Napak Tilas Kenangan
Cerpen Peri Xar & Vichattan
Tempo hari, Antessa meminta para pemimpin peri baru Mata Air Para Peri untuk menunjukkan apa saja yang menjadi kebiasaan para peri pendahulu mereka, sebelum akhirnya meninggal akibat serangan kekuatan kegelapan. Antessa dan keenam peri akhirnya setuju untuk mengadakan sebuah tour guna mengingat-ingat hal tersebut. Antessa dan ketiga ahli waris cahaya lainnya, Kara, Dalrin dan Gerome, serta keenam peri sepakat untuk bertemu di batas Pegunungan Aros dan Hutan Cahaya tepat pukul 5 pagi.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi, namun hanya Gerome dan Dalrin lah yang sudah sampai di tempat yang mereka sepakati. Ini semua karena Biarawati Agung Mirell yang menyuruh mereka bergegas. Padahal sebenarnya Gerome masih sangat mengantuk. Yap, Gerome dan Dalrin memang berada di Xar, sedangkan Antessa dan Kara berada di Vichattan. Itu sebabnya mereka tidak berangkat bersama-sama. Keenam peri sudah mulai berdatangan. Namun kedua gadis ahli waris cahaya itu belum juga menampakkan batang hidung mereka. Pasti Tiarawati Utama Magdalin mengajak mereka begadang dan menceritakan sejarah Kuil Tiara, batin Gerome.
Setengah jam berlalu. “Sial! Rupanya mereka memang mengerjai kita Dalrin. Apa mereka tidak tau, aku juga masih mengantuk!“ Gerome mendengus kesal. Sebagai pelampiasan, kakinya menendang batu kecil di sekitar tempatnya berdiri. Namun, batu kecil itu melambung ke atas, kemudian jatuh tepat di kepala Exuro Flamma si peri api. Dengan refleks, Exuro menyemburkan api ke arah Gerome. “Au panas. Maaf aku sama sekali tidak sengaja. Seharusnya kau tidak perlu memakai acara menyembur segala Exuro.” Gerome makin kesal. Exuro dan kelima peri hanya cekikikan melihat tampang masam Gerome.
“Pasti mereka masih tidur. Sebaiknya kumasuki saja mimpi mereka memakai Tali Ikatan Cahaya, biar mereka tau rasa.” ucap Gerome sambil menyeringai.
“Jangan bertingkah seperti anak kecil.” Dalrin mencoba menasihati.
Namun tampaknya Gerome tak peduli. Jari tengah dan jari telunjuk kedua tangannya menempel, kemudian ia arahkan keduanya ke pelipis dan berbisik lembut, “Tali Ikatan Cahaya, masukkan aku ke dalam mimpi Antessa dan Kara...”
Tiga detik kemudian, wajah jail Gerome telah menodai mimpi indah kedua temannya itu. “HEY KALIAN!!! AYO CEPAT BANGUUUUUUN!!!” Detik berikutnya tawa puas Gerome pun membahana. Ha haha hahahaha. Rasakan itu.
Tak berapa lama, tampak Amor terbang berputar-putar di atas kepala Dalrin dengan membawa Kara dan Antessa.
“Ahh! Banyak gaya kau Amor. Ayo cepat turun!” pinta Gerome kesal. Setelah mereka sampai di tanah. Semua peri dan Gerome tertawa cekikikan karena melihat Kara yang masih mengenakan baju tidurnya. Sementara itu Dalrin menatap Kara tanpa berkedip. Sebuah baju terusan putih tanpa lengan yang Kara kenakan membuatnya tampak berbeda dari biasanya.
“Panggil aku lagi jika kalian membutuhkan bantuan. Tapi kali ini lebih baik kalian berjalan kaki saja sekalian olahraga. Aku mau menemani Pietas dulu.” Amor pun lenyap.
“Yaah Amooor” ucap keempat ahli waris cahaya serempak. Tiba-tiba Kara berbalik. Menatap Gerome tajam. “Gerome! Kau jahat. Kau telah merusak mimpiku bersama.....” Kara menahan perkataannya. Kemudian iya menunduk pasrah. “Lupakan!”
“Ya maaf, habisnya kalian lama sekali. Ngomong-ngomong, ada apa denganmu Kara, kita ini mau berpetualang, bukan pesta piama!” Tawa Gerome meledak seketika, apalagi setelah melihat bibir Kara yang semakin mengerucut, tawanya pun semakin menjadi-jadi. Antessa dan Dalrin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka melihat ulah Gerome menjahili Kara.
Tangan Kara dilipat silang di atas perut. Matanya mendelik ke arah Gerome. “Aku buru-buru. Ini semua juga ulahmu. Seharusnya kau tau diri dan menyalahkan dirimu sendiri, bukan malah menertawakanku. Huh!” Kara membuang muka, kesal setengah mati.
“Sudah sudah. Lebih baik kita mulai saja tour ini” ucap Dalrin menengahi.
Tiba-tiba Ventosus Flaman, peri udara, melesat tepat di atas kepala Exuro. Ia berteriak sambil memasang mata penuh binar.
“Bagaimaanaa kalauu akuu saaja yang memimpiin touuur iniii?” ucapnya mendayu sambil berkedip jail ke arah yang lain.
Sementara itu, Flumen Aqua si peri air dan yang lainnya saling berpandangan. Mereka tau ide Ventosus bukanlah ide bagus. Dia hanya peri kerdil yang kelewat bersemangat dan sering kali membuat yang lain bingung dengan bahasanya yang mengalun.
Exuro pun bertindak. “Oh, no no no, tidak bisa! Aku yakin, kau hanya akan mengacaukan semuanya” sergah Exuro sambil mengeluarkan percikan api dari tubuhnya, dan telingannya mendadak meruncing tanda ia sedang kesal.
“Bee! Tangan Exurooo Terbakaar.” Ventosus pun berlonjak hingga rambut merahnya pun berubah kaku, dan awan yang menyelimuti tubuhnya ikut terhempas.
“Baiklaah akuu akaan menuruut saaja kalauu kaliaan menoolaak tawaarankuu” jawabnya kemudian.
“Sebaiknya kita mulai saja tour ini sebelum kegelapan menguasai langit.” Ujar Antessa menengahi.
Rombongan pun memulai “tour kenangan” mereka, sebuah nama yang disumbangkan Flumen, si peri air, untuk menamai tour mereka ini. Langit pagi memang seolah sangat mendukung perjalanan mereka. Burung-burung pun bersenandung mengiringi langkah Para Ahli Waris Cahaya dan 6 pemimpin peri Mata Air Para Peri.
