Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

25 February 2016

ALISTAIR KANE Di Atas Semesta, Ada Semesta

 

 

[FREE BATTLE CHALLENGE]

ALISTAIR KANE VS. FATANIR, LAZUARDI & ALSHAIN KAIROS

 

DI ATAS SEMESTA, ADA SEMESTA

 

Penulis: Andry Chang

 

 

Hidup Alistair Kane adalah sebuah pencarian tanpa henti.

 

Baru saja beristirahat sejenak setelah kembali dari sebuah dimensi antah-berantah, ada saja yang harus Alistair kerjakan untuk memastikan segala sesuatunya kembali ke jalur semula. Tepatnya, segala sesuatu yang sempat ia ubah untuk suatu tujuan atau misi tertentu. Kali ini, yang harus diluruskan pria berambut, berkumis dan berjanggut serba putih padahal memiliki fisik setara manusia berusia genap empat puluh tahun ini adalah nasib dan takdir seorang manusia.

 

Seorang pria muda berambut hijau panjang bernama Raditha Ananta.

 

Untuk itulah Alistair sengaja "hadir" saat Radith kembali ke ranahnya sendiri. Radith telah menyelamatkan dirinya yang terjebak dan jadi lemah bagai manusia biasa di sebuah ranah asing. Dengan menggunakan sebuah mustika bernama Kotak Laplace, Radith mengembalikan kekuatan sejati Alistair sehingga keduanya dapat kembali ke ranah mereka masing-masing. Kebetulan Alistair memutuskan "mampir" sejenak di Bumi, menuntaskan pelbagai urusan penting termasuk satu yang terpenting, memastikan Vajra, pahlawan super dalam diri Radith bangkit kembali.

 

Namun, masih ada satu ganjalan terakhir.

 

Ganjalan itulah yang membuat Alistair Kane berujar, "Radith, mengingat kondisimu sekarang ini, sebaiknya kau menyerahkan Kotak Laplace padaku."

 

"Apa!?" Radith menggeleng tak mengerti. "Bukankah aku yang seharusnya menjaga kotak pengacau itu agar tak ada lagi yang bisa menyalahgunakannya? Itu keputusan Mima Shiki Reid, pemegang Laplace sebelumnya yang menyerahkan benda itu padaku lewat undian."

 

"Aku tahu. Hanya saja, kekuatanmu yang kini telah berkurang separuhnya saat kau tiba di Bumi ini takkan cukup untuk membendung daya Laplace bila benda itu sampai beraksi lagi kelak. Lagipula, penggunaan Laplace di Bumi pasti akan mengundang kutukan berupa maut abadi dari Yang Maha Kuasa. Tentunya kau tak ingin itu terjadi padamu, bukan?"

 

Radith terpaku seketika. Ia memang baru sadar bahwa ia bukan pemilik sejati kotak penentu takdir yang menampung kekuatan mahakuasa itu. Lagipula, Bumi bukan tempat yang cocok bagi Laplace, yang sebenarnya adalah sebuah pelanggaran terparah, baik terhadap hukum alam mauapun hukum ilahi.

 

Jadi, uluran tangan Alistair Kane itu malah menerbitkan satu pertanyaan dari bibir Radith, "Lantas, mengapa harus kau yang mengemban Laplace? Siapa kau sebenarnya, Alistair?"

 

Alistair menghela napas. "Terpaksa aku harus berterus-terang. Sebenarnya aku adalah sebuah entitas yang berasal dari dimensi yang berbeda dari Bumi dan semesta ini, yaitu Semesta Omnia. Tanah airku adalah Terra Everna, sebuah planet mirip Bumi dalam Dimensi Omnia itu. Aku adalah seorang musafir, yang bepergian ke ranah-ranah antah-berantah untuk mengukir atau menyebarkan legenda-legenda di setiap ranah itu. Tentu saja, untuk pekerjaan itu aku dibekali kekuatan tak terbatas, yang harus kusesuaikan dan kubatasi sendiri untuk menjaga keseimbangan alam di dunia yang kudatangi."

 

"Ah, pantas saja kau mampu berpindah ranah dan mengembalikanku ke duniaku sendiri," ujar Radith sambil mengangguk dan tersenyum lega. "Jadi, silakan ambil Kotak Laplace, asal kau bersumpah untuk menjaganya baik-baik dan tidak menyalahgunakannya." Ia mengulurkan tangannya ke arah pria berpakaian serba putih itu.

 

"Tentu saja," ujar Alistair sambil menempelkan telapak tangannya dengan telapak tangan Radith. Seketika, seberkas cahaya putih dari tubuh Radith mengalir terus dan merasuki tubuh Alistair.

 

"Nah, sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu, Radith," ujar Alistair Kane. "Sampai jumpa di lain kesempatan, dan teruskanlah perjuanganmu."

 

"Sama-sama. Sampai jumpa lagi, Sang Musafir." Seiring kata-kata Radith itu, citra Radith berangsur-angsur lenyap dari pandangan Alistair. Ternyata tadi Alistair dan Radith hadir dengan cara holografis di mata satu sama lain.

 

Kekuatan gaib yang diam-diam dikerahkan Alistair saat mereka berinteraksi tadi membuat benda atau energi, dalam kasus ini Kotak Laplace berpindah secara nyata dari tubuh Radith ke tubuh Alistair Kane. Intisari energi Laplace seketika melebur dan menyatu dalam tubuh Alistair, takkan pernah berpindah lagi ke tubuh lain selama entitas bernama Alistair Kane masih ada.

 

Satu hal yang tak Radith ketahui, kekuatan Kotak Laplace hanya akan jadi bagian yang tak kentara dari kekuatan Alistair yang sebenarnya. Kekuatan yang selama keberadaan Alistair Kane ini selalu ia batasi dan kekang agar tak mengusik arus alam, waktu dan takdir.

 

Alistair Kane lantas tersenyum dan bicara pada dirinya sendiri, "Ah, senangnya bila segala sesuatunya telah kembali ke jalur semula. Semua senang, dan aku bisa beristirahat dengan tenang." Ia duduk di kursi kerja kulitnya yang teramat nyaman, menyeruput Triple Macchiato Aceh hangatnya sampai cangkir kecilnya tandas. Dengan kopi sekuat itu, sepertinya Alistair berniat untuk begadang semalaman dalam apartemen penthouse super mewahnya ini.

 

Tiba-tiba, ponsel kristal Alistair mendendangkan ringtone "One of Us" – Joan Osborne. Si pria berjanggut putih lantas menekan layar sentuh ponsel itu. "Alistair di sini. Ada apa?"

 

"Maaf mengganggu, Pak Alistair!" seru suara dari ponsel itu. "Server Everna Online tiba-tiba crash, dan program game tak bisa dijalankan sama sekali! Kami telah mengaktifkan program backup, anti-virus dan melakukan scripting darurat untuk menangkal hacker. Akhirnya kami berhasil masuk dalam program, tapi tak ada apapun di sana! Yang ada hanya layar hitam dan teks putih di tengah-tengah bertuliskan satu kata, 'NIR'!"

 

Alistair terkejut bukan kepalang. "Apa!?" Ia lalu cepat-cepat menguasai dirinya dan bicara dengan nada setenang mungkin, "Jangan matikan servernya, biar kutangani sendiri di sini."

 

Sekali menjentikkan jari, Alistair menampilkan sebuah layar holografis yang sangat besar di hadapannya. Ia lalu memain-mainkan jarinya di udara, menggeser atau menekan citra-citra pada layar itu. Anehnya, setelah Alistair melakukan perbaikan secepat kilatpun, tampilan game Everna Online di layarpun tetap gelap, dan teks kata "NIR" tetap terpampang di sana.

 

Nir... Nir... jangan-jangan itu ulah... Alistair terkesiap, ia baru menyadari siapa biang keladi perusakan ini. Tapi, bukankah menurut realita yang ada, seharusnya segalanya kembali seperti sediakala, bahkan lebih baik lagi, bukan musnah tanpa sisa? Ini pasti sebuah pergesekan, tumpang-tindih antara dua realita yang berbeda dalam dimensi yang sama, dan yang terjadi saat ini adalah realita yang sepertinya lebih kuat daripada realita yang kupilih. Ini amat gawat!

 

Alistair Kane mengelus-elus janggutnya, dahinya berkerut dan mulai berpeluh.

 

Tak lama kemudian, sebentuk portal sihir berupa bintang bersudut enam dalam lingkaran berpendar di lantai tepat di depan meja kerja Alistair. Alistair mematikan layar hologram komputernya untuk melihat lebih jelas makhluk yang seakan terangkat keluar dari portal itu.

 

Perawakan makhluk itu seperti seorang gadis kecil yang mengenakan baju rok terusan panjang yang tampak seperti jas hujan. Ia membawa sebuah tongkat warna-warni yang mirip sebatang permen raksasa. Yang paling unik, kepala makhluk ini ternyata berbentuk sebuah bantal kepala, polos dan tak berwajah.

 

Suara makhluk itu juga seperti suara anak gadis kecil. "Halo, om ini Alistair Kane, bukan?"

 

Karena telah banyak bertemu makhluk-makhluk aneh bin ajaib, wajah Alistair tak tempak heran. Kedatangan yang mendadak inipun tak membuatnya terkejut. Ia hanya menjawab, "Ya, akulah dia. Siapakah kau, anak muda, dan apa yang membawamu menemui om-om sepertiku?"

 

Gadis kepala bantal itu tertunduk malu-malu. "Namaku Ratu Huban. Kudengar om sedang dalam kesulitan, jadi aku datang menemui om untuk menawarkan satu pemecahan jitu."

 

"Oh ya?" Alistair mendelik penuh minat. "Coba kautebak, apa masalah yang sedang kuhadapi?"

 

"Om sedang gelisah dan merasa serba-salah. Ada perbenturan dua realita yang berbeda, antara kenyataan yang om alami dengan satu kenyataan lain yang lebih kuat. Namun bila om mengakui kenyataan yang lebih kuat itu, om takut om akan musnah bersama sebuah dimensi sekaligus."

 

"Ya, sangat ironis, bukan?"

 

"Tidak juga. Kabar baiknya, kekuatan sejati om telah pulih dan om telah kembali ke salah satu 'rumah' om di dimensi lain, yaitu Bumi. Anomali realita 'NIR' itu terjadi setelahnya, sehingga om dipastikan lolos dari penghancuran total."

 

Alistair menghela napas lega. "Ah, kalau itu kabar baiknya, apakah ada kabar buruknya?"

 

"Ada. Semua insan di Ranah Sol Shefra, termasuk para petarung dari ranah-ranah lain yang tak sempat dipulangkan ke ranah masing-masing saat meletusnya Pertempuran Laplace-Dragunir terjebak dalam kehancuran itu, dan kini eksistensi mereka berada dalam ranah antara ada dan tiada, yang disebut Limbo."

 

"Termasuk Radith?"

 

"Ya, termasuk Radith."

 

"Astaga. Aku harus kembali ke dimensi tempat Sol Shefra berada, menyelamatkan semua orang dan mengembalikan para petarung antar-dimensi ke ranah mereka masing-masing!"

 

"Itu saja, om?"

 

"Ya, itu prioritas utamaku! Aku harus memastikan Sol Shefra kembali nyata, utuh seperti sediakala, bukan hanya sebuah rangkaian data dalam server belaka! Tentu kau bisa membantuku 'kan, Ratu Huban?"

 

"Ya, karena itulah aku kemari. Tapi aneh, kok om tadi bilang ingin memulihkan dimensi tempat Sol Shefra berada? Apakah om ini dewa atau lebih dari itu?"

 

Alistair malah tertawa kecil. "Sebagai seorang penjelajah dimensi, aku harus membatasi kekuatanku demi menjaga keseimbangan alam di ranah yang kudatangi. Tapi dalam kasus ini, aku terpaksa harus menembus batasan itu dan menggunakan kekuatan penuh."

 

"Karena 'para pengacau' yang akan om hadapi itu juga punya kekuatan menghancurkan atau mengacaukan semesta." Huban sengaja memberikan tekanan pada kata "para pengacau".

 

Alistair mengangguk. "Tepat sekali. Jadi, solusi apa yang hendak kautawarkan padaku?"

 

"Aku menawarkan om satu kesempatan untuk menghadapi para biang keladi kehancuran itu, serta memulihkan segalanya. Namun, pertama-tama aku harus bertanya, beranikah om bermimpi?"

 

"Maksudmu?"

 

"Kekuatan gaibku berhubungan erat dengan alam mimpi. Aku dapat mengunjungi mimpi siapapun, juga mengirim siapapun ke dalam sebuah mimpi. Namun, ada satu hal teramat penting yang perlu om perhatikan."

 

"Apa itu?"

 

"Siapapun yang memasuki dunia mimpi, bahkan entah ia dewa atau semacamnya mungkin bakal bertarung atau menghadapi bahaya. Bila ia sampai tewas dalam mimpinya, atau tak terbangun dari mimpi sesaat sebelum tewas, eksistensinya di dunia nyata akan ikut lenyap bersama dengan yang di dunia mimpi."

 

"Bahkan dewapun tak luput dari kematian seperti itu?"

 

"Persis, om. Nah, kalau begitu aku bertanya sekali lagi, beranikah om bermimpi demi mewujudkan satu kenyataan terbaik?"

 

==oOo==

 

Saat Alistair Kane membuka matanya, pikiran pertama yang muncul dalam benaknya adalah, Benarkah aku sedang bermimpi saat ini? Segala sesuatunya tampak begitu nyata.

 

Padahal, hal terakhir yang ia ingat adalah si gadis kepala bantal berputar-putar di tempat, lalu menyentuh dahi Alistair dengan tongkat permennya. Segala pemandangan yang ia lihat berangsur kabur, meredup dan akhirnya gelap.

 

Rupanya Alistair kini sedang melayang-layang di ruang angkasa tanpa gaya gravitasi. Mengenakan kostum musafirnya, ia tampak amat rapi dengan satu setelan jas, kemeja dan celana panjang serba putih. Untuk menegaskan tekad Alistair membatasi kekuatannya, ia mengenakan hiasan leher semacam dasi ala Wild West berwarna coklat bertatahkan batu mirah bulat dan sepatu kulit coklat. Alistair mengenakan sebuah jubah putih bertepi merah dengan tudung yang menutupi rambut putihnya. Kadang ia menurunkan tudung itu hingga menutupi mata bila sedang dalam misi rahasia.

 

Kali ini, Alistair tak menyembunyikan matanya yang terbelalak. Ia sungguh mengenali hamparan planet, matahari, bintang dan galaksi yang tak terhitung di sekitarnya. Ini adalah tempat asal Alistair Kane yang sejati, yaitu Semesta Omnia.

 

Planet biru yang tampak paling besar, paling dekat dengan posisi Alistair saat ini bernama Terra Everna, dunia paralel yang sangat mirip Bumi. Pantas saja game Everna Online dibuat dengan teramat detil dan kompleks, sehingga harus ditampung dalam server-server super yang setara dengan pusat-pusat data berkapasitas terbesar dan berkecepatan tertinggi di Bumi saat ini.

 

Tiba-tiba, suara seorang pemuda bernada santai menyapa Alistair Kane, "Hei, hei, kau ini utusan Sang Pencipta untuk menimpakan murkanya padaku, ya?"

 

"Tidak persis begitu," ujar Alistair sambil menoleh pada si pembicara. "Aku kemari hanya untuk memperbaiki segala sesuatunya hingga kembali seperti semula. Apa kabar, Fatanir?"

 

Fatanir, si pemuda berjambul kribo dengan kulit berwarna sawo matang itu terperanjat melihat wajah di balik tudung itu. "L-lu ini...? Bukankah lu udah...?" Raut dan ekspresi wajahnya dibuat-buat sedemikian rupa, sehingga bahkan Alistairpun merasa ingin tersenyum sekaligus menampar si "Kribo Mantap" itu.

 

"Nama asliku Alistair Kane, dan ya, aku masih hidup." Alistair tersenyum kebapakan. "Pertama-tama kuucapkan selamat, Fatanir. Kau sudah dinobatkan sebagai juara turnamen antar-ranah, Battle of Realms."

 

"Beneran?" Fatanir mengernyitkan dahi. "Setahu gue, gue baru saja mulai mencoba membangun sebuah dimensi baru setelah terpaksa gue rombak. Tapi ternyata seseorang udah selesaikan itu buat gue, dan Kana, gadis yang beserta gue tadi itu lenyap."

 

"A-apa?" Kali ini giliran Alistair ternganga. "Jadi Planet Sol Shefra serta Ranah Alforea, Amatsu, Nanthara dan sebagainya itu termasuk dalam... Semesta Omnia?" Ironis, Alistair tak tahu tentang itu. Apakah karena ia sempat "dilemahkan" di Alforea, pengetahuan tentang keberadaan Sol Shefra di Omnia sempat "dihapus" dari benaknya?

 

"Oh, nama semesta ini Omnia, ya." Fatanir mengorek telinganya. "Kalau Omnia muncul kembali, berarti Sol Shefra, planet penuh pengacau yang memperebutkan Kotak Laplace itu juga muncul kembali dan menjadi nyata, lagi-lagi melanggar takdir kemusnahannya. Kalau begini jadinya, gue harus kembali menjadi Fatashura Dragunir, merombak ulang seluruh dimensi ini sekali lagi!"

 

"Maaf, tapi aku tak bisa membiarkanmu melakukannya," ujar Alistair Kane.

 

"Heh? Atas dasar apa? Kekuatan lu? Ooo-oh, ada dewa sungguhan di sini! Ampun, ampun, hamba jadi takut... NGGAK!" Polah Fatanir yang berubah-ubah itu menebar kesan, ia sedang menyindir dan memancing emosi lawannya.

 

Dengan tenang Alistair mengeluarkan tiga buah bola dari kantung jasnya. Bola-bola yang tampaknya terbuat dari kristal namun elastis itu berpendar lembut, masing-masing berwarna merah, hijau dan biru. Melihat itu, Fatanir kembali menyindir, "Haha, buat apa sih bola-bola itu? Lu mau main juggling seperti badut sirkus?"

 

"Yeah, benar. Terserah apapun anggapanmu, kita harus tentukan sekali lagi takdir mana yang lebih kuat." Alistair lalu menunjuk ke dadanya sendiri. "Lewat takdir dan rentetan kenyataan lain milik Mima Shiki Reid, Mima telah menyerahkan Kotak Laplace ke tangan sobatku, Radith. Radith lalu mengembalikan kekuatan sejatiku dan aku memulangkan Radith, Mima, bahkan semua peserta Battle of Realms lainnya, hidup atau mati, termasuk dirimu dan diriku sendiri ke ranah masing-masing dalam keadaan hidup. Sekembalinya di ranahnya, Radith menyerahkan Laplace padaku. Namun, tak lama kemudian kenyataan versi dirimu menyeruak, dan semua malah harus musnah... kecuali diriku. Maka, kini aku, mewakili semua yang lain akan melumpuhkanmu, memusnahkan Dragunir dan kembali mendayagunakan Laplace untuk mengembalikan semuanya seperti semula!"

 

Fatanir malah menepuk jidatnya. "Aduh, si om ini! Kalau nggak suka ending cerita dan kenyataan versiku bilang aja langsung, nggak usah bikin rematch segala!"

 

"Memangnya kalau hanya bilang saja, kau akan mengembalikan semuanya seperti semula?"

 

"Nggak. Gue mau bikin dimensi baru sendiri, suka-suka gue."

 

"Tuh 'kan! Bicaramu berputar-putar, apa kau ingin memancing emosiku atau sengaja mengulur waktu?" Sambil memutar-mutar ketiga bolanya di satu telapak tangan, Alistair diam-diam menghimpun energi cahaya yang sumbernya terutama dari matahari terdekat.

 

"Lho, lu tuh yang lagi mengulur waktu, lu sangka gue gak tau lu lagi ngapain? Jawab aja tadi lu utusan Tuhan buat menghukum gue, beres 'kan? Kita tinggal gebug-gebugan!" Padahal Fatanir sendiri juga sedang mengakses segala teknologi di Planet Everna, yang saat ini kira-kira setara dengan Bumi Abad Keduapuluhenam Masehi. "Udahlah, gak usah bersilat lidah! Biar gue paksa lu balik aja ke tempat asal lu, dan gue rombak tempat ini seenak jidat gue! Makan nih!"

 

Fatanir mengayunkan kedua tangannya yang menyamping ke depan. Sejenis roda bergerigi berwarna emas yang menempel di dadanya yang bernama Ashura berputar cepat, memancarkan kilau keemasan laksana cahaya dewata. Seketika itu pula, tampak pelbagai wahana termasuk pesawat tempur, rudal, bahkan kapal perang dan kapal selam yang tak terhitung jumlahnya meluncur dari Planet Everna, menyerbu ke arah Alistair Kane. Ternyata kekuatan teknopati Fatanir saat ini setara, bahkan lebih mengerikan daripada kekuatan dewa.   

 

Alistair Kane telah siap-sedia. "Lihatlah cara Kekuatan Trinitas Semesta menangkal jurusmu." Dengan cepat ia menebar ketiga Bola Mustika Trinitas Semesta. Bola-bola gaib itu melayang-layang di ruang hampa tanpa gravitasi ini. Jari-jari Alitair mengendalikan ketiganya dari jauh sambil mengalirkan energi tak kasat mata.

 

Segala wahana Fatanir cepat membidik, lalu menembakkan rentetan peluru, rudal dan sinar laser. Semua itu melesat bagai curahan hujan tanpa henti ke arah Alistair.

 

Ketiga bola gaib lantas membentuk sebuah medan perisai berbentuk segitiga sama sisi beberapa langkah di depan tubuh Alistair, terus berputar melindungi penggunanya dengan energi cahaya matahari, sempurna menangkal hujan tembakan.

 

Namun, sebuah rudal raksasa berhulu ledak nuklir meledak saat membentur medan pelindung. Imbas daya benturan yang mampu meluluhlantakkan sebuah kota itu membuat Alistair terpental mundur. Sedikit darah segar mengalir dari sudut mulut Alistair, menandakan ialah yang pertama mendapat luka dalam gebrakan pertama ini.

 

"Huh, duta Tuhan apaan?" ejek Fatanir. "Biar kuhabisi saja kau dengan ini! Kamikaze!"

 

Setelah menghabiskan seluruh amunisi tadi, semua wahana yang digerakkan teknopati Fatanir serempak melaju maju, siap menabrakan diri ke satu titik sasaran, yaitu Alistair.

 

Melihat itu, Alistair malah tersenyum dan melambai-lambaikan tangan. Bola-bola gaib lantas terbang dalam kendalinya menuju sasaran. Lantas energi serapan matahari yang masih berlimpah diproses dengan kecepatan cahaya dalam tiap bola. Bola merah memproses energi menjadi Cahaya Negatif Semesta, bola biru menembakkan Cahaya Positif Semesta, sementara Cahaya Netral Semesta dihasilkan bola hijau.

 

Ketiga Bola Trinitas Semesta menembakkan ribuan larik cahaya penghancur setiap detiknya. Semuanya tepat menghancurkan semua sasaran, tak satupun energi tembakan itu terbuang sia-sia.

 

Balas ditembaki, wahana-wahana Fatanir berledakan. Banyak sekali di antara wahana-wahana itu yang sedang dikendarai dan ditumpangi manusia. Melihat itu, Alistair terperanjat dan menghentikan serangannya. "Gila! Kejam kau, Fatanir!"

 

"Siapa suruh manusia mengeksploitasi teknologi? Mereka pantas mendapatkannya! Tenang, Al, gue masih punya banyak 'peluru'!" Fatanir menunjuk ke arah Alistair bagai Panglima memerintahkan pasukannya maju menyerang. Makin banyak pesawat tempur, tank dan wahana tempur lainnya muncul dan langsung menyerang.

 

"Kalau ingin menang, lu harus berani bersikap kejam! Kalau nggak, pulang aja lu ke alam lu, main game sana!" Ejekan-ejekan Fatanir tepat sasaran, namun makin keterlaluan. Ini setara dengan serangannya yang makin menggila. Kali ini, tiga rudal berhulu ledak nuklir ditembakkan dari kapal-kapal selam.

 

"Aha!" Alistair lantas mendekatkan ketiga bolanya pada ketiga rudal itu. Dari bola-bola itu terpancarlah larik-larik sinar putih yang seakan "mengikat" rudal-rudal itu. Sambil terus melesat terbang menghindari serbuan wahana-wahana, Alistair mengendalikan dan mengubah arah ketiga rudal, yang berbalik menyerang Fatanir.

 

Sadar tubuh manusianya takkan tahan terkena ledakan, apalagi ledakan nuklir, Fatanir menarik banyak wahana yang ia panggil dan mengumpulkannya untuk ia jadikan perisai atau benteng, sementara ia sendiri terbang menjauh.

 

Perisai "dadakan" itu membuat Alistair tak sempat lagi membelokkan rudal-rudalnya ke arah lain. Terpaksa ia menabrakkan ketiga rudal itu sekaligus ke satu titik pada "benteng wahana" Fatanir. Ledakan nuklir yang tiga kali lebih dahsyat daripada sebelumnya berimbas ke segala penjuru. Fatanir yang berjarak paling dekat dengan pusat ledakan terpental amat jauh ke satu arah, dan Alistair ke arah berlawanan.

 

Aura pelindung tubuh ilahiah yang melambari seluruh tubuh Alistair membuat Sang Musafir hanya terasa seperti terhantam tinju separuh tenaga saja. Namun, ia butuh waktu beberapa detik untuk meredam daya imbas nuklir dan menyeimbangkan posisi tubuhnya yang kini tak kenal atas-bawah, tak tentu arah.

 

Dengan aura gaibnya, Alistair lantas mencoba melacak keberadaan aura Fatanir sejauh mungkin, sambil bergerak ke arah kira-kira dia pergi. Sayang, keberadaan Si Kribo Mantap itu tak terdeteksi sedikitpun. Di manakah dia berada di alam raya nan luas ini?

  

Alistair Kane lantas membatin, sorot matanya sarat murka mendalam. Kalau sampai Semesta Omnia ikut musnah gara-gara Fatanir, awas kau, Huban.

 

==oOo==

 

Alistair Kane terbang dengan amat cepat, terus memburu Fatanir tanpa berhenti sedetikpun. Planet demi planet, bintang demi bintang berkelebat amat cepat dalam penglihatannya. Anehnya, ia tak kesulitan bernapas seperti manusia pada umumnya dalam ruang angkasa yang seharusnya hampa udara ini. Seolah-olah memang ada udara dalam Semesta Omnia ini.

 

Mata Alistair melacak, menerawang ke kejauhan, melacak tiap gugusan bintang yang ia lewati. Hanya satu hal yang dipikirkannya, Aku harus menghentikan kegilaan Fatanir! Orang gila yang ingin membunuh Tuhan dan merombak semesta itu tak boleh menjadi Tuhan yang baru!

 

Tiba-tiba telinga super Alistair menangkap suara-suara pertarungan di sebuah gugusan bintang di Caerver, sebuah galaksi berbentuk cakram bergigi lima yang sedang ia lintasi ini. Mungkin Fatanir ada di sana, dan seorang tokoh sesakti dewa lain tengah menghadangnya. Namun makin dekat ke tempat pertarungan, Alistair mengenali aura masing-masing petarung itu bukanlah aura Fatanir. Tetap saja, suatu firasat mendorongnya untuk terus mendekat.

 

Ternyata benar, tak satupun dari kedua sosok seperti pria yang sedang bertarung sambil terbang di ruang angkasa itu adalah Fatanir. Salah satu dari mereka adalah seorang pria muda berambut pendek berwarna putih, tebal, bergelombang dan acak-acakan, mengenakan celana dan jas panjang berwarna serba hitam.

 

Petarung kedua berwujud sangat aneh. Seluruh tubuhnya, dari ujung kepala sampai ujung kaki berbentuk seperti manusia pria bertubuh kekar, namun hampir sepenuhnya terdiri dari semacam zat biru terang, translusen yang lunak seperti jeli atau puding. Ia tak mengenakan pakaian apapun, dan tak punya alat kelamin di selangkangannya.

 

Melihat kedua petarung itu sedang jual-beli serangan dengan dahsyatnya, Alistair tak langsung terjun dan ikut campur. Firasatnya berkata, kali ini ia memutuskan sebaiknya mengamati dulu para petarung ini, kekuatan, kelemahan dan tujuan mereka masing-masing, baru bertindak.

 

Si manusia jeli biru lantas mundur dan menjaga jarak. Di belakangnya tampak sepasukan Enshaka, yaitu manusia jeli kloning yang bentuk dan ukurannya persis dirinya. Sebaliknya, di sekitar Alshain Kairos tampak sepasukan pelbagai makhluk termasuk manusia yang siap membantunya bertarung, yang ia panggil dengan ilmu Tempus Vestigium. Alistair mengenali beberapa di antara mereka, yaitu para peserta turnamen Battle of Realms. Yang paling menarik perhatiannya, tentu saja Radith dalam wujud pahlawan supernya, Vajra juga ada di sana.

 

"Bagaimana, Alshain Kairos? Berapa banyak lagi pasukanmu yang ingin kuubah menjadi Enshaka?" Si manusia biru menantang.

 

"Dan berapa banyak lagi kloning parasitmu yang kubunuh dengan pedangku ini, Lazuardi?" Alshain "Kai" Kairos mengacungkan benda yang ia "pinjam" dari masa lalu dengan salah satu ilmunya, Tempus Vestigium, yaitu pedang jenis Katana bernama Masamune. Tajam tanpa tandingan, pedang ini dapat membelah tubuh sekeras apapun tanpa dilumuri darah, jeli atau zat apapun dari korbannya.

 

"Sebanyak apapun yang kaubunuh, kau takkan pernah bisa membunuh diriku yang asli," balas Lazuardi. "Setelah kubereskan kau, aku akan membunuh Thurqk, dan Pulau Nanthara akhirnya akan menjadi milikku... selamanya!"

 

"Tidak kalau kuhancurkan Nanthara dulu bersama seluruh Planet Sol Shefra!" Kai tampak sangat bernafsu sekali, seolah kenyataan bahwa ranah-ranah yang seharusnya telah musnah lalu lahir kembali adalah kenajisan baginya, Sang Pemeta Dimensi ini. Pasukan Kairos, serbu!"

 

Lazuardi ikut maju bersama pasukannya, "Pasukan Enshaka, tulari mereka!"

 

Kejadian selanjutnya terlalu cepat dan terlalu banyak untuk dijabarkan dengan kata-kata. Sesosok Enshaka berhasil menginfeksi salah satu pendekar dalam Pasukan Kairos, hanya untuk dihancurkan oleh tinju petir Vajra. Lazu sendiri mengubah bentuk tubuhnya menjadi bertangan raksasa dan menghantam Vajra sampai terpental. Ia lantas menempelkan telapak tangannya di tubuh salah seorang pendekar lain, mengubah orang itu menjadi manusia jeli persis Lazu.

 

"Parasit menyebalkan!" Wujud Kai seolah menghilang dengan ilmu teleportasinya, Shortcut dan Transporter, lalu saat berikutnya muncul kembali di belakang tubuh Lazuardi dan mengayunkan pedangnya secepat kilat.

 

Secepat kilat pula Lazu membengkokkan bentuk tubuh bagian atasnya hingga tampak seakan-akan patah. Tak menguasai ilmu pedang apapun, bilah super tajam pedang Kai hanya membelah ruang kosong saja. Tak berhenti di sana, Lazu kembali mengubah bentuk lengannya jadi sangat besar. Ia menyarangkan satu tinju dahsyat di perut lawan, sehingga Kai terpental ke arah atas.

 

Aksi Lazu itu membuat Alistair terkesiap. Apalagi yang Alistair lihat berikutnya Lazu terbang dengan amat cepat ke arah dirinya.

 

"Hei, tunggu! Aku...!" Sebelum Alistair menyelesaikan kalimatnya, tinju raksasa Lazu telah berdesir keras tepat ke arah wajahnya. Terpaksa ia berkelit sambil bersalto ke belakang, menendang telak dagu Lazu.

 

Alistair cepat-cepat kembali ke posisi tegak lurus. Tampak olehnya tubuh Lazu sedikit terdorong mundur, wajah dan kepalanya terdorong menyamping ke atas.

 

"Hih, kaukira tendanganmu bisa mencederaiku, ya? Pikir lagi, Pak Janggut!" Murka, Lazuardi mengubah bentuk kedua tangannya menjadi sepasang golok biru nan tajam, lalu maju menyerang Alistair. Tak hanya itu, banyak Enshaka alias kembaran Lazu lainnya juga ikut menyerang dengan lengan-lengan golok yang sama. Alistair dalam bahaya dikeroyok pasukan manusia jeli.

 

Untunglah Alistair sempat menebar tiga Bola Trinitas Semestanya dan menyerap banyak energi dalam perjalanan tadi. Kini bola-bola itu melayang-layang, menembaki dan menebasi Lazu dan pasukannya dengan Cahaya Suci Trinitas Semesta, sinar-sinar penghancur yang seperti bilah pedang amat panjang. Karena cahaya suci tiga kutub itu juga tajam, tubuh para manusia jeli itu jadi berlubang-lubang, tersayat-sayat dan bahkan ada yang terpenggal-penggal.

 

Namun, banyak juga Enshaka yang walaupun sudah berlubang, terpenggal dan seharusnya mati malah masih bergerak, maju menyerang dengan ganas. Mungkin itu sisa letupan energi puncak yang mereka kerahkan habis-habisan sebelum mati sebentar lagi.

 

Alistair bergerak mundur sambil terus mengendalikan bola-bolanya menyerang musuh. Namun banyak Enshaka itu telah mengubah tubuh mereka menjadi lebih ringan. Pergerakan mereka luar biasa cepat, dan saat Alistair masuk jarak serang para manusia jeli bergantian menyerang Alistair dengan tangan-tangan golok mereka. Alistair yang kewalahan terus bergerak mundur, namun darah mulai bercipratan dari luka-luka sayatan baru di sekujur tubuhnya.

 

"Kau sungguh tangguh, bung, tapi Lazuardi jelas lebih kuat darimu!" Menegaskan keunggulan fisiknya, Lazuardi induk menyeruak maju dan memberondong tubuh Alistair dengan rentetan sayatan tangan golok dan tendangan telak.

 

Alistair berteriak kesakitan, lapisan energi pelindung tubuhnya jebol dan buyar. Satu sabetan golok lagi, tubuhnya yang kini rapuh pasti akan terluka parah, bahkan Alistair bisa tewas.

 

"Eit, jangan mati dulu! Aku masih ingin memanfaatkanmu!" Lazuardi mengubah satu tangan goloknya menjadi telapak tangan biasa, siap mengubah Alistair menjadi anggota baru Pasukan Enshakanya, lalu melesatkan tapaknya tepat ke dada lawan.

 

Wajah Alistair pucat-pasi seketika. Dalam kondisi terlemahnya ini, ia sulit menghindari nasib menjadi manusia jeli budak Lazuardi...

 

Tiba-tiba, satu sabetan pedang memaksa Lazu menghentikan laju tapaknya dan melayang mundur. Bilah Masamune menggores batang tubuh Lazu, amat memanjang diagonal dari pinggang hingga bahu, darah biru muda translusen merembes keluar dari luka besar itu.

 

Memegangi luka besarnya, Lazu menghardik, "Huh! Mencuri serang saat aku hendak menginfeksi petarung terkuatmu? Busuk kau, Kai!"

 

Sementara si penyerang, Alshain Kairos hanya berdiri tenang di tempat, mengetuk-ngetukkan sisi tumpul bilah Masamune di bahunya. "Terima kasih untuk pujiannya, tapi si janggut putih itu bukan anggota pasukanku."

 

Alistair Kane baru sadar semua mata kini tertuju padanya. Namun ia memilih diam saja dan diam-diam menghimpun energi.

Kata "terima kasih" atas pertolongan Kai yang tepat waktu tertahan di bibir Alistair. Pasalnya, nuansa yang terpancar dari senyuman di wajah tampan pemuda berinisial nama sama dengannya itu membuat Alistair merasa bagai berhadapan dengan sisi gelap dirinya sendiri. Apapun yang ia katakan mungkin bakal digunakan Kai untuk memanipulasinya.

 

Lazu lantas berseru, "Kalau begitu, ayo kita tuntaskan pertempuran kita...!"

 

"Tunggu!" Kai tak mengubah gaya dan ekspresinya, hanya mengacungkan telunjuknya. "Asal kalian tahu, tadi aku hanya pura-pura terluka berat. Saat kau dan pasukanmu sibuk menginfeksi pasukanku, Lazu, aku diam-diam berteleportasi mengerahkan Ilmu Omnicarta, memetakan seluruh galaksi sebelah yang berbentuk piring terbang. Dan aku telah menggunakan Path Bending untuk menggerakkan semua planet dan bintang di galaksi itu dan menabrakkan mereka semua pada galaksi cakram-bergerigi ini."

 

Kai menunjuk ke belakangnya, tampak jutaan planet dan bintang tengah melaju ke arah mereka. "Lihat, itu seranganku melaju sangat cepat ke arah kita. Dijamin kalian semua, termasuk seluruh pasukan kalian akan lumat dilanda sebuah galaksi, sebentar lagi. Oh ya, Planet Sol Shefra di Galaksi Caerver ini pasti takkan luput dari penghancuran total, sekali lagi. Tak ada Sol Shefra, berarti tak ada Ranah Nanthara yang dikelilingi lautan maha indah untuk kaukuasai, Lazu!"

 

Menyadari penghancuran maha dahsyat yang bakal terjadi, Alistair Kane tak bisa menahan diri lagi, air matanya berderai deras. "Apa?! Kau ingin menghancurkan dua galaksi demi meraih kemenangan, Alshain Kairos?"

 

"Yeah," jawab Kai enteng. "Memangnya kau siapa, Pak Janggut? Tuhan?"

 

"Bukan. Tapi aku, Alistair Kane terpaksa harus membuka batasan kekuatanku sendiri dan meminjam kekuatan ilahi, mewakili pencipta Semesta Omnia untuk menghukummu!" Kali ini ia menebar ketiga bolanya yang lalu melayang berputar-putar. Lantas, dengan kekuatan ilahinya ia baru dapat mengerahkan ilmu Pengukir Selaksa Legenda, mengambil alih kendali segala energi dari setiap planet dan bintang di Galaksi Caerver.

 

Alistair lalu menghembuskan napas, menghentakkan kedua tangannya lurus ke depan. "Hah!" Galaksi Caerver kini seakan-akan jadi berjuta-juta Bola Trinitas Semesta. Jutaan berkas cahaya dari intisari energi semua planet dan bintang itu ditembakkan lurus ke arah jutaan benda langit lain yang hendak melanda, menabrak galaksi ini. Berkas-berkas bagai sinar laser raksasa itu lantas meluluhlantakkan setiap sasaran yang mereka tembusi. Berjuta-juta ledakan membahana, memenuhi ruang angkasa.

 

Namun, ternyata tak semua benda langit itu hancur. Masih ada bintang dan juga planet yang tak terhitung banyaknya yang masih meluncur. Tak terhitung pula dari mereka yang menabrak bintang-bintang dan planet-planet terluar Galaksi Caerver, ledakan-ledakan maha dahsyat kembali mengguncang antariksa.

 

Gilanya, kini satu bintang, tepatnya telah tampak sebagai sebuah matahari dan dua planet meluncur tepat ke arah medan pertempuran Pasukan Lazuardi lawan Pasukan Kairos. Lazuardi yang sedang sibuk bertarung melawan Kai untuk mencegah Kai "mengganggu" Alistair tak ayal berteriak panik, "Semua Enshaka, mundur sejauh-jauhnya!" Pasukan Enshaka lantas melayang pergi, menyebar ke segala arah, diikuti oleh pasukan pendekar pendukung Kai yang jumlahnya kini tak lebih dari sepertiga pasukan lawan.

 

Sebaliknya, Alshain Kairos sama sekali tak menunjukkan kepedulian pada "pasukan panggilan"-nya. "Nah, karena nasib kalian semua pasti berakhir di sini, saatnya aku pergi dari sini." Mendayagunakan ilmu teleportasi yang disebut Shortcut, tubuh Kai lenyap seketika. Ia berpindah ke suatu tempat lain, mungkin sebuah galaksi jauh yang sempat ia petakan sebagai tempat pelariannya.

 

"Dasar pengecut si Kairos itu...! Mengorbankan seluruh pasukannya sendiri dan melarikan diri begitu saja?! Bagaimana ini, Alistair Kane?" Lazuardi berseru dengan nada panik.

 

"Perintahkan pasukanmu membidik tepat ke tengah matahari itu dengan tangan mereka, Lazu! Biar kuurus sisanya!" Tanpa menunggu respon Lazu, Alistair kembali menyerap energi dari  Galaksi Caerver dan menampungnya dalam ketiga bola Trinitas Semesta.

 

Tiga bola, merah, biru dan hijau lantas kembali membentuk formasi segitiga sempurna di posisi ubun-ubun, dekat kaki kiri dan dekat kaki kanan Alistair. Dengan satu entakan, Alistair menembakkan Cahaya Suci Trinitas Semesta yang telah terpusat, terkonsentrasi dan dimampatkan dalam satu larik raksasa dari formasi segitiga itu. Tak hanya itu, ada pula larik-larik cahaya lain dari beberapa planet dan bintang Galaksi Caerver, ditembakkan, lalu dibiaskan, dipantulkan dan diperkuat dayanya lewat tubuh-tubuh tranlusen para Enshaka Lazuardi. Semua diarahkan ke satu titik, yaitu di titik tengah matahari terdepan.

 

Alhasil, matahari yang jaraknya tinggal kira-kira satu juta kilometer lagi pecah menjadi dua bagian. Lalu, bagai bola bilyar yang disodok oleh pemain kawakan, kedua pecahan matahari itu menyebar ke arah kiri dan kanan, tepat menghantam kedua planet yang meluncur di belakang matahari itu hingga ikut hancur berkeping-keping.

 

Seluruh massa yang menyaksikan fenomena antariksa maha dahsyat ini ternganga. Karena ditinggal pemimpin mereka, para pendekar Pasukan Kairos satu-persatu lenyap, kembali ke alam dan ranah mereka masing-masing. Lazuardi yang sudah tak berminat lagi melanjutkan pertarungan mengacungkan kedua tangannya. Zat jeli Enshaka lantas luntur dari semua pendekar yang telah ia jadikan inangnya, lalu kembali merasuk dalam tubuh Lazu yang berpendar kebiruan. Tubuh para pendekar sakti yang kini terbebas dari infeksi Enshaka lenyap pula, nasib dan eksistensi mereka kini sepenuhnya dikembalikan pada pencipta mereka masing-masing.

 

Namun, yang paling melegakan bagi Alistair adalah, Vajra Radith juga termasuk para pendekar yang berhasil kembali ke ranah asal. Ia lantas bicara pada Lazuardi, "Nah, apakah kau ingin kembali ke ranahmu sendiri pula, Lazuardi?"

 

Lazuardi menggeleng. "Belum. Memang, karena Nanthara kini kembali musnah, satu-satunya pilihan untukku pulang hanya planet serba lautan, Aspermina, tanah airku yang sejati. Maaf ya tadi aku salah paham padamu, Alistair Kane."

 

"Tak apa," tanggap Alistair. "Setidaknya kini kita berdua masih tetap berdiri tegak, walau sama-sama terluka. Sekarang aku tahu bahwa yang bersekongkol untuk memusnahkan seluruh dimensi tempat Sol Shefra berada adalah Alshain Kairos dan Fatanir. Kita harus mencari dan menghentikan mereka, bahkan memusnahkan mereka bila perlu. Aku tak ingin ada galaksi lain, bahkan satu planetpun musnah gara-gara mereka berdua."

 

Kata Lazuardi sambil tertunduk, "Yang kutakutkan, firasatku berkata bahkan seluruh semesta ini terancam hancur, hanya demi memuaskan keinginan orang-orang yang ingin menjadi Tuhan."

 

==oOo==

 

Masalahnya sekarang, ke mana lagi Alistair Kane dan Lazuardi harus pergi mengarungi semesta raya nan luas ini demi mencari Fatanir dan Alshain Kairos?

 

Kembali di dekat Planet Terra Everna, Lazuardi lantas mengajukan usul. "Aku akan menggunakan jurus terkuatku, Enshaka Lamastu, melahirkan parasit Enshaka yang tak terhitung jumlahnya. Lalu aku akan menyebarkan mereka semua ke seluruh penjuru alam semesta, mencari Fatanir dan Alshain Kairos, menyampaikan pesan bahwa kita menunggu mereka di sini untuk bertarung secara frontal."

 

"Canggih juga usulmu, Lazu," jawab Alistair. "Tapi, bukankah Enshakamu butuh tubuh-tubuh lain untuk dijadikan parasit?"

 

"Ya, begitulah. Aku perlu menciptakan zona-zona kelahiran di Planet Everna, dan menggunakan tanah, air, udara dan jutaan populasi makhluknya untuk membentuk pasukan baru."

 

Alistair langsung bereaksi. "Jangan! Bukankah tadi sudah kubilang aku takkan membiarkan satu nyawapun di Semesta Omnia ini menjadi korban berikutnya?!"

 

"Andai ada jalan lain yang lebih baik." Lazu menghela napas. "Namun, seperti yang kita alami tadi, demi menyelamatkan satu semesta, kita harus tega dan rela mengorbankan satu galaksi. Apalagi mengorbankan hanya beberapa juta nyawa saja, itu belum seberapa dibanding galaksi yang sudah musnah tadi."

 

Gigi Alistair gemeletak dalam dilemanya. Akhirnya ia tertunduk sambil berkata, "Baiklah, lakukan saja sesuai usulmu itu, Lazu."

 

"Nah, tolong berjagalah selama aku menyerap energi yang dibutuhkan," ujar Lazu.

 

Alistair mengangguk. Walau hatinya berat mengorbankan nyawa-nyawa di Everna, ia terpaksa meluluskan usul Lazu yang kejam itu, dan memutuskan ikut menyerap energi dari seluruh semesta, mempersiapkan dirinya sendiri pula.

 

Satu hal lagi yang Alistair baru sadari, bukankah penyerapan energi dari inti tiap planet dan bintang juga adalah pengorbanan? Artinya, ada resiko keseimbangan alam dan kosmik planet atau bintang itu mungkin bakal terganggu karenanya. Akhirnya, gangguan itu bakal membahayakan, bahkan menghilangkan jutaan, bahkan milyaran nyawa.

 

Tiba-tiba sebuah lubang portal gaib terbentuk di hadapan Alistair dan Lazu. Seorang gadis belia berparas manis muncul dari dalam portal itu, lalu berdiri dengan gaya sesopan mungkin di hadapan keduanya.

 

Dengan suara merdu dan nada sopan serta lembut, gadis itu ambil inisiatif bicara, "Halo, kalian pasti Alistair dan Lazuardi, ya. Aku Kana, teman Kak Fata. Kak Fata menyampaikan pesan, mengajak kalian berlaga dalam 'tanding ulang' di dekat Planet Sol Shefra. Kudengar tarung ini bakal sangat seru, apa memang begitu?"

 

"Yup, ini bakal seperti perang pamungkas dewa-dewa, Ragnarok! Ayo!" sesumbar Lazu sambil melayang ke arah portal gaib.

 

"Tunggu, Lazu! Apa kau yakin gadis itu benar-benar teman Fatanir? Lagipula, bagaimana dia bisa tahu kita ada di sini?" sergah Alistair.

 

Kanalah yang memberi tanggapan, "Setelah menentang Tuhan dan menghancurkan sebuah dimensi untuk kelak ia bangun lagi sesuai keinginannya... keinginan kami... Kak Fata jadi maha tahu. Ia sengaja menunggu hingga kekuatan kalian mencapai taraf dewata agar dapat bertarung dengan adil dan seimbang."

 

"Sudahlah Alistair, terima saja," timpal Lazu. "Kekuatanmu kini sudah sampai taraf Maha Kuasa, Tak Terbatas, bukan? Jadi, kalaupun si Fatanir itu ternyata bohong, menjebak kita pasti takkan mudah, 'kan? Atau, apa mungkin kau... takut pada mereka?"

 

Hati Alistair diam-diam terhentak. Ia bukan takut pada Kai, Lazu atau Fata, melainkan takut kehilangan segalanya. Semesta tanah-airnya, yang seharusnya ia jaga dan bela dengan segenap jiwa, raga dan kekuatannya.

 

"Baik, ayo kita temui Fatanir," sahut Alistair sambil melayang ke arah portal gaib. Ia baru sadar, satu-satunya cara untuk mengatasi ketakutannya itu adalah dengan menghadapi sumber ketakutan itu sendiri.

 

Lazuardi mendahului Alistair, tubuhnya tampak seakan lenyap dalam portal gaib itu. Alistair menyusul kemudian, rasanya seperti sedang menyusuri terowongan serba gelap, tanpa diterangi bintang satupun.

 

Saat keluar dari portal itu, tampaklah oleh Alistair planet hijau-dan-biru, Sol Shefra. Tadi Alshain Kairos mengklaim telah menghancurkan planet itu bersama galaksi yang ia gunakan untuk menghancurkan Galaksi Caerver tadi. Ternyata Kai bohong, Sol Shefra masih ada.

 

Si gadis pengantar, Kana lalu mengangguk pada Fatanir di kejauhan. Dengan terang-terangan, pemuda kribo yang kini mengenakan tuksedo hitam dan memamerkan roda emas bergerigi, Ashura di dadanya itu maju, menyambut kedua pendatang itu. "Selamat datang, Alistair Kane dan Lazuardi, di tempat segalanya berawal. Di sebuah planet yang seharusnya telah hampir kosong karena empat ranah besarnya telah musnah. Namun, dengan teknologi yang seharusnya berpihak pada gue, ranah-ranah itu bangkit sebagai data dalam server-server komputer."

 

"Ya, sebuah langkah amat berani dari Hewanurma, Tamon Ruu, Netori dan 'Empat Besar' penguasa Sol Shefra," ujar Alistair.

 

Fatanir melanjutkan ulasannya. "Lantas mereka bermain sebagai Tuhan, dengan cara mencari pewaris Kotak Laplace lewat turnamen Battle of Realms, berharap ia akan menggunakan relik itu untuk mengembalikan ranah-ranah data komputer itu ke kondisi nyata sebelum runtuh. Dan gue, Fatashura Dragunir telah menggagalkan rencana mereka itu. Gue udah ngancurin Sol Shefra, Laplace dan seluruh dimensi yang menaunginya! Puas gue! Puass!"

 

Alistair Kane mengangkat bahu. "Nah, di sanalah masalahnya. Server-server di Sol Shefra berhubungan erat dengan server utamanya yaitu game Everna Online, produk perusahaanku. Jadi, setelah dipulihkan dengan Laplace, ranah-ranah Alforea, Amatsu, Nanthara dan sebagainya kembali menjadi bagian Sol Shefra sejati, salah satu planet di Semesta Omnia, tempat asalku. Itulah kenyataan versi Mima Shiki Reid yang terjadi pula padaku, dan kuakui sebagai kenyataan sejati. Parahnya, kau malah membuat kenyataan yang lebih kuat. Akibatnya, segalanya hancur, termasuk server Everna Online dan yang paling parah, Semesta Omnia pula. Maka, kini aku terpaksa turun tangan untuk mengubah takdir 'Fata-Nir' ini dengan paksa."

 

"Maksa gue, lu bilang? Emangnya lu bisa, eh?"

 

"Tentu bisa. Pada bentrokan kita sebelumnya, aku sengaja menahan diri dan membatasi kekuatanku sendiri. Kali ini, kau akan mencicipi kekuatan pengubah takdir tanpa batas, yang melebihi Laplace atau apapun!" Menegaskan ancamannya, Alistair kembali melayangkan bola-bola gaib merah-biru-hijaunya. "Lazuardi, ayo kita beri pelajaran pada si penghancur ini!"

 

Namun Lazuardi malah melayang, menjauhkan dirinya dari Alistair sambil berujar, "Maaf, Alistair. Sebenarnya aku tak hanya menginginkan Nanthara, melainkan seluruh dimensi ini. Seluruh planetnya akan terdiri seluruhnya dari lautan, indah sekali!"

 

Alistair mendengus kesal. Mungkin karena pencipta mereka sama, Lazu dan Fata sama-sama gila.

 

Menambah kerumitan konflik megakosmik ini, Alshain Kairos juga kembali tampil dari portal gaib, tentunya ia diundang pula oleh Kana.

 

Kai lantas berujar, "Semesta Omnia telah cemar, karena Sol Shefra mengubah masa lalu dan merekayasa takdir, membuat kenyataan-kenyataan yang tumpang-tindih, mengacaukan aliran waktu. Jadi aku mendukung kenyataan versi Fatanir dan bertekad merombak semesta ini sekali lagi untuk memperbaiki aliran waktu menjadi seperti semula."

 

"Aku sendiri adalah Sang Musafir, duta dan nabi utusan pencipta dan pemilik Semesta-Dimensi Omnia ini, yaitu Sang Sumber," balas Alistair. "Sudah kehendak Sang Sumber memberikan kesempatan kedua pada Sol Shefra. Jadi tak ada pilihan lain, aku harus menghentikan siapapun yang menentang kehendak Sang Sumber, Tuhan mahatinggi di Omnia ini, memusnahkan kalian bertiga bila perlu."

 

"Tidak sebelum kami menghancurkan Omnia lebih dahulu," ancam Alshain Kairos. "Kita bertiga dapat melakukan itu tanpa harus menggunakan Dragunir 'kan, Fata dan Lazu?" Kedua rekan Kai itu mengangguk mantap.

 

Jantung Alistair berdebar keras, hal yang paling ditakutkannya ini akan terjadi sebentar lagi. Yang lebih dilematis lagi, ia harus mengerahkan kekuatan maha kuasa pula, menyerap energi seluruh semesta untuk mengimbangi mereka bertiga. Tentu dengan resiko keseimbangan alam semesta ini juga bakal terganggu. Mencegah penghancuran dengan penghancuran, ironis bukan?

 

Para lawan beraksi seketika. Lazuardi lantas mengerahkan jurus pamungkasnya, Enshaka Lamashtu. Ia menciptakan zona-zona yang tak terhitung banyaknya, kira-kira milyaran dari segala tanah, air, udara dan makhluk di tiap planet di seantero semesta. Semua zona itu bermetamorfosis menjadi Enshaka, tubuh-tubuh parasit yang menjalar dan berakar bagai tumor. Lalu para Enshaka melepaskan diri dari zona-zona itu dan mulai beterbangan ke arah medan pertempuran dengan kecepatan beragam, ada yang mencapai kecepatan cahaya. "Haha, sekarang ada begitu banyak aku!" sesumbar Lazu.

 

"Nah, biar segala waktu berbalik menentang penciptanya!" Tak ketinggalan, Alshain Kairos mengulurkan tangannya dan mengerahkan sihir maha kuasa pemanipulasi ruang dan waktu, Tempus Vestigium. Karena ia tadi sempat memetakan seluruh Semesta Omnia dengan kemampuan Omnicarta, yang tampil membela Kai kali ini adalah para pendekar sakti dari segala zaman dan seantero Omnia. Tentunya mereka tak lebih dari budak-boneka yang telah dicuci otaknya. Kalau tidak, mustahil insan-insan berakal sehat bersedia membantu penghancuran alam semesta tempat tinggal mereka sendiri.

 

Fatanir tak mau kalah. "Kalau begini, gak perlu Dragunir, Teknopathia Ashura Semesta aja udah cukup ngancurin segalanya!" Mendayagunakan energi seluruh semesta yang telah ia serap sejak tadi, roda gerigi Ashura di dada Fata kembali berputar kencang. Di setiap putaran itu muncullah jutaan rudal kendali berteknologi tercanggih, masing-masing berhulu ledak nuklir. Jadi, saat pengerahan rampung, milyaran rudal nuklir telah memenuhi seluruh semesta.  

 

Sebaliknya, wajah Alistair Kane malah tampak pucat dan berkeringat dingin. "Tidak, tidak...! Jangan Omnia! Jangan hancurkan Omnia! Jangan paksa aku mengorbankan Omnia...!" Di puncak tekanan batinnya, Alistair terpaksa sekali lagi mengerahkan jurus maha kuasanya, Pengukir Segala Legenda. Ketiga Bola Trinitas Semesta berputar, mendayagunakan energi inti semua planet dan bintang di seantero semesta. Kedua mata Alistair kini menyorot tajam ke arah ketiga lawannya, siap melakukan satu pertaruhan terakhir.

 

Kana, si gadis misterius tiba-tiba muncul dan berdiri di tengah medan tarung antara keempat pria ini. Ia sengaja memberi aba-aba dengan berseru, "Musnahlah!"

 

Hampir bersamaan, pasukan Enshaka Lazu dan pasukan pendekar Kai menyerbu ke arah Alistair, sementara milyaran rudal Fata meluncur untuk meledakkan seluruh planet dan bintang di Semesta Omnia. Alistair Kane harus memilih, mempertahankan dirinya sendiri tapi kehilangan seluruh semesta, atau melindungi seluruh semesta dengan harga pengorbanan nyawanya sendiri.

 

Namun Alistair sudah mengambil keputusan bahkan sebelum jurusnya dikerahkan. Keputusan itu dinyatakan dengan tembakan-tembakan Cahaya Suci Trinitas Semesta dari semua bintang dan planet di Omnia hampir semuanya memberondongi Fata, Lazu, Kai dan seluruh pasukan yang menyerang Alistair. Hanya sebagian kecil rudal Fata yang hancur oleh cahaya suci, dan sisanya meluluhlantakkan dan meledakkan bintang-bintang dan planet-planet tanpa ampun, tentunya termasuk Sol Shefra.

 

Seluruh Semesta Omnia musnah sudah.

 

Gegap-gempita rangkaian milyaran ledakan berangsur sirna, berujung keheningan.

 

Kabar baiknya, Alistair Kane masih berdiri dan memegangi dadanya, tempat jantungnya berada. Kabar buruknya, seluruh tubuh Alistair sempat terhantam serangan yang tak terhitung banyaknya dari para pendekar boneka dan parasit Enshaka. Medan Welas Asih Dewa Cahaya, aura pertahanan ilahi yang melambari tubuhnya jebol dan buyar tak berbekas.

 

Sekali lagi, Alistair kini tak ubahnya manusia biasa berusia empat puluh tahun, dengan tubuh amat rentan, tanpa pertahanan sama sekali. Jubah dan semua pakaian putihnya kini berubah merah karena darah, sobek-sobek parah dan tampak hampir compang-camping seperti pengemis. Luka-lukanya terlalu parah, manusia biasa pasti sudah sekarat karenanya. Jadi Alistair sekarat.

 

Apalagi Alistair melihat Kana, si "penonton" serta ketiga lawan, Kai, Fata dan Lazu masih berdiri tegak. Ya, mereka memang tampak berdarah-darah, luka-luka dan terhuyung-huyung karena kehabisan daya dewata. Namun itu berarti Alistair Kane telah gagal memusnahkan para konspirator pemusnahan semesta itu. Betapapun mahakuasanya dia, Alistair, duta Sang Sumber pencipta, pemilik dan pemelihara Semesta Omnia telah kalah.

 

Senyum mengembang di wajah Fatanir yang berlumuran darah. "Udah gue bilang, semahakuasa apapun lu, lu gak mungkin bisa mencegah Omnia ancur di tangan kami bertiga!" Ejeknya sambil mengacungkan jari tengah ke arah Alistair. "Sekarang duduk tenang aja ya Pak Janggut. Nikmati saja detik-detik menjelang ajal lu, biar gue bikin semesta baru dan jadi penguasanya yang baru."

 

"Eh, enak saja! Aku sendiri saja yang harus jadi penguasa baru itu, mengubah semua planetnya jadi planet-planet serba lautan!" sergah Lazuardi. Darah biru translusen bercucuran di sekujur tubuhnya, yang kini bentuknya sudah tak keruan. Satu lengannya menggantung hampir putus, sementara batang tubuh dan kakinya tampak berlubang-lubang.

 

"Jangan lupa! Apapun yang ada di semesta baru itu, akulah yang mengatur arus waktunya!" Alshain Kairos jelas-jelas ingin memantapkan kedudukannya sebagai penguasa ruang dan waktu, yang bisa jadi memiliki peluang mempengaruhi, bahkan memanipulasi dewa-dewa lainnya.

 

"Terserah lu, Kai, pokoknya sekarang gue musti abisin si muke jeli ini dulu! Jangan seenaknya aja lu!" Fatanir mulai menghimpun energi lagi, dan Lazu juga ikut menghimpun energi.

 

Segala pembicaraan ini sudah amat keterlaluan bagi Alistair Kane. Air mata bercucuran keras di wajahnya, ia tertunduk dalam penyesalan mendalam dan rasa serba salah. Andai ia berani mengorbankan dirinya sendiri, Semesta Omnia pasti luput dari penghancuran pertama, namun sama sekali tak punya pertahanan untuk penghancuran berikutnya, andai ketiga "calon dewa" itu masih hidup dan kembali pulih. Jadi, penyesalan itu ia tumpahkan sepenuhnya dengan satu raungan penuh duka, "Omnia! Aku tak rela semesta asalku musnah begitu saja! Tak relaa! Pasti ada kekuatan yang melebihi segala kemahakuasaan dan segala ketakterbatasan! Pasti ada, dan aku pasti bisa mencapainya!"

 

Akhirnya, Alistair Kane meledakkan segenap rasa duka dan murka yang telah memuncak dan melampaui titik jenuh itu. Tubuhnya kembali tegak, ia menegadah, seolah menentang segalanya. Dewa, iblis, bahkan takdir itu sendiri. Seluruh tubuhnya kini diliputi aura yang sama sekali beda, yaitu api murka dewata yang berkobar-kobar dan bercahaya terik bagai sebuah matahari. Fatanir, Kairos, Lazuardi dan Kana serempak menoleh ke arah Alistair, wajah mereka semua mulai pucat diterpa tekanan energi Alistair itu.

 

Tangan Alshain Kairos bahkan menutupi sebagian wajah tepat di atas matanya seperti kesilauan. "Astaga, inikah kekuatan yang melampaui kemahakuasaan dan ketakterbatasan itu?" katanya. "Tingkat kekuatan yang hanya dimiliki pencipta jagad raya, Selaksa Ketakterbatasan?!"

 

Tudung pada jubah Alistair Kane tersingkap dengan sendirinya, menampilkan rambut putih panjang yang semuanya terangkat, berkobar-kobar bagai api di kepala Sang Musafir itu. Sepasang matanya yang menyala-nyala bagai api menyorot ke arah Lazu, Fata dan Kai seolah ingin menjatuhkan kiamat pada ketiganya.

 

Suara Alistairpun menggelegar, membahana, "Aku adalah Alistair Kane, pengemban Mandat Sumber Semesta. Dengan ini, aku takkan takut dan ragu lagi. Satu semesta musnah, selaksa semesta akan lahir menggantikannya!"

 

Ketiga Bola Trinitas Semesta kembali berputar mengelilingi tubuh Alistair dengan jalur lintasan yang terkesan acak. Planet-planet dan bintang-bintang kembali bermunculan memenuhi ruang angkasa. Bedanya, jumlah semesta itu kini ribuan kali lipat lebih banyak daripada semesta yang tadi dihancurkan Fatanir. Intinya, Semesta Omnia kini tak hanya satu, namun ribuan atau lebih.

 

"Menyerahlah, hai para penentang Sang Pencipta! Kalau tidak, tanpa ragu akan kukorbankan selaksa semesta ini, menimpakan hukuman ilahi bagi kalian!"

 

Namun Fatanir sama sekali tak tampak gentar dengan ancaman Alistair itu. "Apa kau lupa, Alistair? Dragunir adalah relik penghancur segalanya, termasuk takdir! Terserah mau satu, seratus, ribuan ataupun jutaan semesta sekalipun, segalanya pasti lenyap olehnya!"

 

Fata kini mengenakan sebentuk zirah kristal hitam, Ashura emas tetap seakan tersemat, menghiasi bagian dada zirah itu. Ia lantas menghimpun segala energi negatif dari selaksa jagad itu dan memampatkannya di satu titik, Ashura di Zirah Dragunir.

 

"Selaksa semesta lahir, Pasukan Enshaka Semestapun akan lahir selaksa kali lipat!" ancam Lazuardi, tubuhnya mulai menyerap energi dari selaksa semesta itu, bersiap mengerahkan jurus Enshaka Lamastu sekali lagi dengan daya ribuan kali lipat. Kali ini, setiap zona kelahiran akan langsung meledakkan setiap planet yang dinaunginya.

 

"Dan segala sesuatu yang nyata dalam selaksa semesta ini pasti akan tunduk pada kekuatan waktu!" Alshain Kairos juga menghimpun energi dan mengucapkan sebuah mantra rumit, pertanda ia akan mengerahkan kemampuan tertinggi Pemeta Dimensi Ruang dan Waktu, In Necis Renascor alias Penguasaan Mutlak Gravitasi, Ruang dan Waktu.

 

Lalu Fatanir bicara, "Mendingan, supaya adil, kita lepasin serangan bersama-sama, gimana?"

 

"Ya, siapa takut?" ujar Lazuardi.

 

Kai menimpali, "Saatnya menentukan siapa yang terkuat di antara kita berempat."

 

Alistair tak menjawab. Ia hanya menggeleng perlahan sambil bergumam pada dirinya sendiri, "Siapa yang berani kehilangan akan mendapat, dan siapa yang terlalu ingin mendapat akhirnya akan kehilangan. Akan kutunjukkan bukti pencerahan yang baru kudapat ini pada kalian bertiga."

 

Kali ini Kana menempatkan dirinya di balik tubuh Fatanir. Sekali lagi, gadis itu bertindak sebagai wasit dan memberi aba-aba.

 

"Tiga!"

 

Lazuardi telah tuntas menandai zona-zona kelahiran Enshaka Lamastu.

 

"Dua!"

 

Alshain Kairos merentangkan kedua tangan, entah manipulasi waktu apa yang akan ia lakukan.

 

"Satu!"

 

Fatanir siap membenturkan kedua tinju kristal hitam Dragunir satu sama lain sambil merapal, "DRAGUNIR-MAKIL...!"

 

"Mulai!"

 

"...NUNTAKIOKH!"

 

Semua terjadi persis bersamaan.

 

Enshaka Lamastu Lazuardi meledakkan planet-planet, dan semua ledakan itu mengirimkan energi hayati biru langit ke arah para lawannya.

 

Alshain Kairos mengacaukan aliran waktu hingga melambat dengan drastis dan berhenti sama sekali di detik kedua.

 

Namun, dalam sedetik penentuan itu, Fatanir telah memancarkan daya pemusnah Dragunir lewat benturan dua tinjunya, menyebar ke segala arah. Akankah pewaris baru Laplace, Alistair Kane bernasib semengenaskan pendahulunya, Mima dalam kenyataan versi Fatanir?

 

Dalam detik penentuan itu pula, Alistair menembakkan Cahaya Suci Trinitas Semesta dari semua planet dan bintang di ribuan Semesta Omnia ke arah ketiga lawannya.

 

Akibatnya, keempat energi hayati Lazu, waktu Kai, sains Fata dan ilahi Alistair bertemu dan bertumbukan di satu titik. Di detik segala waktu terhenti, hanya cahaya putih menyilaukan yang memenuhi seluruh penglihatan Alistair. Lalu seketika itu pula berganti hitam, kegelapan absolut.

 

Inikah rasanya... maut?

 

==oOo==

 

Alistair Kane membuka matanya, penglihatannya kembali pulih sekejap demi sekejap seperti baru bangun tidur. Namun, yang dilihatnya bukan kantor penthouse-nya. Bukan pula Semesta Omnia yang telah jadi selaksa, melainkan satu Semesta Omnia tunggal, alami dan nyata.

 

Yang membuat Alistair terkesiap, segala sesuatu di semesta asalnya ini berjalan lancar seperti biasa. Seakan tak pernah ada seorangpun yang menghentikan waktu atau menghancurkan bintang atau planet apapun di sana.

 

Yang lebih melegakan lagi, Ratu Huban kembali muncul di hadapan Alistair sambil berkata, "Selamat, om telah memenangkan pertarungan megakosmik."

 

Alistair bertanya, "Lho, bukankah tarung tadi telah mengakibatkan ledakan setara Supernova di awal penciptaan Semesta Omnia? Bagaimana aku menang...?"

 

"Kekuatan Selaksa Ketakterbatasan om telah berhasil mengatasi Dragunir dan kekuatan-kekuatan maha kuasa lainnya, yaitu hayati dan waktu. Sebagai hadiahnya, inilah Omnia sejati yang telah kembali seperti semula."

 

"Benarkah? Jadi Omnia tadi hanyalah ingatanku yang jadi nyata di dunia mimpi?"

 

Huban mengangguk.

 

"Tapi apa sebenarnya yang terjadi di detik penentuan itu?"

 

"Alshain Kairos menghentikan waktu tapi harus membayar harganya, yaitu lenyap dari dimensi tempatnya berada itu, dalam hal ini dunia mimpi. Saat waktu berhenti, konsentrasi Lazu dan Fata terganggu. Begitu waktu berjalan kembali, mereka berdua terhantam telak imbas pertumbukan empat kekuatan itu. Untung om punya ilmu khas sebagai Musafir Pengarung Semesta, dengan refleks pindah ke dunia nyata, jadi om tak terkena imbas ledakan."

 

"Yah, saat mengerahkan jurus terakhir, aku sudah rela mengorbankan selaksa Semesta Omnia. Demi menghentikan Kai, Fata dan Lazu agar tak bisa memusnahkan dimensi lain demi memuaskan ambisi mereka."

 

Mendengar itu, Ratu Huban membungkuk hormat di hadapan Alistair. "Aku sungguh kagum pada kebijaksanaan om. Nah, saatnya aku pamit dulu, Om Alistair. Senang bisa membantu."

 

"Terima kasih atas bantuanmu, Ratu Huban. Sampai jumpa!"

 

Seketika, tubuh si gadis kepala bantal terbenam ke dalam portal teleportasi di bawah kakinya.

 

Alistair Kane lalu berpindah ke Planet Sol Shefra, mengukirkan tanda legendanya di sana.

 

==oOo==

 

Lazuardi, si manusia jeli matoi kembali dalam keadaan hidup di planet asalnya, Aspermina. Ia tak lagi frustrasi sampai mati gara-gara kalah kontes Mojang Jajaka, dan hidup bahagia bersama wanita matoi tercantik di Aspermina.

 

Alshain Kairos yang lenyap dari dunia mimpi "dimensi keenam" setelah menghentikan waktu tak diketahui nasibnya. Mungkin ia terdampar di sebuah dimensi lain, atau pulang ke Keluarga Alshain di ranahnya, Aquilla. Hanya penciptanyalah yang tahu dan memegang kunci nasibnya.

 

Kana, gadis kecil yang bersama Fatanir tinggal di Planet Sol Shefra bersama Tamon Ruu di Ranah Alforea.

 

Sedangkan Fatanir, setelah kehilangan kekuatan Dragunir pulang ke ranah asalnya, yaitu Bumi di dimensi kedua. Mengetahui itu, Alistair Kane mengunjungi Fata dan merekrutnya sebagai Chief Executive Officer Altair, perusahaan yang menaungi jaringan game Everna Online. Berkat kekuatan teknopatinya, Fata menjalankan Altair dengan sangat "canggih", memantapkan diri sebagai salah seorang milyarder paling terkemuka di dunia.

 

Fatanir diketahui juga menjalin persahabatan dengan rekan-rekannya sesama petarung dari Bumi dimensi kedua, yaitu Bu Mawar, Raditha Ananta dan Mima Shiki Reid. Persahabatan mereka sangat erat sampai bertahun-tahun kemudian. Malah Fatanir menikah dengan Bu Mawar, janda kembang yang usianya terpaut tujuh tahun lebih tua dari Fata itu.    

 

Semuanya kini baik-baik saja.

 

Inilah tanda legenda baru yang telah kuukirkan untuk dunia-dunia, dari segala dimensi, ranah dan masa.

 

Salam, Sang Musafir.



Catatan Penulis: Kisah ini adalah crossover antara serial ADILAGA, Everna Saga dan Battle of Realms 5 - Exiled Realm. Kisah ini diikutsertakan dalam Free Battle Challenge di Battle of Realms 6 - Masterpiece of the Reveriers.

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia