Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

09 July 2014

Legenda Everna - Pinocchio: Pembalasan Stromboli




Legenda Everna
Pinocchio - Pembalasan Stromboli  
Andry Chang

Ada tertulis dalam legenda, Pinocchio si boneka kayu telah menyelamatkan anak-anak dari Taman Ria Pulau Kesenangan, menyelamatkan Geppetto dari dalam perut ikan paus dan mendapatkan hak hidupnya sebagai manusia sejati. Namun, apakah itu berarti segalanya berakhir baik? Benarkah Pinocchio de Geppetto dan ayahnya, Giuseppe de Geppetto hidup bahagia sepanjang hayat? 

Selain bersekolah dan belajar dengan rajin, Pinocchio juga terus belajar menjadi pembuat mainan seperti ayahnya. Ternyata ia berbakat alam. Dalam waktu dua tahun, mainan-mainan buatan Pinocchio terkenal di kota-kota besar di Valanis, mulai dari tempat tinggalnya di Berlynis sampai ke ibukota, Ascension dan kota semenanjung, Encarte. Para orangtua ramai bicara dari mulut ke mulut bahwa mainan buatan Geppetto sangat indah dan detil, tahan banting dan entah mengapa jadi terkesan… hidup. 

Namun, produk baru yang amat populer ini jadi ancaman serius bagi banyak pengrajin mainan lainnya. Alih-alih meningkatkan mutu, para saingan Geppetto di Berlynis malah berkumpul, bersekongkol, mencari cara untuk menyingkirkan pesaing lemah yang tiba-tiba jadi hebat ini. Segala cara dibahas dan diperdebatkan, namun tak satupun yang mencapai kata sepakat. 

Hingga di suatu kali pertemuan, seorang pria bertudung dan berpakaian serba hitam menyusup masuk ruangan rahasia. 

“Hei, apa-apaan ini? Pergi kau sekarang dari sini, atau kami terpaksa bertindak kasar!” sergah salah seorang pengrajin.
“Tenang saja, Jacopo,” ujar seorang pengrajin lain. “Dia ini teman lama yang sangat ahli dalam memecahkan masalah seperti yang kita hadapi ini.”
“Oh, begitukah?” Wajah Jacopo berubah cerah. “Kalau begitu selamat datang, tuan…”

“Stromboli. Federico Stromboli,” ujar si penyusup sambil membuka tudungnya. Tampak wajah tirus dan mata berkantung yang nyaris mirip serigala kelaparan. Ditambah perawakannya, mantan pemain sirkus boneka ini sudah jauh lebih kurus daripada dua tahun yang lalu.
“Langsung ke pokok masalahnya saja,” ujar Jacopo tak sabar. “Kami di sini punya masalah dengan…”
Stromboli menyela, “Geppetto, pabrik mainan yang baru itu. Ya, sobatku sudah memberitahuku tentang ini. Sekasrang serahkan saja segala urusan ini padaku. Anggap saja si biang masalah itu sudah lenyap ditelan bumi.”
“Wah, terima kasih, Tuan Stromboli, kami takkan pernah…”

“Simpan saja terima kasihmu. Kini kita bahas imbalan untukku,” sela Stromboli, mengelus kumis-janggutnya yang masih panjang, tebal dan hitam, satu-satunya kebanggaannya. “Mulai sekarang, semua mainan yang kalian buat harus dijual di tokoku, Emporio del Stromboli. Dan kalian berhak mendapat tiga puluh persen dari keuntungan penjualan.”

Para pengrajin langsung protes, Jacopo mewakili mereka sebagai juru bicara. “Tak bisa begitu, Stromboli! Kamu hanya perantara, jadi bagian tiga puluh persen itu seharusnya jatahmu!”

Mendengar itu, Stromboli langsung berdiri dan siap angkat kaki. “Itukah keputusan kalian? Terima saja tawaranku, atau kerjakan saja ‘tugas kotor’ kalian sendiri!”
Tak ada kesempatan berpikir panjang lagi, Jacopo spontan bangkit dan berseru, “Tunggu, Stromboli!” 

==oOo==
 
Setelah jadi manusia, apakah Pinocchio hidup bahagia sepanjang hayat?
Walau segala petualangan dan kewajiban kerjanya telah membuat Pinocchio terkesan lebih dewasa daripada usianya, ia tetap anak-anak berusia sebelas tahun yang masih gemar bermain dan bercanda-ria.

