Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

22 November 2015

[BATTLE OF REALMS 5 - SPECIAL MISSION] Vajra - Antakusuma Sejati






[SPECIAL MISSION]
VAJRA – ANTAKUSUMA SEJATI

Penulis: Andry Chang



Bio Laboratory, Hall of the Abyss

Baru beberapa detik berlalu setelah memasuki portal gaib, Vajra menemukan dirinya berada di luar portal lagi. Mata hijaunya terbelalak, bukankah ini tempat yang serupa dengan sebelumnya?

Dengan cepat Vajra berputar, menatap sekelilingnya. Meja-meja operasi dan segala peralatan seperti layaknya rumah sakit modern nan canggih tampak berantakan. Darah kering tampak menodai segala peralatan itu. Bau anyir merasuk hidung, seolah tempat ini lebih mirip rumah jagal hewan daripada laboratorium biologi.

Vajra menoleh lagi, mencari-cari rekan barunya, Hel si naga cilik. Namun naga itu tak tampak sama sekali di sekitar tempat ini. Yang lebih mengejutkan lagi, Arjuna, Gatotkaca dan Bima, para guru Vajra yang seharusnya sudah tahu isi pikiran murid mereka saat ini malah bungkam seribu bahasa, tak ada satupun kata dari mereka yang terngiang dalam benak si dalang petir itu.

Mungkinkah... roh-roh para guru itu juga tak ada di tempat ini?

Sebelum Vajra dapat mencerna dan mengambil kesimpulan dari situasi ini, pendengarannya menangkap suara-suara keras di kejauhan. Jadi, tanpa pikir panjang ia langsung berlari ke sumber suara itu. Toh kini ia benar-benar sendirian. Siapa tahu ia akan menemukan jawaban dari semua ini di ruangan sebelah tempat suara-suara itu berasal.

Tiba di ruang sebelah yang tampak seperti sebuah kantor eksekutif yang berantakan pula, Vajra terkesiap. Ada dua orang sedang berhadap-hadapan, seolah tengah bertarung di sana. Salah seorang dari mereka adalah sosok hitam yang tengah melayang-layang di udara. Dialah orang yang sebelumnya telah memporak-porandakan Koloseum Monster di Amatsu dan membantai banyak orang di sana, termasuk Netori dan Tarou.

Ingin rasanya Vajra langsung melabrak si pengacau Turnamen Battle of Realms itu. Namun ia tak lantas bergerak, karena tatapan matanya kini tertumbuk pada lawan si hitam. Si orang kedua itu tampak tak melawan, ia hanya berjumpalitan dan menghindar saja dari lembing-lembing sinar hitam nan tajam yang dilontarkan si sosok hitam. Mengenali rambut uban panjang dan janggut putih pria yang seharusnya amat tampan namun tampak berumur itu, kesimpulan datang seketika.

Itu... Hewanurma! Apa yang ia lakukan di tempat ini?

Saat matanya tertuju pada Vajra, Hewanurma seketika berjumpalitan lagi ke balik punggung pemuda berambut hijau panjang itu. Wajahnya tampak ketakutan, dan sorot matanya menyiratkan rasa syukur atas kedatangan Vajra ini. Tapi apa Vajra akan menolong Hewanurma?

Jawaban untuk itu datang seketika. Si sosok hitam menghentikan serangannya, lalu menunjuk lurus ke arah Vajra dan orang di balik punggungnya.

“Haha, dasar pengecut kau, Hewanurma!” ujar si hitam. “Semua klonmu di sini telah dihabisi olehku dan para peserta turnamen yang kubuat berlaga di sini, mengira ini masih bagian dari Battle of Realms! Tapi tak apa, anggaplah turnamen ini terus berlanjut dan kami jadi panitia sekaligus jurinya. Seperti rencana, enam peserta telah lolos ke babak selanjutnya, dan rekanku telah memindahkan mereka semua ke medan pertarungan yang lain.”

Astaga! Vajra terkesiap. Enam yang lolos telah berada di tempat lain... Jadi aku ini...?!

Seolah membaca pikiranku, Hewanurma bicara, “Maaf Vajra, aku terpaksa memanggilmu kemari dan meluluskan Eophi. T-tolong, lindungilah aku dari BlackZ!” Dengan tangan gemetar ia menunjuk ke sosok si hitam.

“Mengapa harus aku yang melindungimu?” Tatapan Vajra penuh selidik di balik topeng separuhnya. “Mengapa bukan Eophi, Asep Codet, Pitta atau peserta kuat lainnya?”

“Itu... karena... karena...” Ekspresi Hewanurma tampak terlalu panik, kata-kata sulit terbentuk dari mulutnya.

“Tutup mulut kalian! Percuma saja mengulur-ulur waktu!” Teriakan BlackZ membahana. “Aku sengaja memilih tempat ini karena aku tahu kau pasti akan sembunyi di sini, Nurma! Jadi langsung saja, untuk terakhir kalinya, serahkan Kotak Laplace padaku!”