“Sebenarnya Mata Air Para Peri itu tempatnya bagaimana, kawan-kawan?” tanya Kara tiba-tiba.
Kemudian Flumen Aqua terbang di dekat Kara dan mulai menjelaskan. “Mata Air Para Peri itu letaknya di Hutan Sinar. Eh... Hutan Sinar atau Hutan Cahaya ya?” Dia mulai menggaruki kepalanya yang mendadak gatal. “Aha! Hutan Cahaya. Ya benar, Hutan Cahaya. Letaknya tidak jauh dari Pegunungan Aros ini. Ya begitulah.” Flumen memang selalu plin-plan.
“Apa kalian hidup saling berbaur begitu saja? Atau kalian punya tempat tinggal masing-masing?” Antessa jadi ikut penasaran. Kali ini Niteo yang menjawab.
“Seperti yang kita ketahui, Kingdom Peri terbagi menjadi 6 filum. Dari Filum Peri Cahaya, sampai Filum Peri Tanah. Oleh karena itu, kami memiliki pusat tempat tinggal yang berbeda. Hutan Cahaya terbagi menjadi 7 bagian; Hutan Lucis Hoppas pusat Filum Peri Cahaya, Hutan Flamma Hoppas pusat Filum Peri Api, Hutan Humus Hoppas pusat Filum Peri Tanah, Hutan Plantoria Hoppas pusat Filum Peri Tanaman, Hutan Aqua Hoppas pusat Filum Peri Air, Hutan Flaman Hoppas pusat Filum Peri Udara, dan yang terakhir adalah Mata Air Para Peri itu sendiri, yang merupakan pusat berinteraksinya semua makhluk dari berbagai penjuru Hutan Cahaya. Hoppas sendiri berarti harapan, jadi Hutan Hoppas adalah sebuah hutan penuh harapan tempat lahirnya para peri dari berbagai filum. Nah, begitulah.”
“Waah, menarik sekali. Lalu kita sekarang mau kemana?” Dalrin mengangkat kedua alisnya menatap lekat ke arah para peri. “Lebih baik kita ke Hutan Plantoria Hoppas dulu saja. Kabarnya hutan itu mengalami kerusakan paling parah dibanding Hutan Hoppas lainnya” jawab Flumen.
“Sebenarnya nama belakang kami menunjukkan dari Hutan Hoppas mana kami dilahirkan.” Arbustus naik ke bahu Gerome, kemudian melanjutkan. “Namaku Arbustus Plantoria, dan Plantoria itu sendiri berarti tumbuhan. Dan hutan yang mau kita tuju adalah tempat kelahiranku. Kami lahir dari sebuah selaput pembungkus ajaib yang tertempel pada pohon-pohon harapan. Kalian pasti akan takjub melihat tempatku dilahirkan.“
“Kalau yang lainnya? Apa semuanya juga dari selaput pembungkus ajaib seperti Arbustus?” tanya Kara.
Exuro terbang di sela Kara dan Dalrin. “Yup, tapi selaput pembungkus itu terbuat dari bahan yang sesuai dengan filum kami. Setiap Hutan Hoppas memiliki ciri yang berbeda, contohnya aku dari Hutan Flamma Hoppas. Hutan tempatku dilahirkan memiliki tanaman yang struktur daunnya berbeda dengan hutan lainnya. Kebanyakan tanaman di sana mempunyai daun berwarna merah mencolok, serta berbentuk panjang bergerigi seperti gergaji. Kemudian, di tengah hutan itu terdapat lingkaran yang dibatasi oleh tanaman sejenis yang berdiri tegak sejauh 50 kaki menjulang ke langit. Dan aku rasa sepertinya gravitasi langit lebih mendominasi di titik lingkaran itu. Nah aku dilahirkan di dalam api abadi yang ada di dalam lingkaran itu” jelas Exuro panjang lebar.
Memang benar apa yang diucapkan Exuro, gravitasi langit memang lebih mendominasi di lingkaran itu. Dan itulah sebabnya mengapa api abadi yang berada di tengah lingkaran itu pun bergerak layaknya lidah berwarna merah yang ingin menjilati langit. Ketika musim lahir datang, aura kehidupan yang terpancar dari para peri kecil membuat kekuatan gravitasi langit menurun, sehingga para peri kecil mampu mengontrol diri mereka untuk keluar dari lingkaran api abadi tanpa harus tersedot ke langit. Di Flamma Hoppas terdapat serangga bertubuh seperti naga. Serangga naga itu bertugas untuk mencatat terbentuknya selaput cahaya dan mengumumkan kapan musim lahir itu terjadi.
“Kalau kau Niteo?” Tangan Antessa menyentuh lembut lengan Niteo.
“Hutanku bernama Hutan Lucis Hoppas. Di tengah Hutan Lucis Hoppas terdapat sebuah lahan yang saaaangat luas, berbentuk lingkaran dengan kubah dari cahaya di tengahnya. Kubah itu berguna untuk menyerep dan menyimpan cahaya matahari. Dan di dinding-dinding kubah itulah aku dilahirkan. Di dinding itu terdapat bayak sekali selaput pembungkus ajaib yang juga berasal dari cahaya, yang nantinya akan melahirkan peri-peri cahaya ketika musim lahir telah di tiba. Tak pernah sekali pun turun hujan di wilayah itu. Selain itu, banyak sekali kunang-kunang berterbangan. Mereka mempunyai tugas yang sama dengan serangga naga. Begitulah.”
“Wow keren” kata Antessa kagum.
******************
Setelah lebih dari satu jam mereka berjalan. Akhirnya sampailah mereka pada gerbang Hutan Plantoria Hoppas. Gerbang itu terbuat dari ranting-ranting pohon. Gerbang itu sudah rusak di beberapa bagian dan dipenuhi oleh tanaman rambat. Burung-burung terus berkicau, burung yang sama yang tampaknya telah mengikuti mereka sedari awal perjalanan. Suasana terasa sepi, kelam, dan begitu gelap.
“Nampaknya kegelapan sudah amat meracuni hutan ini” ucap Antessa diikuti desah kekecewaan dari yang lainnya.
“Sepertinya begitu. Dan ini tugas kita untuk melakukan sesuatu” timpal Arbustus diikuti anggukan Solum.
Niteo melangkah ke depan. “Aku akan mencoba menciptakan cahaya. Semoga bisa sedikit membantu.” Kemudian ia menggerak-gerakkan tangannya seperti sedang mencuci tangan, namun tidak sampai membuat keduanya bersentuhan. Ia membentuk bola cahaya besar yang langsung mengubah keadaan hutan menjadi lebih terlihat. Kemudian tangan kirinya mengambil sedikit cahaya dari tangan kanannya yang menjadi pusat sinar mencorong itu, lalu meniupnya hingga sinar itu bergerak menyebar ke hutan layaknya kunang-kunang yang ujung tubuhnya bersinar dengan cahaya berwarna biru terang. Hal itu ia lakukan beberapa kali hingga cahaya besar di tangan kanannya habis.
Ternyata cahaya yang dibuat Niteo mampu menarik cahaya matahari menelusup ke arah hutan. Rupanya hutan telah terkena jelaga kegelapan yang teramat parah, hingga menghalangi cahaya matahari untuk masuk ke arah hutan. Pohon-pohon dan daunnya pun berubah warna menjadi coklat pekat. Mungkin karena masih ada sedikit kehidupan yang mampu membuat hutan ini tetap bertahan.
Cahaya mulai menyinari selaput-selaput ajaib yang tertempel di pohon-pohon harapan. Mereka semua memutuskan untuk membagi rombongan menjadi dua bagian. Niteo, Exuro, Solum, Flumen dan juga Kara berjalan ke arah kanan, sedangkan Antessa, Dalrin, Gerome, Arbustus, dan Ventosus berjalan ke arah kiri. Sungguh pembagian kelompok yang tidak seimbang.
Kara bersama keempat peri yang berjalan ke arah kanan bergerak perlahan, karena sejujurnya mereka takut dengan hutan ini. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi di dalam sini.
“Untung saja Ventosus tidak bersama kita” ucap Exuro tiba-tiba. Membuat para rekannya mengalihkan pandangan mereka ke arahnya. Dahi Kara berkerut, “Memangnya kenapa kalau dia bersama kita?” tanyanya heran.
Exuro melompat terbang ke hadapan Kara sambil berkacak pinggang. “Memangnya kau tidak merasa kalau dia itu peri paling aneh di antara kami semua? Maksudku, dia itu kerdil dan cara bicaranya juga sangat aneh. Apalagi sikap narsisnya itu. Uhh, aku selalu ingin muntah bila mengingat ekpresi wajahnya yang sok innocent itu.” Exuro tampak serius dengan ucapannya barusan, dan teman-temannya hanya mengangguk tanpa memberi respon lewat ucapan.
PLUMBB! PLUMBB!
Tiba-tiba terdengar suara seperti gelembung busa sabun besar yang meletus. Plumbb! Terdengar sekali lagi namun dengan volume yang lebih kecil. “Jangan-jangan ini ulah Shiba dan pengikutnya” tebak Flumen membuat yang lainnya ikut bergidik.
Detik berikutnya sebuah keanehan pun terjadi. Secara mengejutkan, sepatu yang mereka kenakan mendadak lenyap secara perlahan. Kemudian suara-suara itu bermunculan dengan tempo yang semakin cepat.
Plumbb plumbb plumbb. BLUMM!!!!
Terdengar ledakan diakhir bunyi plumbb. Mereka berempat panik. Beterbangan tak tentu arah yang mengakibatkan kepala Niteo dan Solum berbenturan. “Auuuughh” pekik keduanya. Solum yang pendiam pun akhirnya angkat bicara sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit. “Mungkin telah lahir peri baru di hutan ini, itu sebabnya mengapa sepatu kita lenyap. Tempat ini tempat suci” ucapnya sambil celingukan mencari asal suara ledakan. Tak berapa lama, mereka pun menemukan sebuah selaput pembungkus ajaib yang meletus. Selaput itu menempel pada pohon yang telah tumbang namun masih tetap hidup.
Solum berlonjak ketika melihat peri biru kecil keluar dari selaput ajaib. Tubuhnya masih terlihat sangat lentur dan bening. Seperti layaknya tubuh seekor cicak yang masih berumur beberapa menit. Exuro mendekatkan wajahnya ke arah peri kecil. Ia mengamati setiap detail dari tubuh peri itu.
“Hai” ucap Exuro.
“Hai” sahut peri kecil menirukan.
“Kau lucu sekali peri kecil.” Solum menggenggam tangannya ke dada dan mengangkat satu kakinya ke belakang. Ia amat takjub melihat kehadiran peri kecil di hadapannya.
“Kau lucu sekali peri kecil” ucap peri kecil itu terus membeo.
Seperti halnya manusia, peri juga butuh proses untuk belajar beradaptasi dengan kebiasaan bangsa mereka. “Apa yang terjadi?” tanya Antessa berlari ke arah keributan setelah mendengar bunyi ledakan. “Peri baru telah lahir” jawab Kara membisikkan ke telinga Antessa. Sementara itu Gerome dan Dalrin sedang sibuk menutupi mata mereka ketika melihat peri kecil itu tidak memakai pakaian sama sekali.
“Waaahhhh periii keciiil.” Ventosus langsung mendekati peri kecil sambil menekan-nekan tubuh peri itu dengan gemas. Tiba-tiba saja tubuh peri kecil perlahan-lahan mempunyai bentuk wajah, serta pakaian yang dengan ajaib menempel otomatis pada tubuh mungilnya. Sayapnya menyerupai daun. Bajunya terbuat dari bunga lebar berwarna pink lembut.
******************
Semuanya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Mata Air Para Peri sebelum langit berubah gelap. Mereka butuh tempat menginap. Dalam perjalanan, peri kecil selalu saja berulah. Peri kecil itu akhirnya diberi nama Viena Plantoria oleh Arbustus. Namun, Viena lebih cocok menjadi keturunan udara seperti Ventosus dibanding menjadi keturunan Filum Plantoria. Ia selalu berulah. Terbang kesana kemari, sesekali memanjat pohon seperti yang tengah ia lakukan sekarang ini.
“AWAAAS!!!” pekik Exuro melihat Viena memanjat pohon mengejar semut yang membawa dedaunan. Namun malah Ventosus yang berbalik.
“Kau mengkhawatirkan aku Ex? Owh tenang saja Ex, aku tidak apa-apa.”
Exuro menepuk jidat. “Ya ampun. Yang kumaksud bukan kau! Lihat di belakangmu. Hah, sudahlah aku jalan duluan saja. Aku tidak mau mati konyol karena stres gara-gara terlalu sering berada di dekatmu. Ngomong-ngomong kapan sih kita sampainya?”
“Sabar Exuro, sebentar lagi kita juga sampai. Sungai ini buktinya.” Flumen menunjuk sungai yang ada di dekat mereka.
Seiring dengan gelap yang mulai merayap, akhirnya mereka sampai juga di Mata Air Para Peri. Di Mata Air Para Peri, semua peri tengah berkumpul. Banyak kegiatan yang mereka lakukan di sana untuk mempersiapkan perjamuan malam. Perjamuan malam adalah waktu dimana semua peri dari semua filum berkumpul, duduk dan menyantap hidangan yang disuguhkan. Dan perjamuan malam biasanya dilakukan setiap malam di saat Mata Air Para Peri menampakkan cahaya menakjubkannya. Cahaya yang berkelap-kelip.
Di kedua sisi Mata Air Para Peri terdapat meja panjang dan banyak kursi berjajar di kedua sisinya. Kemudian mereka memberi sentuhan sihir untuk menggerakkan daun-daun, hingga daun-daun itu terbang menghampiri setiap peri untuk melayani mereka. Makanan diambil dari Filum Peri Tumbuhan, air murni diambil dari Mata Air Para Peri sendiri, dan yang bertugas mempersiapkannya adalah para Filum Peri Air. Filum Peri Api bertugas membuat api unggun untuk menghangatkan badan mereka, Filum Peri Cahaya bertugas menciptakan bola-bola sinar untuk menerangi tempat perjamuan malam. Sedangkan tugas Filum Peri Udara dan Tanah adalah menyeimbangkan tekanan udara dan tanah agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ketika perjamuan makan malam itu berlangsung.
Gerome kagum melihat begitu banyak peri yang beterbangan saling membantu satu sama lain. Antessa dan Kara membantu mereka dengan sihir yang telah mereka kuasai. Sementara itu Dalrin lebih tertarik untuk menikmati keindahan Mata Air Para Peri yang memang benar-benar menakjubkan.
Perjamuan malam di mulai. Dalrin duduk bersebelahan dengan Gerome. “Gerome, apa kau juga merasa kalau ada yang berbeda dari Kara seperti yang aku pikirkan?” tanya Dalrin dengan suara berbisik.
“Maksudmu?” Kening Gerome berkerut. “Ma.. Maksudku, dia itu terlihat lebih cantik dengan pakaian semacam itu.” Dalrin menjelaskan dengan nada terbata. “Ahh. Kalau menurutku biasa saja. Dia tetap saja si gadis judes.” Gerome tampak tak peduli.
“Gadis judes? Apa kau tau? Dia itu selalu membuat hatiku cenat-cenut.” Tiba-tiba backsound lagu Sm*sh pun berkumandang entah dari mana. Rupanya lubang suara dari dimensi lain sedang bocor. “Oh Tuhan Dalrin. Maksudmu kau selalu tiba-tiba terkena liver setiap kali berdekatan dengan Kara? Oh My God, aku tak pernah menyangka kau begitu menderita ketika di dekatnya.” Gerome mencoba menenangkan Dalrin dengan mengelus punggungnya.
“Dasar bodoh!” Dalrin sewot dan segera mengalihkan pandangannya pada makanan yang ada di hadapannya. Ia tampak menyesal karena telah bercerita masalah isi hatinya pada orang yang sama sekali tidak tepat.
Tiba-tiba saja terdengar suara bising dari atas langit. Suara itu seperti dua pedang yang saling bergesekan secara terus menerus dengan volume yang memekakkan telinga. Semua peri panik. Beterbangan tak tentu arah. Berlindung di balik meja panjang tempat perjamuan malam.
“JEGLARRRR!” Sebuah rumah kuno terjatuh dari langit dan langsung mendarat sempurna di tepi aliran Mata Air Para Peri. “Ruang terlarang?” bisik Kara tak percaya. Ia pernah berada di bangunan itu untuk mencari sebuah buku yang dapat menyatukan kekuatan gelap dan terang. Tanpa ragu Kara melangkah mendekati bangunan itu.
“Apa yang akan kau lakukan, Kara? Apa kau yakin?” cegah Antessa sedikit ragu. “Tenang saja Antessa, aku yakin. Apa kau mau menemaniku?” “Tentu saja. Dalrin, Gerome, ayo kita masuk.” Antessa menggenggap tangan Kara erat.
Langit mendadak kelabu. Petir menyambar-nyambar. Aura kegelapan mulai terasa. Namun rasa ingin tahu mampu mengelahkan rasa ketakutan yang ada dalam diri mereka.
Ruang Terlarang sudah ada di depan mata. Mereka melangkah dengan hati-hati dan tetap pada keadaan waspada. Kara mulai menelusuri lorong dan masuk ke sebuah ruangan penuh buku yang pernah ia datangi. Ia memeriksa buku yang ada di lemari satu per satu. Keenam pemimpin peri mulai mengikuti langkah Kara. Sementara itu Gerome dan Dalrin berjaga-jaga di luar siapa tahu ini hanya sebuah jebakan yang dikirim untuk mengacaukan Mata Air Para Peri.
Sebuah buku melesat dari raknya dan menimpa kepala Antessa. “Ouch. Apa ini!” teriak Antessa kesakitan. “Ini buku yang aku cari Antessa.” Kara bergegas memungutnya. Kemudian buku besar itu ia letakkan di pangkuannya. Keenam pemimpin peri dan Antessa duduk melingkar menunggu Kara membacakan buku itu. Namun ketika halaman pertama di buka, sebuah keajaiban pun muncul. Gerome dan Dalrin yang mendengar teriakan Antessa bergegas masuk ke ruangan itu. Setelah melihat apa yang terjadi, akhirnya mereka pun ikut duduk bersama yang lain.
Buku itu layaknya lempengan bumi sungguhan yang benar-benar seperti nyata. Buku itu bergerak perlahan menceritakan apa yang sebenarnya harus mereka lakukan untuk menyeimbangkan antara kekuatan kegelapan dengan kekuatan cahaya. Saling memusnahkan adalah kesalahan terbesar yang akhirnya baru mereka sadari. Kunci dari semua perpecahan ini adalah menemukan keseimbangan. Dan dengan melihat buku yang ada di hadapan mereka itu. Semua pun mulai menyadari sesuatu.
Suara-suara gesekan pedang pun mulai muncul kembali. Mereka sadar, sesuatu yang mengancam telah datang dari langit. Mereka datang. Kekuatan kegelapan telah kembali.
---------------------
Juara III Lomba Cerpen Peri Xar & Vichattan
Sumber: Facebook http://www.facebook.com/notes/mezza-hafizhah-nirwanto/lomba-cerpen-peri-xar-vichattan-tour-kenangan/403188919709988
Cerpen Peri Xar & Vichattan
Tempo hari, Antessa meminta para pemimpin peri baru Mata Air Para Peri untuk menunjukkan apa saja yang menjadi kebiasaan para peri pendahulu mereka, sebelum akhirnya meninggal akibat serangan kekuatan kegelapan. Antessa dan keenam peri akhirnya setuju untuk mengadakan sebuah tour guna mengingat-ingat hal tersebut. Antessa dan ketiga ahli waris cahaya lainnya, Kara, Dalrin dan Gerome, serta keenam peri sepakat untuk bertemu di batas Pegunungan Aros dan Hutan Cahaya tepat pukul 5 pagi.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi, namun hanya Gerome dan Dalrin lah yang sudah sampai di tempat yang mereka sepakati. Ini semua karena Biarawati Agung Mirell yang menyuruh mereka bergegas. Padahal sebenarnya Gerome masih sangat mengantuk. Yap, Gerome dan Dalrin memang berada di Xar, sedangkan Antessa dan Kara berada di Vichattan. Itu sebabnya mereka tidak berangkat bersama-sama. Keenam peri sudah mulai berdatangan. Namun kedua gadis ahli waris cahaya itu belum juga menampakkan batang hidung mereka. Pasti Tiarawati Utama Magdalin mengajak mereka begadang dan menceritakan sejarah Kuil Tiara, batin Gerome.
Setengah jam berlalu. “Sial! Rupanya mereka memang mengerjai kita Dalrin. Apa mereka tidak tau, aku juga masih mengantuk!“ Gerome mendengus kesal. Sebagai pelampiasan, kakinya menendang batu kecil di sekitar tempatnya berdiri. Namun, batu kecil itu melambung ke atas, kemudian jatuh tepat di kepala Exuro Flamma si peri api. Dengan refleks, Exuro menyemburkan api ke arah Gerome. “Au panas. Maaf aku sama sekali tidak sengaja. Seharusnya kau tidak perlu memakai acara menyembur segala Exuro.” Gerome makin kesal. Exuro dan kelima peri hanya cekikikan melihat tampang masam Gerome.
“Pasti mereka masih tidur. Sebaiknya kumasuki saja mimpi mereka memakai Tali Ikatan Cahaya, biar mereka tau rasa.” ucap Gerome sambil menyeringai.
“Jangan bertingkah seperti anak kecil.” Dalrin mencoba menasihati.
Namun tampaknya Gerome tak peduli. Jari tengah dan jari telunjuk kedua tangannya menempel, kemudian ia arahkan keduanya ke pelipis dan berbisik lembut, “Tali Ikatan Cahaya, masukkan aku ke dalam mimpi Antessa dan Kara...”
Tiga detik kemudian, wajah jail Gerome telah menodai mimpi indah kedua temannya itu. “HEY KALIAN!!! AYO CEPAT BANGUUUUUUN!!!” Detik berikutnya tawa puas Gerome pun membahana. Ha haha hahahaha. Rasakan itu.
Tak berapa lama, tampak Amor terbang berputar-putar di atas kepala Dalrin dengan membawa Kara dan Antessa.
“Ahh! Banyak gaya kau Amor. Ayo cepat turun!” pinta Gerome kesal. Setelah mereka sampai di tanah. Semua peri dan Gerome tertawa cekikikan karena melihat Kara yang masih mengenakan baju tidurnya. Sementara itu Dalrin menatap Kara tanpa berkedip. Sebuah baju terusan putih tanpa lengan yang Kara kenakan membuatnya tampak berbeda dari biasanya.
“Panggil aku lagi jika kalian membutuhkan bantuan. Tapi kali ini lebih baik kalian berjalan kaki saja sekalian olahraga. Aku mau menemani Pietas dulu.” Amor pun lenyap.
“Yaah Amooor” ucap keempat ahli waris cahaya serempak. Tiba-tiba Kara berbalik. Menatap Gerome tajam. “Gerome! Kau jahat. Kau telah merusak mimpiku bersama.....” Kara menahan perkataannya. Kemudian iya menunduk pasrah. “Lupakan!”
“Ya maaf, habisnya kalian lama sekali. Ngomong-ngomong, ada apa denganmu Kara, kita ini mau berpetualang, bukan pesta piama!” Tawa Gerome meledak seketika, apalagi setelah melihat bibir Kara yang semakin mengerucut, tawanya pun semakin menjadi-jadi. Antessa dan Dalrin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka melihat ulah Gerome menjahili Kara.
Tangan Kara dilipat silang di atas perut. Matanya mendelik ke arah Gerome. “Aku buru-buru. Ini semua juga ulahmu. Seharusnya kau tau diri dan menyalahkan dirimu sendiri, bukan malah menertawakanku. Huh!” Kara membuang muka, kesal setengah mati.
“Sudah sudah. Lebih baik kita mulai saja tour ini” ucap Dalrin menengahi.
Tiba-tiba Ventosus Flaman, peri udara, melesat tepat di atas kepala Exuro. Ia berteriak sambil memasang mata penuh binar.
“Bagaimaanaa kalauu akuu saaja yang memimpiin touuur iniii?” ucapnya mendayu sambil berkedip jail ke arah yang lain.
Sementara itu, Flumen Aqua si peri air dan yang lainnya saling berpandangan. Mereka tau ide Ventosus bukanlah ide bagus. Dia hanya peri kerdil yang kelewat bersemangat dan sering kali membuat yang lain bingung dengan bahasanya yang mengalun.
Exuro pun bertindak. “Oh, no no no, tidak bisa! Aku yakin, kau hanya akan mengacaukan semuanya” sergah Exuro sambil mengeluarkan percikan api dari tubuhnya, dan telingannya mendadak meruncing tanda ia sedang kesal.
“Bee! Tangan Exurooo Terbakaar.” Ventosus pun berlonjak hingga rambut merahnya pun berubah kaku, dan awan yang menyelimuti tubuhnya ikut terhempas.
“Baiklaah akuu akaan menuruut saaja kalauu kaliaan menoolaak tawaarankuu” jawabnya kemudian.
“Sebaiknya kita mulai saja tour ini sebelum kegelapan menguasai langit.” Ujar Antessa menengahi.
Rombongan pun memulai “tour kenangan” mereka, sebuah nama yang disumbangkan Flumen, si peri air, untuk menamai tour mereka ini. Langit pagi memang seolah sangat mendukung perjalanan mereka. Burung-burung pun bersenandung mengiringi langkah Para Ahli Waris Cahaya dan 6 pemimpin peri Mata Air Para Peri.
“Sebenarnya Mata Air Para Peri itu tempatnya bagaimana, kawan-kawan?” tanya Kara tiba-tiba.
Kemudian Flumen Aqua terbang di dekat Kara dan mulai menjelaskan. “Mata Air Para Peri itu letaknya di Hutan Sinar. Eh... Hutan Sinar atau Hutan Cahaya ya?” Dia mulai menggaruki kepalanya yang mendadak gatal. “Aha! Hutan Cahaya. Ya benar, Hutan Cahaya. Letaknya tidak jauh dari Pegunungan Aros ini. Ya begitulah.” Flumen memang selalu plin-plan.
“Apa kalian hidup saling berbaur begitu saja? Atau kalian punya tempat tinggal masing-masing?” Antessa jadi ikut penasaran. Kali ini Niteo yang menjawab.
“Seperti yang kita ketahui, Kingdom Peri terbagi menjadi 6 filum. Dari Filum Peri Cahaya, sampai Filum Peri Tanah. Oleh karena itu, kami memiliki pusat tempat tinggal yang berbeda. Hutan Cahaya terbagi menjadi 7 bagian; Hutan Lucis Hoppas pusat Filum Peri Cahaya, Hutan Flamma Hoppas pusat Filum Peri Api, Hutan Humus Hoppas pusat Filum Peri Tanah, Hutan Plantoria Hoppas pusat Filum Peri Tanaman, Hutan Aqua Hoppas pusat Filum Peri Air, Hutan Flaman Hoppas pusat Filum Peri Udara, dan yang terakhir adalah Mata Air Para Peri itu sendiri, yang merupakan pusat berinteraksinya semua makhluk dari berbagai penjuru Hutan Cahaya. Hoppas sendiri berarti harapan, jadi Hutan Hoppas adalah sebuah hutan penuh harapan tempat lahirnya para peri dari berbagai filum. Nah, begitulah.”
“Waah, menarik sekali. Lalu kita sekarang mau kemana?” Dalrin mengangkat kedua alisnya menatap lekat ke arah para peri. “Lebih baik kita ke Hutan Plantoria Hoppas dulu saja. Kabarnya hutan itu mengalami kerusakan paling parah dibanding Hutan Hoppas lainnya” jawab Flumen.
“Sebenarnya nama belakang kami menunjukkan dari Hutan Hoppas mana kami dilahirkan.” Arbustus naik ke bahu Gerome, kemudian melanjutkan. “Namaku Arbustus Plantoria, dan Plantoria itu sendiri berarti tumbuhan. Dan hutan yang mau kita tuju adalah tempat kelahiranku. Kami lahir dari sebuah selaput pembungkus ajaib yang tertempel pada pohon-pohon harapan. Kalian pasti akan takjub melihat tempatku dilahirkan.“
“Kalau yang lainnya? Apa semuanya juga dari selaput pembungkus ajaib seperti Arbustus?” tanya Kara.
Exuro terbang di sela Kara dan Dalrin. “Yup, tapi selaput pembungkus itu terbuat dari bahan yang sesuai dengan filum kami. Setiap Hutan Hoppas memiliki ciri yang berbeda, contohnya aku dari Hutan Flamma Hoppas. Hutan tempatku dilahirkan memiliki tanaman yang struktur daunnya berbeda dengan hutan lainnya. Kebanyakan tanaman di sana mempunyai daun berwarna merah mencolok, serta berbentuk panjang bergerigi seperti gergaji. Kemudian, di tengah hutan itu terdapat lingkaran yang dibatasi oleh tanaman sejenis yang berdiri tegak sejauh 50 kaki menjulang ke langit. Dan aku rasa sepertinya gravitasi langit lebih mendominasi di titik lingkaran itu. Nah aku dilahirkan di dalam api abadi yang ada di dalam lingkaran itu” jelas Exuro panjang lebar.
Memang benar apa yang diucapkan Exuro, gravitasi langit memang lebih mendominasi di lingkaran itu. Dan itulah sebabnya mengapa api abadi yang berada di tengah lingkaran itu pun bergerak layaknya lidah berwarna merah yang ingin menjilati langit. Ketika musim lahir datang, aura kehidupan yang terpancar dari para peri kecil membuat kekuatan gravitasi langit menurun, sehingga para peri kecil mampu mengontrol diri mereka untuk keluar dari lingkaran api abadi tanpa harus tersedot ke langit. Di Flamma Hoppas terdapat serangga bertubuh seperti naga. Serangga naga itu bertugas untuk mencatat terbentuknya selaput cahaya dan mengumumkan kapan musim lahir itu terjadi.
“Kalau kau Niteo?” Tangan Antessa menyentuh lembut lengan Niteo.
“Hutanku bernama Hutan Lucis Hoppas. Di tengah Hutan Lucis Hoppas terdapat sebuah lahan yang saaaangat luas, berbentuk lingkaran dengan kubah dari cahaya di tengahnya. Kubah itu berguna untuk menyerep dan menyimpan cahaya matahari. Dan di dinding-dinding kubah itulah aku dilahirkan. Di dinding itu terdapat bayak sekali selaput pembungkus ajaib yang juga berasal dari cahaya, yang nantinya akan melahirkan peri-peri cahaya ketika musim lahir telah di tiba. Tak pernah sekali pun turun hujan di wilayah itu. Selain itu, banyak sekali kunang-kunang berterbangan. Mereka mempunyai tugas yang sama dengan serangga naga. Begitulah.”
“Wow keren” kata Antessa kagum.
******************
Setelah lebih dari satu jam mereka berjalan. Akhirnya sampailah mereka pada gerbang Hutan Plantoria Hoppas. Gerbang itu terbuat dari ranting-ranting pohon. Gerbang itu sudah rusak di beberapa bagian dan dipenuhi oleh tanaman rambat. Burung-burung terus berkicau, burung yang sama yang tampaknya telah mengikuti mereka sedari awal perjalanan. Suasana terasa sepi, kelam, dan begitu gelap.
“Nampaknya kegelapan sudah amat meracuni hutan ini” ucap Antessa diikuti desah kekecewaan dari yang lainnya.
“Sepertinya begitu. Dan ini tugas kita untuk melakukan sesuatu” timpal Arbustus diikuti anggukan Solum.
Niteo melangkah ke depan. “Aku akan mencoba menciptakan cahaya. Semoga bisa sedikit membantu.” Kemudian ia menggerak-gerakkan tangannya seperti sedang mencuci tangan, namun tidak sampai membuat keduanya bersentuhan. Ia membentuk bola cahaya besar yang langsung mengubah keadaan hutan menjadi lebih terlihat. Kemudian tangan kirinya mengambil sedikit cahaya dari tangan kanannya yang menjadi pusat sinar mencorong itu, lalu meniupnya hingga sinar itu bergerak menyebar ke hutan layaknya kunang-kunang yang ujung tubuhnya bersinar dengan cahaya berwarna biru terang. Hal itu ia lakukan beberapa kali hingga cahaya besar di tangan kanannya habis.
Ternyata cahaya yang dibuat Niteo mampu menarik cahaya matahari menelusup ke arah hutan. Rupanya hutan telah terkena jelaga kegelapan yang teramat parah, hingga menghalangi cahaya matahari untuk masuk ke arah hutan. Pohon-pohon dan daunnya pun berubah warna menjadi coklat pekat. Mungkin karena masih ada sedikit kehidupan yang mampu membuat hutan ini tetap bertahan.
Cahaya mulai menyinari selaput-selaput ajaib yang tertempel di pohon-pohon harapan. Mereka semua memutuskan untuk membagi rombongan menjadi dua bagian. Niteo, Exuro, Solum, Flumen dan juga Kara berjalan ke arah kanan, sedangkan Antessa, Dalrin, Gerome, Arbustus, dan Ventosus berjalan ke arah kiri. Sungguh pembagian kelompok yang tidak seimbang.
Kara bersama keempat peri yang berjalan ke arah kanan bergerak perlahan, karena sejujurnya mereka takut dengan hutan ini. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi di dalam sini.
“Untung saja Ventosus tidak bersama kita” ucap Exuro tiba-tiba. Membuat para rekannya mengalihkan pandangan mereka ke arahnya. Dahi Kara berkerut, “Memangnya kenapa kalau dia bersama kita?” tanyanya heran.
Exuro melompat terbang ke hadapan Kara sambil berkacak pinggang. “Memangnya kau tidak merasa kalau dia itu peri paling aneh di antara kami semua? Maksudku, dia itu kerdil dan cara bicaranya juga sangat aneh. Apalagi sikap narsisnya itu. Uhh, aku selalu ingin muntah bila mengingat ekpresi wajahnya yang sok innocent itu.” Exuro tampak serius dengan ucapannya barusan, dan teman-temannya hanya mengangguk tanpa memberi respon lewat ucapan.
PLUMBB! PLUMBB!
Tiba-tiba terdengar suara seperti gelembung busa sabun besar yang meletus. Plumbb! Terdengar sekali lagi namun dengan volume yang lebih kecil. “Jangan-jangan ini ulah Shiba dan pengikutnya” tebak Flumen membuat yang lainnya ikut bergidik.
Detik berikutnya sebuah keanehan pun terjadi. Secara mengejutkan, sepatu yang mereka kenakan mendadak lenyap secara perlahan. Kemudian suara-suara itu bermunculan dengan tempo yang semakin cepat.
Plumbb plumbb plumbb. BLUMM!!!!
Terdengar ledakan diakhir bunyi plumbb. Mereka berempat panik. Beterbangan tak tentu arah yang mengakibatkan kepala Niteo dan Solum berbenturan. “Auuuughh” pekik keduanya. Solum yang pendiam pun akhirnya angkat bicara sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit. “Mungkin telah lahir peri baru di hutan ini, itu sebabnya mengapa sepatu kita lenyap. Tempat ini tempat suci” ucapnya sambil celingukan mencari asal suara ledakan. Tak berapa lama, mereka pun menemukan sebuah selaput pembungkus ajaib yang meletus. Selaput itu menempel pada pohon yang telah tumbang namun masih tetap hidup.
Solum berlonjak ketika melihat peri biru kecil keluar dari selaput ajaib. Tubuhnya masih terlihat sangat lentur dan bening. Seperti layaknya tubuh seekor cicak yang masih berumur beberapa menit. Exuro mendekatkan wajahnya ke arah peri kecil. Ia mengamati setiap detail dari tubuh peri itu.
“Hai” ucap Exuro.
“Hai” sahut peri kecil menirukan.
“Kau lucu sekali peri kecil.” Solum menggenggam tangannya ke dada dan mengangkat satu kakinya ke belakang. Ia amat takjub melihat kehadiran peri kecil di hadapannya.
“Kau lucu sekali peri kecil” ucap peri kecil itu terus membeo.
Seperti halnya manusia, peri juga butuh proses untuk belajar beradaptasi dengan kebiasaan bangsa mereka. “Apa yang terjadi?” tanya Antessa berlari ke arah keributan setelah mendengar bunyi ledakan. “Peri baru telah lahir” jawab Kara membisikkan ke telinga Antessa. Sementara itu Gerome dan Dalrin sedang sibuk menutupi mata mereka ketika melihat peri kecil itu tidak memakai pakaian sama sekali.
“Waaahhhh periii keciiil.” Ventosus langsung mendekati peri kecil sambil menekan-nekan tubuh peri itu dengan gemas. Tiba-tiba saja tubuh peri kecil perlahan-lahan mempunyai bentuk wajah, serta pakaian yang dengan ajaib menempel otomatis pada tubuh mungilnya. Sayapnya menyerupai daun. Bajunya terbuat dari bunga lebar berwarna pink lembut.
******************
Semuanya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Mata Air Para Peri sebelum langit berubah gelap. Mereka butuh tempat menginap. Dalam perjalanan, peri kecil selalu saja berulah. Peri kecil itu akhirnya diberi nama Viena Plantoria oleh Arbustus. Namun, Viena lebih cocok menjadi keturunan udara seperti Ventosus dibanding menjadi keturunan Filum Plantoria. Ia selalu berulah. Terbang kesana kemari, sesekali memanjat pohon seperti yang tengah ia lakukan sekarang ini.
“AWAAAS!!!” pekik Exuro melihat Viena memanjat pohon mengejar semut yang membawa dedaunan. Namun malah Ventosus yang berbalik.
“Kau mengkhawatirkan aku Ex? Owh tenang saja Ex, aku tidak apa-apa.”
Exuro menepuk jidat. “Ya ampun. Yang kumaksud bukan kau! Lihat di belakangmu. Hah, sudahlah aku jalan duluan saja. Aku tidak mau mati konyol karena stres gara-gara terlalu sering berada di dekatmu. Ngomong-ngomong kapan sih kita sampainya?”
“Sabar Exuro, sebentar lagi kita juga sampai. Sungai ini buktinya.” Flumen menunjuk sungai yang ada di dekat mereka.
Seiring dengan gelap yang mulai merayap, akhirnya mereka sampai juga di Mata Air Para Peri. Di Mata Air Para Peri, semua peri tengah berkumpul. Banyak kegiatan yang mereka lakukan di sana untuk mempersiapkan perjamuan malam. Perjamuan malam adalah waktu dimana semua peri dari semua filum berkumpul, duduk dan menyantap hidangan yang disuguhkan. Dan perjamuan malam biasanya dilakukan setiap malam di saat Mata Air Para Peri menampakkan cahaya menakjubkannya. Cahaya yang berkelap-kelip.
Di kedua sisi Mata Air Para Peri terdapat meja panjang dan banyak kursi berjajar di kedua sisinya. Kemudian mereka memberi sentuhan sihir untuk menggerakkan daun-daun, hingga daun-daun itu terbang menghampiri setiap peri untuk melayani mereka. Makanan diambil dari Filum Peri Tumbuhan, air murni diambil dari Mata Air Para Peri sendiri, dan yang bertugas mempersiapkannya adalah para Filum Peri Air. Filum Peri Api bertugas membuat api unggun untuk menghangatkan badan mereka, Filum Peri Cahaya bertugas menciptakan bola-bola sinar untuk menerangi tempat perjamuan malam. Sedangkan tugas Filum Peri Udara dan Tanah adalah menyeimbangkan tekanan udara dan tanah agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ketika perjamuan makan malam itu berlangsung.
Gerome kagum melihat begitu banyak peri yang beterbangan saling membantu satu sama lain. Antessa dan Kara membantu mereka dengan sihir yang telah mereka kuasai. Sementara itu Dalrin lebih tertarik untuk menikmati keindahan Mata Air Para Peri yang memang benar-benar menakjubkan.
Perjamuan malam di mulai. Dalrin duduk bersebelahan dengan Gerome. “Gerome, apa kau juga merasa kalau ada yang berbeda dari Kara seperti yang aku pikirkan?” tanya Dalrin dengan suara berbisik.
“Maksudmu?” Kening Gerome berkerut. “Ma.. Maksudku, dia itu terlihat lebih cantik dengan pakaian semacam itu.” Dalrin menjelaskan dengan nada terbata. “Ahh. Kalau menurutku biasa saja. Dia tetap saja si gadis judes.” Gerome tampak tak peduli.
“Gadis judes? Apa kau tau? Dia itu selalu membuat hatiku cenat-cenut.” Tiba-tiba backsound lagu Sm*sh pun berkumandang entah dari mana. Rupanya lubang suara dari dimensi lain sedang bocor. “Oh Tuhan Dalrin. Maksudmu kau selalu tiba-tiba terkena liver setiap kali berdekatan dengan Kara? Oh My God, aku tak pernah menyangka kau begitu menderita ketika di dekatnya.” Gerome mencoba menenangkan Dalrin dengan mengelus punggungnya.
“Dasar bodoh!” Dalrin sewot dan segera mengalihkan pandangannya pada makanan yang ada di hadapannya. Ia tampak menyesal karena telah bercerita masalah isi hatinya pada orang yang sama sekali tidak tepat.
Tiba-tiba saja terdengar suara bising dari atas langit. Suara itu seperti dua pedang yang saling bergesekan secara terus menerus dengan volume yang memekakkan telinga. Semua peri panik. Beterbangan tak tentu arah. Berlindung di balik meja panjang tempat perjamuan malam.
“JEGLARRRR!” Sebuah rumah kuno terjatuh dari langit dan langsung mendarat sempurna di tepi aliran Mata Air Para Peri. “Ruang terlarang?” bisik Kara tak percaya. Ia pernah berada di bangunan itu untuk mencari sebuah buku yang dapat menyatukan kekuatan gelap dan terang. Tanpa ragu Kara melangkah mendekati bangunan itu.
“Apa yang akan kau lakukan, Kara? Apa kau yakin?” cegah Antessa sedikit ragu. “Tenang saja Antessa, aku yakin. Apa kau mau menemaniku?” “Tentu saja. Dalrin, Gerome, ayo kita masuk.” Antessa menggenggap tangan Kara erat.
Langit mendadak kelabu. Petir menyambar-nyambar. Aura kegelapan mulai terasa. Namun rasa ingin tahu mampu mengelahkan rasa ketakutan yang ada dalam diri mereka.
Ruang Terlarang sudah ada di depan mata. Mereka melangkah dengan hati-hati dan tetap pada keadaan waspada. Kara mulai menelusuri lorong dan masuk ke sebuah ruangan penuh buku yang pernah ia datangi. Ia memeriksa buku yang ada di lemari satu per satu. Keenam pemimpin peri mulai mengikuti langkah Kara. Sementara itu Gerome dan Dalrin berjaga-jaga di luar siapa tahu ini hanya sebuah jebakan yang dikirim untuk mengacaukan Mata Air Para Peri.
Sebuah buku melesat dari raknya dan menimpa kepala Antessa. “Ouch. Apa ini!” teriak Antessa kesakitan. “Ini buku yang aku cari Antessa.” Kara bergegas memungutnya. Kemudian buku besar itu ia letakkan di pangkuannya. Keenam pemimpin peri dan Antessa duduk melingkar menunggu Kara membacakan buku itu. Namun ketika halaman pertama di buka, sebuah keajaiban pun muncul. Gerome dan Dalrin yang mendengar teriakan Antessa bergegas masuk ke ruangan itu. Setelah melihat apa yang terjadi, akhirnya mereka pun ikut duduk bersama yang lain.
Buku itu layaknya lempengan bumi sungguhan yang benar-benar seperti nyata. Buku itu bergerak perlahan menceritakan apa yang sebenarnya harus mereka lakukan untuk menyeimbangkan antara kekuatan kegelapan dengan kekuatan cahaya. Saling memusnahkan adalah kesalahan terbesar yang akhirnya baru mereka sadari. Kunci dari semua perpecahan ini adalah menemukan keseimbangan. Dan dengan melihat buku yang ada di hadapan mereka itu. Semua pun mulai menyadari sesuatu.
Suara-suara gesekan pedang pun mulai muncul kembali. Mereka sadar, sesuatu yang mengancam telah datang dari langit. Mereka datang. Kekuatan kegelapan telah kembali.
---------------------
Juara III Lomba Cerpen Peri Xar & Vichattan
Sumber: Facebook http://www.facebook.com/notes/mezza-hafizhah-nirwanto/lomba-cerpen-peri-xar-vichattan-tour-kenangan/403188919709988
No comments:
Post a Comment