[BATTLE OF REALMS 5 - ROUND 4]
VAJRA – BIMA
SAKTI
Penulis: Andry
Chang
Umangsah ambêk
pêjah
cancut gumrégut
manjing
samudra tulya
dreng
wiraganya lêgawa
banyu sumaputing
wêntis
meleg ing
angganira
sumingêp anampêki
migég jangga
kang warih
katon naga
kumambang
gêngnya sawukir
anak
ngakak galak
kumêlap
Mendekat,
bersiap mati sirna
Tanpa ragu
masuki samudra
Tetap dengan
tekad membaja
Sikapnya pasrah
berserah
Betisnya
menyibak air samudra
Memercik ke
badannya
Memukul-mukul
hingga tersibakkan
Tercekat air
liur di tenggorokan
Tampak naga
mengambang
Badannya sebesar
bukit karang
Moncongnya
menganga lebar
Menebarkan
kebuasan
Ada-ada Bima Mlumpat, Bagian Satu – Lagu Pedalangan
Jawa
=
Bagian 1 =
BIMA SAKTI
“Tri
Mandala Vajra!”
Itulah kata
pertama yang diucapkan Raditya Damian saat ia keluar dari portal gaib dan kedua
kakinya mendarat mulus di tanah padat.
Hampir seketika,
Kalung Bintang Emas di depan dada Radith berpendar terik, memancarkan cahaya
emas yang membungkus seluruh tubuh pemuda berambut hijau itu. Detik berikutnya,
seperangkat zirah berwarna merah bersisi emas dan topeng separuh tersandang
sempurna. Sekali lagi, Radith tampil sebagai wujud tarung, bukan, dirinya yang
lain. Seorang pendekar super bernama VAJRA.
Gelang Gandiwa
rupanya telah berubah wujud menjadi sepasang pelindung lengan dan pelindung
kaki berwarna emas. Di luar dugaan, seperti halnya Zirah Antakusuma dan Topeng
Pancanaka, perangkat baru itu terasa amat ringan, sehingga Vajra tetap dapat
bergerak leluasa.
Terima
kasih, Guru Arjuna, batin
Vajra. Aku akan selalu mengingat ilmu dan
pesanmu.
Keadaan di
sekeliling membuat napas Vajra tercekat. Ternyata ia kembali ke arena semula,
di Koloseum Budukan di Server Amatsu. Bedanya, selain tak ada Pohon Hayat,
Kalpataru di sana, seluruh arena tampak porak-poranda. Dinding-dinding pembatas
yang jebol, ceruk-ceruk seperti bekas ledakan bom di sana-sini menebar kesan,
seakan tak ada lagi yang utuh di tempat ini.
Yang lebih
mengenaskan, tampak mayat-mayat para penonton yang jadi korban bergelimpangan
di tribun arena. Tarou, si pembawa acara tampak hangus legam di tempatnya
berdiri, menebar aroma seperti ikan gurame bakar. Bahkan Netori-sama, penguasa
Server Amatsu tergeletak tanpa nyawa di kursi kebesarannya di tribun
kehormatan. Bencana apa yang sedang terjadi di sini?
Jawabannya terletak
pada sesosok pria yang sedang melayang-layang di udara. Sosoknya serba hitam
dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, dan tampak berkilap diterpa cahaya
matahari.
Si sosok hitam
tampak sedang berdebat dengan beberapa peserta Turnamen Battle of Realms yang berdiri di arena. Ternyata jumlah peserta
yang bertahan telah menyusut menjadi tinggal dua belas orang, termasuk Vajra. Suara-suara
para peserta tak begitu jelas terdengar dari kejauhan. Sebaliknya, suara si
sosok hitamlah yang keras membahana.
Di antara
kata-kata yang sempat dicerna pendengaran Vajra, ada kata-kata yang paling
sering disebut si hitam, yaitu “Serahkan Kotak Laplace”. Benda apa itu? Semacam
relikui gaib? Vajra kini memang membawa smartphone
radar kristal hadiah dari misi di Los Soleil dan Pedang Api Keadilan dari Tamon
Rah, jelas tak satupun dari keduanya dekat dengan gambaran si hitam itu.
Seakan menemukan
jalan buntu, si sosok hitam mendengus kesal. “Aku tak punya banyak waktu untuk
meladeni kalian semua! Kalau kalian tak tahu apa-apa, berarti tak ada gunanya
kalian hidup!” Ia lantas mengayunkan kedua tangannya ke depan, seolah tengah
merapal mantra sihir.
Dalam sekejap
mata, seluruh arena berguncang hebat, tanah terbelah dan runtuh. Vajra bereaksi
secepat mungkin, meniti reruntuhan bebatuan. Sayang, lubang yang tercipta dari
gempa itu terlalu besar, sehingga Vajra jatuh bersama semua peserta lainnya ke
dalamnya.
==oOo==
Saat membuka
mata, Vajra menemukan dirinya tergeletak dalam semacam ruangan berdinding
beton. Ruangan itu tampak porak-poranda dan tergenang air setinggi mata kaki. Namun
sepertinya kerusakan itu timbul bukan karena gempa yang dibuat Si Hitam tukang
paksa tadi.
Vajra lantas
menegadah dan melihat sebuah lubang besar di langit-langit ruangan itu, tepat
di atas kepalanya. Pasti aku masuk
melalui lubang itu tadi, pikirnya. Dan,
dilihat dari reruntuhan yang bagaikan dinding di kedua sisinya, ruangan ini
pasti sebenarnya sebuah koridor.
Perlahan-lahan
Vajra bangkit berdiri, kepalanya masih terasa pening, rasa nyeri berdenyut di
beberapa titik di sekujur tubuhnya. Benturan-benturan selama jatuh tadilah yang
menimbulkan segala nyeri ini, bahkan Vajra sempat pingsan sebelum mendarat di
dalam sini. Mendadak ia menggigil. Meskipun tak sedingin Pegunungan Salju Los
Soleil, suhu yang relatif rendah dan udara yang lembab di sini pasti ikut
disebabkan oleh genangan air di lantai.
Tatapan Vajra
lantas terpusat pada tulisan hitam-besar yang sudah amat buram pada dinding
yang sudah retak-retak dan jebol di sana-sini. Dengan suara berbisik, ia
membaca tulisan itu, “Bio Laboratory
Second Floor, Enhancement Room.”
Saat hendak
keluar, tampak ambang pintu tertutup rapat oleh reruntuhan. Seberapa tebalkah
reruntuhan itu? Apakah dirinya sudah cukup kuat untuk membongkar jalan keluar?
Vajra merasa harus mempertanyakan semua itu, padahal semua jawaban sudah ada
dalam dirinya. Rupanya, pertarungannya dengan Caitlin Alsace baru-baru ini
telah menyadarkan Vajra agar selalu mawas diri, berpikir dulu sebelum
bertindak. Apa akal?
“Rupanya,
tiba giliranku menyampaikan ajaran pamungkas,” kata sebuah
suara berat yang terngiang dalam benak Vajra.
Vajra
jelas-jelas mengenalinya. “G-guru Bima? Apa
guru ingin membantuku secara langsung seperti Guru Arjuna yang menjadi garuda?”
“Siapa
bilang aku ingin membantumu? Aku hendak mengajarimu, beda lagi itu!”
Saat itu pula,
topeng merah separuh di wajah Vajra terlepas, lalu berubah wujud menjadi wayang
golek Bima. Hingga saat inipun pecahan roh Bima, ksatria terkuat Pandawa dalam
pusaka itu selalu bicara pada Vajra lewat telepati, hingga hanya Vajra saja
yang dapat mendengar perkataan gurunya yang paling galak itu.
Tanpa buang
waktu, Bima si wayang menyentuhkan telapak tangannya pada reruntuhan di ambang
pintu itu. “Gunakan tinju petir untuk
membongkar reruntuhan ini, lalu bersiagalah!”
“Apa
guru yakin? Guru ‘kan hanya menyentuhnya saja tadi.” Vajra mengerutkan
dahi.
“Murid
bodoh!” Bima
menjitak Vajra. “Kemampuanku telah
terasah ribuan tahun silam, dan terus terpelihara hingga saat ini! Awas kalau
kau meragukanku lagi!”
“Iya
deh, guru...” jawab
Vajra sambil mengerang dan mengelus kepalanya.
Lantas Vajra
menghentak, mengerahkan energi Tinju
Petir Brajamusti di kedua kepalan tangannya. Seperti bola besi pembongkar
bangunan, tinju-tinju dahsyat mengikis beton reruntuhan penghalang hingga
jebol, menciptakan ambang pintu keluar yang baru.
“Sekarang
bersiaplah! Aku melacak ada banyak sekali makhluk di tempat ini, dan mereka
semua tak bersahabat!” Bima mengatakannya sambil melayang, ikut keluar
bersama Vajra.
Pemandangan yang
terpampang berikutnya membuat mata Vajra terbelalak. “Astaga, percobaan biologis apa yang dilakukan di laboratorium semacam
itu?” Tanpa sadar ia merinding, tak ingin membayangkan kegiatan mengerikan
seperti adegan di film-film ala Hollywood itu.
Tampak hamparan peralatan canggih yang sudah rusak, jebol dan terguling, juga tabung-tabung besar di kejauhan. Anehnya, air berwarna hijau kental masih mengalir dari dalam tabung-tabung itu, menyatu dengan genangan air di seluruh lantai. Jangan-jangan semua tabung dalam ruangan ini baru pecah dan retak akibat gempa tadi. Apapun isi tabung-tabung itu, semua sudah keluar.
“Jangan
melamun, Vajra! Lihat baik-baik ke depan!”
Menanggapi
peringatan Bima, Vajra pasang kuda-kuda dan menajamkan penglihatannya.
Dari kejauhan,
tampak sosok-sosok yang kebanyakan menyerupai manusia, jumlahnya kira-kira
seratus. Mereka semua berjalan agak lambat dan terseok-seok tak tentu arah,
layaknya mayat hidup alias zombie. Tampaknya
makhluk-makhluk itu belum menyadari kehadiran Vajra di sana.
“Lihat,
guru! Ada pintu yang terbuka di ujung ruangan sana!” Vajra menunjuk
ke depan. “Tapi kita harus melewati
makhluk-makhluk itu dulu.”
“Kita
belum tahu pasti mereka itu mayat hidup atau bukan. Mendekatlah dengan
hati-hati!”
Vajra
mengangguk, lalu mulai melangkah.
Makin dekat, makin
jelaslah wujud sosok-sosok itu. Vajra mengenali beberapa di antara mereka. Ada
lawan-lawan Vajra di Los Soleil yaitu Zhaahir Khavaro, Lo Dmun Faylim, Reviss
Arspencer dan Ernesto Boreas. Tak ada Renggo Sina di sana, mungkin karena dia
adalah robot.
Ada sosok-sosok
yang rasanya, bagaikan deja vu dalam
ingatan, pernah berjuang bersama Vajra. Mereka adalah Haru Ambrosia, Tasya
Freyona, Torebash Mungira, Garrand Entrenchord dan Ragga Bang. Ada pula Dyna
Might dan Caitlin Alsace, rupanya mereka tak termasuk dua belas peserta yang dijebak
Si Hitam di tempat ini.
Yang paling
mengejutkan, ternyata di antara mereka ada pula para saudara seperjuangan Vajra
di Tim Lightbringers, yaitu Liona
Lynn, Wildan Hariz dan Bun. Rasa trenyuh melanda hati Vajra, mengingat tinggal
dirinya seorang yang mengusung semangat Para Pembawa Terang di alam ini.
Jelas sudah, sosok-sosok
itu adalah para peserta Battle of Realms
yang sudah gugur di babak-babak sebelumnya, atau tiruannya yang disebut
kloning. Anehnya, bentuk tubuh mereka semua itu tampak seperti orang cacat, beda
jauh dengan aslinya. Kesimpulan sementara Vajra, mungkin mereka adalah kloning
gagal yang menjadi zombie.
Atau
jangan-jangan... itukah nasib sesungguhnya yang menimpa para peserta yang telah
gugur?
Sambil terus
mendekat, benak Vajra sejenak terbuai kenangan bersama para peserta itu. Entah apakah kalian ini kloning atau bukan,
aku pasti akan menyelamatkan kalian. Mungkin di tempat ini ada obat penawar atau
semacamnya.
Tiba-tiba, seakan
dikomando seseorang, semua kloning itu menoleh serempak ke arah Vajra. Vajra
terlonjak, bahkan wayang Bimapun tersentak.
“Mereka
bukan zombie! Lari!” teriak
Bima.
Vajra berbalik
dan lari ke arah berlawanan. Benar saja, dengan cepat para kloning berbalik dan
mengejarnya. Agar tak tersusul, Vajra memusatkan prana pada kedua kakinya,
melesat secepat kilat dengan jurus Langkah
Petir Wisanggeni. Di belakang Vajra, ada sosok-sosok di antara gerombolan
kloning gagal itu yang menyusul dengan amat cepat.
Maka, Vajra mengandalkan
intuisi yang terlatih sejak Pertempuran Padang Shohr’n di Alforea. Ia berbalik
cepat, kesepuluh jarinya menebar Jaring
Petir Dalangsukma ke air yang tergenang di seantero lantai ruangan itu.
Seketika, hampir semua orang di sana tersengat arus listrik bertegangan tinggi.
Mereka menggelepar sejenak, lalu tumbang.
Belum sempat
Vajra bernapas lega, dua kloning yang sempat terhenti sejenak kembali menyerbu
maju. Pantas saja, mereka adalah Bun dan Wildan, para pengguna petir yang malah
menyerap serangan Vajra tadi.
Yang terparah,
Wildan meraung seperti orang gila, bergerak secepat petir dan melompat
tinggi-tinggi. Lalu ia membacokkan sepasang sabit berantainya tepat ke arah
Vajra yang masih berdiri terpaku di lantai laboratorium.
Sepasang mata
hijau Vajra terbelalak. Maut tak terhindarkan lagi.
=
Bagian 2 =
SANG PEMIMPI
Bagi Eophi
Rasaya, segala petualangan yang ia jalani, bahkan seluruh hidupnya sendiri
bagaikan bunga-bunga sakura mimpi yang bertebaran. Elok nan wangi, menghiasi pohon
kesadarannya yang bagaikan tidur, dan tidurnya yang bagaikan tersadar.
Jadi, seburuk
apapun situasi yang ia hadapi, Eophi yang berpenampilan seperti anak laki-laki berambut
hijau yang baru beranjak remaja itu hampir selalu menanggapinya dengan sikap
seperti tanpa minat, cenderung mengantuk dan bosan.
Padahal,
sesungguhnya semua kejadian dan pengalaman itu terpahat bagai kaligrafi dalam
ingatannya. Itu membuat Eophi jadi lebih kuat, lebih bijaksana dan malah lebih
dewasa daripada tampilan fisik dan sikapnya. Tak seorangpun tahu berapa usia
Eophi yang sesungguhnya, dan Eophipun sendiri terkesan tak peduli. Toh
penampilan kanak-kanaknya itu tak pernah berubah sedikitpun hingga saat ini.
Tak terlalu
bersemangat, tak terlalu riang, tak terlalu murung, juga tak terlalu santai.
Semua disikapinya dengan mengantuk.
Tak terkecuali
pula situasi yang dihadapi Eophi saat ini. Bersama kesebelas peserta Battle of Realms lainnya yang lolos dari
babak yang lalu, ia dijatuhkan ke dalam situs rahasia yang ternyata adalah
Laboratorium Biologi ini.
Menilik keadaan
sekitar yang juga porak-poranda dan menebak konteks tulisan samar-samar di
dinding-dinding rusak, jelas ini adalah koridor di Laboratorium Biologi Tingkat
Dua, Bagian Perbaikan dan Pengembangan.
“Oi, Phi! Lihat,
becek sekali di sini! Awas, jangan sampai menjatuhkanku, ya!” rutuk Light,
guling putih hidup yang hampir selalu dipeluk Eophi.
Milk si bantal
kepala putih menanggapinya, “Kamu ini, baru becek sedikit saja... Takut kotor? Tenang
saja, tarian Hel pasti bisa membersihkan kita hingga seperti baru! Lihat
diriku! Sudah empat petualangan kita jalani, aku tetap putih bersih, tak ada
noda setitikpun! Jelas aku paling mahir menjaga kebersihan daripada kalian
semua, hahaha!” Ia terus melayang di udara, melekuk-lekukkan sosoknya seperti
binaragawan.
“Sudahlah,
kalian berdua!” kata White si kasur putih yang melayang paling atas, menutupi
langit-langit. “Daripada meributkan kebersihan, lebih baik kita perhatikan
sekeliling kita baik-baik dan mencari jalan keluar dari tempat ini, ya ‘kan,
Phi?”
“He-eh.” Eophi
mengangguk, mata mengantuknya terus terarah ke depan sambil ia berjalan.
Sebaliknya,
Cloud si selimut putih yang tersandang bagai jubah pelindung bagi Eophi berujar
dengan suara bergetar, “T-tapi... tempat ini menyeramkan sekali, sepertinya
sudah lama ditinggalkan karena terkena bencana atau semacamnya. Aih, semoga
kita bisa cepat keluar agar bisa menemui Minerva lagi, kuharap dia baik-baik
saja di luar sana.”
Sedangkan Hel,
bayi naga merah yang selalu bertengger di punggung majikannya, Eophi
mengibas-ngibaskan sayapnya dengan semangat. Baginya dan bagi Eophi, perjalanan
keluar dari tempat ini pasti akan menjadi petualangan tersendiri.
Beberapa lama
kemudian, Milk yang melayang paling depan berseru, “Lihat! Ada pintu terbuka!”
Tanpa menunggu teman-temannya, ia langsung masuk lewat pintu itu.
“Hei, tunggu!”
seru Light. “Aduh, si Milk itu...!” Ia menyenggol dada Eophi.
Eophi terkesiap,
lantas bergegas bersama para anggota timnya menyusul si bantal kepala.
Di balik pintu
itu, berserakan pula peralatan super canggih yang sudah rusak dan hancur semua.
Tabung-tabung besar yang baru saja pecah juga tampak dalam deretan-deretan yang
lebih teratur.
Kelima makhluk
dalam satu tim itu kembali bergabung dan terpaku. Di kejauhan pula, tampak
sosok-sosok kloning para peserta Battle
of Realms yang telah gugur. Penampilan mereka semua rusak dan cacat, dan
gerak-gerik mereka seperti zombie tak berakal.
White lantas berseru,
“Lihat! Ada teman-teman kita sesama peserta di antara mereka!”
Milk bagai
melihat hantu. “I-itu ada Adhi, Aushakii, Kii, dan yang seperti siluman kelinci
itu... Clara Mermaida! D-dan itu... Bukankah itu... Tan Ying Go, lawan kita di
babak sebelumnya?”
Cloud panik
seketika. “G-gawat! Bukankah dia seharusnya bersama Minerva? Bagaimana ini?!
Ayo kita tanya si Ying Go...!”
Baru sekarang
Eophi angkat bicara, “Tunggu, Cloud. Lihat, bentuk tubuh mereka semua aneh dan
cacat seperti zombie dan siluman. Belum tentu mereka itu para peserta asli.
Bisa jadi mereka adalah kloning, makhluk-makhluk kembaran yang dibuat dalam
tabung-tabung itu.”
Light berseru,
“Ya, bisa jadi! Tapi bisakah kita berlima melawan mereka semua? Harap saja
mereka memang zombie, tapi bagaimana kalau bukan?”
“Kalau begitu,
kita keluar dan menyusuri koridor lagi saja,” usul Eophi, sambil dengan malas
berbalik ke belakangnya. “Makin cepat kita menemukan jalan keluar, makin cepat
pula kita bisa melindungi Minerva. Ayo, teman-teman.”
“A-awas!” seru
Cloud tiba-tiba. “Para kloning itu menyerang kita!”
“Perisai dan
gada,” ujar Eophi sambil mulai berlari. Memahami kata-kata itu, Milk dan Light
mengeraskan tubuh mereka, membentuk perisai bantal kepala dan gada bantal
guling yang tergenggam erat di kedua tangan Eophi.
“Perang
bantal.” Pada
instruksi Eophi selanjutnya, Milk si perisai bantal kepala makin mengeras dan
berpendar dengan kekuatan cahaya.
Tepat saat itu
pula, dua kloning berhasil mendekat dan mencoba mendaratkan serangan pada
Eophi. Serangan panah dari kloning pertama bernama Falcon berhasil ditangkal
perisai bantal dengan mudah. Lalu hantaman ponsel kloning Veronica Tiselina
ditahan dengan perisai bantal pula. Tak berhenti di sana, Eophi mendaratkan
pukulan keras masing-masing di kepala kedua lawannya itu, sehingga mereka
terpental sambil mengerang pilu.
Hel si bayi naga
merah terbang menjauh, lalu melayang siaga. Cloud si jubah pelindung
mengeraskan dan melunakkan diri berkali-kali untuk menangkal serangan dari lWhite
si kasur sengaja mengeraskan dirinya di udara dan jatuh, mencipratkan air
bercampur lendir di lantai sekaligus menimpa beberapa kloning lagi.
“Maaf ya,
teman-teman.” Rupanya White masih mengira kloning-kloning itu para pendekar
asli.
Eophi dan
teman-temannya lantas berjuang mati-matian, mencoba lolos dari kepungan para
kloning. Walau makin banyak kloning yang berhasil dilumpuhkan, kepungan mereka
malah makin rapat, sehingga Eophi malah terdesak sampai di dekat dinding. Para
pengepung malah menghalangi jalan ke pintu, tak ada lagi celah bagi Eophi untuk
lari, kecuali...
“Phi, naiki
aku!” seru White yang mulai membubung lagi. Namun gerakan si kasur itu makin
lambat, karena banyak sekali air yang merembes ke dalam tubuh kain-kapuknya.
Eophi
cepat-cepat menaiki White, namun para kloning rupanya ikut naik pula untuk
menyerang Eophi. Jadi Eophi mengayunkan gada dan perisainya, menghantam
kloning-kloning gagal itu hingga jatuh ke lantai yang tergenang.
White terus
membubung, tapi tak bisa cukup cepat dan cukup tinggi.
Para kloning
menggapai-gapai sambil meraung-raung.
Cepat atau
lambat si kasur akan kehabisan tenaga. Jadi Eophi terpaksa harus mengerahkan ilmu-ilmu
pamungkasnya yang hanya bisa dipakai sekali saja. Jika Eophi bisa tidur atau
istirahat total, baru ia bisa menggunakan pamungkas lagi. Namun, seperti biasa,
kesempatan Eophi untuk tidur atau pulih total hanya ada saat melayang dalam
portal gaib antar dimensi.
Di waktu
bersamaan, Eophi melihat kilatan petir dan mendengar gelegar guntur. Detik itu
pula, listrik bertegangan tinggi terhantar oleh genangan air, menyambar para
kloning yang berdiri di lantai. Para makhluk aneh itu lantas meraung dan
kejang-kejang, dan akhirnya roboh tanpa daya.
Ini sungguh
bantuan yang tak terduga. Atau mungkinkah di antara para kloningan gagal itu
ada kloning pengguna petir yang bodoh, nekad menghantam teman-temannya sendiri?
Baru lebih dari
semenit kemudian Eophi turun dari kasurnya, menjejak genangan air yang tak lagi
bermuatan listrik. Ia lantas memeluk kasur itu sambil berkata lembut, “Makasih,
White.”
“Sama-sama.”
White tetap melayang di tempatnya, sementara Hel terbang ke bawah White sambil
menari-nari, memanasi kasur itu agar tak berat lagi karena air.
Para bantal
masih mengeras, Eophi melangkah maju dengan amat waspada, jangan-jangan ada
kloning yang bangkit dan menyerang lagi.
Lalu Eophi
mendengar suara seorang pria dari kejauhan. “Halo, kelihatannya kamu bukan
kloning. Kau tak apa-apa, ‘kan?”
Eophi tak lantas
menjawab. Ia hanya menoleh ke arah suara itu. Tampak seorang pemuda berambut
hijau berjalan menghampirinya. Penampilannya agak mirip Eophi, bedanya pemuda
itu lebih tinggi, berambut lebih panjang dan mengenakan zirah, rompi beskap dan
topeng separuh.
Walau keheranan,
Eophi lagi-lagi malah pasang tampang mengantuk dan hanya mengangguk.
Hanya si bantal
guling berperangai kasar, Light yang menegur, “Jangan mendekat, bung. Terserah
kau mau anggap kami kloning atau bukan, jangan-jangan kau yang kloning.”
Cloud menimpali,
“I-iya! Serangan petir tadi itu perbuatanmu, ‘kan?”
Giliran Milk
bicara, “Harusnya kau lihat-lihat dulu dong, apa ada yang bukan kloning di
ruangan ini atau tidak! Jangan main asal serang saja!”
“Hahaha, maaf,
maaf,” kata si topeng separuh sambil mengusap-usap kepalanya. “Dasar kurang
pengalaman, seharusnya aku lebih teliti. Kenalkan, namaku Vajra.”
“Ah, rupanya kau
Vajra yang bertarung di core database Alforea
waktu itu, ‘kan?” kata White, wajah di permukaan kasur itu tersenyum lebar. “Aku
White, ini Milk si bantal kepala, Light si bantal guling, Cloud si selimut
putih, Hel si bayi naga merah, dan si bocah pengantuk ini adalah Eophi Rasaya.”
Vajra tersenyum
ramah, “Salam kenal. Aku tak melihat kalian tadi, karena ruangan ini amat luas.
Aku janji, lain kali aku akan lebih teliti lagi...”
Tiba-tiba Hel
yang mulai bernyanyi saat namanya disebut tadi menukik dari udara dan menyambar
Vajra. Walau serangan bayi naga ini tak lebih kuat dari cakaran kucing, itu
cukup membuat Vajra mengaduh.
“Hentikan,
Hel! Dia teman kita!”
Sambil menegur lewat telepati, Eophi memelototi naga kesayangannya. Hel sempat
menghentikan serangannya sejenak, namun ia menyerang Vajra lagi.
“Olang
ini mucuh, Phi! Bunuh dia! Dia mucuh!” Hel meneriakkan isi pikirannya,
bersikeras agar Eophi bertindak. Namun sang majikan hanya bergeming.
“Kau
sudah sering salah mengenali musuh, Hel. Kau ini masih bayi, tentu kau tak
paham situasinya. Saat ini kita sedang terjebak, bukan dalam suasana kompetisi.
Saat ini kita butuh teman, butuh sebanyak mungkin bantuan yang bisa kita
dapatkan. Kebetulan di sini ada Vajra, pendekar tipe serang, sementara kita
tipe bertahan. Kau lihat ‘kan, tadi dia melumpuhkan semua kloning itu dengan
satu jurus saja? Kalau Vajra musuh, ia pasti akan membiarkan semua kloning itu
menghabisi kita!”
“Hel
yakin! Dia mucuh, Hel halus...!” Sebelum si naga merah buta menyerang
lagi, Milk sudah bertindak dengan memukulnya dengan ujung yang sengaja
dikeraskan di udara. Alhasil, Hel pingsan, jatuh dan White si kasur terbang
menampungnya.
“Maaf, Vajra.
Hel memang masih bayi,” ujar Eophi sambil memeluk gulingnya. “Kau tadi datang
dari mana?”
Vajra menunjuk
ke arah pintu tempat Eophi datang tadi. “Dari sana.” Lalu ia menunjuk ke arah
berseberangan. “Kurasa tadi aku melihat ada pintu terbuka di sana. Ayo Eophi,
siapa tahu kita bakal menemukan jalan keluar dari tempat ini.” Ia lantas
berbalik dan berjalan lurus ke depan.
Eophi dan para
sahabatnya mengikuti Vajra dari belakang. Tak ada rasa curiga sedikitpun
tergurat di raut wajahnya, hanya kantuk.