Aku berjalan gontai, keluar dari sebuah
gedung perkantoran di bilangan Sudirman, jantung kota
Jakarta.
Tanganku membawa sebuah kardus besar dan meremas surat Pemutusan Hubungan Kerja.
Di
halte busway, banyak mata tertuju padaku. Ada
orang yang menggeleng, menghela napas. Ada
yang kasak-kusuk dengan temannya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku, ada pula
yang bergumam, “Kasihan.”
Bahkan seorang pria bertubuh kekar bak
binaragawan menghampiri dan menegurku, “Selamat! Anda beruntung, terpilih dalam
reality show ‘Lampu Ajaib’! Nama saya
Alay Silebay, presenter acara ini. Siapa nama anda?”
Kujawab, “Wisnu Handoyo. Tapi maaf, saya
tak berminat karena…”
“Saya tahu,” bisik si kekar, menyeretku
keluar antrian lalu berbisik di telingaku. “Kita sedang live, ada kamera tersembunyi di sana.”
Spontan aku menoleh ke arah yang
ditunjuk. Namun si kekar mengarahkan wajahnya persis di depan wajahku. Sempat aku
mengernyit melihat bentuk kumis dan janggutnya yang melengkung aneh, juga rambutnya
yang berminyak tebal hingga tampak seperti es lilin. Mungkin itu tuntutan dunia
hiburan, tapi hati-hati penipuan!
Si pembawa acara terus bicara, “Nah,
caranya mudah saja!” Ia menyodorkan sebuah benda mirip lampu Timur Tengah kuno,
lebih mirip teko kecil. “Gosok lampu ajaib ini. Sebutkan satu permintaan, apa
saja, dan itu akan terkabul.”
“Apa saja?”
“Ya, apa saja! Ada pepatah, di balik awan hitam, ada
pelangi. Di ujung pelangi, ada emas sepoci. Inilah kesempatan emasnya, ayo
dicoba!”
Kuletakkan kardus di lantai, lalu meraih
lampu itu. Aku menggosoknya, mengungkap hal pertama yang terlintas dalam
pikiran. “Wagyu Steak.”
“Apa?!” Alay Silebay terperanjat.
“Wagyu
Steak, bistik ala Jepang. Saya ingin mencicipinya.”
“Yakin ini pilihan anda? Ingat, hanya satu
permintaan, boleh apa saja!”
Aku mengangguk mantap. “Ya, saya yakin.”
Kumis Alay
seakan layu, mulutnya ternganga. Cepat ia menutupinya dengan tawa dibuat-buat.
“Hoa-ha-ha! Baik! Pemirsa, inilah orang beruntung hari ini, Wisnu Hudoyo!”
“Handoyo.” Aku membetulkan.
Alay tak
menggubrisnya. “Nah, kita akan saksikan keinginannya terkabul setelah
pesan-pesan berikut ini! Tetaplah bersama ‘Lampu Ajaib’!”
Keinginanku benar-benar terkabul. Daging
sapi sehalus kue meluncur di lidahku. Bibir dan gigiku menari-nari, teriring
melodi saus Wagyu nan gurih. Suasana restoran Jepang termahal di Jakarta ini tak ubahnya
balairung Istana Osaka, begitu agung dan khidmat. Rasanya aku jadi seorang
Shogun, pemimpin negeri di era Jepang Kuno.
Seandainya aku memohon mobil, rumah mewah
dan semacamnya, pajak dan biaya perawatan pasti akan membebaniku gila-gilaan.
Bahkan emas segunungpun belum tentu mendatangkan kebahagiaan.
Setidaknya reality show ini menepati janji. Aku jelas ragu apakah anggaran
mereka cukup untuk mengabulkan permohonanku yang tergila. Seharusnya mereka
berterimakasih atas pilihanku, tapi si pria mirip Jin Lampu itu malah gigit
jari, menggerutu sendiri. Ah, tak usah pedulikan dia. Setidaknya Wagyu Steak sudah mencerahkan mendung di
hatiku.
Kembali di kamar kosku yang penuh sesak dan
bau, yang kuinginkan hanya mengakhiri hari ini. Saat siap berangkat ke dunia
mimpi, tiba-tiba ponselku berdering.
Tanpa bangkit, kuraih ponsel lalu bicara,
“Halo?”
Suara di ponsel terdengar berat dan
serak, mungkin dari pria yang sudah berumur. “Halo, dengan Wisnu Handoyo?”
“Saya sendiri. Dengan siapa saya bicara?”
“Kenalkan, saya Nikolas. Saya dapat nomor
kamu dari Alay Silebay, presenter reality
show yang mewawancarai kamu tadi.”
“Apa yang bisa saya bantu, Pak?” Aku
berusaha tetap sopan.
“Saya ingin menawarimu pekerjaan, namun kamu
harus menempuh ujicoba dahulu.”
Wah, cepat sekali. Si Alay itu pasti
punya koneksi yang bagus. Atau jangan-jangan, ia ingin mengerjaiku untuk balas
dendam? Hati-hati!
“Di mana kantor Bapak? Saya harus kirim
resume dulu.”
“Tak perlu,” ujar Nikolas. “Saya sudah di
depan rumah kamu sekarang.”
“Hah?!” Aku bergegas bangkit, mengintip
keluar jendela. Di depan pintu pagar, seorang pria tambun berjanggut putih,
berjas dan berdasi merah melambai ke arahku.
“Tunggu sebentar, Pak!” Terburu-buru aku
bangkit, merapikan kemeja, memakai sepatu dan bergegas ke pintu depan.
Nikolas menyambutku dengan senyum tulus
dan ramah seperti Sinterklas. “Kamu cepat tanggap, Wisnu, jadi kamu lolos ujian
pertama. Maklum, di Abad Informasi ini kita harus selalu bergerak cepat.”
Ia lalu menyodorkan sebuah kado berbentuk
kotak persegi panjang seraya berkata, “Nah, ini ujian kedua. Antar paket ini ke
alamat yang tercantum.”
“Itu saja?” Mataku mendelik curiga.
“Jangan kuatir,” jawab si direktur
nyentrik. “Ini bukan bom, melainkan mainan untuk seorang anak kecil. Nah,
ibunya adalah klien yang paling sering memesan hadiah lewat jasa kita. Jadi
beramah-tamahlah, buatlah dia senang.”
Wah, jadi perusahaan si kakek ini adalah
jasa pengiriman hadiah, seperti Sinterklas? Dan direkturnyapun mirip
Sinterklas? Hebat! Ada perusahaan yang
berdedikasi macam ini di Indonesia.
Jawabanku tentu saja. “Ya, saya
laksanakan, Pak.”
Satu jam kemudian, motorku berhenti di
depan sebuah rumah besar nan megah. Kucocokkan nomor rumah dengan alamat di label
kado, lalu menekan bel.
Layar monitor di bel canggih itu
menayangkan wajah galak satpam pria yang mirip anjing jenis Pitbull. Suaranyapun seperti gonggongan.
“Situ siapa? Ada
perlu apa?”
Kujawab tanpa takut. “Antaran hadiah
untuk Piet, dari CV. Damai Semesta.”
Wajah si satpam berubah menyeringai. “Oh,
silakan masuk.”
Gerbang besi terbuka secara otomatis.
Memasuki lingkungan dalam rumah, mataku
menyapu segala arah. Mulai dari halaman yang luas, penuh pohon dan bunga serta
kolam renang. Hingga ruang tamu berhias patung antik serta lukisan mahakarya
dari Bali. Aku duduk dan menaruh kado di meja
tamu.
Tiba-tiba seorang anak kecil datang
berlari dari ruang dalam. Kulitnya legam bagai sawo yang terlalu matang, mirip
pembantu Sinterklas, Piet Hitam.
Mengincar kado di atas meja, siku anak
itu tak sengaja menyenggol patung wanita memanggul bakul hingga oleng. Refleks,
aku bangkit, menahan patung hiasan meja itu hingga tak membentur lantai.
Disusul lengkingan seorang wanita. “Aah,
patungku!”
Aku menoleh, menatap nyonya rumah. Wajah
bulatnya nampak jelita. Ia mengenakan tanktop dan hot pants, menampilkan
lekuk tubuh aduhai setaraf fotomodel.
Celotehannya seakan tanpa jeda bagai
kicauan burung kucica. “Aduh, Piet, kenapa kamu tak hati-hati? Awas dong lain
kali! Ah, terima kasih Mas sudah menyelamatkan patung antik peninggalan
almarhum suami saya. Aduh, saya jadi lupa mengenalkan diri. Saya Mona, Mas
siapa?”
“Saya Wisnu, Bu.”
“Wah, jangan panggil ‘Bu’. Cukup ‘Mona’.
Nah, ini uang dan ongkos antar kadonya.” Mona mengeluarkan beberapa lembar uang
seratus ribuan dan menyerahkannya padaku. “Ambil saja kembaliannya, anggaplah
buat tips.”
“Terima kasih, Mbak Mona. Kalau begitu
saya permisi dulu…”
“Tunggu, jangan buru-buru.” Mona
menyambar lenganku. Ia melihat sekeliling. Tak ada siapa-siapa, karena Piet
sedang sibuk menghancurkan mainan barunya di halaman.
Dengan senyum nakal, Mona merapatkan
tubuhnya padaku seraya berbisik, “Saya ingin minta tolong pada Mas. Semenjak
ditinggal mati suami, saya sangat kesepian. Mas Wisnu ini tampan, lho.
Bagaimana kalau Mas menemani saya tiap hari, jadi bapaknya Piet dan menangani
perusahaan saya? Kita pasti akan hidup bahagia, tak kekurangan apapun.”
Bahaya! Sadarlah aku, ini godaan terberat
yang sulit ditampik pria manapun juga.
Perlahan, kudorong wanita itu menjauh
seraya berujar, “Maaf, Mbak Mona. Tawaran Mbak sungguh menggoda, tapi saya tak
bisa menerimanya.”
“Lho, mengapa?” Barulah nampak sifat asli
Mona si galak.
“Saya sudah punya kekasih,” jawabku,
menatap lurus mata Mona. “Terus terang Mbak lebih cantik, lebih seksi dan jauh
lebih berharta darinya, tapi saya tak bisa meninggalkannya, mengingkari janji
setia padanya.”
Mona tersentak. Kesetiaan. Mungkin itulah
yang hilang dari dirinya selama ini. Firasatku berkata, tak terhitung berapa
kali ia selingkuh saat suaminya masih di dunia.
“Baik! Begini saja, kalau Mas menolakku,
aku takkan pernah pakai jasa CV. Damai Semesta lagi!” ancamnya.
Aku tersenyum getir. “Urusan Mbak dengan
saya tak ada hubungannya dengan perusahaan. Bila Mbak memaksa, lebih baik saya
merugikan perusahaan dan kehilangan pekerjaan daripada kehilangan pendirian dan
jati diri sebagai lelaki.”
Tanpa basa-basi lagi, aku berbalik pergi.
Dengan geram Mona berteriak, “Dasar
berondong tak tahu diuntung! Pak Satpam! Usir dia!”
“Dengan senang hati! Wulan, Dahlia, kejar
dia!” Si satpam mengerahkan dua anjing Pitbull-nya,
membuatku lari tunggang-langgang ke motorku.
Sore itu juga kulaporkan hasil kerja,
termasuk kejadian dengan Mona tadi pada Bos Nikolas lewat telepon.
“APA!?” Suara Nikolas menggelegar bagai guntur. “Wisnu, kamu baru
saja menghilangkan langganan terbaik perusahaan kita! Kamu tahu apa artinya
itu, ‘kan?”
“Ya, Pak,” jawabku datar. Sudah kuduga.
“Kamu gagal ujian, jadi saya sudah tak
bisa membantumu lagi. Namun.” Nada bicara Nikolas kembali lembut kebapakan.
“Saya salut pada sikapmu menjaga kesetiaan pada kekasihmu. Tapi seandainya kamu
tak punya kekasih, apa kamu akan menerima tawaran janda kembang itu?”
“Mungkin tidak, menilik gaya hidupnya dan caranya mendidik anak.”
“Ho, ho, ho! Baik, kalau begitu kausimpan
saja uang pembayaran dari Mona itu sebagai kompensasi. Pertahankan terus
prinsipmu, semoga kamu menemukan pekerjaan yang cocok.” Tanpa menunggu jawaban
dariku, Nikolas menutup pembicaraan.
Maka, hari-hari sebagai tukang ojek
kembali kujalani.
Suatu ketika, seorang pria aneh menemuiku. Bertampang Tionghoa, perawakannya cukup tampan di usia tiga puluhan. Kumis tipis bertengger dekat sudut-sudut bibirnya, mata sipitnya menyorot penuh perhitungan.
Suatu ketika, seorang pria aneh menemuiku. Bertampang Tionghoa, perawakannya cukup tampan di usia tiga puluhan. Kumis tipis bertengger dekat sudut-sudut bibirnya, mata sipitnya menyorot penuh perhitungan.
“Haiyah, kenalkan, owe Acong. Owe tau
alamat situ dali Nikolas, mantan wos situ. Dia wilang situ penganggulan tapi
welwudi luhul, jadi owe welsedia wantu situ.” Bahkan logatnyapun menunjukkan
Acong belum lama tinggal di Indonesia.
“Bantuan apa, Koh Acong?” tanyaku penuh
selidik.
Acong mengeluarkan amplop besar dari tas
hitamnya dan menaruhnya di meja ruang tamu. Ujarnya, “Ini owe pinjami wang lima welas juta, cukup
wuat modal usaha.”
Jumlah yang kecil untuk memulai usaha
apapun. Aku mengerutkan dahi, terdiam sejenak dan berpikir keras. Tak pernah
ada ide usaha muncul di kepala. Sejak lulus kuliah aku selalu kerja di kantor,
itu saja.
“Aduh, tak usah, Koh Acong. Saya tak
ingin menambah beban, takut tak bisa mengembalikan hutang…”
Koh Acong malah menepuk pundakku. “Hei,
situ ‘kan
saljana. Halus positip! Ada
kemauan, pasti ada jalan! Jangan takut lisiko, ambil kesempatan, walu situ wisa
sukses!”
Keadaan serba terjepit akhirnya memaksaku
berkata, “Ya, saya terima uang ini. Tapi bagaimana cara saya mengembalikannya?”
Koh Acong mengacungkan tiga jarinya. “Owe
kasi tiga wulan bebas. Mulai wulan keempat situ cicil tiap wulan sepuluh
plosen, wunga sepuluh plosen sampai lunas.” Hutang dengan bunga cukup berat,
namun inilah kesempatan yang kudapat.
Hari-hari berikutnya kulalui, memikirkan
cara mengembangkan dana di tangan. Segala usaha kucoba, dari menjual asuransi
sampai broker properti. Sebulan, dua bulan lewat, jangankan balik modal, lilitan
biaya hidup membuat dana menipis.
Di bulan ketiga, teman kosku yang selama
ini membantuku malah pinjam uang tiga juta, dengan alasan aku hutang budi.
“Lagipula kamu nggak tahu mau diapakan uangnya, ‘kan?” ujarnya.
Walau was-was, setelah didesak
terus-menerus, akhirnya kuberi ia pinjaman. Dua hari kemudian, si teman kos
menghilang tanpa jejak, membawa semua barangnya.
Modal lenyap, kesempatan habis.
Yang paling gawat, bagaimana hutang
kulunasi? Bayangan Koh Acong mendatangiku bersama pendekar-pendekar Kung Fu
bertampang sangar dan tubuhku yang terkapar bersimbah darah membuat jantungku
berdegup keras.
Jantungku serasa copot saat kudengar
teriakan berlogat aneh itu. “Ada
Wisnu?”
Kukumpulkan keberanian. Kutemui lintah
darat itu. Yang agak melegakan, ia datang sendirian. Terpaksa kuceritakan
segala yang terjadi.
“Saya ini sungguh bodoh, Koh Acong.
Sekarang saya tak sanggup bayar hutang, biar saya kerja pada Koh sampai lunas.”
Koh Acong berucap datar, “Haiyah, jadi
wegitu. Ikut owe.”
Entah apa yang menggerakkan tubuhku
mengikutinya. Mungkin aku kena hipnotis? Mungkin ia memancingku ikut, lalu menghabisiku
di tempat sepi?
Sebaliknya, ia membimbingku ke tengah
jalan yang ramai. Dihampirinya sebuah gerobak kaki lima di trotoar. “Situ suka kelipik
singkong?” tanyanya.
Aku mengangguk, namun wajahku melongo,
bingung. Apa maksudnya ini? Apalagi saat ia menyodorkan sebungkus penuh keripik
padaku. “Amwil lah, owe tlaktil.”
Berdua, aku dan si lintah darat duduk di
emperan. Koh Acong bahkan berbagi keripik denganku, mungkin untuk membuktikan keripik
itu tak beracun.
Saat keripik pertama terpecah dalam
mulut, mataku terbelalak. Keracunankah?
"Empat Hadiah" dapat pula dibaca di:
Kemudian.com: http://www.kemudian.com/node/263994
Wattpad.com: http://www.wattpad.com/4820541-empat-hadiah-fantasy-fiesta-2012
Untuk mengunjungi "Galeri Empat Hadiah", klik linknya di sini.
Untuk mengunjungi entri "Empat Hadiah" di Fantasy Fiesta 2012, ini linknya.
Aku berdiri, lalu menghampiri si pedagang
keripik. Ternyata ia seorang wanita setengah baya, bertubuh gempal dengan
rambut putih disanggul. Wajahnyapun tak biasa, seolah ibu ini keturunan
Indo-Belanda. Ia mengenakan kacamata bulat kecil yang nampaknya hanya digunakan
untuk membaca.
“Permisi,” ujarku sopan. “Nama saya
Wisnu. Boleh saya tahu nama ibu?”
“Oh, saya biasa dipanggil Bu Pri,” ujar
wanita itu, memancarkan senyum keibuan yang mengundang simpati. “Apa yang bisa
saya bantu, Nak Wisnu?”
“Begini, rasa keripik ibu itu unik
sekali. Aromanya, bumbunya, bahkan rasa pedas sambalnya. Belum pernah saya
merasakan keripik singkong selezat ini!”
Bu Pri tertawa geli. “Oh, ini namanya
keripik rempah. Seluruh bahannya alami, tanpa vetsin dan lada. Bumbunya diracik
dengan resep tradisional warisan turun-temurun.”
“Wah, hebat!” Aku terperangah takjub,
lalu mengerutkan dahi. “Tapi kok ibu menjualnya dengan gerobak di pinggir
jalan?”
“Itulah masalahnya, nak,” ujar Bu Pri,
tertunduk lesu. “Ibu ingin mengembangkan keripik rempah, tapi kurang modal.
Lagipula, dengan bahan-bahan tradisional, biaya pembuatan dan harga keripiknya
jadi mahal, sulit bersaing dengan keripik singkong lain di pasaran. Lihat saja,
siapa yang mau beli keripik mahal di kaki lima
pinggir jalan?”
Aku mengangguk. Kalau bukan karena rasa
ini, aku pasti akan melakukan yang sama seperti orang lain.
Bu Pri melanjutkan, air matanya
berlinang. “Yang paling membuat ibu kuatir, ibu ini hanya sebatang kara. Tanpa penerus,
ibu takut resep keluarga akan punah setelah ibu tiada. Ah, sudah dulu ya, sudah
hampir gelap, ibu harus pulang. Terima kasih ya Nak Wisnu, sudah mendengarkan
keluh-kesah ibu ini.”
Dengan mata masih sembap menahan tangis,
Bu Pri bergegas mendorong gerobaknya, menjauh dari diriku yang terpaku oleh
nasib si tukang keripik ini.
Aku menoleh pada Koh Acong yang berdiri
tak jauh dariku, sebuah gagasan menerbitkan kilau di mataku.
Mendadak aku berlari cepat, menyusul si
tukang keripik sambil berteriak, “Tunggu, Bu Pri!”
Segala impianku terwujud. Aku bersanding
dengan kekasih yang kini jadi istriku dalam pesta pernikahan yang mewah nan
meriah di hotel berbintang lima.
Kebahagiaanku baru lengkap saat aku
melihat kehadiran para bintang keberuntunganku, Bu Pri dan Koh Acong. Si
presenter, Alay Silebay dan Nikolas, direktur perusahaan pengantaran hadiah
turut hadir.
Anehnya, keempatnya tampak berbincang
akrab bagai sahabat lama. Curiga, kuhampiri mereka.
“Halo Bu Pri, Pak Nikolas, Koh Acong, Mas
Alay.” Aku menyalami keempatnya. “Terima kasih
sudah datang, ini sungguh berarti bagi saya. Berkat kalian, saya jadi mapan
sekarang.”
“Ah, tidak juga. Saya hanya mengabulkan
keinginanmu makan Wagyu Steak dan
memberikan alamat dan nomor ponselmu pada Nikolas,” ujar Alay Silebay, ibu
jarinya menunjuk pria tambun di sebelahnya.
Nikolas tertawa. “Ho, ho, ho. Saya malah
hampir menjerumuskanmu, tak tahu kalau Mona itu penggoda yang berbahaya.
Maafkan saya, Wisnu. Setidaknya Koh Acong ini sudah lebih banyak membantu.”
“Haiyaa, owe hanya weli pinjaman wang
saja, tak weli peluang wisnis. Justlu Wu Pli yang weli ide, jadi owe pinjami Wisnu
wang lagi untuk modal peltama,” ujar Koh Acong, merendah.
Senyum keibuan Bu Pri kembali mengembang.
“Yah, sebenarnya berkat kejelian Mas Wisnu membaca peluanglah, Keripik Rempah
Bu Pri kini jadi kudapan paling laris di Indonesia. Resep warisan keluarga
Mbok Minah kini menemukan penerus berbakat bisnis.”
Penuturan Bu Pri membuat keempat
pendengarnya terhenyak, terutama aku. “Mbok Minah? Apa maksudnya ini, Bu Pri?”
Alay si
kumis ikal mendekatiku, berbisik, “Kurasa kami berhutang penjelasan padamu,
jadi untuk itulah kami kemari. Mari, ikuti kami.”
Kuberi isyarat minta diri sejenak pada
mempelai wanita, lalu berjalan keluar balairung pesta. Lewat lift dan tangga
darurat, tibalah kami berlima di atap gedung hotel berlantai tiga puluh ini.
Setelah yakin tak ada orang di sekitar,
barulah Bu Pri memulai penjelasannya. “Nak Wisnu, sebenarnya Mbok Minah adalah
pemilik asli resep keripik rempah. Saya sudah berulangkali membantunya mencari
penerus, dan kamulah satu-satunya yang peduli. Sayang Mbok Minah sudah tiada.
Yah, setidaknya arwahnya pasti tenang melihat keberhasilanmu ini.”
Aku mengangguk, namun wajahku masih
menyimpan tanda tanya besar.
“Satu hal lagi,” ujar Alay Silebay.
“Inilah saatnya kami mengungkap jati diri yang sebenarnya. Alakazam!” Mantera terucap, wujud si Alay
berubah menjadi sesosok makhluk mirip manusia, berkepala nyaris botak dengan
sedikit rambut melambai di puncaknya. Dengan pakaian rompi tak berkancing,
celana melebar seperti kantung di bagian tulang kering dan sepatu berujung
lancip, kukenali ia sebagai makhluk gaib dari dongeng Timur Tengah, yaitu Jin
Lampu.
Seketika, Nikolas tampak mengenakan
pakaian tebal dan topi kerucut merah berpinggiran putih. Kumis dan janggut
hitam Koh Acong memanjang sampai ke dada seperti ikan lele. Ia mengenakan jubah
merah sampai ke mata kaki, juga topi yang biasa dikenakan aktor opera
tradisional Tionghoa.
Terakhir, Bu Pri mengeluarkan tongkat
sepanjang dua jengkal dengan ujung berbentuk bintang dan melambaikannya.
Seluruh tubuhnya berkilau seakan terselimuti debu bintang. Penampilannya yang
semula berkebaya berubah, mengenakan gaun panjang serba putih berkilau.
Bu Pri bicara, “Nah, seperti yang
kaulihat, saya Ibu Peri dari Negeri Barat.”
Disusul Nikolas. “Saya Sinterklas, dari
Kutub Utara.”
“Owe Dewa Halta dali Langit Timul,” ujar
Koh Acong.
Akhirnya, Alay
Silebay. “Dan saya Jin Lampu dari Gurun Selatan. Kami berempat sedang bertanding
untuk menentukan siapa pemberi hadiah terbaik, hadiah yang benar-benar bisa
membantu seseorang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jadi kami memilih satu
orang yang sedang dalam kesulitan untuk kami bantu. Namun rupanya mengabulkan
permintaan apa saja bukanlah cara terbaik.”
Sinterklas tertawa. “Ho, ho, ho, belum
tentu. Lagipula, memberi hadiah bagi anak-anak belum tentu membawa kebahagiaan
dan manfaat bagi anak itu sendiri dan orang-orang di sekitarnya.”
“Semula owe menganggap hadiah telwaik
adalah wang.” Dewa Harta mengelus janggut panjangnya. “Namun kalau kita tak
wijaksana, wang malah akan memwawa sengsala. Owe lasa Iwu Pelilah pemenangnya.”
Ibu Peri malah menggeleng. “Mungkin
peluang adalah hadiah terbaik bagi mereka yang berkekurangan. Namun, perlu
kejelian untuk mengenali peluang itu, dan Nak Wisnu memilikinya. Menurutku tak
ada yang kalah. Bila kita dapat menarik hikmahnya, pengalaman Wisnu ini akan
jadi pelajaran yang tak ternilai harganya.”
Dewa Harta dan Jin Lampu mengangguk
setuju.
Sinterklas menoleh padaku. “Jadi, terima
kasih Nak Wisnu. Kamulah yang telah memberi kami hadiah terbaik, yang takkan
pernah terlupakan selama keabadian kami.”
Ibu Peri mengacungkan tongkat ajaibnya ke
udara, berujar, “Nah, kami harus kembali menjalankan tugas masing-masing.
Semoga kami dapat memanfaatkan pelajaran ini, agar lebih bijak lagi memberi
hadiah dan pertolongan. Abrakadabra!” Ia
menembakkan sebentuk bola cahaya ke udara. Bola itu pecah ke segala penjuru,
mirip kembang api.
Seketika, dari utara tampak kereta salju
yang ditarik delapan rusa terbang. Dari selatan, permadani terbang datang
melayang. Dari timur muncul ular naga yang meliuk bebas di udara.
Dari langit barat, kereta kencana
berbentuk labu bulat yang ditarik dua kuda sembrani bersayap mendarat di atap
gedung hotel, bersama kendaraan dan tunggangan lainnya.
Ibu Peri masuk ke kereta labu, Sinterklas
duduk di kereta salju, Jin Lampu di permadani dan Dewa Harta menunggang naga.
Keempatnya melambai padaku dan berseru,
“Sampai jumpa!” Lalu meluncur ke langit malam, diiringi gempita kembang api
yang bermekaran.
Semua orang yang melihatnya mungkin
mengira ini pesta kembang api racikan manusia, dengan citra Empat Abadi Pemberi
Hadiah serta efek hologram yang canggih. Hanya aku yang tahu kebenarannya.
Dengan wajah berseri-seri aku berbalik,
berjalan kembali ke tempat acara. Sesekali aku melompat, bertepuk kaki di
udara.
-------------------
Cerita pendek ini diikutsertakan dalam Lomba Fantasy Fiesta 2012
Website Fantasy Fiesta di Kastil Fantasi: www.kastilfantasi.com
"Empat Hadiah" dapat pula dibaca di:
Kemudian.com: http://www.kemudian.com/node/263994
Wattpad.com: http://www.wattpad.com/4820541-empat-hadiah-fantasy-fiesta-2012
Untuk mengunjungi "Galeri Empat Hadiah", klik linknya di sini.
Untuk mengunjungi entri "Empat Hadiah" di Fantasy Fiesta 2012, ini linknya.
5 comments:
Menawan!!!
Hanya saja janggal rasanya mengetahui ada seorang pengantin pria meninggalkan pesta walau hanya sesaat.
Sisanya KEYEN, sederhana tapi pesan moralnya banyak dan dalam pula
ibu peri berubah menjadi tante peri (gambar pertama)
aku lebih suka tokoh utama "kamu" tapi yah lebih umum "aku" ya :D
Kalau mau pakai "kamu" trus pake nama, berarti peran "aku" sebagai "conscience narrator" musti dibanyakin ;p I submit to popular demand ;p
Yah, sedikit nyangkut pengalaman pribadi, mbak ;p - dan saya akui agak bablas di bagian yg janggal itu. Oh well, semoga pemikiranku ini bisa ngebantu motivasi semua org yg ngebacanya.
Om Jin badannya gede, tapi tangannya pendek... ;p
Post a Comment