Hewanurma memaksakan senyum. Ia bukan takut mati, tapi takut kelelahan, ditangkap lalu disiksa sosok “Dewa Hitam” ini dengan teramat keji sampai ia membeberkan segala rahasianya.

“Langkahi dulu Vajra, dan aku akan memberitahumu dengan sukarela,” tanggap Hewanurma.

“Sudah terdesak malah menggertak?” BlackZ tertawa dibuat-buat. “Netori saja sudah kukirim ke akhirat dengan sekali gebrakan, apalagi manusia pecundang turnamen yang menyedihkan ini!”

“Terserah apa katamu. Silakan coba saja, biar kau lihat sendiri, apakah Vajra memang seperti katamu itu atau tidak.” Hewanurma menatap Vajra sambil tersenyum penuh arti.

Mendapat kepercayaan dan diandalkan oleh salah seorang ketua panitia sejati Battle of Realms, mata di topeng Vajra berkilau keemasan, sarat tekad membaja. Sudah niat tulusnya untuk menolong siapapun  yang sungguh membutuhkan pertolongannya, tak terkecuali Hewanurma yang berjulukan “Dewa Teknologi” dan bukan petarung ini.

Vajra tak perlu mengatakan apapun. Walau masih tampak berdarah-darah, ia berdiri tegap dan gagah menghadapi musuh.

Dihadapi seperti itu, wajah serba hitam BlackZ menyeringai amat lebar. “Oh, jadi kau memilih untuk melawanku, ya? Dasar tak tahu diri! Kau ini sudah jadi pecundang, kalah oleh kekuatan takdir! Kalau tidak, kau tinggal melenggang ke pertarungan babak berikutnya dan pasti bukan kau yang dipanggil si Nurma itu kemari! Pikirkan itu, topeng separuh!”

Ekspresi Vajra tak berubah sama sekali. “Mungkin takdir telah membuatku tersisih dari turnamen ini, walau aku melalui babak terdahulu dengan meyakinkan sekalipun. Aku sudah paham sistem ini sejak lama, jadi aku selalu siap mental apabila ternyata aku dipulangkan ke ranah asalku lewat portal gaib atau semacamnya. Tapi, selama aku masih di ranah ini, selama aku belum kembali ke Bumi, kepada takdir sejatiku, siapapun yang butuh pertolonganku, aku akan menolongnya walau nyawaku taruhannya. Oh ya, dan namaku Vajra, ingat itu.”

“Heh, justru kau yang tak tahu diri, seperti kunang-kunang hendak melahap matahari!” bentak BlackZ. “Hewanurma sengaja mengumpankanmu padaku agar ia bisa melarikan diri, tahu! Lihat tampangnya yang sebentar tegar, sebentar memelas itu. Dia hanya bersandiwara agar bisa memperalatmu, tahu! Jangan harap si Nurma akan berterimakasih padamu andai kau berhasil menolongnya! Sebaiknya jangan campuri urusanku, Vajra! Biar kupulangkan kau ke dunia asalmu sekarang juga!” Sebentuk pusaran angin hitam berpusar di atas telapak angan hitam BlackZ, siap memerangkap Vajra dalam portal teleportasi gaib buatannya.

“Kalau kau ingin aku mempercayaimu dan berpihak padamu, BlackZ, harusnya kau tak melakukan pembantaian di Amatsu,” tegas Vajra. “Kau atau kelompokmu telah merebut turnamen ini, menggunakan para pesertanya sebagai pion dan mempermainkan nasib dan takdir mereka sesuka kalian. Kini aku sudah cukup senang karena tahu setidaknya Eophi Rasaya masih selamat dan terus berjuan, jadi biar kutuntaskan saja perjuanganku di sini. Akan kukembalikan Turnamen Battle of Realms kali ini pada para penyelenggara sejatinya, termasuk salah satu panitianya, Hewanurma!”

BlackZ meludah ke sisi tubuhnya. “Cih! Ternyata orang ini lebih naif daripada yang kuduga! Terus terang, aku berterima kasih pada kalian semua para peserta turnamen. Berkat bantuan kalian, akhirnya aku berhasil menemukan Hewanurma di sini. Kau harus tahu, Netori dan orang-orang Amatsu telah bersekongkol dengan Hewanurma, membangun dan mengelola laboratorium biadab ini! Mereka pantas mati!”

Fakta baru ini membuat mata Vajra mendelik.

BlackZ melanjutkan, “Hewanurmalah yang sedang mencoba membangun pasukan kloning dengan mengambil sampel jaringan dari para peserta turnamen Battle of Realms! Lalu ia akan menjajah server-server lainnya di Sol Shefra, daerah-daerah kekuasaan kami! Server Nanthara sudah hancur di turnamen sebelumnya, dan kini giliran Server Alforea! Laplace, kotak pengabul permintaan sekaligus pembawa bencana ada di tangannya! Kalau kita tak menghentikannya, dia akan menguasai atau menghancurkan Amatsu dan semua server lainnya di planet ini! Jadi terserah kalau kau mau ikut campur, tapi lawanmu adalah Nurma, bukan aku!”

“Kurasa tidak,” ujar Vajra, walaupun dahinya sempat berkerut tadi. “Andai kau berhasil merebut Laplace dari Nurma, tak ada jaminan kau takkan menggunakannya untuk menguasai Sol Shefra sendirian, ya ‘kan? Andai kau tak beraksi sendirianpun, kau takkan sudi berbagi kotak itu dengan rekan-rekanmu atau siapapun juga, bukan?”

Mulut BlackZ ternganga, seakan Vajra baru membeberkan niatnya yang tersimpan di lubuk hastinya yang terdalam. Lalu, dengan mata kuning yang bagai kobaran api amarah, ia berseru, “Apapun yang akan kulakukan dengan Kotak Laplace, itu bukan urusanmu! Yang pasti, tak seperti para peserta turnamen lainnya, akan kupulangkan kau ke asalmu dengan tubuh tercerai-berai! Mati sajalah kau, serangga pengganggu bernama Vajra! Rasakan rentetan seranganku, BlackZ LanceZ!”

Sambil terus melayang di udara, BlackZ mengibaskan kedua tangannya. Lembing-lembing hitam yang tak terhitung banyaknya meluncur secepat kilat, sasarannya tentu Vajra dan Hewanurma yang sedang berdiri bersebelahan.

Refleks, Vajra bergerak menyamping untuk melindungi Hewanurma. Dengan cepat ia menangkisi lembing-lembing itu dengan rentetan Tinju Petir Brajamusti. Beberapa sulur yang tak tertangkis menghunjami tubuh Vajra tanpa ampun.

Untuk sesaat, tubuh Vajra tampak seperti landak berduri hitam. Saat berikutnya, Vajra menghentakkan prana petir, memancarkannya dari dada hingga sekujur tubuhnya. Gilanya, lembing-lembing hitam itu malah patah-patah. Rupanya gabungan daya entakan prana pelindung dan kekuatan gaib Zirah Antakusuma milik Vajra  meredam nyaris semua serangan itu.

BlackZ terperanjat. Netori saja tak mampu bertahan dari lembing-lembing hitamnya itu.

Lebih terperanjat lagi Vajra. Rasa-rasanya tenaga dalam dan energinya tak sekuat ini saat ia diberondong serangan peluru Caitlin Alsace, pedang api Tamon Rah atau bahkan petir si Vajra kloning. Ia sudah siap mental akan mengalami kesulitan besar saat menghadapi seorang dewa yang sedang dalam kekuatan penuhnya ini, tapi rupanya kekuatirannya itu agak berlebihan.

Serangannya teredam, namun BlackZ tak kehabisan akal. Pusaran energi hitam kembali terkonsentrasi di kedua tangan serta dadanya, mengiring kata-kata hasutannya. “Heh heh, jangan senang dulu, bung. ‘Simpanan’-ku masih banyak. Yang pasti, aku akan menghabisi kalian berdua dengan andalanku, BlackZ RootZ!”

BlackZ lantas membuktikan kata-katanya dengan mengerahkan jurus yang sama sekali beda dengan tadi. Kali ini kedua telapak tangannya terulur bagai hendak memeluk sobat lama. Tentunya yang mengiringi gerak-isyarat itu bukan kehangatan, melainkan cakar-cakar raksasa bagai sulur-sulur hitam raksasa pembawa maut. Jumlahnya memang tak sebanyak lembing hitam, pergerakannyapun tak lebih cepat. Namun semua sulur itu seakan dikendalikan dan mengarah tepat ke tubuh lawan.

Refleks, Vajra menghindar sambil mempercepat gerak langkahnya dengan tenaga dalam dari jurus Langkah Petir Wisanggeni. Tak mau mengulangi “kesalahan” pada pertarungan sebelumnya, Vajra meraih tubuh kurus Hewanurma dan membawanya ikut bergerak bersamanya. Dengan begitu, BlackZ takkan dengan mendadak mengalihkan sulur-sulur hitamnya pada rekan yang seharusnya Vajra lindungi, seperti yang terjadi pada Eophi gara-gara melindungi Vajra yang mengerahkan jurus pamungkas Bumi Berguncang, Langit Gempar waktu itu.

“Hih, menyebalkan! Kalian mau mati berdua? Kukabulkan!” Lagi-lagi BlackZ mengempos prana hitamnya. Sulur-sulur hitam merambat makin cepat saja, terus mengejar kedua sasaran.

Karena tak bisa terbang seperti lawannya, Vajra hanya bisa berlari kesana-kemari, terus menghindar. Satu jari telunjuknya terulur, berusaha meredam dan mematahkan laju sulur-sulur hitam itu, dengan berondongan tembakan Panah Petir Pasopati. Gilanya, kali ini panah-panah petir Vajra yang justru patah dan hanya berhasil memperlambat serta meredam sulur-sulur itu.

Benturan energi hitam dan energi petir menyebabkan dua sulur hitam pecah berantakan, namun sulur-sulur lainnya malah melaju makin cepat. Tak sempat menghindar, kali ini sulur-sulur itu menembus prana pelindung Vajra dan menghunjam zirahnya.

Tak sedetikpun Vajra mengira, kekuatan dewata BlackZ telah berhasil membuat Antakusuma, baju zirah yang bersama kedua pusaka lainnya, Topeng Pancanaka dan Perisai Gandiwa adalah wujud terkini pecahan senjata halilintar dewata, Vajra pecah berkeping-keping.

Sulur-sulur hitam itu akhirnya menembusi tubuh Vajra dari segala arah, seperti halnya kondisi Netori, sang dewi penguasa Server Amatsu di batas napas terakhirnya.

Vajra tertunduk, tubuhnya bergeming seolah hanya ditopang sulur-sulur hitam saja.

Untuk pertama kalinya sejak pertarungan dimulai, wajah Hewanurma berubah pucat pasi. Dengan mata terbelalak, ia berteriak, “Ayo Vajra, bangkitlah! Kau adalah petarung terkuat di Battle of Realms! Jangan biarkan takdir mempermainkanmu lagi! Tamon Rah dan Fafnir telah kautundukkan, kau tak perlu takluk pada dewa manapun juga!”

Entah Hewanurma mengetahuinya atau tidak, di Core Level Database Alforea waktu itu Tamon Rah hanya berwujud virus dan tak dalam kondisi terbaiknya, tak bisa disebut benar-benar dewa. Dan Fafnir, naga itu memiliki kelemahan fatal dan bisa dibunuh. Namun BlackZ ini beda, ia tak segan-segan mengerahkan kekuatan penuh demi menumbangkan manusia yang disebut si “pewaris dan penakluk dewa” ini. Secara logika, mustahil Vajra bisa mengalahkan Blackz.

“Sudahlah, aku bosan main petak umpet di sini! Cicipi saja siksaan bagai neraka, Nurma!” Sambil mengatakannya, BlackZ melesat ke arah Hewanurma. Benang-benang hitam terpancar dari kesepuluh jarinya yang terulur, siap mengepung pria beseragam laboratorium putih itu.

Wajah Hewanurma makin pucat saja. Jangankan melarikan diri, menghindarpun tak sempat lagi.

Tiba-tiba satu teriakan membahana, “Sudah kubilang, langkahi aku dulu!”

Teriring benang-benang petir yang seketika menyebar lebih cepat dari benang-benang hitam BlackZ. Mungkin karena faktor kecepatan itulah semua benang hitam malah tertangkis, putus dan buyar terlanda benang petir.

Hewanurma terperanjat melihatnya. “Jaring Dalangsukma! Vajra, k-kau masih...?!”

“Masih bernyawa, ya memang,” ujar Vajra. Ia hanya mengenakan topeng separuhnya, bertelanjang dada dan berlumuran luka dan darah dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Mata hijaunya masih menatap nanar ke arah BlackZ, bagai serigala terluka menghadapi beruang hitam yang baru saja mencabik-cabiknya.

Bahkan BlackZ sendiripun membelalakkan mata sambil menggeleng tak percaya. “K-kau bukan dewa seperti Netori! Bagaimana mungkin...?”

Kata-kata itu justru membuat Vajra pasang wajah sebal. “Itu karena kau membunuh Dewi Netori, jadi aku harus berhati-hati. Secara tak langsung, Netorilah yang telah menyelamatkanku tadi.”

“Huh, dasar pecundang dungu! Coba lihat apa arwah Netori bisa membuatmu tetap hidup dari jurus ketigaku ini!”

Sekali lagi hawa hitam berpusar, namun kali ini tampak membesar dari titik pusatnya di tengah dada hingga ke sekujur tubuh langsing si Dewa Hitam. Hawa hitam yang terpancar dari tubuhnya yang melayang di udarapun menebar dengan amat pekat dan luas, hingga tampak bagai sepasang sayap kelelawar, naga atau iblis.

Vajra terhenyak. Ia tahu, cepat atau lambat ia akan berhadapan dengan musuh sekuat BlackZ, Tamon Rah berwujud kuda raksasa atau yang lebih kuat lagi. Hanya satu penyesalannya, hal itu tak terjadi di final Battle of Realms.

Vajra bergumam, “Maafkan aku Guru Bima, Guru Gatotkaca dan Guru Arjuna. Aku terpaksa melanggar ajaran kalian sekali lagi. Andai riwayatku harus terhenti di sini, semoga kalian mendapatkan pewaris baru yang lebih layak daripada diriku.”

Vajra menghentakkan tenaga dalamnya sambil terus menghimpun, memusatkan dan memampatkan energi hayati petir dalam dirinya. Terus, hingga melebihi kekuatan energi yang pernah dikerahkannya selama ini. Dari Padang Shohr’n hingga tempat ini. Dari Babak Penyisihan hingga ia telah tersisih kini.

Mencapai pamungkas yang melebihi segala pamungkas.

Melintas batas antara hayati dan ilahi.

Mungkin ada yang mengira ini efek visual nan lebay sisa virus Core Database Alforea. Indra, raja dewa-dewi Veda, pembuat sekaligus pemilik sejati senjata dewa, Gada Ganda Vajra di tangannya muncul membayang di belakang punggung Vajra. Padahal sesungguhnya perwujudan ini adalah pertanda kekuatan Vajra kini telah setidaknya setara dengan si Dewa Hitam.

Menegaskan hal itu, serpihan-serpihan perangkat Zirah Vajra yang tercecer dalam ruangan eksekutif teramat mewah dan luas ini melayang, beresonansi sempurna dengan prana petir Vajra.

Lantas semua serpihan itu melesat ke tubuh Vajra bagai sekrup-sekrup besi yang ditarik oleh magnet teramat kuat. Saat serpihan-serpihan itu telah berkumpul semua di satu titik, seberkas cahaya bagai sambaran halilintar menyambar amat besar dan luas, membungkus seluruh tubuh Vajra dengan energi.

“Bungkusan prana” itu sirna sesaat kemudian, mempertunjukkan Vajra dengan penampilan baru yang amat berbeda langit dan bumi dengan yang sebelumnya. Warna Zirah Antakusuma kini berubah hitam bersisi emas dengan bintang emas tepat di tengah dadanya, persis warna asli Zirah Antakusuma wujud awal milik Gatotkaca. Pelindung lengan, kaki dan selangka memanjang, warnanya senada dengan zirah pelindung dada hingga perut dan punggung bawahnya.

Topeng Pancanaka juga membesar menjadi hiasan pelindung kepala ala ksatria pewayangan Jawa, walau bagian depannya yang berupa topeng berwarna merah-emas tetap menutupi separuh wajah saja. Sayap-sayap emas-merah berornamen dan berpahatan seindah mahakarya dewata membentang di punggung Vajra, membuatnya seolah tampak seperti manusia kupu-kupu.

Inilah Zirah Antakusuma khas yang pernah disandang Gatotkaca sejak keluar dari Kawah Candradimuka hingga akhir hayatnya. Berkat pengembangan yang dilakukan roh Gatotkaca sesuai dinamika zaman dan disesuaikan dengan ciri-ciri sang pewaris, yaitu penyandangnya saat ini, Raditya Damian.

Melihat perkembangan drastis ini, BlackZ menggeram. “Hih! Menghadapiku dengan zirah dan kekuatan pinjaman dari dewa? Biar kutumpas habis dengan jurus berkekuatan sejati dewata, BlackZ HandZ!”

Tak menunggu tanggapan Vajra, dari punggung BlackZ mencuatlah delapan tentakel hitam yang bisa memanjang dan dikendalikan serentak, sesuka hati bagaikan tangan. Tentunya tentakel-tentakel itu berujung runcing, mampu menghancurkan zirah pusaka seperti tadi – atau bisa jadi menyerpihkan zirah dewata pula.

Secepat kilat, kedelapan tentakel itu terulur ke arah Vajra yang berdiri tegak. Secara alamiah, Vajra melompat tinggi-tinggi untuk menghindar. Namun kedelapan tentakel itu malah membubung ke arahnya.

Ini perangkap yang amat sederhana, dan Vajra malah masuk ke dalamnya? Apakah ia telah takabur setelah mendapatkan kekuatan dewa, lalu lengah? Seperti yang ditakutkan oleh ketiga wayang-gurunya?

Bahkan Vajra sendiripun terperanjat. Tubuhnya yang seharusnya jatuh setelah daya loncatannya habis malah terus membubung tinggi. Dengan refleks pula, Vajra meliuk-liukkan tubuh dan menghindar dari berondongan lecutan dan hunjaman tentakel, bermanuver seperti pesawat tempur yang sedang melakukan aksi dogfight akrobatik di udara.

“Oh, kau bisa terbang sekarang  ya?” BlackZ mencemooh Vajra. “Tapi percuma saja, kau lupa sasaranku yang sebenarnya adalah dia!” Mendadak BlackZ membelokkan tentakel-tentakelnya ke arah Hewanurma. Posisi sang ilmuwan kini jauh dari jangkauan Vajra, mustahil sang Satria Halilintar Dewata dapat melindungi Hewanurma saat ini.

Sekali lagi, wajah Hewanurma ternganga dan memucat bagai mayat.

Tahu dirinya telah terpedaya, Vajra malah menghimpun prana. Rupanya ia sedang “bertaruh”, dari telapak tangannya melesatlah sesosok Naga Petir Pancanaka. Dengan kecepatan terbang melebihi jurus serupa yang ia kerahkan sebelumnya, sang naga justru menerjang ke arah pemilik kedelapan tentakel itu, BlackZ.

Dalam waktu sepersekian detik itu, BlackZ merasakan dan mengukur daya penghancur si naga yang berdesir ke arahnya. Merasakan tekanan nyata yang mungkin bakal berakibat fatal pada dirinya, terpaksa BlackZ menghindar. Konsentrasinya buyar, arah pergerakan kedelapan tentakelnya jadi kacau sehingga Hewanurma berhasil menghindari empat tentakel hitam.

Itu berarti, dua tentakel hitam lainnya sempat melecut dan dua lagi menghunjam tubuh Hewanurma. Saat ujung-ujung runcing itu tercerabut, darah tersembur dan terus keluar dari luka-luka tusukan itu. Hewanurma berdiri mematung, limbung sesaat, lalu roboh di lantai dengan posisi tertelungkup.

“Hewanurma!” seru Vajra. Bedanya, konsentrasinya malah makin terpusat. Naga Pancanaka berkelok dan menerkam sisi tubuh BlackZ.

Tak ayal si sosok hitam berteriak pilu, entah sejak kapan terakhir kalinya ia merasakan kesakitan yang menyiksa dan mengancam jiwanya seperti ini. Kedelapan tentakelnya buyar seketika, dan untuk pertama kalinya sejak kedatangannya di Amatsu, BlackZ menyentuh, bahkan terkapar di permukaan tanah.

“Menyebalkan kau, Vajraa!” Dengan kebencian dan murka bagai lava menggelegak, BlackZ cepat-cepat bangkit dan menerjang langsung ke arah Vajra.

Mungkin berdasarkan pengalamannya, Vajra malah maju melayani BlackZ. Segera saja keduanya terlibat dalam saling menangkis, melesatkan dan menahan dalam jual-beli pukulan-pukulan dahsyat. Tinju-tinju BlackZ yang sarat prana hitam inti kegelapan beradu dengan rentetan Tinju Petir Brajamusti. Keduanya makin kesetanan, tak sedikitpun tanda salah satu dari mereka akan tumbang setelah lama berselang.

Pada akhirnya, BlackZ-lah yang pertama kehabisan kesabaran. Dengan satu entakan ia menjauh, menjaga jarak dengan lawannya. “Cukup sudah,” sergahnya. “Aku tak punya waktu lagi! Akan kuhancurkan kau seperti Koloseum Monster dengan pamungkasku, BlackZ Hole!”  

Sesaat kemudian, tubuh BlackZ mulai membesar dan berubah bentuk. Ia tak lagi tampak seperti manusia, melainkan sesosok monster bulat raksasa. Tingginya menjulang hingga hampir melampaui pembatas antara dinding baja dan langit-langit berbentuk kubah heksagonal. Bagian depan tubuh si Dewa Monster Lubang Hitam hanya terdiri dari sebuah mulut berbentuk bundar dengan daya energi hitam yang terus-menerus berpusar, serta sebuah mata kuning besar dan menyala-nyala tepat di tengah-tengah “mulut” itu.

Seketika itu pula, Vajra di udara merasakan tubuhnya mulai ditarik oleh sebentuk daya hisap maha dahsyat. Tak hanya dirinya, semua benda di ruangan eksekutif itu, besar maupun kecil di hadapan si monster juga mulai ikut terhisap.

Vajra terkesiap. Sepengetahuannya, prinsip Lubang Hitam dalam astronomi adalah menghisap segala benda seolah memakannya, lalu “mencerna”-nya hingga terurai menjadi partikel-partikel sub-atomik hingga musnah sama sekali. Jadi bila sampai “termakan” lubang maut itu, bahkan dewa dan iblispun bakal musnah tak bersisa.

Jadi, Vajra terpaksa mengerahkan akal dan pertaruhannya yang terakhir. Keempat sayap atas Zirah Antakusumanya menekuk hingga ujung-ujung sepasang sayap atasnya menyatu. Mati-matian ia terbang menjauh, melawan daya hisap BlackZ Hole sambil tentunya menghimpun energi pamungkas terkuatnya.

Lantas, Vajra berdiri tegak. Dua jari tangannya terulur lurus ke atas, sedangkan dua jari tangannya yang lain terulur lurus ke bawah. Pertandanya jelas sudah, itu salah satu gelagat pengerahan jurus pamungkas, Bumi Berguncang, Langit Gempar.

Makan waktu jauh lebih cepat daripada sebelumnya, Vajra hanya perlu tiga detik untuk mendatangkan selarik pilar petir dari bawah tanah dan atas langit. Petir dewata itu mendera tubuh monster BlackZ Hole seolah tak ada habisnya.

Raungan si monster dewa hitam membahana, namun ia masih terus menghisap segala sesuatu walaupun dayanya tak sedahsyat sebelumnya. Inilah penentuan menang-kalah yang sebenarnya. Entah Vajra yang tertelan mulut lubang hitam, atau monster BlackZ Hole yang hangus tersengat listrik bertegangan ultra-tinggi.

Sekeras apapun usaha Vajra terbang sejauh-jauhnya sambil terus menyambar BlackZ, tubuhnya malah terus tersedot makin dekat. Parahnya, daya hisap musuh memang berkurang, tapi tetap cukup kuat untuk “melahap” Vajra. Ia terkesiap, ternyata sejak tadi ia hanya menyerang dengan kekuatan setengah-setengah karena sambil menolak daya hisap. Satu gagasan gila muncul, bagaimana jika Vajra membiarkan dirinya terhisap saja?

Tak perlu pikir panjang lagi, Vajra kembali merentangkan sayap-sayap Zirah Antakusuma dan tersedot dengan cepat. Saat itu pulalah, ia menghantam BlackZ dengan segenap kekuatan yang tersisa dan terdahsyat.

Tubuh Vajra makin dekat dengan mulut raksasa hitam pemakan segala itu.

Matanya terbelalak ngeri...

Tiba-tiba, Vajra hanya terpelanting saja dan jatuh terjerembab di lantai. Walau daya penghancur sekaligus penghisap jurus BlackZ Hole tadi sempat membuat darah segar banyak mengalir dari mulutnya, Vajra tetap berusaha bangkit berdiri dan berputar secepat yang ia bisa. Salah satu kabar baiknya, Zirah Dewata Vajra Antakusuma masih tampak utuh sempurna.

Vajra lantas menoleh ke tempat lawannya seharusnya berada. Tampak di lantai itu BlackZ terkapar, kejang-kejang setelah tersambar halilintar pamungkas berdaya ribuan volt tadi. Wujud monster raksasanya telah menyusut seketika menjadi semula, yaitu sosok pria berutubuh kurus dan serba hitam. Tak jelas sama sekali apakah ada tambahan bekas hangus hitam di kulit legamnya. Jangankan bangkit, bicara dan menegadah ke arah Vajrapun BlackZ tak mampu lagi.

“Kuakui aku takkan tega bertindak kejam bila aku harus membunuh Eophi Rasaya waktu itu, dan membiarkan takdir yang bicara,” kata Vajra. “Tapi, demi membalaskan dendam Hewanurma, Netori, Tarou dan rakyat Amatsu, terpaksa aku harus menghabisimu, BlackZ.” Ucapannya dibuktikan dengan konsentrasi energi petir di telapak tangannya yang menyerupai ujung tombak nan runcing, siap dihunjamkan ke jantung Sang Dewa Hitam.

Di detik-detik terakhir nyawanya, BlackZ malah memaksa diri menatap Vajra penuh kebencian serta berkata, “Dasar bodoh dan naif kau, Vajra... Kenaifanmu itulah yang bakal mencelakakanmu sebentar lagi...!”

Justru tanggapan Vajra datang berdesir seperti tombak pencabut nyawa. Namun, sesaat kemudian Vajra terkejut bukan kepalang. Tubuh BlackZ telah menghilang, tapak maut Vajra hanya menghunjam udara.

Waspada sepenuhnya, Vajra kembali berbalik. Kali ini ia menghadapi sesosok pria lain yang mengenakan masker oksigen di wajahnya. Si masker berdiri dengan ambil jarak beberapa langkah dari Vajra, sambil memapah tubuh BlackZ yang tampak lemas.

“Nah kan, kau berlebihan lagi,” ujar si masker pada si hitam. “Sudah kubilang jaga tindakanmu, sekarang kau malah membangkitkan kekuatan sejati seorang peserta turnamen.”

“Vajra bukan peserta turnamen lagi!” protes BlackZ. “Lagipula dia...!”

“Sudahlah, ayo kita berkumpul dengan yang lainnya di markas!” Dengan satu ayunan tangan, si masker mendatangkan sebuah portal antar-dimensi. Lalu ia memasuki portal itu dengan membawa – lebih tepatnya menyeret – tubuh BlackZ yang masih amat lemas.

“Hei, tunggu!” Vajra merangsek hendak mengejar dan menyerang musuh-musuhnya, namun terlambat. Portal antar-dimensi telah tertutup rapat lagi dan lenyap BlackZ dan si masker juga ikut lenyap, tak terjangkau lagi. Vajra menarik napas lega, bagian tugasnya di Sol Shefra ini akhirnya tuntas sudah. Biarlah para pendekar yang masih berstatus peserta turnamen Battle of Realms yang menuntaskan selebihnya.

Vajra berbalik hendak mencari jalan keluar dari laboratorium biologi ini, mungkin pula mencari portal antar-dimensi seperti di Balai Pengembangan tempatnya berlaga sebelumnya.

Namun, betapa terkejutnya Vajra. Hewanurma, yang ia kira telah tewas karena serangan BlackZ tadi kini malah berjalan ke arahnya sambil bertepuk tangan.

“Wah, sungguh mengagumkan,” kata Hewanurma sambil tersenyum lebar. “Kau kini telah jauh lebih kuat, lebih digdaya daripada perkiraanku semula, Vajra. Kau memang salah seorang peserta terkuat di Battle of Realms, tak percuma aku memilihmu untuk rencana besarku ini.”

“Apa maksudmu? Rencana besar apa? Bukankah tadi kau sudah tewas dan tubuhmu terhisap ke dalam pusaran jurus pamungkas BlackZ?” Vajra tak kuasa menyembunyikan kebingungannya.

“Oh, yang tewas itu tadi salah satu kloning diriku. Kloningku yang lainpun kurasa juga sudah tewas dibunuh salah seorang peserta turnamen yang lain. Aku yang asli hanya perlu mengamati segalanya dari kejauhan, dan inilah saatnya memetik buah dari rencana besarku, yang bibitnya telah lama kutanam dan telah tumbuh menjadi pohon yang besar.”

“Buah? Bibit? Pohon?” Waspada, Vajra mengerahkan energi lagi untuk menyerang Hewanurma.

“Ya! Dan aku akan memanennya darimu... Vajra!” Hewanurma hanya menjentikkan jarinya.

Mendadak, seberkas cahaya merah terpancar dari dalam tubuh Vajra. Cahaya itu berubah seketika menjadi semacam cairan kental, membungkus lambang bintang emas di tengah-tengah zirahnya dan mengubah warnanya menjadi semerah darah.

“Mustahil! Sejak kapan kau...?” Vajra ingin berontak, tapi tubuhnya malah tak bisa digerakkan sama sekali, terbelenggu oleh sebentuk energi tak kasat mata. Dikerahkannya seluruh kekuatan prananya, namun tetap saja ia bergeming.

“Oh, justru aku mendapat sedikit bantuan dari sekutu rahasiaku, Tamon Rah. Saat kau mengalahkannya, pedangnya merasuk ke dalam tubuhmu, bukan? Sejak saat itu, kau selalu dapat dengan mudah mempelajari jurus-jurus baru, kekuatanmu meningkat pesat, bahkan kau menyerap kekuatan dari kloningmu sendiri dan zirahmu yang hancur berubah menjadi zirah dewata. Apa kau kira asupan kekuatan itu dari pengalamanmu dan ‘hadiah’ dari para gurumu semata? Tidak! Kekuatan barumu itu berasal dari pedang Rah, bentuk lain dari bibitku!”

Mata Vajra terbelalak, seolah tengah melihat malaikat maut mendatanginya. Andai saja energinya tak terkuras akibat pengerahan pamungkas tadi, mungkin ia masih bisa melawan. Segala sesuatu yang ia lihat, yang semula berwarna-warni jadi berubah serba merah-darah. Idealisme Vajra menjunjung tinggi kebenaran dan menolong sesama justru dimanfaatkan oleh orang yang telah memberikan kepercayaan padanya, orang yang ia bela dengan taruhan nyawa selama keberadaannya di Sol Shefra ini.

“Ya, bibit itu bernama Kotak Laplace, dan kaulah inangnya, Vajra!”

Hewanurma menegaskan nasib Vajra ini dengan tersenyum amat lebar, senyum mengerikan yang sama dengan yang pernah ia tampilkan waktu pertama kali bertemu dengan Vajra di Alforea dulu.

“Sekarang kau baru kenal musuhmu yang sesungguhnya, ‘kan?” ujar Hewanurma dengan nada layaknya ilmuwan gila. “Kadangkala, dalam pertarungan antara hitam dan putih, yang kelabulah yang mengambil keuntungannya. Mulai saat ini, kaulah Vajra, ksatria sempurna yang akan membukakan jalan bagiku sebagai penguasa mutlak seluruh Sol Shefra! Bagaimana, bonekaku? Apa kau sudah siap untuk membantuku lagi?”

Bola mata Vajra yang tak tertutup topeng merahnya berubah semerah darah, pupil hijaunya berubah hitam. Ekspresi wajah tampannyapun berubah sangar, sarat nafsu membunuh dan menghancurkan yang menggelegak, siap diledakkan kapan saja.

Bahkan suara Vajra berubah lebih berat dan datar saat ia berkata, “Ya, tuanku.”



VAJRA Final Upgrade

Zirah Dewa, Vajra Antakusuma:
Saat kekuatan Vajra sudah dirasa pantas untuk mengenakan zirah ini, sebenarnya ia sudah bisa terbang. Saat mengenakan zirah dewa, Vajra dapat melayang-layang di udara dan mengubah kecepatan terbangnya. Bila keempat helai sayapnya yang seperti X-Wings dilipat hingga ujung-ujungnya bersentuhan saat sedang terbang, kecepatan terbangnya akan setara pesawat jet, yaitu antara Mach-1 hingga Mach-3. Jurus-jurus Vajrapun dapat lebih mudah divariasikan, bertambah kuat dan waktu rapalannyapun jadi jauh lebih cepat.

Catatan: Ini adalah fan story yang bukan entri resmi Battle of Realms 5. Cerita ini saya buat semata-mata untuk menuntaskan kanon Vajra, yang semoga cukup sinkron dengan kanon panitia. Jadi entri berikutnya untuk Vajra dari saya adalah epilog. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membaca, mengikuti kanon Vajra selama ini, juga masukan-masukan dan krisar-krisar berharganya. Selanjutnya, Vajra akan kembali berlaga di ADILAGA Season 2: Vajrayana. Salam dari kreator Vajra, Andry Chang.

Move like a butterfly, sting like a bee
Dance like Astaire, swing like Ali
And electrocute like Vajra

No comments:

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia