Rintik-rintik hujan tercurah dari langit, menyejukkan udara panas nan lembab di malam musim panas ini.
Beberapa bulir hujan mendarat di atas tanah, meresap, menyatu dengan arus kehidupan tetumbuhan di atasnya.
Banyak bulir lainnya jatuh tersia-sia sebagai air cucuran atap di gedung-gedung dan rumah-rumah berbahan kayu dan batu di Kota Redne di distrik timur Kekaisaran Arcadia ini.
DRAP, DRAP! DRAP, DRAP!
Seorang wanita berlari di tengah guyuran hujan, menyusuri jalan-jalan sempit di sela-sela himpitan rumah-rumah yang berjajar padat.
Rambutnya yang kecoklatan tampak kusut dan basah, dan ia mengenakan gaun yang bagian bawahnya koyak sampai ke paha, mungkin sengaja dilakukannya agar dapat berlari cepat.
Kedua tangannya menggenggam sepasang belati yang biasa digunakan oleh pendekar yang mengandalkan kecepatan gerakan untuk bertarung.
Merapat di dadanya adalah sebuah bungkusan besar yang dibebat kain, bentuknya seperti kepompong ulat sutera raksasa dan diikatkan di tubuhnya dengan robekan kain gaunnya.
Sesekali wanita itu menoleh ke bawah, mengarahkan wajah cantiknya dan sepasang mata berbola kehijauannya pada bungkusan di dadanya itu, memandang dengan penuh kasih seolah benda dalam gendongannya itu lebih berharga dari nyawanya sendiri.
Lantas ia menoleh ke belakang dan menghitung... satu, dua pria sedang mengejarnya. Lari mereka tak lebih cepat dari wanita ini, yang andai tak membawa beban pastilah sudah lenyap dari jangkauan sejak tadi.
Si wanita menoleh ke depan dan menambah kecepatan larinya. Beberapa kali ia berbelok, menyelinap dalam kumpulan bangunan yang padat bagai labirin.
Mencari tempat sembunyi.
Berharap membuat bingung pengejarnya.
Satu belokan lagi menyusuri gang sempit lalu keluar lagi di jalan besar. Wanita bermata hijau itu kembali menengok kiri-kanan, tak melihat pengejarnya dimanapun dan menarik napas lega.
SYUUT, CHRAPP!! “AAAUUGGGHH!!”
Tiba-tiba rasa sakit, nyeri bagai ditusuk dari belakang menyengat! Secara refleks wanita itu meraba sisi punggung dekat pinggulnya... Sebatang anak panah menancap! Cukup dalam, tapi tak mengenai organ vitalnya. Ia menarik tangannya dan melihat cairan merah yang penuh melumurinya – darah.
Sambil meringis menahan sakit, wanita itu terus berlari, seiring suara langkah kaki cepat yang nampak mulai menyusul akibat teriakannya tadi.
Tak lama kemudian, napasnya mulai tak beraturan, terengah-engah. Larinyapun mulai melambat, dan darahpun makin membanjir dari bekas lukanya sampai ke mata kaki.
Tetap saja ia berlari, walau kemungkinannya untuk lolos amat tipis, malah meninggalkan jejak darah yang mudah dilacak.
Tanpa ragu memilih jalan, sudah mengenal arah yang dituju, nampaknya ia memang warga
Hingga tampaklah di kejauhan sebuah bangunan besar bertingkat tiga di atas bukit, Sang wanita tersenyum lemah dan terus berlari...
Tiba-tiba, sesosok pria muncul di depannya, menghadang jalannya!
Dengan refleks, wanita itu mengayunkan belatinya, ZWIISH! Lawan beringsut ke kanan, menghindarinya dengan mudah dan membalas dengan satu tebasan golok.
C’TANGG! Wanita itu menangkis dengan belati kedua, lalu menjauh beberapa langkah.
“Hmph, ternyata kau masih ngotot melawan. Cukup tangguh juga, tapi dengan luka seperti itu nyawamu tinggal sekitar satu jam saja,” kata si pria berwajah penuh bopeng itu dengan senyum sinis.
Napas wanita itu memburu, apalagi melihat sekelilingnya dua pria lagi mengepung, menutup semua jalan lari.
Salah satu pria itu membidikkan busurnya – orang yang memanah si wanita tadi – dan langsung memanah! THWIPP!
Dari jarak dua puluh
Dengan gerakan yang cukup lincah, si wanita berputar ke kiri, lalu menghunjamkan belatinya ke arah mata si pria botak sangar bertato di dahi. Sontak si botak menangkis dengan kapak merahnya, tapi laju belati tiba-tiba terhenti! Itu gerak tipu!
Dan sebelum si botak sempat tersentak, belati kedua telah bersarang di dadanya! CHRAAPP! “Uuurgg!!”
Tewas satu pengepung, si wanita berbalik sambil menghindari lesatan panah kedua – SYUUUT!! Dan menangkis sabetan golok si pria bopengan dengan kedua belatinya, C’TANGG!!
Sesaat ia bergerak seakan hendak melompat dan si bopeng ikut melompat, tapi gerakan yang ternyata hanya tipuan itu berganti arah! Si wanita melesat ke punggung lawan lalu melancarkan jurus Tikaman Khianat, membenamkan belatinya ke sisi tengkuk lawan tanpa melihat. CHRAASHH!!
Dua pengejar sudah tumbang, dan si wanita ambil langkah seribu. Rupanya tadi ia terlalu memaksa diri bergerak lincah sehingga tubuhnya melemah, dan kini ia terpaksa menghindar dan menangkis panah-panah si pengejar terakhir.
Sesekali lagi ia melihat bungkusan di tangannya dan menarik napas lega. Disingkapnya sedikit kain penutupnya, dan tampaklah seraut wajah mungil manis yang tidur dengan damainya.
Seorang bayi.
Dari sikap si wanita, jelaslah ia lebih mementingkan keselamatan bayi ini daripada menghadapi musuh dengan kemampuan beladirinya yang terbatas.
FWIIP, TANGG!!
Satu panah lagi melesat, dan kali ini ditangkis dengan belatinya.
Larinya makin lambat, tapi ia sudah tak peduli lagi. Kakinya terus melangkah, menyusuri jalan mendaki, membawanya hingga tiba di kaki sebuah bukit.
Wanita itu menegadahkan wajahnya, dan tampaklah sebuah gedung yang sangat besar, bertingkat tiga dan bermenara
Tanpa sadar wanita itu bergumam, “Akhirnya... Biara Santo Ambrosius. Tempat yang aman... untuk anakku...”
Hujan makin deras, dan napas wanita itu tersengal-sengal. Pandangannya mulai kabar, wajahnya pucat-pasi karena kehilangan banyak darah, dan langkahnya terseok-seok. Sesekali ia menengok ke belakang kalau-kalau si pemanah atau panahnya muncul lagi.
Langkah demi langkah ditapakinya. Seluruh tubuhnya terasa makin dingin, makin sulit digerakkan, tapi ia tak bisa berhenti sekarang, tidak sebelum bayinya ini aman dalam lingkungan yang terlindungi, terberkati oleh kuasa suci sang dewa tertinggi di Dunia Terra Eternia, Vadis Sang Penjaga Terang.
Kakinya melangkah makin dekat ke puncak bukit saat tiba-tiba, BRUKK!! Wanita itu tersandung batu dan jatuh terjerembab.
Bungkusan di pangkuannya itu sedikit terantuk di tanah, dan bayi di dalamnya sontak terjaga. Anehnya, rasa sakit tak membuatnya menangis. Insan berusia kurang dari sebulan ini hanya menengok kiri-kanan dan menatap ibunya lekat-lekat dan menguap, “Uaaah...!”
Saat itu juga nampak telinga si bayi yang aneh: panjang dan berbentuk seperti daun.
“Ah, lucunya kamu... Rupanya benar kata bidan di Thyrine... Bayi elf jarang menangis... walaupun sedang lapar atau kesakitan... Sabar ya anakku, sebentar lagi kita tiba di tempat yang aman...”
Terlalu lemah sekarang, si ibu ini mulai merangkak, mengerahkan seluruh sisa tenaganya dan pandangannya tak lepas dari pintu masuk utama biara.
Langkah demi langkah...
Tiap tarikan napas...
Tiap tetes darah yang larut dalam dinginnya air hujan...
Detik demi detik waktunya yang tersisa...
Tanpa tahu kapan waktunya habis...
Hingga tak terasa tangannya menggapai batu dingin teras biara.
“Tinggal... sedikit... lagi...”
Si wanita mencoba bangun, meraih pegangan pintu, tapi jatuh lagi ke lantai!
“Belum, harus... bisa...”
Sekali lagi ia bangkit, menggenggam erat bayinya yang kiri jadi beban maha berat baginya. Meraih gagang pintu kini bagai perjuangan yang lebih berat dibanding bertarung melawan sepuluh pria sekaligus.
Namun demi bayinya, sang ibu membulatkan tekad, mengerahkan sisa tenaganya untuk bangkit, tangannya terulur hingga menggenggam pegangan pintu besar itu.
Belum selesai. Ditariknya pegangan pintu, tak mau terbuka! Terlalu berat! Tinggal satu cara terakhir. DOK! Ia mengetuk pintu itu sekali.
Tak ada jawaban, dan dicobanya lagi, DOK!
Ketukan ketiga, DOKK...! Kali ini suaranya lebih lemah daripada yang tadi.
DOKK... Makin lemah.
Hingga tiba-tiba tubuh si ibu itu bagai macet – tak mau disuruh bergerak lagi.
Dan, BRUGG! Tubuhnya ambruk membentur pintu, lalu merosot hingga terkapar, tertelungkup di lantai.
Habislah sudah segala daya.
Harapan keselamatan bayinya hanya ada bila pintu ini terbuka...
KRIEEEET...!
Dan suara ramah sang penolong.
“Aah, nona... nona!
Si wanita menegadah dan melihat sang penolong, seorang biarawati tua dengan wajah kurus penuh keriput, yang dengan pakaian serba hitam bertudung hitam sekilas tampak seperti hantu. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga saat menyadari kondisi sebenarnya si wanita itu.
“AAH! Kau terluka parah! Bertahanlah, nona, biar kupanggil bantuan!”
Si wanita memandang si biarawati dengan mata hijau zamrud yang setengah terbuka. Roman wajah cantiknya tampak pucat akibat kehilangan banyak darah, dan ia mencoba bicara lebih keras dari bunyi hujan.
“Uugh… Lukaku terlalu parah… Waktuku di dunia hampir habis. Suster, tolong… Anakku ini… tolong rawat dia saja…”
Si biarawati lantas melihat ke arah bungkusan yang dipeluk wanita itu dengan lebih seksama, dan ternyata benda itu adalah seorang bayi.
Dengan wajah dan kulit kemerahan, sehat dan
Dengan mata hijau zamrud seperti mata bundanya, mendelik menatap dunia penuh semangat hidup.
Dengan kedua belah daun telinganya yang lancip – ciri khas yang dimiliki kaum mulia – kaum elf yang juga disebut peri – makhluk mulia dan magis yang konon adalah “penyempurnaan” dari manusia dan berasal dari Thyrine, negeri di wilayah tengah benua Aurelia yang terpusat pada Yggdrasil, sang pohon kehidupan yang tumbuh dari jasad Enia, sang Dewi Alam di Dunia Terra Everna.
Mata wanita parobaya itu kembali terbelalak.
“Ini… anakmu?”
“Ya, anakku ini elf… hhhkk...,” napas si wanita yang sekarat itu mulai sesak. “Saat aku, suami dan anakku dalam perjalanan pulang… dari Thyrine ke
Tercekat. Terdiam sejenak. Air matanya menggenang.
“Tapi mereka melukaiku pula… parah… Aku berlari jauh ke dalam
Mata wanita itu mulai mengerjap. Dengan sisa tenaganya, ia merogoh ke dalam
“Ini… merekalah yang menyerang kami. Aku ingat persis lambang ini,” suaranya makin lirih, tangannya yang gemetar mengulurkan saputangan berdarah itu yang langsung disambut si biarawati.
“Tolong, bayiku…”
Si biarawati menaruh bayi elf mungil itu di pangkuan ibunya. Dengan wajah putih pucat bagai mayat, sang ibu itu tersenyum lemah, “Anakku, kau sudah aman sekarang… Tumbuhlah besar… dan kuat… Ingatlah selalu… kau seorang Istravel… dan namamu… adalah… Maven.”
Kepala wanita
Tangannya terkulai, seiring hembusan napas terakhirnya.
Teriring suara hujan dan petir menggelegar, mengiring keberangkatan seorang insan ke alam baka…
Draft ini juga dapat dilihat kritiknya di:
Goodreads:
http://www.goodreads.com/story/show/239775-maven-2nd-draft?chapter=1
Kemudian.com:
http://www.kemudian.com/node/246299
No comments:
Post a Comment