai aksara gaib muncul di lantai pualam putih, di satu sisi dalam sebuah ruangan bundar. Sosok si dalang sakti, Vajra muncul di atasnya, terselubung cahaya yang adalah efek visual dari sihir teleportasi.

Anehnya, pemandangan di sekeliling Vajra ini terlalu indah untuk disebut nyata. Betapa tidak, tempat yang disebut “ruang inti perpustakaan” ini berdinding serba-putih, disangga pilar-pilar putih dipahat dengan gambar-gambar yang amat detil. Yang paling menarik perhatian Vajra adalah pahatan seekor kuda bersayap dan bertanduk yang mirip Tamon Rah di tiap pilar itu. Di depan kuda itu tampak sesosok wanita berambut panjang dan memegang pedang. Siapakah dia?     

Ruang perpustakaan bundar ini ternyata amat luas, dengan garis tengah kira-kira tiga puluh lima meter. Di atas, tampak langit-langit berbentuk kubah yang terbuat dari kristal bening. Larik-larik cahaya berupa angka “1” dan “0” seperti rentetan kode biner dalam bahasa komputer keluar-masuk tanpa henti lewat langit-langit itu, menyelusup dari dan ke dalam buku-buku yang berjajar amat rapi dan teratur dalam rak-rak yang menutupi seluruh dinding, kecuali pilar-pilar penyangga ruangan ini.

Kontras dengan dinding-dindingnya, tak ada perabot apapun di lantai, kecuali karpet biru panjang yang membentang sampai ke sisi sebuah panggung berlantai pualam yang terletak persis di tengah balairung perpustakaan ini.

Sambil berjalan lurus, Vajra melihat dua sosok lain berdiri dengan gagahnya di tiap-tiap tepi panggung. Bila dilihat dari atas, posisi ketiga insan yang kini berdiri di sana persis di sudut-sudut segitiga sama sisi.

“Wah, wah, tak kusangka kita bertiga akan langsung bertarung di tempat ini,” ujar seorang pria berwajah cenderung amat cantik ketimbang tampan, mengenakan kemeja hitam berdasi ungu, serta jas dan celana panjang putih. Ia membungkuk, melambaikan topi fedora coklatnya dengan penuh gaya, rambut ungu berponi panjangnya melambai amat gemulai. Tiap gerakannya diiringi efek visual tebaran bunga-bunga ungu dan suara angin bagai siulan merdu. “Perkenalkan, namaku Dyna Might. Kalian pasti lawan-lawanku di arena ini, bukan?”

“Ini perpustakaan, bukan arena, bun~!” ujar seorang anak laki-laki kecil berusia kira-kira delapan tahun yang berdiri di pojok kedua. Wajahnya masih tampak terlalu manis, walau kedua matanya tertutup poni rambut hitamnya. Mengiring tiap gerakannya, aroma serba-serbi makanan dari tubuh langsingnya semerbak memenuhi balairung, ditambah efek visual bintang-bintang emas dan selendang-selendang cahaya biru yang senada dengan topi biru bermotif bintang emas yang dikenakannya. “Sudahlah, kita mulai saja tarungnya! Jangan sampai Bun, Baldwin Ulrich Ragnavald Nikolai Ol’Dweller Keempat lapar, bun~!”

Mata Vajra terbelalak. Tanpa sadar gaya terkejutnya jadi gemulai seperti gerak-gerik Arjuna, tokoh pewayangan paling tampan dalam pentas wayang orang. “A-astaga! Kok tampangmu berubah drastis begitu, Bun? Sekarang kamu jadi langsing, lho!”

“Berubah apanya!? Jangan bilang Bun langsing, bun~!” Sambil merengut, Bun meraba-raba perut dan melihat perawakannya sendiri. Kenyataan ia sungguh jadi langsing membuat si gnome kecil itu menggigit bibirnya. Tiba-tiba, teringat dan mengenali suara Vajra tadi, wajah si bocah manis berubah cerah. “Wah, kita bertemu lagi, Radith! Senangnya, bun~!”

Saat Bun baru akan menghampiri “kakak”-nya itu, Dyna menghardik, “Hei, kamu lupa ya? Kita di sini untuk bertarung, tahu! Lihat di atas kepalaku ini!”

Vajra menoleh dan melihat lebih jelas. Rupanya ia terlalu memperhatikan efek-efek visual berlebihan tadi, jadi baru sekarang menyadari ada garis hijau melintang yang melayang sejengkal di atas kepala masing-masing peserta.

Pemain game online, khususnya Everna Online seperti Vajra jelas tahu, itu adalah health bar, indikator penanda kesehatan dan daya kehidupan alias aura tiap karakter si pemain dalam game – istilahnya adalah avatar. Warna hijau adalah pertanda kesehatan yang bagus. Apabila indikator hijau itu makin pendek, bagian kosongnya ditandai dengan warna hitam. Bila garis hijau makin pendek dan berubah warna menjadi kuning, berarti kesehatan kurang dari separuh. Bila amat pendek dan jadi merah, berarti kondisi kesehatannya kritis. Bila health bar menjadi hitam sepenuhnya alias kosong, hanya ada dua artinya. Yaitu si avatar telah mati atau kehilangan kesadarannya dalam dunia game itu.

Bun yang penglihatannya agak rabun dapat “meraba” kondisi tiap peserta lain dengan salah satu ilmunya, Seismic Sense, yaitu pelacakan dengan menggunakan getaran yang menjalari permukaan padat seperti lantai pualam ini. Ilmu itulah yang diam-diam ia kerahkan saat Dyna sibuk memperkenalkan diri tadi.

“Rupanya Wildan benar, Bun,” ujar Vajra, kali ini menirukan gaya Wayang Orang Bima yang suka berkacak pinggang dan membusungkan dada. “Kita pernah bahu-membahu di Gurun Berbatu Shohr’n. Tapi cepat atau lambat, kita mungkin bakal saling berhadapan sebagai lawan. Hanya saja, aku tak menduga itu akan terjadi secepat ini.”

Wajah Bun yang kini jadi manis malah merengut. “Menyebalkan ya, takdir itu, bun~!”

Sambil main mata, Dyna menegur, “Sudah selesai reuninya, duo tampan? Karena sejak awal kita sudah diperhadapkan langsung seperti ini, bagaimana kalau kita mulai tarung ini bersamaan? Isyaratnya dengan dentingan cinderamataku dari Lorong Hitam Despera ini di lantai, tentunya.” Orang yang tak jelas gendernya itu menunjukkan sebuah koin emas bergambar wajah cantik Sang Mahadewi Alforea, Tamon Ruu. Tentunya gambar ini akan lebih menarik lagi bila menampilkan sekitar wilayah “dada sejahtera”-nya.

“Tak masalah,” ujar Vajra, kali ini bergaya seperti Gatotkaca, pahlawan super bergelar Satria Pringgodani dengan kaki terentang dan kepalan tangannya teracung ke udara.

Bun juga tak mau kalah. Si gnome yang kini lebih mirip manusia itu membungkuk dan membentuk tanda “V” dengan dua jari di depan wajahnya sambil berujar, “Bun siap, bun~”

Dengan gerakan lebih gemulai dari wanita, Dyna Might melemparkan koin emasnya. Bunga-bunga yang bertebaran seakan mengikuti gerakan koin yang melambung, turun... dan akhirnya jatuh berkelinting di lantai bening.

Ketiga pendekar melesat maju hampir bersamaan.

Tak seperti sebelumnya, citra bayangan Arjuna yang menarik Busur Sakti Gandiwa muncul di balik punggung Vajra. Saat itu pula, Gelang Gandiwa di pergelangan tangan kanan si dalang-pendekar berpendar, jari telunjuknya menembakkan berondongan larik petir berwujud Panah Pasopati ke arah si pendekar berjas putih.

Tak mau kalah, Dyna membalas dengan berteriak, “Aggression!” Itulah mantra pemicu Shock Shot, jurus pembuka pendekar pengguna auraudio, prana berunsur angin berbentuk suara ini. Dyna lantas bersenandung dengan suara seperti suara wanita yang berat. Gelombang suara senandung itu ia tembakkan ke arah Vajra.

Namun panah-panah petir melesat lebih cepat dari kecepatan suara, juga lebih banyak. Akibatnya, beberapa panah petir berhasil membuyarkan peluru-peluru gelombang suara itu, dan tiga panah menghunjam tubuh Dyna tanpa ampun. Suara merdu Dyna berganti jerit kesakitan. Untung prana pelindung Auraudio meredam prana petir sebatas melukai daging dan kulit saja. Sehingga hanya health bar di atas topi si penjaga pintu itu saja yang memendek dan masih berwarna hijau.

Di sisi lain, Vajra memegangi dadanya yang terlindungi Zirah Antakusuma. Rupanya, satu gelombang suara Dyna sempat menghantam dirinya. Garis hijau di health bar Vajra juga memendek, namun masih lebih panjang dari punya Dyna.       

Saat itu pula, Bun yang sejak tadi mencari kesempatan menyerang merangsek maju sambil berteriak, “Jangan remehkan Bun, bun~! SPARK!”

Tinju Bun menghantam lantai, petir menjalari permukaan lantai pualam ke segala arah dan menyengat kaki-kaki para lawannya. Dengan amat cepat petir merambati tubuh, sehingga kedua petarung itu terpaku, bergeming di tempat.

Memanfaatkan kesempatan emas, Bun menerjang ke arah Vajra sambil berteriak, “HUNGRY!”  Dari gelagat gerakannya yang amat lincah dengan efek tebaran bintang, si artificer jelas berniat merebut zirah bintang si dalang dengan ilmu The Artifice’s Mind.

Tanpa terduga, Vajra bergerak bebas! Tak hanya itu, dengan gerakan lebih cepat dari biasa, ia menyarangkan serentetan pukulan dan tendangan dengan jurus-jurus pencak silat tanpa prana di tubuh kecil Bun. Alhasil, si anak laki-laki itu tersuruk di lantai. Bagian hijau health bar si gnome memendek hingga kira-kira delapan puluh lima persen, sama dengan health bar Dyna.

Sebenarnya, Bun memang berniat memacetkan pergerakan Vajra. Namun, selain kedua pengguna petir itu saling kebal prana masing-masing, jauh di lubuk hati Bun, si dalang berambut hijau itu masih tetap “kakak seperjuangan”-nya. Karena itulah Spark malah mempercepat gerakan dan menambah prana si dalang petir. Sebagai balasannya, Vajra tak menggunakan tenaga dalam saat balas menyerang Bun tadi.

“Wah, wah, dua saudara saling menahan diri,” ujar Dyna yang baru pulih dari keterpakuan sambil menghampiri Vajra dan Bun. “Bagaimana kalau kuserang saja kalian berdua sekaligus? Attribution!” Itulah mantra pemicu jurus kedua Dyna, Solid Sound.

Dyna merangsek maju. Kedua tangannya melambai-lambai seperti dirigen sedang memimpin sebuah orkestra. Lambaian tangan itu mengarahkan suara-suara yang telah dibentuk menjadi bayangan benda-benda padat seperti bom, pedang, tombak, gada dan senjata-senjata lainnya. Semua senjata itu menerpa kedua sasaran persis bersamaan dengan saat efek suara itu diucapkan.

Sosok Gatotkaca, Satria Pringgodani berotot kawat, bertulang besi dan mengenakan Zirah Antakusuma membayang di balik punggung Vajra, dan lambang bintang di zirah pelindung dadanya berpendar keemasan. Si pahlawan super terus bergerak kesana-kemari, menghindar dan menangkisi daya serangan Dyna dengan gerakan-gerakan pencak silat yang dipadu dengan prana petir Tinju Brajamusti. Walau demikian, segelintir ledakan, pukulan dan sayatan itu mengenai dan melukai tubuhnya. Akibatnya, sang dalang sakti tersuruk dan bertekuk lutut.

Sedetik kemudian, sosok Dyna tampak sangat dekat dengan Vajra. Katanya, “Ternyata kau lebih lemah dari dugaanku, Vajra. Aku bosan bertarung denganmu, selamat tinggal.”

Anehnya, Vajra malah tersenyum di balik topeng separuhnya. “Terjebak kau,” desisnya.

Sebelum si “pria cantik” menyerukan suara penanda kematian, si “dalang rupawan” mendaratkan puluhan tinju petir secara vertikal di tubuh – dan terutama – wajah lawan. Sosok bayangan Gatotkacapun bergerak persis beriringan dengan Vajra. Alhasil, tubuh Dyna terlontar hingga membubung ke arah langit-langit perpustakaan. Dalam posisi itu, si topi fedora tak memiliki pertahanan sama sekali.

“G-gawat!” Kesadaran Dyna datang amat terlambat, tembakan sisa prana petir di kedua tangan Vajra telak menghantam perutnya. Insan berjas putih itu muntah darah, dihimpit tarikan gaya gravitasi dan dorongan petir sekaligus. Tubuhnya terlontar lebih jauh lagi hingga membentur salah satu pilar penyangga balairung perpustakaan, lalu meluruh ke lantai di bawahnya.

Detik berikutnya, Vajra malah tak beranjak dari tempatnya berdiri. Bayangan Gatotkaca seakan bicara lewat benaknya, “Tunggu apa lagi? Ini kesempatanmu memastikan kemenangan... oh!”

Suara itu terhenti, seakan baru menyadari kondisi Vajra sekarang ini. Walaupun health bar-nya masih hijau dan daya kesehatan tubuhnya masih di atas separuh, rentetan ledakan dan serangan Dyna tadi telah menorehkan luka-luka luar-dalam yang amat nyeri, melemahkan seluruh tubuhnya. “Cepat, lakukan tapa brata!” sergah suara Gatotkaca.

“Baik, guru!” Vajra lantas merapatkan kedua tangannya, berusaha memulihkan tenaga dan prananya sambil berdiri dengan mata terbuka. Proses pemulihan dengan metode ini lebih lamban daripada duduk bersila dengan mata tertutup, tapi setidaknya sang pendekar petir bisa lebih siaga mengantisipasi setiap lawan yang bisa saja menyerang dengan tiba-tiba.

Benar saja, dengan refleks Vajra menoleh ke kiri dan melihat Bun sedang berlari tak tentu arah. Gaya si anak lelaki itu persis atlit yang sedang melesat dalam lomba lari seratus meter, namun ekspresi wajahnya seperti orang gila. Kondisi itu ditegaskan dengan teriakan-teriakannya, “Bun lapar! Lapaaar, bun~!” Gawat, belum setengah jam bertarung, dia sudah kelaparan? Jangan-jangan Bun kehabisan energi setelah tubuhnya luka-luka didera jurus Dyna tadi. Health bar-nya juga mulai berwarna hijau kekuningan, lebih pendek dari milik Vajra.

Sekilas terngiang di benak Vajra, peringatan Bun saat pertama kali mereka bertemu di Despera. “Jangan sampai Bun kelaparan! Kalau Bun kelaparan, Bun akan makan siapapun atau makhluk apapun yang Bun serang, kawan ataupun lawan, tak peduli sekeras apapun tubuhnya, bun~!”

Sekilas berikutnya, Bun sudah berlari dari kejauhan ke arah Vajra sambil berteriak-teriak, “Bun cium wangi gudeg! Nasi Gudeg Yogya super lezaaat! Bun mau makan gudeg, bun~!”

“Sekali lagi, maaf soal ini ya, Bun!” Lagi-lagi Vajra menggunakan jurus yang pernah ia kerahkan untuk mengatasi “kegilaan akibat kelaparan” ini, yaitu Jaring Dalangsukma. Kesepuluh jarinya terulur, menebarkan jaring petir seperti laba-laba menjerat mangsanya. Jaring itu membelenggu Bun, namun saat jaring dihentakkan untuk melontarkan si gnome super tampan ke arah Dyna, Bun malah mulai memakan jaring itu. Dalang yang biasa menggerakkan wayang-wayangnya dengan jaring petir itu tercengang. Dalam keadaan setengah gila, Bun mematahkan jurus yang pernah menaklukkan si gnome gembul sendiri itu!

“Takkan kubiarkan!” Butuh lebih dari sedetik hingga Vajra menemukan pemecahannya. Sebelum jaringnya putus, ia menarik jaring petir itu kuat-kuat sambil bertumpu pada dua kakinya.

Lalu, sambil menghentak lantai, si pendekar topeng separuh melontarkan dirinya sendiri seperti batu yang ditembakkan dari ketapel. Vajra mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi, tubuhnya terus melayang dalam posisi menelentang, dan ia menendang dahi dan wajah Bun dengan telak. Alhasil, tubuh si gnome langsing itu kembali terpelanting, dua giginya bahkan tercabut dan terlempar keluar dari mulutnya. Tubuh Bun menghantam lantai, ia terkapar tak bergerak lagi. Namun health bar di atas kepalanya masih berwarna hijau, tanda gnome itu belum kalah.

Sebelum kesadaran Bun pulih setiap saat, dengan sigap Vajra membalik tubuh kecil itu dan membuka ransel yang selalu tersandang di punggung si tukang makan ini. Si rambut hijau menarik napas lega, lantas mengambil roti sandwich isi daging ham dan selada.

Dengan amat cepat dan mendadak, Bun bangkit dan berteriak, “LAPAAAR!”. Mulut si gnome menganga dan wajahnya tampak amat keterlaluan beringasnya, namun yang digigitnya malah bagian lengan bawah tangan kanan Vajra yang memegang sandwich. Gigitan anak kecil bertampang manis itu ternyata amat tajam dan keras, membuat “si tergigit” berteriak kesakitan. Bagaimana kalau sampai Bun mulai mengunyah?

Walau terlindung prana, Vajra tak mau ambil resiko tangannya putus. Jadi si dalang berujar, “Maaf lagi, Bun.” Tangan kirinya mengambil roti dari tangan kanan. Ia lantas mengalirkan tenaga dalam hingga terpusat di tangan kanannya dan menghentakkan prana itu. Gigitan Bun mengendur seketika, jadi secepat kilat Vajra menarik tangan kanannya dan cepat-cepat menjejalkan roti lapis itu ke dalam mulut anak langsing tapi tetap mudah lapar itu.

Bun mulai makan roti lapis itu dengan rakus, dan Vajra menyurut mundur, namun dengan wajah bingung bercampur rasa sesak di dada. Ia membatin, Aagh, aku bisa saja mengerahkan prana dan merobek mulut Bun, menghabisinya dengan mudah. Tapi... mengapa tak kulakukan itu? Apa aku ini terlalu lugu dan bodoh, terpengaruh semangat persaudaraan dalam diriku!?

Tiba-tiba Vajra terkesiap. Dilihatnya Bun masih sibuk makan roti lapis kedua yang ia ambil dari ranselnya. Perhatiannya lantas beralih pada Dyna yang masih terkapar di satu sudut ruangan. Tampak samar-samar dari jauh, Health bar di atas tubuh insan berjas dan bercelana serba putih itu setengah hijau, setengah hitam. Gila, besar sekali daya kehidupan orang itu, padahal dia terkena telak Tinju Brajamusti berkekuatan penuh! Si Dyna Might ini sungguh menarik...

Sebelum sempat melakukan tindakan apapun, tiba-tiba ponsel kristal Vajra berbunyi. Ini amat aneh, karena Vajra sendiri tak tahu berapa nomor ponsel terbarunya ini. Teringat pesan gurunya agar tak berburuk sangka, ia lantas lari menjauh ke satu sisi balairung dan menekan tombol berlambang gagang telepon hijau di layar sentuh ponselnya.

Suara dari ponsel itu merasuki benak Vajra bagai telepati batiniah. “Vajra, ini aku, Hewanurma! Aku hanya bisa menghubungi dirimu, satu-satunya peserta yang memegang ponsel di tempat ini, jadi dengar baik-baik kata-kataku ini! Ada gangguan dalam seluruh database Turnamen Battle of Realms dan Alforea! Ini ulah peretas tingkat dewa, dan dia memperalat kalian, para peserta turnamen untuk menyerang pusat data kami!”

Vajra terperangah. “Maksudmu, kami ini...!?”

“Virus komputer, ya! Tepatnya, virus komputer yang menyusupi tubuh kalian. Sebenarnya, dalam server turnamen ini, wujud kalian adalah serangkaian data. Dan kau, Dyna Might dan Bun sengaja disusupi virus terkuat dan memasuki pusat data maha penting di Alforea ini!”

“Balairung Inti Perpustakaan Alforea?!”

“Perpustakaan Alforea sungguhan ada di Despera. Kami hanya meniru modelnya dalam Server Alforea dengan tampilan video game resolusi tinggi, dan memfungsikannya sebagai Core Level Database.”

Vajra melihat kulit lengannya sendiri. Walau masih nyeri dan berdarah akibat gigitan Bun tadi, tampilannya juga senada seperti balairung ini – beresolusi tinggi, namun masih setingkat di bawah tampilan alamiah yang dapat ditangkap mata. “J-jadi maksudmu, data-data di sini persis dengan kenyataannya?” ujarnya, sambil terus terperangah.

“Ya, jadi siapapun yang merampasnya, dia akan mampu mengubah sejarah Alforea. Dan bila sejarah berubah, keadaan kita di masa kini dan masa depan ikut berubah pula... Seperti Pertempuran Shohr’n, contohnya.

Astaga, jadi inikah sebabnya pahatan-pahatan di pilar-pilar itu dipenuhi citra Tamon Rah dan si wanita berpedang, serta seratus satu peserta turnamen yang ikut berjuang di sana?

Hewanurma tiba-tiba mengubah pokok pembicaraan. “Intinya, kau harus mengenyahkan virus itu dari tubuh kalian bertiga, dan yang lebih penting lagi, cegah jangan sampai ‘buku-buku data’ dalam ruangan tingkat inti itu hancur semua atau direbut si virus!”

“Bagaimana caranya? Aku bukan ahli komputer.”

“Ini!” Tiba-tiba ponsel Vajra bergetar amat keras, dan sang dalang petir merasakan sebentuk energi asing memasuki tubuhnya. Seiring dengan itu, sebentuk hawa gaib alias aura berwarna hitam pekat keluar dari ubun-ubun dan membubung ke langit-langit. Suara Hewanurma kembali terngiang, “Aku telah memasukkan semacam kode antivirus dalam tubuhmu, dan virus komputer dalam tubuhmu telah berhasil dipaksa keluar dengan itu. Gunakan antivirus itu bersama pranamu untuk mengusir paksa virus di tubuh Dyna dan Bun pula! Bila virus itu berhasil kalian musnahkan dan sebanyak mungkin data terpenting di ruang inti terselamatkan, baru kami bisa mengembalikan kalian bertiga beserta para peserta lainnya ke Despera!”
      
Si dalang petir bagai tersambar petir pamungkasnya sendiri. Nada bicara Sang Administrator Alforea itu jelas amat-sangat serius dan setengah putus asa. Mungkin Hewanurma benar-benar ragu mempercayakan nasib seluruh peserta turnamen dan seluruh Alforea di tangan pemuda labil kurang pengalaman itu.

“Baiklah, akan kulaksanakan amanatmu ini, walau nyawaku taruhannya,” tanggap Vajra mantap.

“Ya, tolonglah, Vajra. Hanya kaulah satu-satunya harapan...” Pembicaraan Hewanurma terputus tiba-tiba, diakhiri dengan suara aneh seolah pemutusan itu dilakukan dengan paksa dan sengaja. Layar ponsel kristal jadi gelap total, bahkan dayanya mati sama sekali.

==oOo==

Perhatian Vajra seketika teralihkan ke suara-suara pertarungan di kejauhan. Dengan gaya yang tak berlebihan seperti sebelumnya, sang dalang menyimpan kembali ponselnya, lalu mendekat dengan hati-hati. Ia mencoba menelaah situasinya terlebih dahulu, sesuai ajaran para gurunya.

Rupanya Dyna yang sebenarnya sudah sadar sejak tadi pura-pura pingsan. Mengira itu kesempatan menang, Bun yang polos mencoba menyarangkan pukulan pamungkas dengan aliran petir langsung dari jurus Spark. Namun Dyna bangkit dan memerangkapnya dalam jebakan.

Sekali lagi, Dyna mengerahkan jurus Attribution. Walau pergerakannya tampak tak terlalu lincah, bayangan-bayangan senjata yang tercipta dari efek suara hasil kekuatan pikiran Dyna sekali lagi meledak, menyayat dan menghantam tubuh mungil Bun.

“Jurus yang sama takkan mempan kedua kalinya, bun~!” Sambil mengatakannya, dengan cekatan Bun menutup sepasang telinga lancipnya rapat-rapat dengan selendang yang terikat seperti dasi di lehernya. Hasilnya, tak satupun “senjata suara” Dyna menimbulkan kerusakan fisik yang nyata di tubuh gnome cerdik ini.

Sadar pengerahan prananya sia-sia, Dyna berhenti bersuara dan melompat mundur. Ia juga sadar Vajra yang baru mendekat itu mungkin bakal nekad mencuri serang, namun gerak-gerik pemuda yang parasnya tak berubah setelah virusnya hilang itu tak berlebihan, malah gelagatnya ingin melerai pertarungan ini.

“Tahan, Dyna dan Bun! Ada hal luar biasa penting yang harus kusampaikan!” seru Vajra.

Dyna mendelik dengan wajah merengut sebal. “Jangan bertele-tele, Vajra! Langsung saja sampaikan, dan kita tuntaskan pertarungan ini secepatnya!”

Vajra lantas memilih kata-kata yang singkat, jelas dan padat untuk menyampaikan pesan Hewanurma tentang virus dan cara mengenyahkannya agar dapat keluar dari inti database ini.

“Jadi maksudmu... tubuh kita ini telah kerasukan virus komputer, lalu disusupkan ke dalam database?” sergah Dyna. “Dan pertarungan di perpustakaan ini hanya tipuan belaka, agar kita menghancurkan data-data terpenting Alforea di sini?”

“Benar, data tentang sejarah masa lalu, berita masa kini dan visi masa depan Alforea,” kata Vajra. “Juga data paling penting sehubungan dengan turnamen ini dan... eksistensi kita sebagai peserta! Bila buku-buku di dinding hancur, data ikut terhapus. Dan bila semua data hancur, kita yang masih di dalam sini juga akan ikut musnah!”

“Kalau begitu... kita bertiga harus melindungi tempat ini ya, bun~?” Suara Bun bergetar, tubuhnyapun gemetar.

“Ya,” jawab Vajra. “Jadi apapun yang kita lakukan, jangan sampai buku-buku di dinding itu rusak atau direbut si virus!”

Ekspresi heran Dyna berubah dingin. “Oh, jadi itu sebabnya kita bertiga bergaya aneh-aneh dan berubah menjadi terlalu tampan atau cantik seperti di game-game ultra high definition generasi terbaru? Itu pengaruh si virus terkuat?”

“Oi, sekali lagi bilang Bun langsing, Bun serang kau, bun~!” Bun menghardik Dyna.

“Yap,” tanggap Vajra. Gayanya telah berubah biasa-biasa saja, dan kulitnya kembali jadi kulit alami manusia. “Hewanurma telah memasukkan antivirus dalam tubuh dan auraku, jadi aku kini bebas virus. Ayo, biar kubantu mengeluarkan virus dari tubuh kalian berdua!”

Bun bertepuk tangan dan melompat-lompat di tempat. “Hore, Bun bisa jadi gendut lagi, bun~!”

Sebaliknya, Dyna hanya terpaku dan tertunduk saja di tempat. Lalu bibit bak delima merekahnya berujar, “Hmph. Jangan harap aku terjebak taktikmu lagi, Vajra.”

Vajra mengerutkan dahi. “Apa maksudmu, Dyna?”

Si cantik berpenampilan maskulin itu mengibaskan poni rambut ungunya, suaranyapun dibuat-buat seperti lakon melodrama. “Aku, Dyna Might sengaja mengajukan diri untuk mengikuti turnamen pendekar antar-ranah ini. Aku di sini untuk menang, jadi juara dan mendapatkan hadiah yang paling kuinginkan.”

Bun menyela, “Hadiah apa itu, bun~?”

“Ra-ha-si-yaah!” jawab Dyna dengan nada centil. Lalu suaranya kembali maskulin. “Yang pasti, itu jauuuh lebih hebat daripada segala harapan siapapun juga!”

“Oke, aku takkan tanya lebih jauh tentang hadiahnya. Yang lebih penting, apa kau akan meraih ‘hadiah turnamen’ itu dengan menghalalkan segala cara?” sergah Vajra.

Jawaban Dyna singkat saja, “Ya.”

“Terserah apa kau berminat untuk tahu atau tidak. Keberadaanku di sini adalah kesempatan untuk menempa jiwa-ragaku agar menjadi pendekar tangguh, tulus hati dan bijaksana. Namun kunjungan Hewanurma menambahkan satu misi baru untukku, yaitu membantu melindungi segala yang baik dan nyata di Dunia Alforea ini. Apakah Hewanurma telah mengunjungi kalian berdua pula?”

Bun mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya. “Ya. Bun mau bantu Vajra, bun~”

“Hewanurma telah mengunjungiku secara holografis, tapi apa peduliku dengan Alforea? Aku di sini untuk menang dan jadi juara, hanya itulah yang paling berarti bagiku,” tandas Dyna, kali ini tanpa gaya apapun. Ekspresi wajahnya mendadak hilang, tatapannya kosong seperti kerasukan.

“Jadi apa maumu sekarang?” Vajra langsung siaga, pasang kuda-kuda pencak silat.

“Kalaupun harus menghancurkan seluruh ruangan ini dan seluruh eksistensi kita semua, akan kuhabisi kalian berdua dulu dengan serangan pamungkasku ini. Shout Sphere – Augmentation!”

Saat mantra terucap, sebuah bola yang terus berpusar seperti badai tornado sebesar bola tenis muncul di depan kedua telapak tangan Dyna yang teracung lurus. Efek visual berlebihan berupa bunga-bunga ungu ikut berpusar bersama bola itu.

“Jangan harap!” Sambil berseru garang, Vajra menghantamkan tinju petir ke arah Dyna. Namun tinju itu dimentalkan oleh prana pelindung yang rupanya jadi amat kuat saat lawan mengerahkan pamungkas ini. Si dalang petir mundur, dahinya berkerut tanda sedang berpikir keras.

Dyna bahkan menambah tenaga psikis, membuat bola badai itu berangsur-angsur membesar. Walau kini jadi sebesar bola basket, tekanan udara yang ditimbulkannya amat dahsyat dan menyesakkan.

“Biar Bun saja! NEXUS MEREDITH, BUUUUNNNNN~!” Bun merapal mantra sambil berteriak sekeras-kerasnya selama sepuluh detik. Selama itu pula, Vajra yang mendengarnya terpana seketika.

Namun, bola badai Dyna malah jadi sebesar enam bola basket ditumpuk jadi satu dalam bentuk gumpalan. Si perapal bola tersenyum. Jeritan Bun itu tak mampu menembus prana angin-suara pelindung Dyna, dan malah terserap ke dalam bola badai. Tapi Dyna tak langsung meledakkan bola itu. Mungkinkah ia benar-benar berniat menghancurkan balairung ini beserta kedua lawannya dengan ledakan maha dahsyat? Gawat, ternyata si virus terkuat dan terganas telah sepenuhnya menguasai benak Dyna!

Melihat itu, Bun menepuk dahi, menyesali kebodohannya. Di sebelah Bun, tampak seorang wanita cantik muncul dari semacam portal cahaya sihir. Anehnya, wanita itu mengenakan pakaian putih yang amat ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang sangat indah dan menutupi paha hingga hampir seluruh dada. Lengkap dengan bando telinga kelinci menghiasi rambut seputih kapasnya, penampilannya bagai model majalah khusus dewasa.

Melihat wanita itu, Bun ternganga. “Lho, k-kamu ini M-Meredith, bun~?”

“Tentu caja!” Gaya bicara Meredith lebih genit daripada Dyna. “Memangnya aku ini cia... Astaga, kok cepupu Bunny Bun jadi lebih kecil dan kuruc begini, mom~?!”

“Kecil dan kurus? Aaaghh!” Bun mengerang frustrasi, lalu mendadak perhatiannya terpusat kembali. “Oya Edith, tolong redam bola suara itu dong, bun~!” Ia menunjuk ke bola Dyna.

“Tak macalah! Light Doll, Form Sino, mom~!” Sambil merapal mantra, Meredith mengulurkan tangannya ke atas dan menggoyang pinggul montoknya. Seberkas cahaya seketika menyelimuti seluruh tubuh wanita itu. Cahaya itu lantas buyar, menampilkan Meredith yang mengenakan kostum singa yang beda warna namun gayanya sensual, senada dengan kostum kelinci tadi.

“Wah, bagus, Bun!” puji Vajra. Lalu ia berbisik, “Ayo Edith, Bun! Kita gunakan kekuatan Dyna untuk mengusir virus di tubuh kalian semua!” Ia lantas berlari menghampiri sasarannya.

Bun yang menyusul bersama Meredith bertanya, “Caranya, bun~?”

“Tetap di sampingku, Bun! Ikuti aba-abaku!”

Dyna yang melihat gelagat ketiga lawannya berseru, “Terlalu lambat! Musnahlah kalian semua!” Ia menghentakkan tangannya yang terulur, memicu ledakan bola gelombang suara.

Di saat bersamaan, Vajra ikut berseru, “Sekarang, Edith!”

Tanpa menunggu aba-aba tadi, Edith meraung keras-keras bagai singa betina. Gelombang suara Sino yang dilipatgandakan dayanya dengan mana alias energi sihir cahaya berhasil membungkus dan meredam bola suara raksasa Dyna selama lima detik, membuatnya tak jadi meledak.

Vajra lantas menghentakkan kesepuluh jari tangannya, kembali menebar Jaring Dalangsukma. Giliran jaring petir itu yang membungkus bola suara, lalu menjaganya agar tetap terapung di udara, di atas kepala pemuda berambut hijau itu.

Secepat kilat, Vajra menempelkan telapak tangan kanannya di punggung Dyna. Rupanya si rambut ungu itu dalam keadaan amat lemah setelah mengerahkan pamungkasnya, namun tatapan matanya masih tetap kosong. Secara bersamaan, sang dalang mengulurkan telapak tangan kirinya dan berseru, “Sambut tanganku, Bun!”

Tak perlu pikir panjang, Bun menempelkan telapak tangannya pada tangan Vajra. Sedangkan Meredith kembali meraung untuk meredam daya bola suara lagi selama lima detik, dan itu akan ia ulangi berkali-kali tiap jeda kira-kira sepuluh detik.

Sambil menghentakkan prana petirnya sendiri, Vajra mengalirkan prananya yang mengandung antivirus dari Hewanurma ke tubuh Dyna dan Bun yang masih terinfeksi. Dayanya ditambah dengan energi “pinjaman” dari bola suara Dyna yang dialirkan lewat jaring-jaring petir dan telapak tangan Vajra, dan “takaran”-nya diatur jangan terlalu besar, agar tak menghilangkan nyawa para “pasien”-nya.

Vajra bisa saja “main kotor” dengan memompakan banyak prana sekaligus ke tubuh kedua lawannya, namun ia tak melakukannya. Karena selain bertentangan dengan ajaran para gurunya, firasat Vajra berkata Dyna dan Bun lebih baik dijadikan teman daripada musuh. Jadi, kalaupun mereka harus saling mengalahkan, bahkan saling bunuh, semua itu harus dilakukan secara ksatria. Nanti saja acara berakrab-akrab rianya, bila mereka bertemu lagi di Kedai Alkima di Despera.

Kira-kira dua menit kemudian, usaha Vajra mulai menampakkan hasilnya. Prana yang ia alirkan berhasil mendesak virus digital dalam tubuh Dyna dan Bun, sehingga keluar dalam wujud asap hitam dari ubun-ubun kedua pendekar itu. Di menit ketiga, akhirnya seluruh virus menguap hingga tak bersisa.

Buktinya, kulit bertekstur ultra-high definition pixels Dyna dan Bun kembali terlihat seperti kulit alami. Wajah super cantik Dyna berubah jadi agak maskulin, lebih mirip wajah pria ketimbang wanita. Lebih drastis lagi, tubuh langsing Bun berubah seketika menjadi lebih pendek dan cenderung membulat seperti sediakala.

Meredith yang entitasnya terkait dengan energi gaib Bun juga berubah wujud dari wanita cantik nan seksi menjadi gnome langsing dengan wajah bulat seperti bayi perempuan, dua gigi seri paling tengah di bagian atas rongga mulutnya jadi amat besar seperti gigi-gigi kelinci.

“Horee! Bun gendut lagi! Horee, bun~!” Bun melonjak-lonjak kegirangan.

“Edith juga kembali ke cemula, puji Dewi Regina! Daah, Bunny Bun, mom~!” Tubuh Meredith lenyap seketika, karena batas waktu kemunculan nexus-nya selama lima menit telah habis.

Sedangkan Dyna terpuruk lemas di lantai, kehabisan prana auraudio.

Namun Vajra belum bisa bernapas lega. Bola Pusaran Suara Dyna masih terbungkus jaring petir dan bisa meledak setiap saat. “Menyingkir, Bun!” Sang dalang-pendekar lantas melompat tinggi-tinggi dan menangkap “bola maut” itu. Si gnome menyingkir segera, mulutnya tak kuasa berkata-kata saat ia menyadari aksi nekad rekannya itu.

Seperti pemain bola basket, Vajra membawa lari bola suara sambil memperkecil ukurannya dengan tekanan jaring prananya. Lalu, dengan gerakan gaya slam dunk, melompat dan terjun seperti akan melesakkan bola basket ke dalam keranjang, Vajra menghantamkan bola itu di tepat di tengah panggung pualam di titik pusat balairung bundar.

Teriring satu dentuman keras, energi bola suara yang sudah dimampatkan itu menghancurkan dan melubangi lantai, membuat satu ceruk besar sedalam kira-kira dua meter. Namun, imbas benturan bola dengan lantai itu membuat tubuh Vajra terpelanting. Ia terjerembab dengan keras di lantai dan mengerang, menahan nyeri.

Garis hitam tampak jauh lebih panjang daripada garis kuning pada health bar Vajra. Ingin ia bangkit, namun tubuhnya seakan menolak untuk bergerak. Vajra coba memaksa diri bangkit, tapi dia malah muntah darah dan terpuruk lagi. Satu pikiran terbit dalam benak sang dalang sakti. Virus digital sudah berhasil diusir, amanat Hewanurma telah kupenuhi. Tapi, haruskah perjuanganku berakhir di sini?

==oOo==

Akhirnya, tinggal Bun saja yang masih berdiri di arena. Bila ia mau, si gnome yang kembali jadi gendut itu bisa menghabiskan health bar kedua lawannya dengan pisau dapur. Namun, Bun tak kunjung mengambil senjata itu dari dalam ranselnya. Sebabnya? Usaha Vajra mengusir virus dari tubuh Bun membuat si kerdil kini lantas terduduk lemas, kehabisan tenaga pula.

Mungkin ini waktu yang tepat untuk istirahat sejenak, sebelum Bun, Vajra dan Dyna saling serang lagi, mempertaruhkan seluruh nyawa yang tersisa pada health bar mereka.

Kenyataannya, takdir sama sekali tak memberi mereka waktu untuk bernapas lega sekalipun.

Saat Vajra menegadah ke langit-langit, dilihatnya sekelumit asap hitam itu masih melayang-layang di sana. Tak hanya itu, asap hitam itu lantas menggumpal dan turun seperti helikopter hendak mendarat. Gumpalan itu terus bertambah padat, lalu membentuk sosok seperti manusia saat melayang dekat lantai.

Tak lama kemudian, asap padat itu mulai menampilkan bentuk kepala, tubuh, tangan dan kaki yang terpasang sempurna pada satu manusia wanita utuh. Muncul pula rambut berombak panjang sebahu, warnanya berangsur-angsur berubah dari hitam menjadi merah darah.

Lalu, kulitnya berubah warna menjadi seputih susu. Sosok wanita itu mengenakan pakaian berwarna merah bagai api menyala-nyala, dipadu-padan dengan motif-motif berwarna hitam seperti pada kain batik. Sepasang kakinya yang bersepatu bot merah tak menjejak tanah, tubuh semampainya melayang beberapa jengkal di atas ceruk tengah lantai balairung perpustakaan itu. Ditilik lebih seksama, lekuk-lekuk tubuh wanita itu amat menggoda iman, sama persis dengan tubuh Meredith versi model majalah khusus dewasa tadi.

Sebuah health bar muncul dan melayang tepat di atas kepala wanita itu. Warna garis hayat itu bukan biru yang menandakan wanita itu makhluk separuh dewa. Bukan pula putih untuk makhluk setara dewa. Itu hijau, penanda dia adalah makhluk alamiah berwujud manusia.

Bagai patung dipahat, wajah wanita itu lantas terbentuk dan memancarkan kecantikan tiada tara. Namun, sorot mata merahnya menyiratkan bara kekejaman dan murka yang tak dapat dipadamkan air sepenuh samudera sekalipun. Sebilah pedang dengan bilah berapi tergenggam di tangan kanannya, siap menghabisi para pendekar yang kini tampak tak berdaya semudah merebut mainan dari tiga orang bayi.

Si pendekar pedang wanita lantas mengerutkan dahinya dan berdecak kesal. Pasalnya, Vajra, Dyna entah memaksa diri atau sudah pulih tenaganya, bangkit dan berdiri setengah membungkuk, menghadap ke arahnya dengan tubuh berdarah-darah. Bun juga ikut berdiri. Suara wanita itu cukup merdu, tapi terdengar seperti suara gadis remaja. “Wah, wah, ternyata kalian bertiga berhasil mengusirku ya, walau dengan bantuan si Klan Nurma itu.”

Tak sengaja Vajra melihat pilar yang membelakangi wanita itu. Dengan darah yang masih menggenang di mulutnya ia berseru, “S-siapa kau!? Apa hubunganmu dengan Tamon Rah?”

Bun menoleh, dan Dyna mendelik heran ke arah Vajra. Si pendekar berjas putih yang kini berhiaskan bercak-bercak darah dari wajahnya sendiri itu protes, “Kenapa kau menyebut-nyebut Tamon Rah, Vajra?”

Vajra menunjuk ke arah salah satu pilar putih. Figur wanita yang terpahat di sana ciri-cirinya sama persis dengan sosok yang tengah mereka hadapi ini. Melihat itu, Dyna ternganga dan Bun yang agak rabun hanya terpaku, jantungnya berdebar-debar. Sosok yang ia “lihat” dengan Seismic Sense-nya ini memancarkan prana yang amat brutal, panas dan berapi-api.

Gadis yang rambutnya berkibar-kibar bagai kobaran api itu tertawa renyah. “Tentu saja ada hubungannya, karena akulah Tamon Rah!”

Tamon Rah, Dewa Kemurkaan Alforea ternyata adalah seorang wanita.

“Bukankah kau hores raksasa yang sudah kembali tersegel di Bulan Alkima, bun~!?” tanya Bun.

“Hores? Oh, itu. Wujud kuda raksasaku dan tubuh kasarku memang sudah tersegel kembali. Tapi coba pikir, untuk apa mereka repot-repot meretas sejarah masa laluku sesaat sebelum aku dipenjara Kakak Ruu? Lalu menampilkan diriku sebagai kuda terbang raksasa gila di Shohr’n, padahal aku belum pernah bertempur di sana?” Ternyata Tamon Rah adalah adik Tamon Ruu.

“’Mereka’? Siapakah para peretas itu?” Vajra mencoba-coba mengorek informasi.

“A-a-ah!” Tamon Rah menggoyangkan jari telunjuknya yang teracung. “Apa kau pikir aku akan membuka identitas ‘mereka’ padamu? Dasar naif. Begini saja, daripada kalian terus menyinggung kecerdasanku, aku punya cara yang lebih baik. Coba-paksa-aku-bicara.” Gaya goyangan telunjuk Rah berubah, itu jelas isyarat tantangan terang-terangan.

Dyna berseru, “Aggression!” dan maju bersama Vajra. Sambil terus berlari mengelilingi balairung, keduanya menembaki Tamon Rah dengan rentetan panah petir dan gelombang suara.

“Cih, mainan anak-anak!” Dengan kecepatan melebihi sambaran halilintar, sang dewi berambut merah mengayunkan dan memutar-mutar pedang apinya. Gilanya, tak terhitung panah dan gelombang yang telah ia tangkis dengan mudah.

Menyadari jurus pertamanya sia-sia, Vajra berseru pada Dyna, “Serangan jarak dekat!” Bagai harimau menerkam mangsa, si dalang petir meloncat lebih dahulu ke arah Rah. Kedua tinjunya tampak berpendar, sarat prana petir Brajamusti.

Mendelik seolah bosan, si rambut merah cepat menebaskan pedangnya. Namun si sasaran, Vajra malah menjejak sisi pipih bilah pedang itu dengan sepatunya yang terlindung prana, dan bersalto balik. Rah menebas ke bawah, namun Dyna telah lalu menghampirinya.

Sambil menebas-nebas dengan lengannya, Dyna berseru, “Cras, cras, cras, cras!” terus-menerus. Refleks, sang dewi kembali mengayunkan pedangnya untuk menangkis, namun si pendekar bertopi fedora sudah kembali mundur. Giliran Vajra memberondong tubuh dan wajah Rah dengan puluhan tinju petirnya. Wanita itu terkena telak dan terpukul mundur. Untuk pertama kalinya – entah sejak kapan – darah merembes dari sisi bibirnya.

Ketiga pendekar mengambil kesimpulan seketika, wujud Tamon Rah ini bukan dewi dan bisa dilukai layaknya manusia. Namun diukur dari aksinya sejak awal, wanita pendekar itu adalah manusia super atau hampir bisa disebut manusia setengah dewa.

“Menyebalkaan!” Setitik darah saja yang keluar cukup membuat si rambut merah merangsek dengan pedangnya ke arah Vajra. Intuisi mendorong Vajra untuk mundur dulu ke dekat Bun.

Dalam jarak serang, Bun memukul tanah dengan telapak tangannya dan berseru, “SPARK!” Arus petir segera menjalari lantai ke segala arah bagai gelombang kejut. Vajra dan Dyna yang kini dianggap teman mendapat asupan kekuatan sehingga mereka dapat bergerak dua kali lipat lebih cepat. Tamon Rah yang kakinya tak menjejak tanah tak terkena gelombang ini sama sekali.

“Aggression!” Kali ini Dyna kembali menembakkan rentetan gelombang suara penghancur sambil bergerak dan berlari lebih lincah lagi. Rah menangkis sambil menghindar, namun panah-panah petir Vajra menerjang dari arah lain lagi. Berkat pergerakan yang lebih cepat, dua panah Vajra dan satu gelombang suara Dyna berhasil menghantam tubuh Rah. Namun hunjamannya diredam prana pelindung berunsur api yang melapisi tiap jengkal raga sang dewi.

“Sudah kubilang, percuma sa… urrgh!” Tiba-tiba Tamon Rah merengkuh perutnya bersamaan dengan suara “BUM!” Dyna. Rupanya salah satu panah Vajra menembus cukup dalam, dan Dyna memanfaatkannya dengan menambahkan “ledakan dari suara” tepat di panah itu. Kombinasi dua daya penghancur itu membuat Rah menderita luka dalam.

Efek bara api berkobar di mata si pendekar berambut merah. Sebelum Vajra sempat menggerakkan otot-ototnya, Rah sudah melesat bagai tak kasat mata, menebaskan pedangnya berkali-kali, lalu menghentikan langkahnya di balik punggung si pewaris pusaka dewata itu. Vajra terpaku sedetik, lalu terpelanting ke belakang dengan pakaian dan jaket beskap coklatnya terkoyak-koyak. Darah memercik dari luka-lukanya, lalu jatuh bagai hujan rintik-rintik di lantai.

“Tarian Bara Murka Dewata, Tahap Satu,” ujar Tamon Rah, berjalan menjauh tanpa menoleh. “Anggaplah ini kehormatan bagimu mencicipi salah satu andalanku. Mungkin kau memang sangat kuat, Vajra, namun itu tak ada apa-apanya dibanding segenggam kuasa dewata milikku. Selamat tinggal, pendekar yang – katanya – mengemban amanat pahlawan!”   

Vajra terkapar menelentang di atas genangan darahnya sendiri, garis hayat pada health bar-nya amat pendek, berwarna merah dan berkedip-kedip. Darah merah kehitaman menggenang di mulutnya, napasnya mulai sesak. Rasa nyeri di sekujur tubuh Vajra tak tertahankan lagi. Inilah rasa sekarat yang sudah beberapa kali ia alami. Saat bentrok pertama dengan Gangren-Rogohjiwo, di Padang Shohr’n, dan sebelum ini, di Los Soleil.

Tapi kali ini aku pasti mati, batin Vajra, mata hijaunya menatap lurus ke langit-langit kaca. Maafkan aku, para guru dari Pandawa, semoga kalian menemukan pewaris baru yang lebih pantas, lebih kuat dan lebih bijaksana dariku. Ia lantas menutup mata, melepas segala asa.

Suara Arjuna yang lembut terngiang, “Tidak. Hanya kau, Raditya Damian yang pantas menjadi pewaris Vajra, Buka matamu dan bangkitlah!”

T-tapi Tamon Rah itu manusia penyandang kekuatan dewata, seperti kalian!

“Dan tetap saja dia adalah manusia, ‘kan?” sambung Gatotkaca. “Dia darah dan daging. Walau ia hidup abadi secara alami, Rah masih bisa dibunuh, bukan?”

Dibunuh dengan apa? Kekuatan dewata?

“Tak perlu. Cukup satu jurus saja…” Gatotkaca memberikan solusinya. “Naga Pancanaka.”

“Topeng Pancanaka masih cacat. Tanpa itu, aku tak bisa mengerahkan pamungkas.”

Suara batin Bima menghardik keras, “Lantas kenapa kalau tanpa Zirah Vajra? Sudah kami katakan berkali-kali, jangan tergantung pada kesaktian zirah dewata! Kaulah yang harus menguasai kekuatan zirah itu dengan utuh dan sempurna! Kalau perlu, kerahkanlah semua jurusmu tanpa bantuan benda, senjata atau alat apapun, itu baru namanya pendekar sejati!”

“Selama masih ada napas dalam tubuh, pewaris Vajra pantang menyerah!” seru Gatotkaca.

Arjuna berseru pula, namun dengan nada agak memelas, “Bangkit, Vajra. Bangkit! Kerahkan prana pamungkas dari segala pamungkas! Cepat, mumpung Dyna dan Bun sedang mengulur waktu, membuat si Tamon Rah itu kewalahan dan tak sempat menghabisimu tadi! Jangan mati dulu, Vajra! VAJRA!”

Hening. Tak ada jawaban. Mungkin Vajra telah benar-benar menyerah dan ajal telah menjemputnya. Mungkin… sebenarnya si pahlawan super sedang mencoba menghimpun prana, sedikit-demi-sedikit. Wajahnya mulai berkedut-kedut di balik topeng separuhnya, lalu dahinya mengerut. Ya. Aku masih akan mengukir sejarah di Indonesia. Aku telah membaktikan kekuatanku pada kebaikan, seperti tekadku saat pertama kali kudapatkan “bakat” ini.

Sejenak, kenangan Vajra melayang kembali ke masa kecilnya sebagai Radith dulu. Rambutnya lumayan pendek, dan ia suka poninya yang menutupi hingga separuh mata kiri. Suatu hari, rumah Radith di Yogyakarta terbakar hebat akibat hubungan pendek arus listrik alias korsleting. Penyebab korsleting itu tak ia ketahui, namun itu terjadi di tengah malam, saat Radith dan kedua orangtuanya sedang tidur nyenyak.

Radith, orang pertama yang terbangun di tengah kobaran api itu cepat-cepat mengguyur dirinya sendiri dengan air dan keluar kamar dengan menerobos api. Tindakan yang cerdik menurut anak laki-laki berusia delapan tahun itu. Radith lari ke kamar yang paling dekat dengan kamarnya, menggedor-gedor pintu sambil berseru, “Ayah, ibu, bangun! Ada kebakaran! Bangun ayah, ibu!”

Tak ada jawaban dari dalam, jadi Radith mencoba membuka pintu. Pintu kamar ternyata tak dikunci, dan ia masuk. Di dalam, si anak berambut hijau itu menjerit. Kedua orangtua Radith tergeletak dengan lengan terkulai di atas genangan air di lantai. Ada percikan-percikan seperti arus listrik di permukaan air itu. Si bocah yang tak tahu arti gejala itu berniat menyelamatkan ayah-ibunya dan melangkah tanpa alas kaki, menginjak genangan air. Tanpa ampun, seluruh tubuhnya tersetrum. Itulah rasa hampir mati pertama kali yang dialami Radith seumur hidupnya.

Saat musibah berlalu, satuan pemadam kebakaran menemukan Radith ternyata masih hidup di tengah genangan air. Padahal aliran listrik yang terhantar air terus merasuki tubuh ketiga korban tanpa henti, bahkan menewaskan kedua orangtua Radith. Karena Radith tak punya sanak-saudara dekat, seorang dukun yang mengaku dirinya teman Keluarga Damian menawarkan diri merawat dan membesarkan anak sebatang kara itu. Nama asli sang dukun jarang disebut, dan namanya setelah terkenal adalah Ki Rogohjiwo. Akibat kali pertama sekarat itulah, Radith malah memiliki kekuatan berupa tenaga dalam berelemen petir.

Kembali pada Vajra yang baru tersadar dari lamunannya dan membuka mata. Sebentuk prana petir yang nyaman merasuki tubuhnya bagai dikenai alat pacu jantung. Pelakunya tentunya Bun, yang sedang mengerahkan ilmu Art of Artifice, memperbaiki dan untuk sementara memperkuat daya gaib Topeng Pancanaka. Karena si gnome menggunakan prana petir untuk melakukan aksinya, energi untuk perbaikan itu ikut terserap dalam tubuh Vajra, sedikit memperbaiki kondisi tubuhnya. Tandanya, garis merah pada health bar sang dalang kini sedikit lebih panjang dan tak berkedip lagi.

“Ah, syukurlah kau sudah sadar, bun~” ujar Bun lirih saat proses perbaikan rampung.

Vajra mendelik heran. “Lho… Kok kamu... merawatku? Mana Dyna?”

“Dyna sedang menyibukkan Tamon Rah dengan pedang apinya yang tadi berhasil kurebut. Dengan jurus baru yang ia teriakkan, ‘Acceleration!’ Ia bisa bergerak dengan kecepatan suara dan menebasi prana pelindung amat tebal sang dewi. Kurasa kini dia mampu mengatasi Rah, jadi  Bun bisa merawat Vajra, bun~”

Mendengar itu semua, Vajra tersenyum lega. “Terima kasih, Bun. Kau memang adikku yang baik. Sebentar lagi ya, biar aku berusaha bangkit dan membantu Dyna.”

“Yaay!” sorak Bun girang. “Ini, biar Bun percepat Vajra pulih dengan Spark…”

Si gnome tak melanjutkan kata-katanya. Vajra coba menajamkan matanya, tampak sebilah besi berkobar menembus hingga mencuat di dada Bun. Pelakunya ternyata adalah Tamon Rah yang ternyata berhasil merebut kembali pedangnya dari Dyna.

“Makhluk ceroboh yang terlalu lembut hati, lebih baik mati!” Dengan tatapan nyalang, wanita berambut panjang merah itu mencabut kembali pedangnya.

“Bun!” Vajra hampir menjerit histeris.

“Maju terus… Vajra, bun~!” Teriring kata-kata terakhirnya, Bun roboh terkapar di lantai. Health Bar-nya yang seluruhnya berwarna hitam kini benar-benar kosong. Tubuh gnome kecil itu terurai seketika menjadi pendaran kode-kode biner komputer. Lalu rentetan kode itu membubung, menyelusup ke dalam salah satu buku yang bertengger di rak dinding balairung perpustakaan itu.

“Tamon Rah! Dasar dewi tak berhati!” umpat Vajra, suaranya serak, sarat duka, tercekat darah dalam mulutnya sendiri. “Bahkan Bun yang tak berniat membunuhmupun tak kauampuni!”

“Salahkan saja Hewanurma, mengirim pendekar selembek dia untuk menghalangiku,” dalih Rah.

“Bun sama sekali tak lemah! Malah sebenarnya dia lebih kuat daripada aku, Dyna, bahkan hampir semua peserta turnamen lainnya!”

“Apa buktinya?”

“Bun telah membangkitkan dan memperkuat diriku! Dia juga merebut pedangmu untuk membantu Dyna!  Nurani murni mencegah Bun langsung memakanku saat aku digigitnya, mendorongku untuk tak mengambil kesempatan dalam kesempitan! Itulah yang membuat Bun menjadi sekutu berharga tak terhingga!”

Penjelasan Vajra itu ditanggapi dingin bagai angin lalu oleh si rambut berkibar. “Jangan mengada-ada! Bun itu sangat lemah, pantas saja dipilih si pengkhianat Klan Nurma itu sebagai tumbal! Kalau kau memang berduka, Vajra, biar kucabut nyawamu supaya kau bertemu lagi dengan ‘adik’-mu itu di neraka!”

Berteriak nyalang bagai wanita pejuang, Tamon Rah mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, siap membelah tubuh Vajra jadi dua.

Ingin Vajra balas menyerang pertahanan Rah yang terbuka lebar karena gerakan yang amat meremehkan lawan itu. Namun tubuhnya tak dapat digerakkan.

Dalam detik itu pula, sebentuk Bola Badai Suara sebesar bola voli telak menghantam dada Tamon Rah. Rupanya, Dyna Mightlah yang memanfaatkan kelengahan sesaat si wanita seperempat dewi itu.

Kekuatan bola suara raksasa telah dimampatkan dan dikonsentrasikan hingga ukurannya jauh lebih kecil. Dan itu cukup untuk memukul Tamon Rah mundur beberapa meter, memperpendek garis hijau pada health bar-nya hingga berubah warna jadi kuning.

Dyna berdecak kesal. “Ah, ternyata variasi Shout Sphere tak cukup untuk menumbangkan Rah! Acceleration!” Denga sisa prana auraudio-nya, Dyna mengerahkan jurus Sonic Step, berpindah tempat dengan kecepatan suara selama tiga detik, menjauhi si musuh digdaya.

“Dasar manusia-manusia menyebalkaaan!” Tamon Rah buang ludah campur darah ke sampingnya, sambil merengkuh luka dalam di dada kiri-atasnya. Lalu ia berlari maju, merangsek ke arah Dyna yang masih berdiri tegak. “Mati sajalah kau, Dyna Might!”

Di sisi lain, Vajra berusaha bangkit berdiri. Asupan prana petir dari Bun dan yang telah ia himpun sejak tadi sedang menunggu untuk diledakkan. Takkan kusia-siakan pengorbananmu ini, Bun! Pikiran itu makin menguatkan tekadnya.

Namun, saat sampai di posisi berlutut, tatapan Vajra beralih ke jeritan Dyna yang baru ia dengar. Itu bukan efek suara untuk jurus, tapi murni jerit kesakitan. Tampak Tamon Rah sedang menebaskan pedangnya berkali-kali ke tubuh langsing Dyna, lalu melesat dan menghentikan langkahnya dua meter di balik punggung lawannya. Bedanya dengan jurus yang menyerang Vajra tadi, puluhan berkas prana bagaikan bilah belati berapi menancap di sekujur tubuh Dyna.

Tanpa menoleh, Tamon Rah menjentikkan jarinya. Bilah-bilah api itu berledakan seperti dinamit, teriring jeritan pilu Dyna Might. Dengan pakaian dan tubuh hangus dan bagian dalam tubuhnya hancur-lebur, si penjaga pintu di Klab Malam State of Smile itu berkata lirih, “Setidaknya... aku mengakhiri tarung ini... dengan gegap-gempita... dengan topi masih di kepala...” Health bar di atas topi fedora itu sudah hitam semua pertanda hampa, sesuai dengan warna favorit Dyna yang sesungguhnya.

“DYNA!” teriak Vajra. Namun sudah amat terlambat kini, tubuh insan penggila kebersihan itu terurai cepat menjadi pendaran kode-kode biner nol dan satu berwarna putih. Seperti halnya Bun, “roh data” Dyna Might membubung dan menyusup pula ke dalam buku perpustakaan.

Sambil kembali menghimpun prana api, Tamon Rah, sang dewi dalam raga manusia itu berjalan amat perlahan ke arah si lawan terakhir, melenggak-lenggokkan pinggul gadis remajanya. “Itu tadi Tarian Bara Murka Dewata, Tahap Dua. Nah, Vajra, biar kaucicipi rasanya jurus tahap tiga pamungkasku, agar kau menyadari perbedaan kekuatan kita yang sejauh langit dan bumi sebelum berangkat ke akhirat bersama Bun dan Dyna.”

Masa bodoh. Vajra tak mau berbasa-basi lagi pada iblis bengis ini. Pemuda itu menghentakkan kedua tangan dan kakinya sambil kembali berdiri tegak, pancaran prana petirnya bahkan membuat rambut hijau panjangnya yang kini terurai berkibar-kibar, seakan tersapu badai. Mata kuning pada topeng merah separuh yang dikenakan Vajra berkilat-kilat. Di saat yang sama, entah itu efek dari sisa virus dalam tubuhnya atau bukan, bayangan sosok manusia perkasa bernama Bima, ksatria terkuat Klan Pandawa muncul di balik punggung Vajra.

“Pamer kekuatan sebelum mati? Gaya sekali, untuk seekor semut kecil!” Tamon Rah lantas berjalan lebih cepat, mengibaskan pedang berapinya ke satu sisi.

Dengan satu entakan, bayangan Bima meninju lurus dengan tangan kiri yang menggenggam salah satu senjata andalannya, Kuku Pancanaka. Secara bersamaan, Vajra juga menghentakkan kedua telapak tangannya lurus ke depan. Dari kedua telapak yang saling bersentuhan itu melesatlah semburan petir besar yang ujungnya berbentuk kepala naga. Itulah gerakan pembuka jurus pamungkas Vajra untuk duel, Naga Pancanaka.

Naga petir melesat secepat kilat, langsung mengancam tubuh Tamon Rah. Namun pendekar pedang itu dengan amat lincah mengubah dan mempercepat arah larinya, berusaha menebas dari sisi samping tubuh lawan.

Diserang seperti itu, Vajra tak hilang akal. Sejak tadi ia berlari pula kesana-kemari, mengendalikan arah terbang naga petir itu dan terus mencecar Rah. Selama hampir semenit, kedua petarung bagai kejar-kejaran, namun Vajra tetap berkonsentrasi penuh dan berhati-hati agar jangan sampai serangannya merusak “buku-buku data” di dinding.

Masalahnya, gelagat Vajra itu justru dimanfaatkan lawan. Saat mendekati dinding, Tamon Rah sengaja melompat tinggi-tinggi. Refleks, sang dalang menggerakkan “naga”-nya yang bagaikan wayang ke atas. Namun tanpa diduga, kaki Rah menjejak dinding perpustakaan dan bertolak, tubuh lenturnya bersalto tinggi-tinggi ke belakang.

Refleks, Vajra berkelit ke samping sambil mengayunkan kedua tangannya. Naga petir berbelok tajam, namun tubuh panjang bagai ular raksasanya sempat menyerempet dinding, merusak beberapa buku di sana. Saat Vajra mencoba mengendalikan lagi naga itu ke sasarannya, tiba-tiba Tamon Rah sudah muncul di hadapannya. Sialnya, wanita itu sudah masuk jarak serang pedang.

Maka terjadilah. Tanpa ampun, Tamon Rah menebas-nebaskan pedangnya. Efek jurus Tarian Bara Murka Dewata, Tahap Tiga ini adalah larik-larik bagai bilah-bilah golok api raksasa yang langsung melukai dan membakar tubuh sasarannya. Vajra terpaksa menarik kembali naga petir ke sisinya, namun beberapa tebasan sudah lebih dahulu mendarat di tubuhnya.

“Haha, pamungkasku lebih unggul darimu! Selamat jalan, Vajra si Dalang Petir!” Sebagai gerakan penutup, Rah menusukkan bilah pedangnya lurus-lurus, berharap membobol Zirah Antakusuma dan menembus jantung lawannya. Lalu ia akan meledakkan prana api pada bilah pedang itu, menghancurkan raga dan menegaskan kekalahan total dan mutlak Vajra. Namun, mata merah si rambut merah terbelalak mendadak, bilah membaranya hanya menusuk udara.     

Rupanya Vajra sengaja melompat tinggi-tinggi secara vertikal, dibantu daya dorong dari naga petirnya. Saat Tamon Rah menoleh ke atas, tubuh Vajra yang kini terbungkus prana dan seakan menyatu dengan Naga Pancanaka terjun lurus, bagai naga raksasa hendak melahap mangsanya.

Naga petir menghantam tubuh Rah hingga membuat ceruk baru di lantai pualam itu. Pedang di tangan si pendekar wanita terlepas, tubuhnya terkapar dan kejang-kejang.

Sebelum lawan sempat membalas, Vajra berteriak, “Rasakan, Tamon Rah! Ini untuk semua orang yang telah kaubunuh!” Hantaman pertama tinju petir, variasi jurus Naga Pancanaka menghunjam perut Rah. Wanita itu mengerang, mencicipi derita semua korbannya.

“Ini untuk Dyna!” Tinju kedua seakan melesak di dada kiri-atas wanita itu, membuka kembali luka lama yang ditorehkan Dyna hingga Rah muntah darah.

“Dan ini untuk BUN!” Bagai mengayun palu, Vajra menghantamkan kedua tinju terakhirnya bersamaan, tepat di wajah wanita cantik itu.

Raga kasar Tamon Rah kini luluh-lantak, napasnya terputus. Darah mulai menggenangi ceruk tempatnya berpulang ini.

Saat melihat health bar yang seluruhnya hitam, tanpa sedikitpun titik merah di atas wajah remuk wanita berambut merah itu, Vajra baru menyurut mundur dan menjaga jarak. Pasalnya, health bar-nya sendiri sudah merah seujung kuku dan berkedip-kedip. Ia lantas jatuh bertekuk lutut, darah segar menyembur dari mulutnya.

Sesaat kemudian, Vajra terperanjat melihat Tamon Rah sudah berada tepat di hadapannya. Vajra ingin menyerang lagi, namun seluruh tubuhnya sudah lemas, kehabisan daya dan prana.

“Terima kasih, Vajra. Kau telah menyelamatkanku dari ‘penjara’ ini,” ujar Tamon Rah. Heran, kali ini suaranya lebih lembut dari suara Tamon Ruu. Yang lebih mengejutkan lagi, ekspresi wajah wanita itu terkesan lembut dan tulus, memancarkan citra kecantikan yang melebihi grafis ultra high definition paling halus sekalipun. Ia masih mengenakan pakaian tempur merah tadi, namun seluruh sosoknya tampak buram, cenderung transparan.

“A-apa maksudmu?” Wajah Vajra terlalu pucat untuk mengekspresikan kebingungannya.

“Para peretas itu telah memperbudak diriku lewat kenangan masa laluku yang tersimpan rapat dalam database ini Alforea ini,” kata Rah. “Mereka memaksaku melakukan banyak pembunuhan, dari prajurit Alforea, para peserta turnamen, bahkan juga anak-anak tak berdosa.”

Suara Vajra makin lemah. “B-bukankah kau memang... Dewi Kemurkaan?”

“Ya, memang itulah peranku sebagai penguasa segala api di Alforea. Tapi aku selalu tebang-pilih, bersikap seadil-adilnya sebelum mengayunkan Pedang Api Keadilan itu.” Tamon Rah menunjuk ke pedang yang tergeletak di lantai, bilah merahnya tak berkobar lagi.

Rupanya itulah jati diri Rah yang sebenarnya. Percaya atau tidak, kalaupun ia berbohong, roh Rah takkan bisa melukai Vajra.

“Siapakah... yang telah... memperbudakmu? Siapa... mereka?” tanya Vajra.

“Ah, ya, pertanyaan yang tadi itu,” ujar Rah. “Aku tak ingat nama-nama mereka, bahkan penampilan mereka. Mereka telah menghapus informasi itu saat menjadikanku cybervirus. Tapi aku masih ingat, salah seorang dari mereka sering menyebut-nyebut ‘Pengkhianat Klan Nurma’ dengan nada bermusuhan. Kurasa itu ditujukan pada Hewanurma, Administrator Alforea.

“Ah, begitu rupanya.... Terima kasih... untuk petunjukmu ini... Tamon Rah,” kata Vajra. “Pergilah... dalam damai.”

Tamon Rah mengulum senyumnya yang terindah dan tercerah. “Sebagai tanda terima kasihku, terimalah pedangku yang telah disucikan ini. Semoga ini dapat membantumu dalam misimu membela Alforea.”

Sebelum Vajra sempat buka suara, Pedang Api Keadilan telah terurai menjadi kode-kode biner putih dan merasuk ke dalam lambang bintang emas Zirah Antakusuma.

“Oh ya, satu hal lagi,” ujar roh Rah. “Bila kau bertemu seorang peserta turnamen bernama Bu Mawar, tolong sampaikan bahwa aku tak pernah bermaksud membunuh anak didiknya, sekaligus permintaan maafku. Lagipula, semua anak SD Sukatarung yang terbunuh sudah dihidupkan kembali dan dikembalikan ke tempat asal mereka.”

“Baik, aku akan menyampaikan pesanmu itu. Dan aku akan membalaskan penderitaanmu pada para peretas itu.”

Rah menghela napas lega, segala ganjalan di hatinya terlepas sudah. “Dengan ini, aku akan menjalani pengasinganku di Bulan Alkima dengan tenteram. Semoga keberuntungan tetap menyertaimu, Sang Vajra.” Tamon Rah mendekat, lalu mengecup bibir Vajra dengan lembut dan perlahan.

Dengan perlahan pula, raga kasar dan roh Tamon Rah terurai menjadi cahaya kode-kode biner putih, lalu membubung dan keluar lewat langit-langit kaca balairung perpustakaan.

Baru saja Vajra menyaksikan Tamon Rah lenyap, satu sosok lain muncul sebagai citra bayangan holografis di hadapannya. Dialah pria yang pernah mendatangi si dalang petir dengan cara yang sama. Hewanurma, Sang Administrator Alforea.

Pria berjanggut putih, berambut putih panjang dan mengenakan jas panjang dan kemeja serba putih itu tak lantas menyambut Vajra. Setelah melayangkan pandangan ke sekelilingnya, barulah ia bicara. “Wah, ada beberapa data terpenting yang rusak dan terhapus akibat pertarungan tadi. Tapi untunglah virus ‘dewa’ itu tak sampai menyebar. Kerja yang bagus, Vajra.”

Vajra mendelik lemah. Apa yang terjadi dengan kata “terima kasih”? Setidaknya ia sempat mendengarnya dari roh Tamon Rah tadi.

Hewanurma baru bereaksi saat tahu Vajra diam saja. Ia menghampiri si dalang petarung, melihat kondisinya dan baru mengangguk. “Atas nama panitia Battle of Realms, aku berterima kasih padamu, Vajra. Berkat perjuanganmu, turnamen ini bisa dilanjutkan lagi.”

Vajra menggeleng. Dengan napas satu-satu, ia berjuang amat keras untuk bicara. “Bukan hanya aku... tapi juga... Bun... dan Dyna. Tanpa bantuan... mereka... mustahil kami... bisa membasmi... virus dewa itu....”

“Ah ya, aku akan menyambut mereka bila mereka juga berhasil lolos nanti. Tapi! Aku tak suka sikapmu pada si dewi kuda binal itu.”

“Bisa apa lagi aku... dalam kondisi seperti ini?” Vajra juga tak punya daya lagi untuk berdebat dengan Hewanurma. Tatapan matanya memelas, seolah memohon agar dikeluarkan dari tempat ini sebelum mati. “Lagipula.... namanya Tamon Rah. Walau ia musuh... setidaknya kita bisa... menunjukkan sedikit... rasa hormat.” Ia lantas menyampaikan petunjuk Rah tadi tentang para peretas database Alforea.

Hewanurma mendengus. “Huh, apa boleh buat. Sudah kuperingatkan kau, Vajra. Kenali musuh yang sesungguhnya.”

“Ya... aku masih ingat itu.”

“Bagus.” Hewanurma menunjuk ke lantai tempat Vajra masih berlutut seolah-olah sedang menyembahnya. Sebuah portal gaib berupa lubang hitam terbentuk di sana, dan tubuh Vajra seakan tenggelam ke dalam portal yang seperti kolam cairan hitam itu.

==oOo==

“Wah, ternyata benar kondisi tiap peserta dipulihkan sepenuhnya dalam portal gaib,” kata Radith sambil melayang bebas melalui jalur penghubung antar ranah ini.

Tak mengenakan zirah dan identitas Vajra, kini Radith berbincang-bincang dengan ketiga wayang golek yang melayang bersamanya, saling terhubung dengan jaringan benang petir.

“Benar juga,” ujar Wayang Gatotkaca. “Kau ‘kan pingsan saat kembali dari Shohr’n, jadi kita baru memahami ini sekarang.”

“Ngomong-ngomong, penampilanku dalam pertarungan tadi keren total ‘kan?” Wayang Arjuna merujuk pada citra bayangannya dalam pertarungan di perpustakaan tadi.

“Ngg... Ya, keren, keren!” Sebenarnya Radith tak tahu itu karena Arjuna muncul di belakangnya. Tapi jawaban lain pasti bakal membuat guru yang wujud manusianya setampan dewa itu merajuk.

Wayang Bima angkat bicara, “Nah Radith, terus terang tindak-tandukmu tadi membuatku bertanya-tanya. Karena kau telah dilibatkan dalam konflik di Ranah Alforea ini, pada siapakah kau akan berpihak? Hewanurma, Tamon Ruu, Tamon Rah atau kelompok peretas misterius?”

Radith tercenung sejenak, lalu berkata, “Jujur, aku tak tahu apakah portal ini berujung di Alforea atau di Yogya. Namun, sesuai ajaran paman-paman Pandawa sekalian, di manapun bumi yang kupijak nanti, di sanalah langitnya kujunjung. Di sanalah aku akan terus berjuang, membela bumi itu hingga titik darah penghabisan.”



Kekuatan yang didapat atau disempurnakan oleh Vajra:

Naga Pancanaka: Di Ronde Kedua ini, Jurus Naga Pancanaka sudah dapat dikerahkan dengan sempurna. Jurus ini sudah dikuasai penuh lewat pengalaman tarung dan dorongan untuk menguasai penuh kekuatan Perangkat Zirah Vajra, bukan Vajra yang mengendalikan Radith. Terutama dengan bantuan Bun yang mengerahkan ilmu Art of Artifice: Buff – Augment untuk memperbaiki Topeng Pancanaka. Selain gerakan tangan, gerakan tubuh yang terbungkus prana juga bisa mengendalikan jurus ini, sehingga Vajra bisa berlari secepat sambaran petir dan melompat amat tinggi, seolah-olah terbang. 

Batasan: Pengerahan dan pengendalian jurus dengan ayunan tangan dan gerakan tubuh menghabiskan banyak prana. Juga perlu waktu kira-kira sepuluh detik – tergantung kondisi tubuh – untuk menghimpun prana tingkat pamungkas sebagai syarat utama pengerahan jurus ini.


Daftar Istilah dan Referensi:

Prana: Prana adalah nama lain dari tenaga dalam, chi atau chakra. Sumbernya adalah energi hayati yang terkandung dalam setiap makhluk hidup yang disebut aura, juga energi kehidupan dari setiap unsur alam sekitar yang disebut mana. Mana diserap oleh tubuh dan bersama aura diolah menjadi prana. Lalu prana disimpan dalam aura untuk nantinya dikeluarkan lagi dalam bentuk serangan penghancur, daya pemulih luka, energi pengganti asupan makanan dan lain sebagainya.

Pandawa Lima: Para pahlawan dan protagonis utama dalam Epos Mahabharata karya Walmiki. Mereka adalah para putra Pandu, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Gatotkaca termasuk dalam Klan Pandawa generasi kedua.

Wayang Orang: Tak seperti wayang kulit dan wayang golek, wayang orang adalah manusia-manusia sungguhan yang memerankan pelbagai tokoh dalam pentas sendratari (sandiwara dan tarian). Mungkin Radith akan beralih profesi sebagai sutradara wayang orang setelah BoR ini.

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia