Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

16 May 2012

Fantasy Fiesta 2012 - Empat Hadiah




Bagiku, dunia telah berakhir.
Aku berjalan gontai, keluar dari sebuah gedung perkantoran di bilangan Sudirman, jantung kota Jakarta. Tanganku membawa sebuah kardus besar dan meremas surat Pemutusan Hubungan Kerja.
 Di halte busway, banyak mata tertuju padaku. Ada orang yang menggeleng, menghela napas. Ada yang kasak-kusuk dengan temannya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku, ada pula yang bergumam, “Kasihan.”
Bahkan seorang pria bertubuh kekar bak binaragawan menghampiri dan menegurku, “Selamat! Anda beruntung, terpilih dalam reality show ‘Lampu Ajaib’! Nama saya Alay Silebay, presenter acara ini. Siapa nama anda?”
Kujawab, “Wisnu Handoyo. Tapi maaf, saya tak berminat karena…”
“Saya tahu,” bisik si kekar, menyeretku keluar antrian lalu berbisik di telingaku. “Kita sedang live, ada kamera tersembunyi di sana.”
Spontan aku menoleh ke arah yang ditunjuk. Namun si kekar mengarahkan wajahnya persis di depan wajahku. Sempat aku mengernyit melihat bentuk kumis dan janggutnya yang melengkung aneh, juga rambutnya yang berminyak tebal hingga tampak seperti es lilin. Mungkin itu tuntutan dunia hiburan, tapi hati-hati penipuan!
Si pembawa acara terus bicara, “Nah, caranya mudah saja!” Ia menyodorkan sebuah benda mirip lampu Timur Tengah kuno, lebih mirip teko kecil. “Gosok lampu ajaib ini. Sebutkan satu permintaan, apa saja, dan itu akan terkabul.”
“Apa saja?”
“Ya, apa saja! Ada pepatah, di balik awan hitam, ada pelangi. Di ujung pelangi, ada emas sepoci. Inilah kesempatan emasnya, ayo dicoba!”
Kuletakkan kardus di lantai, lalu meraih lampu itu. Aku menggosoknya, mengungkap hal pertama yang terlintas dalam pikiran. Wagyu Steak.”
“Apa?!” Alay Silebay terperanjat.
Wagyu Steak, bistik ala Jepang. Saya ingin mencicipinya.”
“Yakin ini pilihan anda? Ingat, hanya satu permintaan, boleh apa saja!”
Aku mengangguk mantap. “Ya, saya yakin.”
Kumis Alay seakan layu, mulutnya ternganga. Cepat ia menutupinya dengan tawa dibuat-buat. “Hoa-ha-ha! Baik! Pemirsa, inilah orang beruntung hari ini, Wisnu Hudoyo!”
“Handoyo.” Aku membetulkan.
Alay tak menggubrisnya. “Nah, kita akan saksikan keinginannya terkabul setelah pesan-pesan berikut ini! Tetaplah bersama ‘Lampu Ajaib’!”
Keinginanku benar-benar terkabul. Daging sapi sehalus kue meluncur di lidahku. Bibir dan gigiku menari-nari, teriring melodi saus Wagyu nan gurih. Suasana restoran Jepang termahal di Jakarta ini tak ubahnya balairung Istana Osaka, begitu agung dan khidmat. Rasanya aku jadi seorang Shogun, pemimpin negeri di era Jepang Kuno.
Seandainya aku memohon mobil, rumah mewah dan semacamnya, pajak dan biaya perawatan pasti akan membebaniku gila-gilaan. Bahkan emas segunungpun belum tentu mendatangkan kebahagiaan.
Setidaknya reality show ini menepati janji. Aku jelas ragu apakah anggaran mereka cukup untuk mengabulkan permohonanku yang tergila. Seharusnya mereka berterimakasih atas pilihanku, tapi si pria mirip Jin Lampu itu malah gigit jari, menggerutu sendiri. Ah, tak usah pedulikan dia. Setidaknya Wagyu Steak sudah mencerahkan mendung di hatiku.

Kembali di kamar kosku yang penuh sesak dan bau, yang kuinginkan hanya mengakhiri hari ini. Saat siap berangkat ke dunia mimpi, tiba-tiba ponselku berdering.
Tanpa bangkit, kuraih ponsel lalu bicara, “Halo?”
Suara di ponsel terdengar berat dan serak, mungkin dari pria yang sudah berumur. “Halo, dengan Wisnu Handoyo?”
“Saya sendiri. Dengan siapa saya bicara?”
“Kenalkan, saya Nikolas. Saya dapat nomor kamu dari Alay Silebay, presenter reality show yang mewawancarai kamu tadi.”
“Apa yang bisa saya bantu, Pak?” Aku berusaha tetap sopan.
“Saya ingin menawarimu pekerjaan, namun kamu harus menempuh ujicoba dahulu.”
Wah, cepat sekali. Si Alay itu pasti punya koneksi yang bagus. Atau jangan-jangan, ia ingin mengerjaiku untuk balas dendam? Hati-hati!
“Di mana kantor Bapak? Saya harus kirim resume dulu.”
“Tak perlu,” ujar Nikolas. “Saya sudah di depan rumah kamu sekarang.”
“Hah?!” Aku bergegas bangkit, mengintip keluar jendela. Di depan pintu pagar, seorang pria tambun berjanggut putih, berjas dan berdasi merah melambai ke arahku.
“Tunggu sebentar, Pak!” Terburu-buru aku bangkit, merapikan kemeja, memakai sepatu dan bergegas ke pintu depan.
Nikolas menyambutku dengan senyum tulus dan ramah seperti Sinterklas. “Kamu cepat tanggap, Wisnu, jadi kamu lolos ujian pertama. Maklum, di Abad Informasi ini kita harus selalu bergerak cepat.”
Ia lalu menyodorkan sebuah kado berbentuk kotak persegi panjang seraya berkata, “Nah, ini ujian kedua. Antar paket ini ke alamat yang tercantum.”
“Itu saja?” Mataku mendelik curiga.
“Jangan kuatir,” jawab si direktur nyentrik. “Ini bukan bom, melainkan mainan untuk seorang anak kecil. Nah, ibunya adalah klien yang paling sering memesan hadiah lewat jasa kita. Jadi beramah-tamahlah, buatlah dia senang.”
Wah, jadi perusahaan si kakek ini adalah jasa pengiriman hadiah, seperti Sinterklas? Dan direkturnyapun mirip Sinterklas? Hebat! Ada perusahaan yang berdedikasi macam ini di Indonesia.
Jawabanku tentu saja. “Ya, saya laksanakan, Pak.”
Satu jam kemudian, motorku berhenti di depan sebuah rumah besar nan megah. Kucocokkan nomor rumah dengan alamat di label kado, lalu menekan bel.
Layar monitor di bel canggih itu menayangkan wajah galak satpam pria yang mirip anjing jenis Pitbull. Suaranyapun seperti gonggongan. “Situ siapa? Ada perlu apa?”
Kujawab tanpa takut. “Antaran hadiah untuk Piet, dari CV. Damai Semesta.”
Wajah si satpam berubah menyeringai. “Oh, silakan masuk.”
Gerbang besi terbuka secara otomatis.
Memasuki lingkungan dalam rumah, mataku menyapu segala arah. Mulai dari halaman yang luas, penuh pohon dan bunga serta kolam renang. Hingga ruang tamu berhias patung antik serta lukisan mahakarya dari Bali. Aku duduk dan menaruh kado di meja tamu.
Tiba-tiba seorang anak kecil datang berlari dari ruang dalam. Kulitnya legam bagai sawo yang terlalu matang, mirip pembantu Sinterklas, Piet Hitam.
Mengincar kado di atas meja, siku anak itu tak sengaja menyenggol patung wanita memanggul bakul hingga oleng. Refleks, aku bangkit, menahan patung hiasan meja itu hingga tak membentur lantai.
Disusul lengkingan seorang wanita. “Aah, patungku!”
Aku menoleh, menatap nyonya rumah. Wajah bulatnya nampak jelita. Ia mengenakan tanktop dan hot pants, menampilkan lekuk tubuh aduhai setaraf fotomodel.
Celotehannya seakan tanpa jeda bagai kicauan burung kucica. “Aduh, Piet, kenapa kamu tak hati-hati? Awas dong lain kali! Ah, terima kasih Mas sudah menyelamatkan patung antik peninggalan almarhum suami saya. Aduh, saya jadi lupa mengenalkan diri. Saya Mona, Mas siapa?”
“Saya Wisnu, Bu.”
“Wah, jangan panggil ‘Bu’. Cukup ‘Mona’. Nah, ini uang dan ongkos antar kadonya.” Mona mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya padaku. “Ambil saja kembaliannya, anggaplah buat tips.”
“Terima kasih, Mbak Mona. Kalau begitu saya permisi dulu…”
“Tunggu, jangan buru-buru.” Mona menyambar lenganku. Ia melihat sekeliling. Tak ada siapa-siapa, karena Piet sedang sibuk menghancurkan mainan barunya di halaman.
Dengan senyum nakal, Mona merapatkan tubuhnya padaku seraya berbisik, “Saya ingin minta tolong pada Mas. Semenjak ditinggal mati suami, saya sangat kesepian. Mas Wisnu ini tampan, lho. Bagaimana kalau Mas menemani saya tiap hari, jadi bapaknya Piet dan menangani perusahaan saya? Kita pasti akan hidup bahagia, tak kekurangan apapun.”
Bahaya! Sadarlah aku, ini godaan terberat yang sulit ditampik pria manapun juga.
Perlahan, kudorong wanita itu menjauh seraya berujar, “Maaf, Mbak Mona. Tawaran Mbak sungguh menggoda, tapi saya tak bisa menerimanya.”
“Lho, mengapa?” Barulah nampak sifat asli Mona si galak.
“Saya sudah punya kekasih,” jawabku, menatap lurus mata Mona. “Terus terang Mbak lebih cantik, lebih seksi dan jauh lebih berharta darinya, tapi saya tak bisa meninggalkannya, mengingkari janji setia padanya.”
Mona tersentak. Kesetiaan. Mungkin itulah yang hilang dari dirinya selama ini. Firasatku berkata, tak terhitung berapa kali ia selingkuh saat suaminya masih di dunia.
“Baik! Begini saja, kalau Mas menolakku, aku takkan pernah pakai jasa CV. Damai Semesta lagi!” ancamnya.
Aku tersenyum getir. “Urusan Mbak dengan saya tak ada hubungannya dengan perusahaan. Bila Mbak memaksa, lebih baik saya merugikan perusahaan dan kehilangan pekerjaan daripada kehilangan pendirian dan jati diri sebagai lelaki.”
Tanpa basa-basi lagi, aku berbalik pergi.
Dengan geram Mona berteriak, “Dasar berondong tak tahu diuntung! Pak Satpam! Usir dia!”
“Dengan senang hati! Wulan, Dahlia, kejar dia!” Si satpam mengerahkan dua anjing Pitbull-nya, membuatku lari tunggang-langgang ke motorku.
Sore itu juga kulaporkan hasil kerja, termasuk kejadian dengan Mona tadi pada Bos Nikolas lewat telepon.
“APA!?” Suara Nikolas menggelegar bagai guntur. “Wisnu, kamu baru saja menghilangkan langganan terbaik perusahaan kita! Kamu tahu apa artinya itu, ‘kan?”
“Ya, Pak,” jawabku datar. Sudah kuduga.
“Kamu gagal ujian, jadi saya sudah tak bisa membantumu lagi. Namun.” Nada bicara Nikolas kembali lembut kebapakan. “Saya salut pada sikapmu menjaga kesetiaan pada kekasihmu. Tapi seandainya kamu tak punya kekasih, apa kamu akan menerima tawaran janda kembang itu?”
“Mungkin tidak, menilik gaya hidupnya dan caranya mendidik anak.”
“Ho, ho, ho! Baik, kalau begitu kausimpan saja uang pembayaran dari Mona itu sebagai kompensasi. Pertahankan terus prinsipmu, semoga kamu menemukan pekerjaan yang cocok.” Tanpa menunggu jawaban dariku, Nikolas menutup pembicaraan.
Maka, hari-hari sebagai tukang ojek kembali kujalani.

Suatu ketika, seorang pria aneh menemuiku. Bertampang Tionghoa, perawakannya cukup tampan di usia tiga puluhan. Kumis tipis bertengger dekat sudut-sudut bibirnya, mata sipitnya menyorot penuh perhitungan.
“Haiyah, kenalkan, owe Acong. Owe tau alamat situ dali Nikolas, mantan wos situ. Dia wilang situ penganggulan tapi welwudi luhul, jadi owe welsedia wantu situ.” Bahkan logatnyapun menunjukkan Acong belum lama tinggal di Indonesia.
“Bantuan apa, Koh Acong?” tanyaku penuh selidik.
Acong mengeluarkan amplop besar dari tas hitamnya dan menaruhnya di meja ruang tamu. Ujarnya, “Ini owe pinjami wang lima welas juta, cukup wuat modal usaha.”
Jumlah yang kecil untuk memulai usaha apapun. Aku mengerutkan dahi, terdiam sejenak dan berpikir keras. Tak pernah ada ide usaha muncul di kepala. Sejak lulus kuliah aku selalu kerja di kantor, itu saja.
“Aduh, tak usah, Koh Acong. Saya tak ingin menambah beban, takut tak bisa mengembalikan hutang…”
Koh Acong malah menepuk pundakku. “Hei, situ ‘kan saljana. Halus positip! Ada kemauan, pasti ada jalan! Jangan takut lisiko, ambil kesempatan, walu situ wisa sukses!”
Keadaan serba terjepit akhirnya memaksaku berkata, “Ya, saya terima uang ini. Tapi bagaimana cara saya mengembalikannya?”
Koh Acong mengacungkan tiga jarinya. “Owe kasi tiga wulan bebas. Mulai wulan keempat situ cicil tiap wulan sepuluh plosen, wunga sepuluh plosen sampai lunas.” Hutang dengan bunga cukup berat, namun inilah kesempatan yang kudapat.
Hari-hari berikutnya kulalui, memikirkan cara mengembangkan dana di tangan. Segala usaha kucoba, dari menjual asuransi sampai broker properti. Sebulan, dua bulan lewat, jangankan balik modal, lilitan biaya hidup membuat dana menipis.
Di bulan ketiga, teman kosku yang selama ini membantuku malah pinjam uang tiga juta, dengan alasan aku hutang budi. “Lagipula kamu nggak tahu mau diapakan uangnya, ‘kan?” ujarnya.
Walau was-was, setelah didesak terus-menerus, akhirnya kuberi ia pinjaman. Dua hari kemudian, si teman kos menghilang tanpa jejak, membawa semua barangnya.
Modal lenyap, kesempatan habis.
Yang paling gawat, bagaimana hutang kulunasi? Bayangan Koh Acong mendatangiku bersama pendekar-pendekar Kung Fu bertampang sangar dan tubuhku yang terkapar bersimbah darah membuat jantungku berdegup keras.
Jantungku serasa copot saat kudengar teriakan berlogat aneh itu. “Ada Wisnu?”
Kukumpulkan keberanian. Kutemui lintah darat itu. Yang agak melegakan, ia datang sendirian. Terpaksa kuceritakan segala yang terjadi.
“Saya ini sungguh bodoh, Koh Acong. Sekarang saya tak sanggup bayar hutang, biar saya kerja pada Koh sampai lunas.”
Koh Acong berucap datar, “Haiyah, jadi wegitu. Ikut owe.”
Entah apa yang menggerakkan tubuhku mengikutinya. Mungkin aku kena hipnotis? Mungkin ia memancingku ikut, lalu menghabisiku di tempat sepi?
Sebaliknya, ia membimbingku ke tengah jalan yang ramai. Dihampirinya sebuah gerobak kaki lima di trotoar. “Situ suka kelipik singkong?” tanyanya.
Aku mengangguk, namun wajahku melongo, bingung. Apa maksudnya ini? Apalagi saat ia menyodorkan sebungkus penuh keripik padaku. “Amwil lah, owe tlaktil.”
Berdua, aku dan si lintah darat duduk di emperan. Koh Acong bahkan berbagi keripik denganku, mungkin untuk membuktikan keripik itu tak beracun.
Saat keripik pertama terpecah dalam mulut, mataku terbelalak. Keracunankah?
Aku berdiri, lalu menghampiri si pedagang keripik. Ternyata ia seorang wanita setengah baya, bertubuh gempal dengan rambut putih disanggul. Wajahnyapun tak biasa, seolah ibu ini keturunan Indo-Belanda. Ia mengenakan kacamata bulat kecil yang nampaknya hanya digunakan untuk membaca.
“Permisi,” ujarku sopan. “Nama saya Wisnu. Boleh saya tahu nama ibu?”
“Oh, saya biasa dipanggil Bu Pri,” ujar wanita itu, memancarkan senyum keibuan yang mengundang simpati. “Apa yang bisa saya bantu, Nak Wisnu?”
“Begini, rasa keripik ibu itu unik sekali. Aromanya, bumbunya, bahkan rasa pedas sambalnya. Belum pernah saya merasakan keripik singkong selezat ini!”
Bu Pri tertawa geli. “Oh, ini namanya keripik rempah. Seluruh bahannya alami, tanpa vetsin dan lada. Bumbunya diracik dengan resep tradisional warisan turun-temurun.”
“Wah, hebat!” Aku terperangah takjub, lalu mengerutkan dahi. “Tapi kok ibu menjualnya dengan gerobak di pinggir jalan?”
“Itulah masalahnya, nak,” ujar Bu Pri, tertunduk lesu. “Ibu ingin mengembangkan keripik rempah, tapi kurang modal. Lagipula, dengan bahan-bahan tradisional, biaya pembuatan dan harga keripiknya jadi mahal, sulit bersaing dengan keripik singkong lain di pasaran. Lihat saja, siapa yang mau beli keripik mahal di kaki lima pinggir jalan?”
Aku mengangguk. Kalau bukan karena rasa ini, aku pasti akan melakukan yang sama seperti orang lain.
Bu Pri melanjutkan, air matanya berlinang. “Yang paling membuat ibu kuatir, ibu ini hanya sebatang kara. Tanpa penerus, ibu takut resep keluarga akan punah setelah ibu tiada. Ah, sudah dulu ya, sudah hampir gelap, ibu harus pulang. Terima kasih ya Nak Wisnu, sudah mendengarkan keluh-kesah ibu ini.”
Dengan mata masih sembap menahan tangis, Bu Pri bergegas mendorong gerobaknya, menjauh dari diriku yang terpaku oleh nasib si tukang keripik ini.
Aku menoleh pada Koh Acong yang berdiri tak jauh dariku, sebuah gagasan menerbitkan kilau di mataku.
Mendadak aku berlari cepat, menyusul si tukang keripik sambil berteriak, “Tunggu, Bu Pri!”

"Empat Hadiah" Versi Close-Up - PC Desktop Wallpaper 1024x768

Dua tahun kemudian…
Segala impianku terwujud. Aku bersanding dengan kekasih yang kini jadi istriku dalam pesta pernikahan yang mewah nan meriah di hotel berbintang lima.
Kebahagiaanku baru lengkap saat aku melihat kehadiran para bintang keberuntunganku, Bu Pri dan Koh Acong. Si presenter, Alay Silebay dan Nikolas, direktur perusahaan pengantaran hadiah turut hadir.
Anehnya, keempatnya tampak berbincang akrab bagai sahabat lama. Curiga, kuhampiri mereka.
“Halo Bu Pri, Pak Nikolas, Koh Acong, Mas Alay.” Aku menyalami keempatnya. “Terima kasih sudah datang, ini sungguh berarti bagi saya. Berkat kalian, saya jadi mapan sekarang.”
“Ah, tidak juga. Saya hanya mengabulkan keinginanmu makan Wagyu Steak dan memberikan alamat dan nomor ponselmu pada Nikolas,” ujar Alay Silebay, ibu jarinya menunjuk pria tambun di sebelahnya.
Nikolas tertawa. “Ho, ho, ho. Saya malah hampir menjerumuskanmu, tak tahu kalau Mona itu penggoda yang berbahaya. Maafkan saya, Wisnu. Setidaknya Koh Acong ini sudah lebih banyak membantu.”
“Haiyaa, owe hanya weli pinjaman wang saja, tak weli peluang wisnis. Justlu Wu Pli yang weli ide, jadi owe pinjami Wisnu wang lagi untuk modal peltama,” ujar Koh Acong, merendah.
Senyum keibuan Bu Pri kembali mengembang. “Yah, sebenarnya berkat kejelian Mas Wisnu membaca peluanglah, Keripik Rempah Bu Pri kini jadi kudapan paling laris di Indonesia. Resep warisan keluarga Mbok Minah kini menemukan penerus berbakat bisnis.”
Penuturan Bu Pri membuat keempat pendengarnya terhenyak, terutama aku. “Mbok Minah? Apa maksudnya ini, Bu Pri?”
Alay si kumis ikal mendekatiku, berbisik, “Kurasa kami berhutang penjelasan padamu, jadi untuk itulah kami kemari. Mari, ikuti kami.”
Kuberi isyarat minta diri sejenak pada mempelai wanita, lalu berjalan keluar balairung pesta. Lewat lift dan tangga darurat, tibalah kami berlima di atap gedung hotel berlantai tiga puluh ini.
Setelah yakin tak ada orang di sekitar, barulah Bu Pri memulai penjelasannya. “Nak Wisnu, sebenarnya Mbok Minah adalah pemilik asli resep keripik rempah. Saya sudah berulangkali membantunya mencari penerus, dan kamulah satu-satunya yang peduli. Sayang Mbok Minah sudah tiada. Yah, setidaknya arwahnya pasti tenang melihat keberhasilanmu ini.”
Aku mengangguk, namun wajahku masih menyimpan tanda tanya besar.
“Satu hal lagi,” ujar Alay Silebay. “Inilah saatnya kami mengungkap jati diri yang sebenarnya. Alakazam!” Mantera terucap, wujud si Alay berubah menjadi sesosok makhluk mirip manusia, berkepala nyaris botak dengan sedikit rambut melambai di puncaknya. Dengan pakaian rompi tak berkancing, celana melebar seperti kantung di bagian tulang kering dan sepatu berujung lancip, kukenali ia sebagai makhluk gaib dari dongeng Timur Tengah, yaitu Jin Lampu.
Seketika, Nikolas tampak mengenakan pakaian tebal dan topi kerucut merah berpinggiran putih. Kumis dan janggut hitam Koh Acong memanjang sampai ke dada seperti ikan lele. Ia mengenakan jubah merah sampai ke mata kaki, juga topi yang biasa dikenakan aktor opera tradisional Tionghoa.
Terakhir, Bu Pri mengeluarkan tongkat sepanjang dua jengkal dengan ujung berbentuk bintang dan melambaikannya. Seluruh tubuhnya berkilau seakan terselimuti debu bintang. Penampilannya yang semula berkebaya berubah, mengenakan gaun panjang serba putih berkilau.
Bu Pri bicara, “Nah, seperti yang kaulihat, saya Ibu Peri dari Negeri Barat.”
Disusul Nikolas. “Saya Sinterklas, dari Kutub Utara.”
“Owe Dewa Halta dali Langit Timul,” ujar Koh Acong.
Akhirnya, Alay Silebay. “Dan saya Jin Lampu dari Gurun Selatan. Kami berempat sedang bertanding untuk menentukan siapa pemberi hadiah terbaik, hadiah yang benar-benar bisa membantu seseorang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jadi kami memilih satu orang yang sedang dalam kesulitan untuk kami bantu. Namun rupanya mengabulkan permintaan apa saja bukanlah cara terbaik.”
Sinterklas tertawa. “Ho, ho, ho, belum tentu. Lagipula, memberi hadiah bagi anak-anak belum tentu membawa kebahagiaan dan manfaat bagi anak itu sendiri dan orang-orang di sekitarnya.”
“Semula owe menganggap hadiah telwaik adalah wang.” Dewa Harta mengelus janggut panjangnya. “Namun kalau kita tak wijaksana, wang malah akan memwawa sengsala. Owe lasa Iwu Pelilah pemenangnya.”
Ibu Peri malah menggeleng. “Mungkin peluang adalah hadiah terbaik bagi mereka yang berkekurangan. Namun, perlu kejelian untuk mengenali peluang itu, dan Nak Wisnu memilikinya. Menurutku tak ada yang kalah. Bila kita dapat menarik hikmahnya, pengalaman Wisnu ini akan jadi pelajaran yang tak ternilai harganya.”
Dewa Harta dan Jin Lampu mengangguk setuju.
Sinterklas menoleh padaku. “Jadi, terima kasih Nak Wisnu. Kamulah yang telah memberi kami hadiah terbaik, yang takkan pernah terlupakan selama keabadian kami.”
Ibu Peri mengacungkan tongkat ajaibnya ke udara, berujar, “Nah, kami harus kembali menjalankan tugas masing-masing. Semoga kami dapat memanfaatkan pelajaran ini, agar lebih bijak lagi memberi hadiah dan pertolongan. Abrakadabra!” Ia menembakkan sebentuk bola cahaya ke udara. Bola itu pecah ke segala penjuru, mirip kembang api.
Seketika, dari utara tampak kereta salju yang ditarik delapan rusa terbang. Dari selatan, permadani terbang datang melayang. Dari timur muncul ular naga yang meliuk bebas di udara.
Dari langit barat, kereta kencana berbentuk labu bulat yang ditarik dua kuda sembrani bersayap mendarat di atap gedung hotel, bersama kendaraan dan tunggangan lainnya.
Ibu Peri masuk ke kereta labu, Sinterklas duduk di kereta salju, Jin Lampu di permadani dan Dewa Harta menunggang naga.
Keempatnya melambai padaku dan berseru, “Sampai jumpa!” Lalu meluncur ke langit malam, diiringi gempita kembang api yang bermekaran.
Semua orang yang melihatnya mungkin mengira ini pesta kembang api racikan manusia, dengan citra Empat Abadi Pemberi Hadiah serta efek hologram yang canggih. Hanya aku yang tahu kebenarannya.
Dengan wajah berseri-seri aku berbalik, berjalan kembali ke tempat acara. Sesekali aku melompat, bertepuk kaki di udara.

 -------------------
Cerita pendek ini diikutsertakan dalam Lomba Fantasy Fiesta 2012
Website Fantasy Fiesta di Kastil Fantasi: www.kastilfantasi.com 

5 comments:

Truly Rudiono said...

Menawan!!!
Hanya saja janggal rasanya mengetahui ada seorang pengantin pria meninggalkan pesta walau hanya sesaat.

Sisanya KEYEN, sederhana tapi pesan moralnya banyak dan dalam pula

Melody Violine said...

ibu peri berubah menjadi tante peri (gambar pertama)

aku lebih suka tokoh utama "kamu" tapi yah lebih umum "aku" ya :D

vadis said...

Kalau mau pakai "kamu" trus pake nama, berarti peran "aku" sebagai "conscience narrator" musti dibanyakin ;p I submit to popular demand ;p

vadis said...

Yah, sedikit nyangkut pengalaman pribadi, mbak ;p - dan saya akui agak bablas di bagian yg janggal itu. Oh well, semoga pemikiranku ini bisa ngebantu motivasi semua org yg ngebacanya.

Andry Chang said...

Om Jin badannya gede, tapi tangannya pendek... ;p

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia