Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

30 August 2010

Entri Lomba Plotting Untuk Xar & Vichattan Buku III



XAR & VICHATTAN
Plot Alternatif Untuk Buku III – Untuk Lomba

Oleh: Andry Chang


Corbus yang kini memimpin Kuil Kegelapan tidak mau lagi mengulangi kesalahan Khalash yang menyerang Kuil Cahaya secara frontal. Sebaliknya, ia bermaksud untuk menghimpun kekuatan untuk dirinya sekaligus memulihkan lagi Tali Penghubung Kegelapan untuk membangun Pasukan Kegelapan yang lebih besar dari sebelumnya.

Untuk itu, ia pergi ke sebuah pulau di utara Laut Misty yang tertutup es dan kabut (Misty = Kabut). Pulau itu adalah sumber energi hitam terbesar yang juga disebut sebagai Zarthog, Istana Kegelapan Abadi. Di sana, Corbus bertapa dan berlatih, menyerap kekuatan gelap sebanyak-banyaknya agar menjadi lebih kuat dari Khalash, atau iblis manapun juga.

Sementara itu, melalui para pengikutnya Corbus melancarkan taktik “pecah-belah” lagi di pihak Kuil Cahaya, dengan pemain utamanya Shiba yang menggunakan kekuatan abeoform-nya yang selama ini dirahasiakan untuk menyamar sebagai Petra dalam Kuil Xar. Targetnya adalah Ahli Waris Cahaya yang hatinya masih goyah: Dalrin. Dengan kenangan palsu mengenai ibu Dalrin yang terbunuh karena siasat Mirell yang disebut-sebus sebagai mata-mata kegelapan, Dalrin “dicuci otaknya” dan diperalat sebagai mata-mata “Petra”.

Saat pasukan Xar berangkat untuk merebut kembali Desa Cimea, Petra palsu membunuh Mirell. Serangan Xar digagalkan Nolacerta dan sisa pasukan kegelapan dan Dalrin kembali ke Xar dengan Petra sebagai pemimpin baru.

Di tempat lain, Antessa, Gerome dan Kara di Kuil Cahaya bekerjasama dengan para peri memancing Frigus Acerbus keluar dari Desa Galad, menjebaknya lalu “menyucikannya” di Kuil Cahaya hingga kembali ke wujud aslinya sebelum jadi Peri Cahaya dan Peri Kegelapan, yaitu Peri Es. Dari Friguslah terungkap rencana Corbus untuk berubah jadi iblis di Pulau Zarthog, tempat Frigus dulu terbuai oleh kekuatan kegelapan lalu setelah membelot bertapa di sana dan menyerap energi gelap sebelum “turun gunung”.

Kabar kematian Mirell membuat tiga Pewaris Cahaya terutama Antessa bergegas menuju Xar. Di Xar, Lisbet yang sudah agak “waras” yang berkunjung sebagai duta Vichattan tanpa sengaja dan diam-diam membongkar penyamaran Petra-Shiba, lalu membuka kedoknya di depan orang banyak saat acara penobatan. Dikepung, Shiba bertarung habis-habisan tapi kemudian ditolong oleh “boneka”-nya yang sudah sepenuhnya “hitam”: Dalrin! Nolacerta menolong tepat waktu, menerbangkan keduanya ke Istana Kegelapan Zarthog.

Rangkaian kejadian ini menjadi dasar perundingan Xar dan Vichattan yang diadakan di Vichattan segera setelahnya. Para pejuang kebenaran ini bertekad menumpas Corbus dan Kuil Kegelapan sampai ke akar-akarnya. Strateginya, mereka membagi pasukan menjadi dua: Corry, Gregory dan Calborn memimpin pasukan gabungan menyerang Kuil Kegelapan, sementara para Ahli Waris Cahaya menyeberangi Laut Misty langsung menyerang markas utama musuh.

Menimbang-nimbang situasi dan kondisinya, juga Kuil Cahaya yang belum sempurna benar, Amor si angsa raksasa memutuskan untuk “mengorbankan diri”, menyatukan tubuhnya dengan Kuil Cahaya, memaksanya mencapai kesempurnaan hingga berubah wujud menjadi pesawat terbang raksasa berwujud angsa kristal. Dengan pesawat sebesar istana itulah para pahlawan terbang melintasi lautan, dibantu oleh para peri, Pietas si rusa raksasa dan sekutu baru yang diragukan kesetiaannya tapi paling mengerti medan: Frigus Acerbus.

Sementara itu, pasukan Corry berhasil merebut Desa Cimea yang ternyata sudah kosong dan hancur total (taktik bumi hangus), lalu saat menyerang Kuil Kegelapan mendapat perlawanan hebat dari pasukan ingenscorpus, undead dan dracolupin. Sisa pasukan yang ternyata masih banyak jumlahnya ini dipimpin oleh sesosok golem raksasa (seperti robot) yang tak lain adalah inkarnasi jiwa Brakis, salah satu Jenderal Kegelapan yang tubuh lamanya sudah lenyap, sempat gentayangan sebagai hantu lalu dibangkitkan dengan necromancy (ilmu arwah) oleh Diagoni.

Di Utara, terjadi pertempuran udara yang hebat antara Pesawat Cahaya Amor, Pietas dan para peri melawan pasukan monster terbang termasuk naga-naga yang dipimpin si naga kepala dua, Nolacerta. Dengan bantuan sihir, para pewaris cahaya terjun seakan menggunakan parasut dan bersama Frigus menyusup di Istana Zarthog.

Setelah melewati berbagai jebakan dan monster, keempatnya berhadapan dengan Shiba dan Dalrin. Pertarungan yang rumit meletus. Saat Dalrin membuat Kara terluka cukup parah, otaknya jadi kacau seperti kesetanan. Barulah para pahlawan sadar Dalrin telah “dicuci otaknya”, dan kuncinya adalah harus memutus kontak batin dengan mengalahkan si pengendalinya, Shiba. Akhirnya Shiba berkalang tanah di tangan Frigus Acerbus dan Dalrin kembali sadar, tapi Frigus terluka parah, tak bisa terus.

Jadilah Dalrin yang membimbing teman-temannya ke ruang inkubasi. Di sana mereka melakukan pertarungan terakhir melawan Corbus yang wujudnya sempurna berubah menjadi iblis bertanduk tiga. Di akhir segala akhir, Corbus berhasil dikalahkan dengan tubuh hancur-lebur, lenyap tak bersisa dan empat sekawan yang terluka parah berhasil diselamatkan oleh Pietas saat Istana Kegelapan mulai runtuh. Nolacerta entah tewas atau melarikan diri. Nasib Frigus boleh tak dijelaskan, dan sesungguhnya ia diselamatkan oleh rekan-rekan perinya yang juga terbang pergi dari Istana Kegelapan itu.

Setelah segalanya usai, demi keseimbangan dunia Amor dan Pietas undur diri dengan membawa “Pesawat Kuil Cahaya” pergi jauh dari Benua Sjorya. Kuil Kegelapan berhasil ditaklukkan dan kini benar-benar kosong tanpa pemimpin, runtuh seperti halnya Kuil Cahaya dahulu. Corry diangkat menjadi pemimpin baru Kuil Xar, walaupun ia masih sedih kehilangan kekasihnya Ron yang sudah gugur.

Keempat Ahli Waris Cahaya: Dalrin, Kara, Antessa dan Gerome kembali hidup sebagai remaja normal. Setting pasangan bisa saja kembali seperti di awal: Dalrin dengan Antessa dan Kara dengan Gerome, tapi tidak terlalu intens – mereka masih lebih ingin berkawan berempat. Karena harus kembali ke kota masing-masing, Gerome mengusulkan agar musim semi nanti keempatnya berkumpul dan ia juga mengusulkan ide gila: yaitu keempatnya pergi berpetualang meninggalkan Benua Sjorya dengan misi menemukan Amor, Pietas dan Kuil Cahaya yang entah ada di mana sekarang. Dalrin yang pertama setuju, dan walaupun Antessa awalnya keberatan, tapi dia akhirnya setuju pula.

Keempatnya lalu berjabat tangan erat di tengah munculnya bayangan para pahlawan yang telah tiada: Mirell, Luscia, Petra, Felicia, Ron dan lain-lain di tengah bekas berdirinya Kuil Cahaya. Mungkin ancaman kegelapan belum hilang sepenuhnya dari Xar & Vichattan, tapi kalaupun muncul lagi, itu adalah cerita lain lagi.


Jakarta, 30 Agustus 2010


-------------------------------

Entri untuk Lomba Plotting Xar & Vichattan yang diadakan oleh:
Penerbit Adhika Pustaka
http://www.adhika-pustaka.com/

06 August 2010

Fantasy Fiesta 2010: Pedang dan Kapak


Pedang dan Kapak

Cerpen karya Andry Chang
Entry untuk Lomba Cerpen Fantasi
Fantasy Fiesta 2010
Jakarta, 6 Agustus 2010
------------------------------

Dalam kelamnya malam, dalam rimbunnya pepohonan ek dan birch yang menutupi rembulan dan bintang-bintang di langit.

Di tengah-tengah kepungan sekelompok orang bersenjata dengan wajah-wajah tegang, dengan tatapan mata setajam belati.

Kulihat seorang wanita cantik bergaun sutra putih-ungu muda, bercorak rangkaian bunga aster yang tersulam bagai mahakarya.

Rambutnya yang pirang-panjang melambai-lambai walau tak dihembus angin. Aneh.

Mata berbola biru safirnya yang indah, jernih dan jeli menatap lurus tanpa berkedip.

Sesaat kemudian, bibirnya yang mungil bak delima merekah bergerak, melantunkan suara merdu nan tegas, “Mana pimpinan kalian? Aku ingin menagih janjinya untuk memenuhi tantanganku!”

Salah seorang pengepung, pendekar pria berewokan dan berambut lebat bagai bulu beruang berseru kasar, “Pimpinan tak sudi menemuimu! Gadis kecil lemah sepertimu tak pantas bertarung dengannya! Pulang saja sana, jangan sampai ibumu mencarimu kemana-mana!”

“Kekuatan tak diukur dari penampilan. Jangan paksa aku membuktikannya,” sudut bibir wanita itu menegang.

“Cih! Keras kepala! Mati saja kau! Semuanya, SERANG DIA!” Si brewok merangsek maju, diikuti oleh para pendekar lainnya.

“Main keroyok? Baik, biar pedangku yang melayani kalian! Gynheid!”

Mendengar namaku disebut, bilahku yang lurus bertepi lancip sontak berpendar biru, menebar aura sedingin es beku. Si wanita menggenggam erat gagangku yang berbentuk burung walet berukiran indah dan menerjang maju.

Ya, akulah Gynheid, si pedang sakti. Konon, senjata-senjata terkuat dalam legenda bahkan memiliki “jiwa” dan kehendaknya sendiri. Ya, itu tak sepenuhnya benar. Dalam kasusku, misalnya, aku memang telah menjadi “jiwa” pedang ini, membuat “tubuh” baruku ini seakan punya kecerdasan, kehendak dan kepribadian. Sesungguhnya, aku hanyalah roh yang merasuki pedang ini dan dulu aku adalah manusia.

Nah, kembali pada pertarungan. Kerjasama apik antara aku dan majikanku membuatku berkelebat bagai menari, bergerak, lincah dan indahnya.

Melayang bebas, lepas.
Bagai burung walet menyambut fajar.
Dengan irama beraturan, riang, lembut... dan mematikan.

Menetak bahu si brewok.
Melucuti senjata si satu mata.
Menyayat tangan si wajah pucat bak mayat.
Menggores dada, tak mencabut nyawa.

Majikanku akhirnya mengambil jeda, menarik napas untuk melancarkan jurus berikutnya.

Di tanah, sepuluh pengeroyok terkapar kesakitan semua, tak lagi berdaya.

“Masih ada dua puluh tersisa. Ayo, Gynheid, kita lumpuhkan mereka semua!”

Kupendarkan bilahku lebih terang, mendukung tekadnya. Saat kutatap wajahnya, aku teringat masa lalu, wajah yang dulu lugu, ceria dan penuh semangat saat ia belajar ilmu pedang dariku.

Ya, dulu aku adalah gurunya.
Saat aku masih manusia, wanita setengah baya yang beranjak tua.

Sekilas terbayang lagi wajah muridku yang menangis penuh duka.
Saat kuwariskan Gynheid padanya, dengan pesan agar berjuang jadi pendekar terkuat.
Lalu kututup mata, tutup usia.

Kini akulah Gynheid, menari lagi, digerakkan muridku dengan jurus-jurus indah ciptaanku sendiri.

Kadang mantan muridku yang kini jadi majikanku ini mendaratkan gagang pedang, siku dan tendangan, tapi tak apa. Hatinya memang baik, tak mau membunuh dan menumpuk dendam. Ia bahkan telah bersumpah untuk selalu bertanding adil, menang dengan terhormat.

Ia terus menari, meloncat kesana-kemari bagai terbang, menumbangkan lima, enam orang lagi.

Hingga terdengar satu teriakan garang.
“HENTIKAAN!!”

Perintah. Berarti itu mungkin suara sang pimpinan. Mata sukmaku menoleh, mengikuti arah pandang majikanku hingga mendapati seorang pria berambut biru panjang berikat kepala putih, berbadan tegap dan mengenakan rompi kulit tebal berdiri tegak.

Wajahnya ternyata tampan bak malaikat, dan matanya yang berbola kemerahan memancarkan amarah campur keterkejutan.

“Apaa? Para pengikutku tumbang oleh seorang gadis? Dan ia...” sejenak wajah tegangnya mengendur, “... cantik... cantik sekali.”

Ditatap seperti itu, majikanku menghardik, “Hei, beraninya kau bicara kurang ajar! Humph, aku, Annabelle von Struysen akan memberimu pelajaran sopan-santun! Mana janjimu, hah? Katamu kau menerima tantanganku! Apa kau mau mangkir dan jadi ayam pengecut, heh? Pok, pok, pok!” Annabelle menirukan suara ayam betina untuk memancing emosi lawan.

“Aku sama sekali tak berniat mangkir, nona,” kata si pemuda dengan lembut. “Hanya saja, saat ini aku belum siap karena guruku baru berpulang dan mewariskan kapak sakti padaku. Rombongan kami baru saja selesai mengebumikannya dan dalam perjalanan pulang. Nanti saja baru kita jadwalkan ulang tarung kita.”

“Oh, jadi kau penyandang senjata sakti juga sekarang, eh, Barsec Pietran? Bagus kalau begitu, tarung kita akan makin seru!”

Sambil mengibaskan tangan sebagai isyarat agar para pengikutnya menjauh, Barsec menghardik, “Mungkin kau ini pendekar berbudi luhur yang pantang membunuh orang, nona, tapi kau sudah kurang ajar telah menyerang perkemahan kami! Kalau kau bersikeras ingin tarung sekarang, baik! Aku layani! Beraksilah, Holgarcon!”

Barsec segera menghunus kapak besar yang tersandang di punggungnya dan mengacungkannya pada lawan. Tampaklah bilah tunggal dan gagangnya yang keemasan, dengan pangkal bilahnya diukir membentuk kepala singa bertanduk satu dengan bilah kapak sebagai “surai”-nya. Barsec menghentak, dan kapak itu memendarkan aura kobaran api magis.

Sejenak aku tersentak.
Holgarcon? Bukankah itu kapak kesayangan rivalku, Holgar Dubarec?

“Benar, Gynell. Ini memang kapakku, dan kini akulah Holgarcon, si Kapak Singa Api.” Suara batin yang rupanya berasal dari kapak sakti itu terngiang jelas. Jelas kukenal.

“Astaga... jadi Barsec, salah satu pendekar paling ternama di benua ini adalah muridmu? Sungguh kebetulan... Ini sungguh takdir!” seruku.

Suara roh-roh seperti kami memang hanya bisa didengar roh saja, bukan makhluk fana, begitu pula penampakan sukma kami di senjata-senjata sakti yang tak bisa dilihat kecuali oleh makhluk yang terberkahi kemampuan melihat dan mendengar makhluk halus.

Jelas Barsec dan Annabelle bukan termasuk golongan ‘yang terberkahi’ itu, kalau tidak mereka pasti bisa melihat penampakan sukmaku, sesosok wanita setengah baya yang beranjak tua dengan tanda-tanda keriput di tepi kedua mataku.

Sukma Holgar menampakkan diri sebagai seorang pria setengah baya berjanggut kasar lebat, lalu suaranya bergema lagi, “Ya, ini kebetulan yang diatur takdir. Juga kesempatan untuk menuntaskan tarung kita yang tak pernah rampung, menuntaskan rasa penasaran kita selama-lamanya, membebaskan kita dari penjara-penjara ciptaan kita yang terkutuk ini!”

Aku menggeram, “Ya, Holgar. Inilah saatnya. Aku dan muridku melawan kau dan muridmu. Tarung pamungkas sampai salah satu pihak bertekuk lutut!”

Seiring seruanku, Barsec dan Annabelle juga berseru, “Tarung sampai mati!!”

Merekapun menerjang bersamaan.

Sekali lagi aku menari, lebih cepat, lebih gemulai dari sebelumnya, diperkuat dengan daya es yang lebih membekukan dari sebelumnya.

Di sisi lain, Kapak Holgarcon membacok berulang-ulang dengan dahsyat dan brutal, bagai roda-roda api yang mampu membelah dan menghanguskan benda apapun yang dilindasnya.

Sesekali muridku melompat dan bersalto, menyengat punggung lawan dengan bilah esku. Darah yang keluar dari luka itu langsung membeku, lawan berteriak kesakitan dan mencairkan bekuan darah itu dengan tenaga dalamnya.

Barsec sontak membalas, mengayunkan kapaknya dan meninggalkan luka bakar yang memanjang dari bahu ke dada Anna, tapi tidak dalam berkat hawa pelindung es di tubuh lawan. Sambil menahan sakit, Anna menyentuhkan sisi pipih bilah Gynheid pada luka di dadanya yang segera membekukan darah sekaligus memulihkan luka.

Tiba-tiba, bacokan kapak Holgarcon datang lagi, kali ini untuk memancung kepala Anna. Gawat! Mustahil dia bisa mengelaknya. Kami tak boleh kalah, jadi terpaksa aku berinisiatif mengalirkan tambahan energi ke tubuhnya. Walhasil, di detik penentuan Anna bergerak mundur secepat kilat, lolos dari maut.

Terbersit keheranan di wajah penyandang pedang sakti ini, namun ia tak punya waktu untuk mencari penyebabnya. Malah ia memanfaatkan tenaga tambahannya ini dengan bergerak cepat, mendaratkan serangan balasan berupa sabetan-sabetan dingin ke sekujur tubuh Barsec. Darah bercipratan dari tubuh kekar berpelindung aura api itu, namun lelaki itu tetap berdiri, walau agak limbung. Bilah kapaknya bagai berkobar lebih besar, rupanya Holgarcon juga membantu tuannya.

Diam-diam aku menggeram, lalu kudengar Holgar tertawa, “Haha, kau lihat, Gynell? Muridku lebih kuat dari muridmu! Lihat saja, ia akan membuat muridmu mencium tanah dalam tiga jurus!”

“Oh ya?” Kataku sengit. “Maaf ya, kakek keriput, menang atau kalah tak hanya ditentukan oleh kekuatan semata. Kecepatan, kelincahan dan kecerdasan juga ikut menentukan, dan muridku jelas lebih unggul dari muridmu dalam ketiga faktor itu. Lihat, dia beraksi lagi!”

Kali ini Anna bergerak secepat angin, meloncat kesana-kemari, menghinggapi batang-cabang pepohonan sekitar sambil menyengat lawannya di tanah bagai nyamuk.

“Aduh! Aw! Sial! Lincah sekali perempuan ini!” Barsec mulai kewalahan. Walau luka-luka yang timbul di tubuhnya tak lebih bagai sengatan nyamuk, kalau ini berlangsung terus cepat atau lambat pertahanan aura apinya akan jebol dan ia jadi tak ubahnya kantung kulit yang bocor.

Maka pemuda itu memutuskan berdiri tenang, mengamati pola gerakan lawannya, lalu mendadak melayangkan tinju tangan kanan – serangan tercepatnya dan menghantam Annabelle tepat di bahu kirinya, hingga wanita itu terlontar sampai menabrak pohon.

Annabelle kembali bangkit – lagi-lagi kedudukan mereka seimbang.

“Bagaimana nona manis, masih mau main-main lagi?” Barsec tersenyum mengejek.

Dengan santai Annabelle menjawab, “Ya, ya, tadi aku memang main-main. Biasa, pemanasan. Sekarang, mumpung sudah ‘panas’, biar kaucicipi jurus andalanku ini! HEAAA!”

Anna melompat tinggi-tinggi lalu terjun ke arah lawan, melancarkan kombinasi sabetan dan tusukan pedang yang beruntun bagai hujan badai es.

Melihatnya, Barsec tahu taktiknya memancing emosi lawan telah gagal. Ia berseru, “CIH!” lalu memutar-mutar kapak itu di atas kepala hingga terbentuklah perisai api, menangkis tiap curahan es yang menimpanya.

Mirip payung diputar-putar.
Menepis hujan hingga terciprat kemana-mana.

Ah! Aku tersentak lagi. Tiba-tiba kenangan masa lalu mulai terbayang. Aku dan Holgar – sama-sama jauh lebih muda dan rupawan saat berusia dua puluh tahunan – berdiri berdua di tepi sungai, berdampingan di bawah satu payung di tengah guyuran hujan sore hari.

Dengan usil aku memutar-mutar gagang payung hingga air hujan bercipratan ke segala arah, membuatku tertawa melihatnya. Tawa Holgar ikut berderai, menghangatkan kemesraan kami. Pasangan yang selangkah lagi akan mengarungi mahligai rumahtangga.

Kusandarkan kepalaku di dada kekasihku yang bidang itu, terasa hangat, teduh, aman dalam lindungannya. Dan tiba-tiba...

“Cih! Jurus picisanmu mustahil membuatku bertekuk lutut! Rasakan jurusku ini, HEEAGGH!!”

Kembali aku tersentak – tersadar dari lamunanku dan bayang-bayang memoriku berubah. Teriakan Barsec ini persis seruan Holgar saat di arena pertandingan dulu, bertarung melawanku di pantai puncak demi merebut gelar ‘pendekar terkuat’.
Tiada lagi senyum mesranya.

Tiada lagi derai tawa candanya.
Hanya seringai ganas menghias wajahnya.

Bahkan Barsec mengerahkan jurus yang dulu pernah memutuskan tali kasih kami itu. Ia mengayunkan kapak tegak lurus ke atas dan menembakkan sabit api raksasa yang menembus jurus hujan es dan nyaris membelah raga lawan jadi dua.

Untunglah, seperti halnya aku dulu, muridku sempat bersalto ke belakang, menghindari sabit api namun terkena tendangan susulan Barsec di pinggul kanannya.

Bedanya pula, dulu aku terkapar setengah pingsan hingga Holgar dinyatakan sebagai juara dan aku terpaksa pergi menyepi, mengasingkan diri, jauh dari hiruk-pikuk dunia kependekaran. Kini, muridku tetap berdiri tegak, siap membalas dengan jurus-jurus ciptaanku setelah kalah di kejuaraan itu.

Dan inilah saatnya.
Saat pembalasan dendam.
Saat penentuan si pemenang dan pecundang sejati.
Sekali untuk selamanya.

“Bagaimana, Anna? Siap menyerah? Akui sajalah aku lebih hebat darimu, kita sudahi saja pertarungan ini,” ujar Barsec sambil memikul kapak di bahunya.

“ENAK SAJA!” Hardik Annabelle sambil mengacungkan pedangnya, yaitu aku. “Aku takkan pernah menyerah sampai gelar ‘pendekar terkuat’ berhasil kurebut darimu! Memenuhi cita-cita almarhumah guruku!”

Ingin rasanya aku menitikkan air mata haru melihat tekad muridku yang melampauiku ini, namun sebagai arwah penunggu pedang aku hanya bisa memancarkan sinar biru dari bilahku untuk mendukungnya.

Tak salah aku memilih gadis perkasa ini sebagai muridku.

“Dasar gadis kecil bodoh! HYAAA!!”

Barsec dan Annabelle maju bersamaan lagi!
Holgarcon terayun, membabat deras.
Gynheid melesatkan tusukan.
Holgarcon berputar, menangkis.

Rentetan tusukan Gynheid berubah jadi sabetan dari samping, menggores pinggang lawan.
Pangkal gagang kapak menghantam dagu lawan.

Anna sesaat sempoyongan, dan saat berikutnya keseimbangan tubuhnya pulih. Ia memutar tubuh, mendaratkan tendangan telak di wajah Barsec.

Terjengkang, darah meleleh keluar dari hidung si pemuda.
Barsec menggeram, kembali maju, mengayun kapak lagi dan ditangkis pedang dengan mudah.

Kedua petarung itu terus saling serang, saling melukai lawan, menghindar dan menangkis senjata lawan masing-masing. Nyeri luka di tangan, kaki dan badan tak mereka pedulikan lagi, namun dari wajah mereka nampak tanda-tanda kelelahan akibat laga yang berkepanjangan.

Semua jurus yang kuajarkan pada Annabelle telah ia kerahkan, tapi ia tetap tak berhasil unggul dari lawannya. Sebaliknya, Barsecpun tampak frustrasi karena keadaannya selalu berimbang dengan lawan.

Tiba-tiba Barsec dan suara sukma Holgar berseru bersamaan, “Saatnya mengakhiri ini! JURUS PAMUNGKAS!”

Sontak lidah api ganas menyelubungi manusia dan kapak itu seolah-olah membakar mereka hidup-hidup. Aura api itu berangsur-angsur membentuk wujud aslinya, sesosok singa perkasa yang mengaum, mengancam tak henti.

Annabellepun tak mau kalah, “Ayo Gynheid! Tarian Terakhir Walet Es!”

Akupun melonjakkan seluruh energi es yang terkandung pada bilahku hingga hawa dingin membekukan tanah dan benda-benda dalam jarak jangkauan, hingga aura es itu tampak seperti burung walet yang mengepakkan sayap dengan anggunnya.

Kedua petarung menerjang. Hawa serangan mereka tampak seperti singa api dan walet es yang saling menerkam, dan terjadilah tumbukan.

Mengerahkan segala daya.
Adu tenaga, yang mana yang lebih kuat.
Habis-habisan, kalau perlu...
Menang jadi arang, kalah jadi abu.

Agh! Aku tersentak, baru menyadari sesuatu. Ini... tidak beres!

Apakah semua upayaku, segala daya cipta dan ajaranku cukup hanya demi tarung pamungkas ini, lalu musnah, punah begitu saja? Inikah tujuan terbaik? Bukankah seharusnya ada jalan keluar yang lebih baik?

Tiba-tiba sukma Holgar menampakkan diri di balik aura singa api, lalu bicara dengan dahi berkerut, “Ah, benar juga pemikiranmu itu, Gynell. Segala perselisihan ini: rivalitas kita, keinginan untuk lebih unggul dari yang lain demi kebanggaan dan kejayaan telah membuat kita tak bisa bersatu di masa kita masih hidup dulu dan jadi arwah penasaran seperti sekarang.

Dan kini, kedua murid kita mengulangi kesalahan yang sama. Lebih parah lagi, mereka belum menemukan penerus ilmu Pedang Walet Es dan Kapak Singa Api!

Kita akan punah, kesepian, terlupakan! Selamanya terkungkung dalam penjara ini, senjata-senjata sakti yang akan jadi rongsokan karena tak ada yang tahu cara mendayagunakan kesaktiannya! Apa yang harus kita lakukan?”

Aku terdiam sesaat, lalu kembali bicara pada Holgar, “Ada jalan keluar. Kitalah yang harus berkorban. Pusatkan seluruh tenaga serangan masing-masing pada seluruh “tubuh” kita dan biarkan dua tenaga yang bertentangan – es dan api – bertumbukan hingga meledak. Biarlah senjata yang hancur, karena pemegangnyalah yang lebih penting. Senjata bisa ditempa lagi, penempanyalah yang harus lestari!”

“Benar. Ayo kita lakukan, Gynell. Semoga caramu ini berhasil.”
Sesaat kemudian, Holgar bicara lagi, kali ini menyunggingkan senyum mesra, “Oh ya, selagi sempat, biarlah aku menyampaikan ini padamu: Aku cinta padamu, Gynell.”

Sukmaku balas tersenyum, “Aku juga mencintaimu, Holgar, sejak pertama kali kita bertemu. Nah, ayo kita mulai! HEAAAA!!!”

Mendadak, kedua senjata yang tengah beradu itu berpendar. Gagang Holgarcon jadi sedingin es, dan gagang Gynheid seperti mendidih. Kedua citra singa dan walet menyusut drastis, genggaman pada senjata terlepas dan kedua petarung terlempar menjauh.

Annabelle dan Barsec terpuruk di lantai. Mereka bangkit perlahan, lalu menatap kedua senjata yang melayang di udara itu sambil melongo, kebingungan.

Detik berikutnya, kapak dan pedang sakti meledak, lalu hancur berkeping-keping.

“Aah!! Apa artinya ini, Anna?”
“Entahlah, Barsec, aku juga tak mengerti.”

Dari serpihan kedua senjata itu asap membubung, lalu menggumpal, membentuk sosok dua insan muda, pria dan wanita rupawan yang saling berangkulan.

Barsec menunjuk ke wajah si roh pria, “A... Anna! Lihat! Itu guruku! Tapi dia kelihatan... lebih muda!”

Annabelle juga membelalakkan matanya untuk melihat lebih jelas, “Ya! Dan yang wanita itu mirip guruku! Mungkin memang benar dia guruku, tapi... bukankah mereka telah berpulang?” Wajah wanita muda itu langsung memucat.

Aku mencoba bicara. Mungkin kali ini mereka bisa mendengarkanku.

“Annabelle, Barsec, ya, kami guru-guru kalian, Gynell dan Holgar.”

Mereka bereaksi, terperangah. Ya, mereka memang bisa mendengarkan suaraku kini, jadi aku melanjutkan lagi.
“Begini duduk perkaranya. Sejak dulu, kami berdua selalu bersaing seperti air dan api, berusaha saling mengungguli, menciptakan jurus-jurus canggih dan senjata-senjata sakti untuk jadi yang terbaik tanpa pernah menyadari bahwa sesungguhnya kami saling mencintai.”

Holgar melanjutkan, “Ya, dan kini, berkat kalian kami akhirnya bersatu dalam keabadian. Nah, para penerus, jangan ulangi kesalahan kami. Jangan lagi berkutat dalam persaingan demi gelar semu sebagai ‘yang terkuat’. Gabungkanlah kekuatan kalian dalam kerjasama yang saling melengkapi dan saling mengisi satu sama lain. Bersatulah!”

Giliranku bicara lagi, “Satu permohonan kami, lestarikanlah ilmu beladiri warisan kami ini dan gunakanlah di jalan kebenaran, niscaya kalian akan hidup bahagia dan arwah kami tenang di alam baka. Maukah kalian memenuhinya?”

Barsec dan Annabelle saling bertatapan sejenak. Kerutan di dahi dan tatapan tajam mereka mengendur berganti dengan senyum penuh arti, lalu keduanya mengangguk pada “sepasang hantu asap” dan Barsec menjawab, “Ya, guru berdua, kami berjanji. Istirahatlah dalam damai.”

Akupun tersenyum damai, dan bersama Holgar menjawab, “Terima kasih.”

Lalu kami berdua terangkat, membubung makin tinggi, tinggi ke langit.

Masih sempat aku menatap Barsec di bawah sana berdiri berdampingan bersama Annabelle, saling berhadapan dan berjabat tangan: sebuah tanda persatuan, sebuah awal yang dapat berlanjut menjadi kerjasama, persahabatan dan siapa tahu... cinta.

Lalu aku berpaling, menatap Holgar di hadapanku yang ekspresi wajahnya sama denganku, tersenyum damai penuh cinta.

Gynheid si Walet Es dan Holgarcon si Singa Api.
Semoga kalian lestari selamanya.

---------------------------
Entri ini juga terdapat di link-link sebagai berikut:

Goodreads Indonesia
Kemudian.com

Keterangan: Gambar ilustrasi sementara "Sword and Axe Display" diambil dari sumber:
http://www.giftsbytnc.com/shop-by-category/myth-legend/sword-and-axe-display

04 August 2010

Kompetisi: Fantasy Fiesta 2010

(Diteruskan dari web kastilfantasi.com)

Hai, Teman-teman, masih ingat Lomba Cerita Pendek Fantasi, Fantasy Fiesta 2009?

Buat yang masih ingat, inilah saatnya meneruskan tradisi, yang siapa tahu nanti bakal menjadi tonggak sejarah kemajuan dunia fiksi fantasi di Indonesia. Buat yang belum pernah dengar dan tahun lalu belum ikutan, kali ini jangan sampai ketinggalan. Bersiap-siaplah duduk di depan komputer, berimajinasi dan menulis; bersanding dan berkompetisi dengan para penulis fantasi lainnya. Berjuang bersama. Fantasy Fiesta 2010 telah dimulai!

Bagaimana syarat dan ketentuannya? Dan apa saja hadiahnya?
Ini dia. Catat baik-baik ya.

Syarat dan Ketentuan:

· Lomba Cerita Pendek Fantasi Fantasy Fiesta 2010 boleh diikuti siapa saja, namun setiap peserta hanya diperbolehkan mengikutsertakan satu buah karyanya.

· Syarat dan ketentuan cerita:

o Cerita adalah karya asli peserta, bukan saduran atau jiplakan.
o Cerita belum pernah dipublikasikan sebelumnya di media cetak maupun elektronik.
o Cerita menggunakan Bahasa Indonesia yang baik, bernuansa fantasi dengan tema dan latar bebas.
o Cerita berisi minimal 2500 kata dan maksimal 3000 kata.

· Untuk menjadi peserta, Teman-teman harus mendaftarkan diri dengan cara mengirim e-mail ke alamat fantasyfiesta2010@gmail.com dengan judul ‘Pendaftaran Lomba Cerpen Fantasy Fiesta 2010’, paling lambat tanggal 23 Agustus 2010, dan berisi:

o Nama pena
o Nama asli (lengkap)
o Alamat surat menyurat
o Naskah Cerita, dilampirkan dalam bentuk data Microsoft Word.

· Seluruh cerita yang sudah dikirimkan oleh peserta akan dikumpulkan dan dipajang di situs http://kastilfantasi.com/forum pada gerai Fantasy Fiesta 2010.

· Peserta juga diperbolehkan memajangnya di tempat lain seperti blog, facebook, kemudian.com atau situs-situs lainnya, dengan tak lupa memberikan keterangan bahwa cerita tersebut diikutsertakan pada ajang Fantasy Fiesta 2010 (Siapa tahu nanti ada tema-teman yang lain yang juga mau ikutan). Bagi peserta yang memajangnya di tempat lain tersebut, maka diminta untuk memberikan tautannya pada e-mail pendaftaran.

Pemenang dan Hadiah:

· Tiga cerita terbaik alias pemenang akan diumumkan pada tanggal 31 Agustus 2010 di http://kastilfantasi.com/forum pada gerai Fantasy Fiesta 2010.

· Hadiahnya adalah:

o Pemenang Pertama akan mendapatkan hadiah berupa voucher belanja/uang tunai senilai Rp 400.000,-.
o Pemenang Kedua akan mendapatkan hadiah berupa voucher belanja/uang tunai senilai Rp 250.000,-.
o Pemenang Ketiga akan mendapatkan hadiah berupa voucher belanja/uang tunai senilai Rp 150.000,-.
o Selain itu, para pemenang juga akan mendapatkan hadiah berupa buku-buku terbitan Penerbit Adhika Pustaka, beserta tanda tangan penulisnya.

· Seluruh cerita akan dinilai oleh tiga orang juri:

o RD Villam (Akkadia - Gerbang Sungai Tigris)
o Dian K (penulis Zauri: Legenda Sang Amigdalus) dan
o Bonmedo Tambunan (penulis Xar & Vichattan: Takhta Cahaya dan Xar & Vichattan: Prahara).

· Hasil akhir penjurian tidak dapat diganggu gugat.

Oke, Teman-teman, kami tunggu karya-karyanya. Semarakkan Fantasy Fiesta 2010. Maju terus dunia fiksi fantasi Indonesia.

03 August 2010

Maven - Bab 1: Wasiat (Draft 2)


Rintik-rintik hujan tercurah dari langit, menyejukkan udara panas nan lembab di malam musim panas ini.

Beberapa bulir hujan mendarat di atas tanah, meresap, menyatu dengan arus kehidupan tetumbuhan di atasnya.

Banyak bulir lainnya jatuh tersia-sia sebagai air cucuran atap di gedung-gedung dan rumah-rumah berbahan kayu dan batu di Kota Redne di distrik timur Kekaisaran Arcadia ini.

DRAP, DRAP! DRAP, DRAP!

Seorang wanita berlari di tengah guyuran hujan, menyusuri jalan-jalan sempit di sela-sela himpitan rumah-rumah yang berjajar padat.

Rambutnya yang kecoklatan tampak kusut dan basah, dan ia mengenakan gaun yang bagian bawahnya koyak sampai ke paha, mungkin sengaja dilakukannya agar dapat berlari cepat.

Kedua tangannya menggenggam sepasang belati yang biasa digunakan oleh pendekar yang mengandalkan kecepatan gerakan untuk bertarung.

Merapat di dadanya adalah sebuah bungkusan besar yang dibebat kain, bentuknya seperti kepompong ulat sutera raksasa dan diikatkan di tubuhnya dengan robekan kain gaunnya.

Sesekali wanita itu menoleh ke bawah, mengarahkan wajah cantiknya dan sepasang mata berbola kehijauannya pada bungkusan di dadanya itu, memandang dengan penuh kasih seolah benda dalam gendongannya itu lebih berharga dari nyawanya sendiri.

Lantas ia menoleh ke belakang dan menghitung... satu, dua pria sedang mengejarnya. Lari mereka tak lebih cepat dari wanita ini, yang andai tak membawa beban pastilah sudah lenyap dari jangkauan sejak tadi.

Si wanita menoleh ke depan dan menambah kecepatan larinya. Beberapa kali ia berbelok, menyelinap dalam kumpulan bangunan yang padat bagai labirin.

Mencari tempat sembunyi.

Berharap membuat bingung pengejarnya.

Satu belokan lagi menyusuri gang sempit lalu keluar lagi di jalan besar. Wanita bermata hijau itu kembali menengok kiri-kanan, tak melihat pengejarnya dimanapun dan menarik napas lega.

SYUUT, CHRAPP!! “AAAUUGGGHH!!”

Tiba-tiba rasa sakit, nyeri bagai ditusuk dari belakang menyengat! Secara refleks wanita itu meraba sisi punggung dekat pinggulnya... Sebatang anak panah menancap! Cukup dalam, tapi tak mengenai organ vitalnya. Ia menarik tangannya dan melihat cairan merah yang penuh melumurinya – darah.

Sambil meringis menahan sakit, wanita itu terus berlari, seiring suara langkah kaki cepat yang nampak mulai menyusul akibat teriakannya tadi.

Tak lama kemudian, napasnya mulai tak beraturan, terengah-engah. Larinyapun mulai melambat, dan darahpun makin membanjir dari bekas lukanya sampai ke mata kaki.

Tetap saja ia berlari, walau kemungkinannya untuk lolos amat tipis, malah meninggalkan jejak darah yang mudah dilacak.

Tanpa ragu memilih jalan, sudah mengenal arah yang dituju, nampaknya ia memang warga kota ini.

Hingga tampaklah di kejauhan sebuah bangunan besar bertingkat tiga di atas bukit, Sang wanita tersenyum lemah dan terus berlari...

Tiba-tiba, sesosok pria muncul di depannya, menghadang jalannya!

Dengan refleks, wanita itu mengayunkan belatinya, ZWIISH! Lawan beringsut ke kanan, menghindarinya dengan mudah dan membalas dengan satu tebasan golok.

C’TANGG! Wanita itu menangkis dengan belati kedua, lalu menjauh beberapa langkah.

“Hmph, ternyata kau masih ngotot melawan. Cukup tangguh juga, tapi dengan luka seperti itu nyawamu tinggal sekitar satu jam saja,” kata si pria berwajah penuh bopeng itu dengan senyum sinis.

Napas wanita itu memburu, apalagi melihat sekelilingnya dua pria lagi mengepung, menutup semua jalan lari.

Salah satu pria itu membidikkan busurnya – orang yang memanah si wanita tadi – dan langsung memanah! THWIPP!

Dari jarak dua puluh lima langkah, panah melesat deras tepat ke arah dahi si wanita! Dengan refleks wanita itu merebahkan kepalanya ke bahu kanan dan panah itu terbang melintas dari sisi kiri kepala, sedikit menggores kulit pipinya – KRRSH!!

Dengan gerakan yang cukup lincah, si wanita berputar ke kiri, lalu menghunjamkan belatinya ke arah mata si pria botak sangar bertato di dahi. Sontak si botak menangkis dengan kapak merahnya, tapi laju belati tiba-tiba terhenti! Itu gerak tipu!

Dan sebelum si botak sempat tersentak, belati kedua telah bersarang di dadanya! CHRAAPP! “Uuurgg!!”

Tewas satu pengepung, si wanita berbalik sambil menghindari lesatan panah kedua – SYUUUT!! Dan menangkis sabetan golok si pria bopengan dengan kedua belatinya, C’TANGG!!

Sesaat ia bergerak seakan hendak melompat dan si bopeng ikut melompat, tapi gerakan yang ternyata hanya tipuan itu berganti arah! Si wanita melesat ke punggung lawan lalu melancarkan jurus Tikaman Khianat, membenamkan belatinya ke sisi tengkuk lawan tanpa melihat. CHRAASHH!!

Dua pengejar sudah tumbang, dan si wanita ambil langkah seribu. Rupanya tadi ia terlalu memaksa diri bergerak lincah sehingga tubuhnya melemah, dan kini ia terpaksa menghindar dan menangkis panah-panah si pengejar terakhir.

Sesekali lagi ia melihat bungkusan di tangannya dan menarik napas lega. Disingkapnya sedikit kain penutupnya, dan tampaklah seraut wajah mungil manis yang tidur dengan damainya.

Seorang bayi.

Dari sikap si wanita, jelaslah ia lebih mementingkan keselamatan bayi ini daripada menghadapi musuh dengan kemampuan beladirinya yang terbatas.

FWIIP, TANGG!!

Satu panah lagi melesat, dan kali ini ditangkis dengan belatinya.

Larinya makin lambat, tapi ia sudah tak peduli lagi. Kakinya terus melangkah, menyusuri jalan mendaki, membawanya hingga tiba di kaki sebuah bukit.

Wanita itu menegadahkan wajahnya, dan tampaklah sebuah gedung yang sangat besar, bertingkat tiga dan bermenara lima hingga nampak mirip dengan kastil atau benteng berdiri megah di atas bukit yang landai.

Tanpa sadar wanita itu bergumam, “Akhirnya... Biara Santo Ambrosius. Tempat yang aman... untuk anakku...”

Hujan makin deras, dan napas wanita itu tersengal-sengal. Pandangannya mulai kabar, wajahnya pucat-pasi karena kehilangan banyak darah, dan langkahnya terseok-seok. Sesekali ia menengok ke belakang kalau-kalau si pemanah atau panahnya muncul lagi.

Langkah demi langkah ditapakinya. Seluruh tubuhnya terasa makin dingin, makin sulit digerakkan, tapi ia tak bisa berhenti sekarang, tidak sebelum bayinya ini aman dalam lingkungan yang terlindungi, terberkati oleh kuasa suci sang dewa tertinggi di Dunia Terra Eternia, Vadis Sang Penjaga Terang.

Kakinya melangkah makin dekat ke puncak bukit saat tiba-tiba, BRUKK!! Wanita itu tersandung batu dan jatuh terjerembab.

Bungkusan di pangkuannya itu sedikit terantuk di tanah, dan bayi di dalamnya sontak terjaga. Anehnya, rasa sakit tak membuatnya menangis. Insan berusia kurang dari sebulan ini hanya menengok kiri-kanan dan menatap ibunya lekat-lekat dan menguap, “Uaaah...!”

Saat itu juga nampak telinga si bayi yang aneh: panjang dan berbentuk seperti daun.

“Ah, lucunya kamu... Rupanya benar kata bidan di Thyrine... Bayi elf jarang menangis... walaupun sedang lapar atau kesakitan... Sabar ya anakku, sebentar lagi kita tiba di tempat yang aman...”

Terlalu lemah sekarang, si ibu ini mulai merangkak, mengerahkan seluruh sisa tenaganya dan pandangannya tak lepas dari pintu masuk utama biara.

Langkah demi langkah...

Tiap tarikan napas...

Tiap tetes darah yang larut dalam dinginnya air hujan...

Detik demi detik waktunya yang tersisa...

Tanpa tahu kapan waktunya habis...

Hingga tak terasa tangannya menggapai batu dingin teras biara.

“Tinggal... sedikit... lagi...”

Si wanita mencoba bangun, meraih pegangan pintu, tapi jatuh lagi ke lantai!

“Belum, harus... bisa...”

Sekali lagi ia bangkit, menggenggam erat bayinya yang kiri jadi beban maha berat baginya. Meraih gagang pintu kini bagai perjuangan yang lebih berat dibanding bertarung melawan sepuluh pria sekaligus.

Namun demi bayinya, sang ibu membulatkan tekad, mengerahkan sisa tenaganya untuk bangkit, tangannya terulur hingga menggenggam pegangan pintu besar itu.

Belum selesai. Ditariknya pegangan pintu, tak mau terbuka! Terlalu berat! Tinggal satu cara terakhir. DOK! Ia mengetuk pintu itu sekali.

Tak ada jawaban, dan dicobanya lagi, DOK!

Ketukan ketiga, DOKK...! Kali ini suaranya lebih lemah daripada yang tadi.

DOKK... Makin lemah.

Hingga tiba-tiba tubuh si ibu itu bagai macet – tak mau disuruh bergerak lagi.

Dan, BRUGG! Tubuhnya ambruk membentur pintu, lalu merosot hingga terkapar, tertelungkup di lantai.

Habislah sudah segala daya.

Harapan keselamatan bayinya hanya ada bila pintu ini terbuka...

KRIEEEET...!

Dan suara ramah sang penolong.

“Aah, nona... nona! Ada apa denganmu...?”

Si wanita menegadah dan melihat sang penolong, seorang biarawati tua dengan wajah kurus penuh keriput, yang dengan pakaian serba hitam bertudung hitam sekilas tampak seperti hantu. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga saat menyadari kondisi sebenarnya si wanita itu.

“AAH! Kau terluka parah! Bertahanlah, nona, biar kupanggil bantuan!”

Si wanita memandang si biarawati dengan mata hijau zamrud yang setengah terbuka. Roman wajah cantiknya tampak pucat akibat kehilangan banyak darah, dan ia mencoba bicara lebih keras dari bunyi hujan.

“Uugh… Lukaku terlalu parah… Waktuku di dunia hampir habis. Suster, tolong… Anakku ini… tolong rawat dia saja…”

Si biarawati lantas melihat ke arah bungkusan yang dipeluk wanita itu dengan lebih seksama, dan ternyata benda itu adalah seorang bayi.

Dengan wajah dan kulit kemerahan, sehat dan montok.

Dengan mata hijau zamrud seperti mata bundanya, mendelik menatap dunia penuh semangat hidup.

Dengan kedua belah daun telinganya yang lancip – ciri khas yang dimiliki kaum mulia – kaum elf yang juga disebut peri – makhluk mulia dan magis yang konon adalah “penyempurnaan” dari manusia dan berasal dari Thyrine, negeri di wilayah tengah benua Aurelia yang terpusat pada Yggdrasil, sang pohon kehidupan yang tumbuh dari jasad Enia, sang Dewi Alam di Dunia Terra Everna.

Mata wanita parobaya itu kembali terbelalak.

“Ini… anakmu?”

“Ya, anakku ini elf… hhhkk...,” napas si wanita yang sekarat itu mulai sesak. “Saat aku, suami dan anakku dalam perjalanan pulang… dari Thyrine ke kota ini… kami disergap… gerombolan bandit. Mereka banyak sekali… Suamiku melawan mereka semua… agar kami lolos… mengorbankan dirinya.”

Tercekat. Terdiam sejenak. Air matanya menggenang.

“Tapi mereka melukaiku pula… parah… Aku berlari jauh ke dalam kota… ke tempat ini… yang pertama kuingat… hhh…”

Mata wanita itu mulai mengerjap. Dengan sisa tenaganya, ia merogoh ke dalam kantung mantelnya, mengeluarkan saputangannya yang berwarna ungu muda dan menggambar dengan darah yang terus menetes dari jari telunjuk kanannya – sebuah lambing aneh berbentuk bagai gabungan kepala serigala dan ular kobra.

“Ini… merekalah yang menyerang kami. Aku ingat persis lambang ini,” suaranya makin lirih, tangannya yang gemetar mengulurkan saputangan berdarah itu yang langsung disambut si biarawati.

“Tolong, bayiku…”

Si biarawati menaruh bayi elf mungil itu di pangkuan ibunya. Dengan wajah putih pucat bagai mayat, sang ibu itu tersenyum lemah, “Anakku, kau sudah aman sekarang… Tumbuhlah besar… dan kuat… Ingatlah selalu… kau seorang Istravel… dan namamu… adalah… Maven.”

Kepala wanita malang itu tertunduk.

Tangannya terkulai, seiring hembusan napas terakhirnya.

Teriring suara hujan dan petir menggelegar, mengiring keberangkatan seorang insan ke alam baka…


------------------------------------
Draft ini juga dapat dilihat kritiknya di:
Goodreads:
http://www.goodreads.com/story/show/239775-maven-2nd-draft?chapter=1

Kemudian.com:
http://www.kemudian.com/node/246299

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia