Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

24 June 2014

Legenda Everna - Galahasin



Regu Swarnara (atas) lawan Regu Kalingga (bawah) dalam final Piala Dunia Galahasin di Everna.


GALAHASIN Andry Chang
Legenda Everna

Sejak lahirnya peradaban dan sejarah, Jazirah Antapada di Dunia Everna didiami oleh berbagai ragam suku bangsa. Seiring makin berlipatgandanya populasi manusia, suku-suku itu makin berkembang sehingga menjadi negara-negara kota.

Selama masa itu, perang antar negara-kota untuk memperebutkan dan memperluas wilayah kekuasaan amat kerap pecah. Akibatnya, banyak negeri punah, hampir sepertiga populasi Antapada musnah, dan lebih separuh sisanya hidup amat melarat, bahkan makin tergerus akibat wabah penyakit dan kelaparan.

Menyadari “kiamat” yang akan datang ini, banyak negara-kota bertetangga yang bergabung, juga para pahlawan-negarawan yang mempersatukan negeri-negeri menjadi kerajan-kerajaan pulau yang berbatasan dengan laut.

Sejarah mencatat sedikitnya ada tujuh kerajaan besar yang berdiri di masa yang sama, di awal Zaman Raja-Raja Pulau Antapada ini. Dari barat ada Swarnara, Kalingga, Jayandra, Akhsar, Rainusa, Kepulauan Bethara, juga Dhuraga, kerajaan dengan wilayah terbesar di ujung timur.

Namun, kedamaian sejati belum tergapai. Kalingga, salah satu dari tiga kerajaan termakmur di Antapada berambisi menguasai tanah-tanah di seberang batas lautnya. Bethara ditaklukkan, Akhsar jadi sekutu Kalingga. Lewat perang berkepanjangan yang kebanyakan berlangsung di lautan, akhirnya laskar gabungan Jayandra dan Swarnara berhasil memaksa Kalingga-Akhsar melakukan gencatan senjata.

Agar perdamaian di Antapada tetap terjaga, sekaligus meredam ambisi negeri-negeri besar untuk mengadakan ekspansi, perlu ada semacam acara untuk memperingati perang besar yang baru usai ini.
Seorang bijak cendekia, ahli sihir dan filsafat yang amat terpandang di seluruh Antapada, Mpu Galahasin menciptakan dan mengusulkan sebuah pertandingan olahraga yang diadakan tiap dua tahun sekali. Olahraga ini dimainkan secara beregu di sebuah lapangan yang tak terlalu luas.

Aturan mainnya cukup sederhana. Regu pelari harus bergerak cepat, melewati hadangan regu lawan. Seorang pelari hanya boleh menerobos garis batas bila ia sudah berdua dengan pelari lainnya di petak yang sama. Bila ada satu anggota regu pelari memegang bendera di seberang lapangan, regu pelari itu mendapat satu bendera dan berganti menjadi regu penghadang. Regu pertama yang mendapat lima bendera adalah pemenangnya. Bilamana ada satu orang pelari saja yang disentuh tangan penghadang, berarti regu pelari gagal mengibar bendera dan berganti seketika menjadi penghadang.

Karena tiap regu mewakili salah satu kerajaan, yang tampil dalam permainan olahraga yang dinamai menurut penciptanya, Galahasin itu jelas adalah para pria dan atau wanita terkuat, tercepat, terlincah dan tercerdik di negerinya.

Kekuatan masing-masing negara diukur dari Kejuaraan Galahasin ini. Kehormatan dan harga diri bangsa dipertaruhkan, dibebankan di pundak kelima insan dalam pertandingan yang adil. Pelanggaran peraturan, tindakan curang dan kekerasan bakal diganjar hukuman. Para pemenang jadi pahlawan, para pecundang dihibur dan para pecurang dimaki, dicerca di kampung halaman.

Jadi, bagi pemuda bertubuh langsing bernama Kodra Bhaskara, mewakili seluruh Kalingga untuk pertama kalinya dalam Kejuaraan Galahasin Antar Kerajaan ini adalah kehormatan dan kebanggaan yang tak ternilai, tak terkatakan. Namun, itu tak membuat Kodra lupa diri. Kalingga tak pernah memboyong arca emas berbentuk Mpu Galahasin dalam dua kejuaraan sebelumnya. Kali ini, di dwitahun ketiga ini, harapan untuk berjaya bagai secercah fajar meremangi malam.

“Fajar” itu berangsur-angsur bertambah cerah ketika Kalingga mulai melibas lawan-lawannya. Menekuk Bethara dengan telak, karena regu campuran manusia-siluman ikan itu seharusnya lebih kompak bekerjasama.

Unggul tipis dari para manusia-kadal raksasa komodo dari Rainusa. Mereka memang amat kuat, licin dan gesit, namun lemah dalam menyusun strategi. Andai para manusia komodo itu mau bekerja sama dengan manusia, mungkin ceritanya bakal beda.

Kalah dari Swarnara. Kodra dan timnya kerap kesilauan melihat seragam lawan yang berkilap putih keemasan. Lebih tepat lagi, regu Kalingga memang kalah piawai dari regu Swarnara yang adalah juara Kejuaraan Galahasin pertama.

Menundukkan regu Dhuraga. Para anggota regu Dhuraga yang semuanya hidup di tengah hutan belantara seharusnya amat cekatan dan cepat larinya, namun hiasan kepala mereka yang berat membuat pergerakan mereka terhambat.

Yang sungguh membanggakan adalah kemenangan lima lawan empat bendera dari Jayandra. Sebagai juara bertahan, regu ini memang mencerminkan keunggulan nyata Jayandra sebagai negeri terkuat di Antapada. Namun, segala kemungkinan dapat bergulir di permainan Galahasin, yang terkuatpun bisa tumbang hanya karena satu kesalahan saja.

Maka, di sinilah Kodra, di sebuah arena besar di Mahesapura, ibukota Jayandra, tempat diadakannya Kejuaraan Galahasin Antar Kerajaan Antapada Ketiga ini. Ia dan tim Kalingga menghadapi tim Swarnara yang tak terkalahkan, dalam laga penentuan juara.

Kodra mengenakan rompi tenun warna-warni, bermotif hewan khas Kalingga, sejenis kerbau yang disebut anoa. Kepalanya dibebat dengan kain sarung semacam bandana, hingga rambut kehijauannya tampak berdiri semua bagai rumpun rerumputan tinggi.

Rerumputan di bawah kaki Kodra lebih hijau lagi, bertebaran di seluruh lapangan galahasin. Gunanya untuk mencegah para pemain terpeleset di lumpur bila hujan. Anehnya, rumput itu tampak amat pendek bagai permadani hijau. Pastilah pertumbuhannya dikendalikan jampi-jampi sihir atau semacamnya.

Batangan-batangan bambu yang berfungsi sebagai garis-garis batas ditanam dan diperkokoh dengan sihir. Dari udara, tampak lapangan galahasin itu jadi seperti jajaran empat bujursangkar raksasa. Panjang sisi tiap bujursangkar itu adalah dua puluh telapak kaki Mpu Galahasin, dari ujung hingga tumit. Ada dua baris, terdiri dari masing-masing dua bujursangkar. Empat penghadang berdiri di garis-garis bambu yang melintang, dan satu penjaga tengah bersiap di garis bujur terpanjang di tengah lapangan.

Dari hasil undian, Kalingga mendapat giliran sebgai tim pelari. Berdiri di sebelah bendera Kalingga bergambar semanggi berdaun empat beralaskan dua golok mandau bersilangan di dekat garis akhir, pelari utama, Kodra melirik pada rekannya sesama pelari awal, seorang gadis bernama Withali di petak pertama baris pertama. Wajah manis serta lenggak-lenggok tubuhnya yang lincah dan gemulai membuat gadis itu jadi salah satu andalan tim.

Pelari kedua Kalingga yang berjaga di petak kedua baris pertama adalah Nagta, seorang tentara yang kekar nan gagah. Di petak pertama baris kedua ada Luku-Wa, seorang wanita bermata jeli, pemimpin regu yang otaknya dipenuhi strategi. Di petak kedua baris kedua berdirilah anggota tim termuda dengan tubuh kecil mirip anak laki-laki yang baru beranjak remaja, dengan wajah mirip tapir, hewan khas Kalingga selain anoa. Namanya Tamur si Belut-Tapir, mantan anggota pasukan penyusup Kalingga.

Karena pertandingan belum dimulai, ketua regu lawan, seorang pria amat tampan dengan rambut berombak bicara pada Luku-Wa yang berhadapan dengannya, “Setelah ini selesai, kami akan mengundang Ratu Kalingga menikmati jamuan dengan Arca Galahasin bersanding dengan pusaka-pusaka emas lainnya di Istana Swarnara.”

“Ya, asal kalian pastikan dulu arca aslinya tak bersemayam di Balairung Agung Kalingga,” jawab Luku-Wa, balik bersilat lidah agar semangat timnya tetap terjaga.

“Hmph, jangan jumawa dulu. Kami sudah menaklukkan kalian di pertandingan pertama, jangan harap bisa menang kali ini juga!”

“Dalam pertandingan galahasin, tak ada yang pasti. Pertandingan kami dengan Jayandra jadi buktinya. Walau begitu, toh kami akan terus berjuang.”

“Huh, kita lihat saja apa permainanmu hari ini setajam kata-katamu,” ujar Hang Janak ketus, berusaha meredam emosinya.

Terdengar suara membahana dari podium. “Yang terhormat Mpu Galahasin sendiri akan memimpin pertandingan puncak!” Pencetus dan penggagas olahraga ini bertindak sebagai wasit,  membuat detak jantung Kodra makin cepat karena bergairah. Tampak pula raut amat bersemangat di wajah semua peserta lainnya.

Mpu Galahasin, pria sepuh berjanggut panjang dengan rambut putih berkepang sepinggang berjalan ke tengah arena. Tak hanya gerak-geriknya, penglihatannya masih tajam, bahkan suaranyapun terdengar gagah membahana. “Para pemain bersiap! Pertandingan… mulai!”

Gong berbunyi. Kodra lari dari titik awal, yaitu bendera Kalingga. Ia memilih bergabung dengan Withali di petak pertama baris pertama. Mereka hendak melewati Cut Asthi si penjaga garis lintang, seorang gadis mungil berwajah bulat dan berambut pendek. Menilik sepasang telinga lebar berbulunya, ditambah ekor pendek dari bokongnya, jelas Cut Asthi adalah siluman manusia-kancil.

Kodra melirik sekilas ke petak kedua baris pertama. Tampak Nagta berdiri santai, bahkan terpaku melihat kecantikan penghadangnya, Salikha yang bagai bidadari. Terpikat anggota regu lawan, itu pantangan keras di tiap pertandingan. Andai Kodra ingin menyeberang ke petak Nagta, ia harus melewati hadangan si penjaga garis bujur, seorang pria berkulit biru kehijauan berperawakan mirip Kodra. Namanya Yudha, wakil kaum peri air, para perenang dan penyelam terunggul di Swarnara.

“Ingat pesan Luku-Wa, Kodra,” bisik Withali sambil bergerak samping-menyamping, mencari kesempatan. “Lebih seringlah bekerjasama dengan Nagta.”

“Ya, ya,” jawab Kodra dengan nada enggan. Tiba-tiba, ia berlari amat cepat ke ujung petak untuk melewati… Cut Asthi.

“Hah, mudah terbaca!” Tersenyum penuh kemenangan, si siluman kancil melesat untuk menyentuh Kodra. Tiba-tiba Kodra malah melompat mundur, memanfaatkan ingatannya akan “kecepatan kancil” Asthi dan menghindar dari sentuhan tangannya. Asthi terkesiap, lantas lari ke sisi satunya saat melihat Withali hampir melewati garis bambu tepat ke titik tengah lapangan.

“Eit, jangan harap!” Yudha juga ikut menghadang Withali. Namun gadis itu tiba-tiba berhenti di luar jangkauan tangan kedua penghadangnya. Asthi dan Yudha baru sadar mereka tertipu saat tiba-tiba Kodra melesat dari belakang rekannya secepat kilat. Ia melewati garis bambu dan bergabung di petak sebelah bersama Nagta.

“Lihat siapa yang akhirnya bergabung,” sindir Nagta si prajurit kekar.

Kodra balas menyindir, “Aku ingin menyapa siluman musang berkulit bidadari itu sebentar.”

“Hei, enak saja! Dia bagianku!” Nagta berlari ke arah yang sama dengan Kodra, seakan ingin mencegahnya “main mata” dengan Salikha. Salikha sendiri melihat kesempatan emas, berlari ke ujung terjauh petak agar bisa menyentuh dua lawan sekaligus.

Namun sekali lagi, dengan gerakan amat cepat Kodra berputar balik sambil bertumpu pada satu kaki, dengan mudah melewati Nagta dan Salikha sekaligus. Ia lantas berlari tanpa henti untuk melewati si anggota pria bertubuh paling besar di regu Swarnara, Bur-Gai dari tengah lapangan.

“Dasar nekad! Habislah kau!” teriak Bur-Gai sambil bergerak untuk menghadang, dibantu Yudha di garis bujur. Kodra memang nekad, ia berlari terlalu ke tengah dan malah melamban hingga Yudha berhasil menyentuhnya. Si pemuda biru melonjak kesenangan.

Melihat itu, Kodra malah tersenyum sambil berkata, “Jangan terlalu yakin, bung. Lihat baik-baik.”

Yudha dan Bur-Gai menoleh ke arah yang ditunjuk Kodra. Tampak Tamur, si manusia-tapir mungil telah berdiri di seberang garis akhir sambil memegang tiang bendera Swarnara. Walau posisinya tadi di belakang Kodra, kecepatan lari Tamur memang melebihi Kodra hingga ia menyentuh bendera persis sepersekian detik sebelum Kodra tersentuh lawan.

Pandangan semua insan, baik pemain dan penonton beralih seketika pada sang wasit, Mpu Galahasin yang merentangkan telapak tangan ke arah bendera Kalingga sambil berseru, “Satu bendera untuk Kalingga!”

“Bagus, Tamur!” Kodra mengacungkan jempol ke arah Tamur, dibalas tatapan dingin si siluman tapir.
 “Dasar pemuda nekad,” decak Tamur kesal. Andai Tamur tak cukup cepat, bendera pertama di papan nilai Kalingga pasti tak jadi berkibar.

Ketua regu, Luku-Wapun menegur Kodra, “Tolong lebih hati-hati, Kodra. Swarnara terlalu tangguh untuk kauhadapi sendirian saja.”

“Ya, ya.” Lagi-lagi Kodra menanggapinya dengan malas.

Namun sikap masa bodoh pemuda belia itu lagi-lagi diganjar dengan kenyataan pahit. Kejadian di pertandingan pertama Kalingga-Swarnara terulang kembali.

Bur-Gai, si pria besar dengan seikat rambut berkibar mirip rambut jin bertengger di pucuk kepala plontosnya ternyata amat lincah. Sekali lagi, dia menerobos halangan Tamur dengan bantuan Yudha. Kodra berusaha meraih Bur-Gai yang bergerak menyilang ke petak baris dua.

“Kena kau, sasaran besar!” Tangan Kodra jelas menjangkau tubuh Bur-Gai, namun lagi-lagi hanya menyentuh udara.

Kodra hanya bisa ternganga saat si pria besar bergabung dengan Salikha di posisi ujung tombak. Keduanya mengecoh Nagta, si bidadari menyusup dengan gemulai, membelai lembut bendera Kalingga penuh kemenangan. Nagta hanya bisa gigit jari, bertekad takkan terpikat lawan lagi. Kalingga satu bendera, Swarnara satu bendera.

Kekuatiran Kodra lain lagi. Tenang, tenang, kau bisa mengatasi si raksasa itu, Kodra menenangkan diri sendiri. Kau bisa belajar dari pengalaman di pertandingan yang lalu. Kau pasti bisa.
Mungkin Kodra memang bisa, namun kenyataan berkata beda. Lagi-lagi menerobos langsung sebagai pelari utama, Kodra terpaksa menghindari sapuan tangan Bur-Gai yang bagai sayap naga raksasa. Kodra berhasil, namun ia lantas disambut sentuhan tangan Yudha di tubuhnya.

Kali ini, Luku-Wa tak segan-segan menegur keras, “Sekali lagi kau beraksi sendirian, Kodra, kau bakal terus main galahasin sendirian di kampungmu – selamanya. Mengerti?”
“Ya, aku mengerti.” Kodra tak berani mengeluh lagi.

==oOo==

Keadaan memang semakin genting bagi regu Kalingga. Lagi-lagi Bur-Gai membuka jalan, hingga si siluman kancil, Cut Asthi berhasil menyelinap dari hadangan Withali dan Kodra. Kalingga satu, Swarnara dua.

Walau sangat ingin menunjukkan aksi nekadnya lagi, kali ini Kodra membiarkan Withali maju ke tempat Tamur, menghindari Bur-Gai sepenuhnya. Sayangnya, kelincahan Tamur diungguli oleh Hang Janak, si atlit serba bisa. Setelah empat kali usaha terobosan, satu sentuhan Janak di punggung Withali menggagalkan serangan Kalingga.

Giliran Swarnara menyerang. Kali ini yang maju ke baris kedua adalah Yudha dan Hang Janak, yang langsung menantang Kodra dan Luku-Wa. Tampak Luku-Wa, penjaga garis lintang dicecar beruntun hingga gadis itu pontang-panting. Sesekali Hang Janak berlari agak ke tengah lapangan. Refleks, Kodra memanfaatkan kesempatan untuk mendekati dan menyentuh lawan.

“Heh, terjebak kau.” Tiba-tiba Hang Janak mundur. Hampir bersamaan, Yudha berlari dan sudah melewati Kodra. Nagta yang sedang berkonsentrasi pada Salikha yang menghalanginya di pojok petak terlambat menyentuh Yudha yang langsung lari melewati garis akhir dan memegang bendera lawan. Swarnara tiga bendera, Kalingga satu.

Kodra bergidik melihat situasi ini. Karena itulah, dalam perembukan tim ia bicara pada Nagta, “Kali ini aku harus bekerjasama denganmu.”

“Lho, mengapa? Bukankah kau pernah menyebutku ‘si besar pengganggu’?” Nagta mendelik, tak percaya pendengarannya.

“Aku tahu kita saling bersaing, kepribadian kita tak cocok satu sama lain, dan Swarnara juga tahu itu. Maka, lawan takkan menduga bahwa kita akan melakukan serangan gabungan. Inilah senjata ampuh kita melawan Bur-Gai dan para pesolek itu.”

“Kau benar, Kodra. Aku lebih tak suka kalah dari Swarnara daripada padamu,” timpal Luku-Wa. Tamur si muka tapir hanya mengangguk, ia memang tak banyak bicara.

“Kalau begitu, ayo kita coba,” jawab Nagta, semangatnya tersulut oleh harapan baru. Matanya mengerling pada Withali yang balik tersenyum padanya.

Kodra tersentak. Ia teringat kembali alasan utamanya membenci Nagta, yaitu persaingan cinta. Namun demi kiprah bagi negeri, tak apalah kalau Withali terpikat pada pesolek yang satu ini.
Lagipula, gong penanda telah dibunyikan, Kodra harus kembali berlaga.

Saat Kodra bergabung dengan Nagta menghadapi Hang Janak di garis akhir, ia sengaja lari berputar-putar, seakan mengulangi “aksi gila-gilaan”-nya di babak-babak awal tadi.

Sekali lagi, Kodra sengaja ke tengah agar Janak dan Yudha terpancing untuk memberi “si bodoh” ini pelajaran. “Orang bodoh sepertimu itu aib bagi Kalingga! Pulang kampung sana!” Sambil mengejek, Hang Janak mengulurkan tangannya lurus-lurus ke arah Kodra.

Di saat yang amat tepat, Kodra malah berjongkok amat rendah. Karena terlalu bernafsu, tangan Janak malah bersinggungan dengan tangan Yudha. Kodra hanya menyeringai saja melihat ulah lucu keduanya. Janak dan Yudha mendelik padanya dengan geram, namun Kodra hanya menunjuk dengan santai ke satu arah. “Lihat di sana.” Kedua pria Swarnara itu menengok, bersama Kodra menyaksikan Nagta memegang erat tiang bendera Swarnara berlambang bintang emas sambil berdiri dengan gagahnya.

Saat Nagta kembali bergabung dnegan timnya, ia melihat Withali sedang bicara lembut pada Kodra, “Nah, kau baru mengerti ‘kan manfaat kerjasama tim? Kadang-kadang kau harus mengandalkan para rekanmu, membuat mereka bersinar.”

Tanpa sadar Nagta berdesis tanpa didengar orang lain, “… Dan aku akan bersinar paling cerah untukmu, Withali… apapun caranya.”

==oOo==

Dengan terpompanya semangat baru, regu Kalingga terus melaju. Luku-Wa melompat amat tinggi, satu sentuhannya berhasil menggagalkan lompatan Cut Asthi si kancil yang lebih tinggi darinya.

Tamur dan Kodra menghadapi Bur-Gai, si manusia-tapir gesit memutuskan melewati si peri air, Yudha di tengah.  Lantas Tamur bekerjasama dengan Luku-Wa mengecoh Salikha. Hasilnya, Swarnara tiga, Kalingga tiga.

Berhubung di pertandingan pertama Swarnara melumat Kalingga lima lawan dua, kedudukan imbang kali ini membuat Swarnara terpaksa mengerahkan kekuatan penuh, tak lagi menyimpan tenaga. Bagai raksasa murka, Bur-Gai menerjang maju sambil berkelit dengan piawai. Tak seorangpun bisa menahannya, bahkan rekan-rekannyapun membukakan jalan. Bur-Gai merengkuh tiang bendera Kalingga hingga hampir remuk. Swarnara empat, Kalingga tiga.

Lebih lucunya, amukan Bur-Gai itu membawa keberuntungan bagi tim lawan. Bagaimana bisa?
“Withali, sini. Aku punya akal untuk menghadapi si banteng amuk itu.” Luku-Wa terus berbisik pada rekan wanitanya itu, yang ditanggapi Withali dengan tawa cekikikan.

Kodra menggelengkan kepala tak mengerti, namun tetap mengikuti permainan. Luku-Wa berhasil melewati Hang Janak dan Yudha, dan bergabung dengan Withali.

“Pertunjukkan dimulai!” Bukannya mencoba menerobos, Luku-Wa dan Withali malah menari-nari nakal, maju-mundur main-main seolah hendak memancing amarah, jauh dari jangkauan para pemain lawan. Bahkan Hang Janakpun hanya bisa menggapai-gapai saja. “Hei, itu tak boleh! Pak Wasit, hukumlah mereka!”

“Hm, menarik,” ujar Mpu Galahasin, sekali lagi membelai janggut panjangnya. Karena aksi memancing emosi lawan belum dilarang di kitab aburan, kubiarkan dulu. Selama itu bukan memukul, menendang, atau melukai lawan, selama bukan tindakan menghina atau tak senonoh, itu masih diizinkan.” Keputusan wasit adalah mutlak, jadi Hang Janak hanya bisa gigit jari.

Lama-kelamaan, Bur-Gai tak bisa menahan diri lagi. “Jangan main-main kalian, biar kuberi pelajaran!” Yudha yang baru menebak maksud “para penari” itu berseru, “Bur-Gai, jangan maju!”

Terlambat. Si pria besar maju terlalu jauh untuk meraih dan menyentuh para wanita itu, sehingga tak satupun dari kedua kakinya menginjak garis bambu. Posisi ini jelas tercantum dalam buku lontar peraturan dasar permainan galahasin. Bagi regu penghadang, ini adalah…

“Bur-Gai, pelanggaran!” seru wasit. “Kalingga bebas lewat garis akhir Swarnara!”

Tentunya Luku-Wa, sang perancang taktik “nakal” ini mendapat kehormatan memegang bendera Swarnara, sekaligus menjadikan jumlah bendera di papan angka kedua tim sama-sama empat. Ketegangan memuncak. Apalagi di kubu Kalingga, karena kini giliran Swarnara sebagai tim pelari.

Bur-Gai meraung amat murka. “Permainan” tadi, walau tak ditujukan untuk menghinanya, jelas menggerus harga dirinya sebagai prajurit andalan Swarnara. Raksasa berbobot berat yang tak kenal lelah itu masih terlalu gesit bagi para jagoan Kalingga. Yudha dan Salikha bahkan membantu membuka jalan, melewati Kodra dan Tamur yang sudah jatuh-bangun menghadang mati-matian.

Wajah Nagta memucat bagai mayat melihat penampilan Bur-Gai yang bagai iblis ganas yang siap melibas siapapun ini. Sesaat ia lupa peraturan dasar galasin. Pelari dilarang menerjang, memukul, apalagi menjatuhkan penghadang. Nagta juga lupa, “keganasan” Bur-Gai itu hanya bawaan sifat dan gertakan saja.
Si pria besar bergeser ke satu sisi untuk menyelinap, diikuti Cut Asthi di sisi lain. Karena Bur-Gai yang paling dekat dengan garis akhir, Nagta memutuskan untuk menyentuh si besar. Anehnya, pria terkuat di tim Kalingga itu malah menjatuhkan dirinya sampai berlutut, lalu menyentuh tepat di lutut kiri Bur-Gai.

“Sentuhan! Ganti posisi!” seru wasit.

“Bagus, Nagta!” Kodra yang posisinya terdekat melihat jelas aksi rekannya itu dan terlonjak kegirangan. Pesta kemenangan regu Swarnara tertunda, dan kini giliran regu Kalingga berkesempatan membatalkan pesta itu sebagai pelari. “Kerahkan kemampuan terbaik kita! Gelar juara sudah di depan mata. Raihlah!” Luku-Wa tak segan-segan lagi menyerukannya, memompa semangat sampai maksimal.

Tanpa sengaja, Kodra melihat sesuatu yang aneh. Bur-Gai, pria bertampang jin itu masih tetap terpaku di garis akhir Kalingga, bukan bergerak mengambil posisi bertahan. Tiba-tiba, tubuh besar itu limbung, lalu jatuh berdebam di tanah berumput. Refleks, Kodra dan sang wasit, Mpu Galahasin langsung menghampiri pemain yang cedera itu, diikuti kedua kepala regu. Kodra terperangah. Di depan matanya, Bur-Gai meraung kesakitan sambil memegangi lutut kirinya.

“Aih, kurasa inilah akibatnya bila terlalu banyak mengumbar tenaga,” ujar Mpu Galahasin. “Bur-Gai bertubuh besar dan berat. Ia terlalu sering berputar dan berlari untuk mengecoh dan mencegat lawan, terlalu banyak beraksi. Andai ia sesekali beristirahat dan lebih sering membiarkan rekan-rekannya yang beraksi, saat giliran jadi pelari, ia bakal tehindar dari bencana ini. Petugas lapangan! Tolong papah Bur-Gai ke pinggir lapangan dan rawat lukanya! Pergantian pemain untuk Swarnara!”

Kodra terhenyak mendengar kata-kata sang wasit tadi. Terlalu banyak beraksi sendirian, walau mungkin takkan separah Bur-Gai, akan membuat atlet sehebat apapun kelelahan dan akhirnya bakal menghambat para anggota regu lainnya.

Namun tiba-tiba Kodra tersentak, teringat sesuatu. Pemuda berambut serba berdiri itu lantas berbalik dan memanggil, “Tunggu, pak wasit!”

Mpu Galahasin mendelik. “Ada apa, Kodra?”

Kodra diam sejenak. Ia baru sadar, tindakan ini mungkin akan merugikan dirinya dan regunya.

“Ada apa? Tolong jangan mengulur waktu.”

Ekspresi galau Kodra berubah menjadi kilau mata penuh tekad. Ia menghampiri wasit, lalu berkata, “Mpu Galahasin, ingatkah saat Nagta menyentuh lutut Bur-Gai tadi?”

“Ya, tentu aku ingat, walau tak terlalu jelas karena tubuh Bur-Gai membelakangiku.”

Kodra menarik napas dan menghelanya, mengumpulkan segala keberanian. “Nagta menyentuh persis di lutut yang sakit itu. Kurasa dia diam-diam mengerahkan tenaga dalam, memastikan Bur-Gai tak bisa berjalan dan jadi ancaman serius lagi bagi lawan.”

“Apa!?” Galahasin terkejut bukan kepalang. “Penggunaan ilmu tenaga dalam, Kanuragan atau semacamnya jelas dilarang dalam aturan galahasin! Apa kau yakin, Kodra!? Ini tuduhan amat serius, dan merugikan timmu pula!”

Luku-Wa juga ikut protes. “Benar! Nagta tak mungkin berbuat curang dan merugikan timnya sendiri! Tarik kembali protesmu dan minta maaflah, Kodra!”

Saat memalingkan wajah dari Luku-Wa, tanpa sengaja Kodra menatap Nagta yang berdiri di kejauhan, menatap tajam balik padanya sambil menggeleng, seolah berkata, “Jangan lakukan itu, Kodra! Kita harus jadi juara… dengan segala cara!”

Untuk sesaat, Kodra teringat pada sejarah negerinya. Tentang ambisi Kalingga mempersatukan seluruh Antapada lewat perang dan penaklukkan. Segala cara dihalalkan, bahkan mengakibatkan rakyat menderita. Termasuk Kodra sendiri, yang kehilangan ayahnya yang gugur di medan laga dan ibunya akibat wabah penyakit yang memunahkan hampir seluruh warga dusunnya.

Salah satu tujuan diciptakannya olahraga galahasin adalah membentuk budaya baru yang menjunjung tinggi kehormatan, keadilan dan jiwa ksatria. Kesalahan Kalingga di masa lalu tak boleh terulang lagi. Sekelebat pemikiran itulah yang akhirnya mendorong Kodra berkata, “Silakan tanyakan pada tabib yang merawat Bur-Gai.”

Secara wajar, Kodra sungguh berharap dugaannya salah. Di kejauhan, tampak Mpu Galahasin yang rupanya menguasai Kanuragan, ilmu pengolahan tenaga dalam sedang memeriksa lutut Bur-Gai. Lantas ia berdiri, bicara beberapa saat dengan tabib lapangan, mengangguk dan dan kembali ke tengah lapangan.

Mpu Galahasin menyampaikan keputusannya. “Berdasarkan pemeriksaan, tulang tempurung lutut Bur-Gai pecah. Padahal secara alami ototnyalah yang seharusnya terkilir, atau separah-parahnya, sobek. Maka dari itu, saya putuskan Nagta dari regu Kalingga telah melakukan pelanggaran keras, dan dengan ini dikeluarkan dari lapangan permainan! Karena Kodra dari regu Kalingga sendiri yang melaporkan pelanggaran ini, maka giliran sebagai pelari tetap dipegang regu Kalingga!”

Nagta tak bis menahan diri lagi mendengarnya. “Keparat kau, Kodra! Dasar munafik! Andai kau ada di posisiku tadi, kau pasti akan melakukan hal yang sama denganku! Awas kau! Aku pasti akan mengadukan ini pada Sang Ratu!”

Ketua regu Kalingga menghampiri Nagta. Senyum si pria kekar sempat mengembang sesaat karena bakal didukung, sebelum tamparan keras Luku-Wa, si wanita anggun itu mendarat di pipinya.
“Kamu yang telah mempermalukan Kalingga, Nagta! Sadarlah! Pemikiran lama negeri kita yang kauanut itulah yang membuat Kalingga nyaris hancur, memaksa ratu kita, Pirimatha mengajukan gencatan senjata! Bayangkan, betapa parahnya penghinaan yang harus beliau tanggung demi menyelamatkan rakyatnya dan memperbaiki kesalahannya! Mulai saat ini, sampai kau menghayati arti keadilan dan kehormatan ksatria, kau, Nagta, dipecat dari regu Kalingga!”

“Apa!? Luku, kau tak boleh melakukan ini padaku, setelah segala perjuanganku demi membangkitkan kembali kejayaan Kalingga! Kodra, si pengacau itulah yang seharusnya dihukum! Baik, bila kalian tak mau menghukumnya, biar aku saja yang melakukannya!”

Nagta yang sudah gelap mata maju, menyerang dengan kedua tangan berpendar penuh tenaga dalam ke arah Kodra. Namun, sebuah kekuatan besar menghantam Nagta hingga terpelanting dan jatuh terkapar di lapangan. Rupanya si penyerang adalah Mpu Galahasin yang menguasai Kanuragan tingkat tertinggi. Telapak tangan pria tua itu tampak berasap setelah menembakkan prana tak kasat mata tadi.

Dengan sigap, para prajurit Jayandra yang menjaga keamanan arena meringkus Nagta. Saat digiring ke luar arena untuk ditahan, Nagta berteriak kalap, “Bodoh kau, Kodra! Sok terhormat! Andai Kalingga bisa menang, pasti rakyat bakal menyanjung namaku, bukan namamu!”

Kodra mendengus. Ia sudah tak peduli lagi apa ia bakal dicerca, dicemooh rakyat karena menuruti nuraninya. Namun keadaan memang lebih runyam kini. Empat lawan lima, Kalingga butuh keajaiban luar biasa agar bisa mencetak angka. Suara-suara ribuan penonton riuh-rendah, tak jelas mereka mengatakan apa.

Satu tepukan di bahu dari Tamur dan senyuman penuh arti Withali kembali mengipasi api semangat Kodra. Kemungkinan menang masih ada.

“Untuk memperbesar peluang kita, kurasa inilah waktunya mengerahkan Formasi Semanggi Empat, pamungkas rahasia kita!” kata Luku-Wa pada timnya. “Formasi ini bakal pincang tanpa Nagta, tapi setidaknya lawan takkan mudah mengenalinya.”

“Karena formasi baru ini adalah hasil latihan rahasia kita beberapa hari ini dan memang belum pernah dikerahkan sebelumnya,” sambung Withali.

“Tapi ingat, kita bakal amat tergantung pada Kodra. Jadi Kodra, untuk sekali ini, bergeraklah sebebas yang kau suka,” ujar Tamur sambil menatap tajam rekannya.

Kodra menelan ludah. Keringat yang bercucuran dari tubuhnya telah bercampur keringat dingin akibat memuncaknya ketegangan.

==oOo==



Saat gong tanda mulai kembali dibunyikan, Kodra dengan nekad melesat ke titik tengah lapangan, menyusuri garis bujur.

“Nekad sekali kau! Rasakan!” Yudha melesat amat cepat bagai berenang, tangannya terjulur untuk menyentuh “sasaran empuk” ini.

Namun Kodra cepat-cepat bergerak ke samping, ke sisi yang dijaga si pemain cadangan Swarnara. Withali bergerak duluan untuk menerobos dari sisi tengah lapangan, tentu saja dia yang jadi incaran wanita yang tak terlalu lincah namun masih segar itu.

Tiba-tiba Withali berhenti dan bergeser ke samping, membuat si penjaga refleks menghentikan langkah dan ikut bergeser ke arah Withali.

Si “tangkai semanggi”, Kodra melenggang masuk ke baris kedua, dihadang oleh si gesit tampan, Hang Janak dan si penari gemulai, Salikha. Luku-Wa dan Tamur bergerak bersamaan, dan Kodra bergerak ke sisi Luku-Wa di petak kiri menghadap garis akhir tepat sebelum tangan Yudha menyambarnya.

Hang Janak menghalau Luku-Wa dengan kibasan tangannya, langsung menghadang Kodra dekat sudut tepi. Namun tadi hanya gerak tipu, dan Kodra telah menerobos ke petak sebelah, melewati Yudha yang sibuk menghadang Luku-Wa.

Tentunya Tamur memancing Salikha dengan percobaan-percobaan terobosan. Walau gerakannya lincah gemulai, Salikha kalah gesit dari si manusia-tapir ini. Ditambah Kodra yang bergerak selang-seling, wanita cantik itu mulai kewalahan.

Tiba-tiba gerakan Kodra melamban. Gawat, mungkin dia kelelahan akibat mengumbar tenaga besar sejak awal pertandingan. Gawat! Tolong, jangan! Ayolah tubuhku, aku sudah menyadari kesalahanku sejak Luku-Wa menegurku tadi, tapi jangan kelelahan sekarang! Tinggal satu… terobosan… lagi, dan tuntaslah semuanya!

Mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Kodra nekad menerobos garis akhir dekat garis bujur lapangan. Dengan refleks yang terlatih, Salikha dan Yudha lantas berbalik untuk menyentuh Kodra, bahkan si pria peri berkulit biru meloncat menyamping, menjatuhkan diri demi satu sentuhan jari, sekejap di dekat tumit kakinya.

Mungkin kejadian sedetik tadi hanya persentuhan tumit dan tumit saja, atau tumitnya menyampaikan pesan yang salah ke otak. Sesaat setelah tubuh Kodra mendarat di tanah berumput, satu seruan lantang Mpu Galahasin bergema, “Sentuhan Swarnara! Ganti posisi!”

“Apa!?” Kodra bangkit perlahan-lahan dengan wajah kelelahan campur bagai tersambar petir. Ia lantas menatap ke arah Yudha, yang sudah bangkit lebih dahulu dari posisi cukup dekat dengan Kodra. Sesaat, wajah Kodra berubah geram, sehingga Yudha mengangkat kedua tangannya. “Tunggu, Kodra. Itu tadi hanya untung-untungan saja. Aku tak menyangka sentuhan tipis tadi dianggap sah oleh wasit.”

Mendengar itu, Kodra baru sadar bahwa dia tadi geram pada dirinya sendiri karena kelelahan. Maka, sambil tersenyum tulus Kodra menepuk bahu Yudha seraya berkata, “Yah, apa boleh buat. Aksimu memang bagus sekali tadi, Yudha. Ayo kita berjuang terus hingga akhir pertandingan.”

Yudha menepuk balik pundak Kodra. “Baik, saudara.”

Tiba-tiba terdengar riuh-rendah tepuk-tangan dari ribuan penonton yang memadati arena. Diiringi pula dnegan seruan-seruan “Kalingga!” “Swarnara!” “Yudha!” “Kodra!” dan sebagainya.

Itulah kenyataannya. Kodra berusaha keras untuk berjalan tegak ke posisinya di garis pertahanan terakhir di tengah lapangan. Kata-kata Luku-Wa saat perembukan tadi terngiang dalam benaknya.

“Kita tahu kita sudah kelelahan, apalagi Kodra. Namun lawan juga kelelahan. Jadi kemungkinan besar mereka akan melancarkan formasi pamungkas Rajawali Sambar Semesta yang pernah kita lihat mereka gunakan saat mengalahkan Jayandra. Inilah taktik kita untuk membendungnya…”

Karena satu petak di baris pertama kosong akibat dikeluarkannya Nagta dari pertandingan, Tamur bertugas untuk menjaga seluruh garis baris pertama. Di garis akhir ada Withali dan Luku-wa, wajah-wajah mereka tampak tegang. Kodra yang berdiri di titik awal, bendera Kalingga menatap para anggota timnya bergantian sambil berkata, “Jadi inilah rasanya, berjuang habis-habisan demi negeri kita. Ayo, kita tuntaskan.”

Withali, Luku-Wa dan Tamur menanggapi Kodra dengan mengepalkan tangan di udara dan berseru, “Demi Kalingga!”

Saat gong dibunyikan, Kodra lari seketika. Namun, ia hanya berhenti di titik tengah garis bujur antara garis akhir dan garis batas baris pertama. Tamur bersiaga di depan Kodra, mengantisipasi arah serangan Swarnara.

Yudha, Cut Asthi dan Deswala, pemain cadangan Swarnara maju bersamaan, menyebar bagai rajawali mengembangkan sayapnya. Tak salah lagi, inilah gerakan pembuka formasi Rajawali Sambar Semesta, pamungkas regu Swarnara.

Yudha bergerak merapat ke sisi Cut Asthi, jadi Tamur menghadang dua lawan yang boleh mencoba menerobos itu. Tiba-tiba Yudha berbalik dan lari ke belakang Deswala yang sudah ke titik tengah. Tamur, si pelari tercepat Kalingga berusaha keras mengejar Yudha yang coba menerobos dari ujung terjauh lapangan.
Sama-sama lelah, Tamur tetap lebih cepat dari Yudha, tangannya sudah akan menyentuh pemuda itu.

Tiba-tiba Yudha menghentikan langkahnya dan melompat mundur. Tamur tersentak begitu tahu ini hanya tipuan, tapi ia tak kuasa mengejar si gadis, Deswala yang melewati garis bujur yang tak dijaga Kodra, apalagi Cut Asthi yang langsung menerobos ke tepi baris kedua.

Withali dan Kodra beraksi seketika, menghadang Cut Asthi si siluman manusia-kancil yang bergabung dengan Salikha. Anehnya, keduanya lalu berlari berputar-putar searah dengan amat cepat, di luar jangkauan tangan para penghadang yang harus terus menginjak garis bambu. Inilah bentuk asli formasi pamungkas Swarnara. Pergerakan ini amat menguras tenaga, tapi lawan akan jauh lebih sulit menduga siapa akan menerobos lewat mana.

Berkali-kali Withali dan Kodra menghalau percobaan dan tipuan lawan. Salikha dan Cut Asthi bergantian memancing dan coba-coba menerobos Kodra yang sudah amat lelah dan salah bergerak terlalu dekat ke garis akhir. Jadi Asthi dan Salikha seketika lari ke garis bujur bersama. Cut Asthi sengaja mendekati Kodra untuk “menutup jalan”, sementara Salikha menerobos ke petak sebelah.

Lagi-lagi Salikha berputar-putar bersama Hang Janak. Walau ada Luku-Wa di garis akhir, Kodra yang sudah salah langkah kembali berjaga di tengah. Dua “rajawali” berputar-putar mengincar mangsa, sengaja mengulur waktu, adu tenaga.

Anehnya, Kodra diam saja. Napasnya memburu, tubuhnya amat membungkuk. Melihat itu, Hang Janak memberi isyarat mata pada Salikha, keduanya berlari ke arah garis akhir. Luku-Wa menghalau Salikha yang pertama tiba, lalu mengincar Janak. Dengan gerakan bagai tarian gemulai, Salikha berganti arah dan melesat ke garis bujur.
Melihat itu, Kodra baru bergerak. Rupanya ia masih cukup cepat untuk meraih ke arah Salikha. Saat hampir pasti menyentuh lawan, tiba-tiba Salikha raib bak bayangan. Ini bukan tenaga dalam, gadis itu memang berkelit dengan memanfaatkan kelenturan tubuhnya sebagai penari.
Kodra tersentak dan langsung lari ke sisi lain garis bujur. Benar dugaannya, Hang Janak, ketua regu Swarnara sedang lari sekuat tenaga untuk melewatinya. Tahu ia takkan bisa mencapai lawan dengan lari, Kodra menjatuhkan diri ke depan sambil merentangkan tangan. Di saat bersamaan, Hang Janak melintasi garis bujur bambu. Jari-jemari Kodra maju menyusur udara. Kodra amat berharap ada rasa lain menyengat kulitnya. Sedikit saja. Sedetik saja.

Kodra roboh di rumput, tangannya tak bisa maju lagi. Namun, tak ada suara apapun dari Mpu Galahasin. Bunyi gong atau tanda apapun juga tidak. Tidak. Apakah Mpu Galahasin sudah begitu sepuh, ia mengira jari Kodra tak menyentuh apapun? Apakah tadi beliau memihak Swarnara, saat Yudha menyentuh tumit Kodra tadi? Saat itu pula Kodra sadar, ia hampir menipu diri sendiri. Kenyataannya, ia memang tak menyentuh apa-apa.

Kehabisan tenaga, Kodra mencoba bangkit untuk melihat keadaan. Terlambat.
Hang Janak telah berpegangan tangan erat dengan Cut Asthi. Lalu, dengan satu putaran kuat dan satu entakan, si pria kuat melontarkan si manusia-kancil bertubuh ringan ke tepi lapangan. Akibatnya, Asthi lari secepat panah lepas dari busur, melintasi garis akhir tanpa bisa disentuh oleh penghadangnya, Withali.
Pegangan tangan Cut Asthi dari Swarnara pada tiang bendera Kalingga mempertegas kenyataan , sekaligus memupus tuntas asa Kodra, rekan-rekannya dan para handai-taulan dan saudara sebangsa yang ikut menyaksikan pertandingan ini.

Seruan Mpu Galahasin memastikan segalanya. “Hasil akhir, Swarnara lima bendera, Kalingga empat bendera. Swarnara adalah pemenang Kejuaraan Galahasin Antapada kali ini!”

Teriakan-teriakan “Swarnara! Swarnara! Swarnara digdaya!” berkumandang di seantero arena.

Para pemain saling bersalaman, tanda persaingan yang berakhir dengan persahabatan.
“Sayang sekali ya,” ujar Yudha pada Kodra. “Andai Nagta masih bermain, keadaan bakal beda.”

Kodra menjawab sambil tersenyum lemah. “Lebih tepatnya, andai Nagta tak curang, peluang kami untuk menang bisa lebih besar daripada tadi. Permainan kalian tadi sungguh hebat, Swarnara sungguh pantas jadi juara.”

Yudha menepuk bahu Kodra seraya berkata, “Terima kasih, Kodra. Kita tanding ulang dua tahun lagi, ya. Kuharap kau sudah menyiapkan lebih banyak kejutan lagi nanti.”

“Baik, janji!” Jabat tangan keduanya berubah menjadi genggaman erat.

Maka, regu Swarnara, Kalingga dan juara ketiga, Jayandra berdiri berdampingan di panggung kehormatan yang sudah dipersiapkan di tepi lapangan galahasin. Sang pencetus dan penemu Olahraga Galahasin menyerahkan tanda juara, arca emas sebesar pedang pada ketua regu Swarnara. Hang Janak mengangkat “piala” itu tinggi-tinggi dengan senyum dan ekspresi amat bangga. Untuk kedua kalinya, nama Swarnara kembali harum sebagai negeri juara olahraga.

Setelah memberikan kalung medali perak pada regu juara kedua dan kalung medali perunggu pada juara ketiga, Mpu Galahasin menatap sekeliling pada seluruh hadirin, termasuk Prabu Narendra, Raja Jayandra sebagai tuan rumah.

“Nah, para juara telah ditentukan. Menang atau kalah, ingatlah bahwa kejuaraan galahasin ini diadakan demi membina  perdamaian di seluruh wilayah Antapada,” papar Galahasin. “Namun perlu diingat, ada satu hal lain yang lebih penting daripada menjadi juara.” Ada jeda yang disengaja, menimbulkan riuh-rendah suara-suara yang bertanya-tanya.

Galahasin melanjutkan, “Itu adalah bertanding dengan jujur. Seorang olahragawan sejati tak hanya dituntut untuk berdisiplin dan menaati peraturan, tapi juga berani mengungkapkan kecurangan dan tindakan-tindakan lain yang menodai kehormatan, apalagi yang dilakukan oleh anggota timnya sendiri.”

Para penonton saling bertatapan, kembali kasak-kusuk untuk mencerna maksud perkataan Mpu Galahasin tadi. Di antara kata-kata yang tumpang-tindih, ada satu nama yang jelas terdengar.

Mpu Galahasin menegaskannya seketika, “Ya, orang yang kumaksud adalah Kodra Bhaskara dari Kalingga. Walau mendapat tekanan, bahkan ancaman dari rekan seregunya, Kodra berani mengungkapkan kecurangan walaupun itu merugikan regunya sendiri. Inilah sikap yang layak dicontoh oleh setiap olahragawan di manapun juga, di seluruh Mayapada.”

Lantas, sang pria sepuh nan bijaksana ini melepas cincin emas dari jari manisnya, lalu menyematkannya di jari manis Kodra. Lanjutnya, “Karena itulah, untuk pertama kalinya saya menghadiahkan cincin pusaka ini pada Kodra Bhaskara, disertai gelar Pemain Terbaik pada Kejuaraan Galahasin Antapada Ketiga ini. Untuk seterusnya, pemain terbaik akan mendapatkan cincin yang serupa dengan ini untuk ia simpan selamanya, bukan hadiah bergilir. Inilah penghormatan khusus dan istimewa bagi Kodra, regunya dan Negeri Kalingga!”

Hampir seluruh penonton berdiri sambil bertepuk tangan riuh, menyerukan nama Kodra dan Kalingga berkali-kali. Bahkan Prabu Narendra dan semua anggota tim-tim lawan, baik di panggung, di tribun kehormatan maupun di lapangan bertepuk tangan dan memberi salam hormat ke arah Kodra.

“Bagus, Kodra! Selamat, kau sungguh seorang pahlawan!” Luku-Wa tak sanggup menahan air mata harunya. Tamur, si manusia tapirpun tersenyum, mengacungkan dua ibu jari pada Kodra. Namun yang membuat hati Kodra berbunga-bunga adalah senyuman Withali dan mata jeli gadis itu yang tak lepas menatapnya.  Membuat Kodra percaya, Withali adalah gadis tercantik yang pernah ia kenal.

Sesaat kemudian, tatapan mata Kodra bertemu dengan mata sang pencipta olahraga yang telah membuat jiwa Kodra berkobar-kobar ini. Benak Kodra berkata, Aku ingin merasakan dan memancarkan kobaran ini lagi. Tunggulah dua tahun lagi. 

Mpu Galahasin mengangguk dan tersenyum bijak, ternyata ia bisa membaca pikiran Kodra dari jarak jauh. Beliau kembali mengirim pesan telepatinya ke benak Kodra. Baiklah, dua tahun lagi.

Contoh kostum Kalingga dari Suku Dayak - 
Sumber: Beautiful Kalimantan Girl oleh micorazone.deviantart.com
Daftar Istilah:

Mayapada Sebutan di Jazirah Antapada untuk Dunia Terra Everna.
Galahasin Olahraga paling bergengsi dan populer di Antapada di Zaman Raja-Raja Pulau.
Narendra, Prabu Raja Negeri Jayandra di akhir dan setelah Perang Akbar Antapada Pertama.
Pirimatha Ratu Negeri Kalingga di akhir dan setelah Perang Akbar Antapada Pertama.
Mahesapura Ibukota Kerajaan Jayandra, letaknya di pantai utara – barat laut Pulau Jayandra.

Cerpen karya Andry Chang ini adalah bagian dari kanonisasi Everna Saga, direncanakan untuk masuk dalam Antologi Everna: Utara dan Selatan. Juga adalah cerpen contoh untuk Program Tantangan Kemudian.com 2014. Posting di Kemudian.com: http://www.kemudian.com/node/276114

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia