Malam itu hujan turun dengan lebatnya. Banyak orang yang merasa kecewa, karena hanya bisa merayakan pesta Halloween di dalam rumah.
Sementara itu, Raine Silverstone duduk di dalam kamar, menunggu sesuatu yang tak diketahuinya.
“Sampai kapan ketegangan ini akan berakhir ? Sampai besok pagi, ataukah...
Kenapa sih papa dan mama malah pergi malam ini ?”
Tiba-tiba Raine dikejutkan oleh dering telepon.
“I.. iya, tunggu sebentar.”, ujarnya seraya berlari keluar kamar.
“Hallo, di sini rumah keluarga Silverstone.”
Sunyi, tanpa jawaban. Tapi dengan jelas, Raine dapat mendengar suara hujan di ujung telepon.
Dengan nada jengkel, Raine berkata, “Hallo, siapa ini ? Kalau tidak dijawab, akan kututup !”
Akhirnya terdengar sebuah suara, tapi samar-samar. Raine menempelkan telinganya ke arah speaker penerima.
“Maaf, bisakah Anda bicara lebih keras ?”
Suara hujan yang menjadi latar semakin keras, sementara tiba-tiba Raine merasa pusing.
“Ke.. kenapa tiba-tiba.. kepalaku mendadak pening ? Apa.. yang terjadi.. pada..ku ?”
Dalam keadaan setengah sadar, ia merasa tubuhnya bergerak sendiri. Tangannya menaruh gagang telepon, lalu kakinya berjalan sendiri menuju pintu keluar. Hal terakhir yang diingat Raine, adalah ketika ia membuka pintu, samar-samar dilihatnya seseorang sedang berdiri di tengah hujan, dan orang itu memegang telepon selular...
“Kakak...”
Raine merasa pikiran dan pandangannya berkabut, tapi suara itu membuatnya kembali tersadar.
“Kakak, kenapa kakak melupakanku ?”
Hal pertama yang dirasakan oleh Raine, adalah dinginnya air yang membasahi sekujur tubuhnya. Ya, tidak diragukan lagi, saat ini ia sedang berjalan di tengah hujan. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sia-sia; Tubuhnya terus bergerak sendiri, bagai mainan remote kontrol dan sedang dikendalikan orang lain. Antara sadar dan tidak, Raine berusaha melihat ke sekelilingnya. Dan ia terkejut, menyadari bahwa ia sedang berjalan di tengah-tengah jalan raya. Dalam hujan lebat seperti ini, pengendara mobil akan kesulitan melihat apa yang ada di depannya, dan jika ada mobil yang kebetulan lewat, kecelakaan pasti tak akan terhindarkan lagi. Untuk kesekian kalinya, Raine berusaha mengambil alih kontrol tubuhnya. Ia semakin panik, melihat sepasang sorot cahaya yang sedang bergerak tak jauh dari depannya.
“Gawat, ada.. mobil.. menuju ke.. arah..ku. Tolong sa..dar, ada.. orang.. di depan..mu...”
Di saat kritis, tiba-tiba seseorang melompat dan menyelamatkannya.
“Nona Raine, Anda baik-baik saja ?”
Walau kepalanya masih terasa berkabut, tapi Raine bisa mendengar dengan jelas suara Felix. Dan perlahan-lahan, ia juga mulai memperoleh kembali kontrol atas tubuhnya.
“Apa.. itu.. Anda, Petu..gas.. Felix ?”
“Benar, ini saya. Tadi saya datang ke rumah Anda, tapi sepertinya tidak ada seorang-pun di dalam rumah. Untung saja saya melihat Anda sedang berjalan di tengah jalan raya ini. Sebenarnya, apa yang Anda lakukan, Nona Raine ?”
Udara dingin terasa sangat menusuk, dan untuk sesaat, Raine tidak dapat menjawab, hanya mendekap tubuhnya erat-erat. Felix menyadari hal itu, lalu melepas jaketnya dan memakaikannya kepada Raine.
“Terima kasih.”, jawab Raine lemah, “Sebenarnya tadi, aku mendapat sebuah telepon aneh. Dan ketika menjawab telepon itu, tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing dan tubuhku bergerak sendiri.”
“Tubuh Anda bergerak sendiri ? Jangan-jangan, telepon itu semacam.. hipnotis ?”
Raine mengangkat bahu, “Entahlah. Tolong antar saya pulang.”
Felix mengangguk, lalu memapah Raine menuju mobilnya.
Ketika sampai di depan rumah, Felix berkata, “Nona Raine, kita sudah sampai. Sepertinya lebih baik jika saya menemani Anda.”
Raine tidak menjawab, hanya mengangguk. Keduanya bersama-sama turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
“Saya mau mandi dulu.”
Raine masuk ke dalam kamarnya, sementara Felix duduk menunggu di ruang tamu. Sementara air mengaliri tubuhnya, Raine menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau saja Petugas Felix tadi tidak menolongku, pasti aku bernasib sama seperti kedua korban terdahulu. Siapa.. siapa yang meneleponku itu ? Suara yang kudengar samar-samar.. tapi sepertinya aku mengenal suara itu.”
Selesai mandi, Raine keluar menuju kamarnya dengan memakai handuk. Tiba-tiba seseorang muncul dan menerkamnya. Jeritan Raine tertahan, setelah melihat orang yang menyerangnya; Wajah dingin Felix tepat di hadapannya.
“Pe.. petugas.. Felix ? Ke.. kenapa... ?”
“Maaf, awalnya aku memang berniat membuatmu mati ketabrak mobil. Tapi ada gangguan, dan aku malah menolongmu.”
Raine terkejut. Nada dan gaya bicara Felix yang biasa sopan, berubah menjadi dingin dan kasar.
“Ka.. kamu.. siapa ? Kamu bukan petugas Felix khan ?”
Dengan senyum mengejek, Felix bertanya, “Kau tidak mengenalku ? Hmm, berarti kamu benar-benar telah lupa padaku. Ini aku, Kak.”
Kata-kata terakhir Felix, membuat Raine terkejut.
“Ca..ine ?”, tanya Raine dengan suara gemetar, “Benarkah kamu Caine ?”
“Akhirnya kakak inget juga. Padahal sejak pertemuan kita yang pertama dan terakhir, aku terus berharap bisa ketemu kakak lagi.”
Sekilas Raine teringat akan masa kecilnya, akan pertemuan satu-satunya dengan Caine...
Ketika masih kecil, Raine dikenal sebagai anak cewek terkuat, baik di rumah maupun di sekolahnya. Bahkan dia menjadi pimpinan para anak cewek di sekolahnya, setelah menghajar beberapa anak cowok yang suka mengganggu anak cewek. Sementara Caine adalah anak tetangga Raine. Mereka hampir tidak pernah berjumpa, karena akibat tubuh Caine yang lemah, ia harus terus berada di dalam rumah. Tapi tanpa disadari Raine, diam-diam Caine memperhatikannya. Suatu hari Caine nekad keluar dari rumahnya, mencoba untuk mengajak Raine bicara. Tapi ia malah bertemu beberapa anak berandalan, yang langsung mengeroyoknya tanpa alasan yang jelas. Kebetulan Raine ada di dekat situ, dan langsung menolong Caine. Raine langsung membawa Caine yang sakitnya kembali kambuh, menuju rumahnya. Dan itulah pertemuan pertama sekaligus terakhir mereka, karena tak lama setelah itu, keluarga Caine pindah.
“Ta.. tapi, bukankah kamu.. sudah meninggal ?”, tanya Raine dengan bingung.
Wajah Felix kembali menjadi dingin.
“Kakak betul sekali. Pas hari itu, karena dihajar, sakitku kambuh lagi. Papa dan mama pindah juga karena pengen ngobatin badanku. Tapi sakitnya nggak pernah sembuh lagi, sampai suatu hari pas aku bangun, aku udah berada di badan ini.”
“A.. APA ?!”
No comments:
Post a Comment