Karena memang ramah dan periang, kini Pinocchio punya banyak teman. Namun ia lebih banyak menghabiskan waktu luangnya bersama kedua sahabat karibnya, Lentino dan Cecilia. Mereka bertiga sungguh “nakal”, dalam arti sangat aktif mencari tahu tentang hal-hal baru, apalagi yang berhubungan dengan pembuatan mainan.

“Lihat penemuan baruku, Pino!” ujar Lentino, si anak laki-laki berjerawat di pipi dengan bangga. “Ini mainan kodok berpegas, yang bisa melompat maju bila bagian belakangnya ditekan.”

“Wow, kelihatannya asyik!” tanggap Cecilia, anak perempuan berwajah manis, berambut pirang kepang dua sambil bertepuk tangan. “Kamu pasti tak bawa satu lagi saja ‘kan, Tino?” 

Lentino mengeluarkan dua kodok mainan lagi dari kantung jasnya. “Tentu kubuatkan juga untuk kalian!”
“Bagus, ayo kita balapan, kodok siapa yang melompat paling jauh dan paling cepat!” Dengan amat girang, Pinocchio menerima kodok mainan itu dan langsung ditaruhnya di tanah.

Segera saja ketiganya main lompat kodok, bahkan ikut melompat-lompat bersama mainan mereka, sungguh mengasyikkan. Saat matahari mulai terbenam Pinocchio, Lentino dan Cecilia pulang ke rumah masing-masing untuk makan malam dan belajar.

Saat hampir tiba di dekat rumahnya, Pinocchio merasa ada seseorang tengah membuntutinya. Ia menoleh ke belakang, namun tak ada siapa-siapa di sana. Anak lelaki itu memiringkan kepala dan mendelik heran, lalu ia mempercepat langkahnya. Baru saat tiba di rumahnya, Pinocchio bisa bernapas lega. Itu rumah baru yang cukup luas, tiga kali lebih besar dari toko lama Geppetto dulu. 

“Lho, ada apa nak? Mengapa wajahmu tegang begitu?” tanya Giuseppe de Geppetto yang juga baru pulang dari pabrik mainan miliknya, beberapa blok dari rumahnya. Walau rambut dan kumis tebalnya sudah putih semua, seakan kebahagiaan besarnya dua tahun terakhir ini menghilangkan kerut-kerut keriput di wajah pria yang usianya baru menginjak setengah baya ini. 

Takut hidung manusianya bisa memanjang seperti hidung boneka kayu bila berbohong, Pinocchio menceritakan tentang kegelisahannya saat pulang main tadi. 

“Hahaha, kau ini bisa saja Pino, anakku sayang,” ujar Geppetto sambil membelai rambut warna hazelnut anak itu. “Mungkin tadi itu Lentino yang ingin tahu apa kau benar-benar menyukai ‘penemuan baru’-nya. Seharusnya ia tak perlu menguntitmu segala, tunggu saja sampai mainan kodoknya berjajar di rak toko mainan di depan pabrik Geppetto.”

“Asyik, terima kasih, ayah!” Pinocchio memeluk Geppetto. “Biar kusempurnakan dulu mainan Lentino ini, pegasnya harus lebih ke dalam ceruk di perut supaya lompatannya lebih terarah…”
“Ayo, ayo, Pino. Kita makan malam dulu. Ayah yakin, kau pasti sudah lapar, ‘kan?”
Pinocchio mengangguk cepat, lalu berjalan cepat pula menuju meja makan. Sementara Gepetto hanya geleng kepala saja, rupanya masih ada setitik kenakalan dalam diri anaknya, yang tentunya itu wajar-wajar saja. 

 ==oOo==


“Pinocchio, bangun! Cepat bangun!”
Suara Geppetto yang keras membuat Pinocchio terlonjak dari tempat tidurnya. Lantas, sambil mengusap matanya, anak lelaki itu mengeluh, “Ada apa sih, ayah?”
“Pabrik kita… kebakaran!” seru Geppetto. Gurat-gurat kepanikan di wajahnya jelas terbaca.
“Apa!? Bagaimana bisa? Bukankah ayah sudah memperingatkan para karyawan agar tak merokok dengan pipa di dalam dan di sekitar pabrik? Menjauhkan benda-benda yang mudah menyalakan api dari kayu-kayuan yang mudah terbakar?”
“Ya, tapi siapa tahu… ada yang lalai… atau sengaja.”

Pinocchio ikut merinding. Ia jadi teringat, ia sangat takut pada api, apalagi saat berwujud boneka kayu dulu. “Bila benar ini disengaja… siapa yang tega melakukan ini pada kita?”

“Ayah akan menyelidiki ini, nak. Jadi ayah pergi ke pabrik sekarang juga. Kau jagalah rumah dan jaga dirimu. Apapun yang terjadi ingat, ayah selalu menyayangimu.”

“Dan aku juga sayang ayah.” Pinocchio memeluk Geppetto sekali lagi, lalu terdiam melihat sang ayah keluar dari kamar tidurnya. 

Inilah saat yang amat genting, seperti saat Pinocchio sekarat setelah keluar dari perut ikan paus dulu. Teringat saat-saat dirinya berubah menjadi manusia, ia memejamkan mata dan berdoa. Memohon perlindungan pada sang maha pelindung, Vadis dan sang peri cahaya, Galateia. 

Tiba-tiba sebuah suara lembut yang amat nyata menyapa, “Anakku Pinocchio, bukalah matamu.” Pinocchio menurut dan mengenali sosok seorang wanita berpakaian serba biru muda bagai bercahaya di hadapannya itu. “Bunda!” serunya. 

Galateia yang dijuluki pula Peri Biru mengangguk dan mengutarakan pesannya, “Sayangku, dengarkan bunda baik-baik. Ada kekuatan jahat tengah mendatangimu, dari dua orang musuh yang menagih dendam lama. Yang satu masih menguasai ilmu hitam seperti dahulu, jadi bunda akan membekalimu kekuatan untuk melawan orang itu dan pasukannya.”

Pinocchio terperangah. Andai Galateia tak hadir, mustahil ia dan seisi rumahnya terhindar dari bencana berdarah ini. Andai Geppetto di rumahpun, mana bisa pria biasa itu melawan? 

“Ingat pesanku ini baik-baik, Pinocchio, nyawamu tergantung dari itu…” Pinocchio menyimak kata demi kata Sang Peri Biru. Setelah selesai, Peri Biru memeluk Pinocchio erat-erat sambil berkata, “Hanya ini yang dapat bunda berikan padamu, bunda tak boleh terlalu banyak ikut campur agar kau jadi lebih kuat dan tegar. Tapi bila ada kekuatan yang jauh melebihi kekuatanmu ini muncul, bunda baru akan membantumu. Bunda amat sayang padamu, Pinocchio… anakku.” 

Pinocchio sungguh teduh dan terlindung di haribaan bundanya, seakan dipeluk dengan sayap-sayap malaikat yang nyaman dan hangat. Namun saat ia membuka mata, sosok Galateia sang peri cahaya telah lenyap.
Suara gaduh di depan rumah mendadak terdengar, Pinocchio lantas mengenakan jas melapisi piyamanya dan cepat-cepat lari ke depan rumah. Melewati para pembantu dan pengurus rumah yang ketakutan, Pinocchio berkata, “Biar kuhadapi mereka.”

“Jangan, tuan muda!” Jiminy, kepala pelayan yang semula adalah pemain biola yang dikutuk menjadi seekor jangkrik dan kini telah kembali jadi manusia menghampiri sahabatnya. “Peri Biru juga telah memberitahukan rencananya padaku. Kita keluar bersama-sama, aku akan membukakan jalan untukmu.” Tak lupa ia membawa payung andalannya. 

“Terima kasih, Jiminy, kau sungguh sahabatku yang paling pemberani.”

Cukup bicara, Pinocchio dan Jiminy menemui segerombolan lelaki yang membuat kegaduhan di gerbang depan rumah itu. Si pria jangkung bercambang yang selalu mengenakan topi tinggi dan setelan kemeja dan jas yang amat rapi, Jiminy membuka pembicaraan, “Tuan-tuan, ada perlu apa datang di malam selarut ini? Datanglah lagi besok pagi, secangkir kopi tentu siap menanti.”

Dua pria maju dari tengah gerombolan. Salah satunya yang berkumis dan berjanggut tebal berseru, “Simpan saja kopimu, pelayan! Aku Federico Stromboli ingin menemui Giuseppe de Geppetto, pemilik rumah ini.”

Giliran Pinocchio bicara, “Oh, rupanya Tuan Stromboli! Dan siapa nama tuan yang satu lagi ini? Ayahku sedang tak di rumah, jadi biar aku, Pinocchio de Geppetto yang bicara mewakili beliau.” Stromboli, nama itu sepertinya sangat ia kenal.

Si pria kedua yang juga kurus, berambut serba putih dan mengenakan pakaian dan topi serba coklat dan lusuh pura-pura terkejut. “Pino… Pinocchio? Ah… aku ingat nama itu! Itu nama boneka kayu laknat yang mengacau di Pulau Kesenangan, menghancurkan bisnis keledaiku! Tapi wah, wah… Tak kusangka, ternyata si boneka telah jadi manusia! Membuat usaha Geppetto tambah maju pula! Hebat, hebat!” 

“Clive Barker, Sang Kusir! Kukira kau sudah tewas saat jatuh dari tebing pulau itu!” sergah Jiminy dengan gigi gemertak. Seingatnya, dua tahun yang lalu Barker bertubuh gemuk. 

“Ohoho, kenyataannya tidak. Rupanya para iblis masih sudi membantuku. Pulau Kesenangan telah dihancurkan oleh Polisi Sihir Valanis. Karena itu pulalah, dua tahun sudah aku sembunyi, menyusun kekuatanku kembali. Setelah danaku cukup, aku bersekutu dengan Stromboli membentuk tentara bayaran, lalu mencari kesempatan untuk membalas dendam sekaligus meraup keuntungan berlimpah. Pabrik Geppetto telah kuhanguskan, biar kini aku merenggut miliknya yang paling berharga, putranya sendiri!” 

“Enak saja! Jangan harap, Barker!” Jiminy mengacungkan payung besinya yang ringan dan sekokoh pedang dengan gerakan seperti kuda-kuda pemain pedang anggar.  

“Pasukan Stromboli, keroyok pelayan itu!” teriak Stromboli sambil menyeruak dengan kapaknya. Langsung saja Jiminy dikepung belasan pria.

Mengandalkan kelincahan alami yang ia latih selama menjadi jangkrik, Jiminy membuat payungnya berkelebat secepat kilat, menusuk, memukul, mencederai bahkan melukai beberapa orang anggota pasukan Stromboli. 

“Pinocchio, lari!” seru Jiminy, tepat saat satu bacokan kapak Stromboli menorehkan luka dangkal di dadanya. Pinocchio ragu melihat kepungan yang masih rapat dan Jiminy yang terdesak, namun si pria jelmaan jangkrik itu berseru lagi, “Jangan pedulikan aku, cepat lari, SEKARANG!” 

Benar, ini waktunya untuk nakal, senakal-nakalnya. Dengan nekad Pinocchio lari ke arah pagar betis kepungan. “Heh, anak bodoh cari mati! Rasakan ini!” Sang Kusir menyabetkan cemetinya mendatar untuk menjerat leher Pino. Namun si anak lelaki itu berkelit dengan amat gesit dan kembali mendoncang maju, menerobos kepungan.

“Kejar, kejar dia!” Kalap, Sang Kusir berbalik dan mulai mengejar, lebih dari separuh pasukan mengikutinya. 

Air mata Pinocchio terpercik ke belakang, hatinya miris meninggalkan Jiminy menghadapi kepungan Stromboli. Namun Sang Kusir adalah orang yang jauh lebih berbahaya. Pino sudah tak seperti dulu lagi, tubuh boneka kayunya kebal ilmu hitam. Bila sekarang si penyihir sampai menyentuhnya, seluruh saripati daya hidup akan terhisap keluar dari dalam tubuhnya, menyisakan bocah tua yang tinggal bau tanah. 

Pinocchio bergidik mengingat kekuatan-kekuatan mengerikan Clive Barker dan terus lari. Tiba-tiba, dua orang anak kecil muncul di depannya dan ikut lari bersamanya. 

“Tunggu, Pino! Kami ikut!” seru Cecilia.
Pino berseru balik, “Cecilia, Lentino, cepat pulang! Orang-orang yang mengejarku amat berbahaya!” 

“Dan membiarkan sahabat baik kita ini menghadapi mereka semua sendirian?” kata Lentino. “Tenang, kami bawa mainan yang pas untuk acara semacam ini!” Anak laki-laki jerawatan itu mengeluarkan sebuah ketapel dan sekantong kerikil dan menyerahkannya pada Pino.

“Ide bagus! Baik, ikut aku ke pabrik! Kita perlambat mereka!” Sambil terus berlari, Pinocchio dan kedua temannya sesekali menembakkan ketapel setiap kali ada pengejar yang terlalu dekat. Hanya dua tentara bayaran Barker tumbang oleh rentetan tembakan untung-untungan dalam gelap ini. Setidaknya para pengejar gagal memperkecil jarak dengan anak-anak itu. 

==oOo==

Tiba di lokasi pabrik, Pinocchio menatap gedung hangus yang apinya belum seluruhnya padam itu dengan sedih campur geram. Namun mereka bertiga harus terus berlari ke tempat tujuan, yaitu tangga menuju ruang bawah tanah pabrik. 

“Ayah, cepat buka pintu ruang bawah tanah!” teriak Pinocchio saat melihat Geppetto di depan tangga menuju ke bawah yang belum hangus. 

“Apa maksudmu, nak?” Geppetto terperanjat dan langsung mengerti begitu melihat para pengejar di kejauhan. “Oh ya! Ikuti aku!” 

Keempat orang itu menuruni tangga dengan amat cekatan, Geppetto membuka pintu ruang bawah tanah dengan kunci yang selalu dibawanya kemana-mana dan masuk bersama anak-anak. 

Lentino dan Cecilia yang belum pernah tahu “rahasia” ini ternganga. Ternyata, ruang bawah tanah itu amat luas, hampir seluas pabrik mainan di atasnya. Yang paling mencengangkan, tampak berbagai macam mainan, besar dan kecil berjajar rapi di meja-meja, rak-rak dan lantai. Rupanya itulah contoh-contoh hasil rancangan ayah-anak Geppetto sejak pabrik ini berdiri, bahkan jauh sebelum Pinocchio si boneka kayu “lahir”. 

“Ayah, teman-teman, ayo kita gunakan mainan-mainan ini…!” Pinocchio berlari menghampiri hamparan karya-karya mereka tepat saat para pengejar berhasil menyusul. Kini, empat manusia bukan petarung ini harus menghadapi puluhan pria bersenjata ditambah seorang penyihir sakti. 

“Keledai-keledai yang lari terpojok antara dua pilihan, menghamba atau mati jadi tumbal ritual ilmu hitam. Tapi kali ini beda, pilihannya adalah mati dan mati,” ujar Sang Kusir, diikuti tawa sadis para anak buahnya. “Untunglah ruang ini belum terbakar, ini akan jadi bahan bagus untuk alibi ‘kecelakaan kerja’!”

“Jangan senang dulu, Pak Kusir! Kami punya kejutan manis di sini!” Pinocchio lantas berdiri di tengah-tengah ruangan, merentangkan tangannya dan merapal semacam mantra, “Tubuh kayu tak berjiwa, pada cahaya datanglah. Peri Biru beri nafas nyawa, saudara-saudaraku bangkitlah!” 

Dan keajaiban terjadilah. Hampir semua mainan di ruang bawah tanah itu bergerak dengan sendirinya keluar dari rak-rak dan meja pajangan, melangkahi lantai. Inilah “pasukan saudara-saudari Pinocchio”, para boneka kayu, kuda-kudaan, bahkan prajurit mainan yang siap dengan senapan masing-masing. 

“Hahaha! Pasukan aneh dan lucu, pantasnya dihancurkan seperti belalang! SERBU! Habisi mereka semua!” Perintah Sang Kusir itu bagai melepas kekang sekumpulan serigala ganas yang langsung menerjang ke arah sekawanan domba. 

Para mainanpun menyerang. Karena tak mungkin ada peluru dari senapan kayu, yang terjadi adalah benturan kayu dengan pedang, besi, kayu dan tubuh manusia. Para prajurit bayaran mencoba memotong kayu dengan senjata-senjata tajam dan mematahkannya dengan pentungan dan palu. Namun bahan kayu ek pilihan bermutu tinggi pada mainan-mainan itu hanya jadi tercacah saja, tak patah sekali pukul.

Yang lebih mengerikan, seorang prajurit bayaran berhasil memenggal kepala satu boneka kayu. Gilanya, boneka itu tetap bergerak cepat, kedua kakinya menendang tulang kering pria bertubuh besar itu hingga tumbang dan tertelungkup di lantai. 

Para mainan hanya memukul dan tak sampai membunuh, namun jumlah mereka yang lebih banyak mampu membuat para tentara bayaran kewalahan. Tak tahan jadi bulan-bulanan mainan, para lelaki yang rata-rata bertampang berangasan itu lari kocar-kacir meninggalkan medan pertempuran. 

Salah satu tentara itu bahkan berteriak, “Aku dibayar bukan untuk ini! Lari!”

“Hei, kembali kalian, pengecut! Siapa bisa menghabisi Pinocchio akan kubayar tiga kali lipat!” Percuma. Seruan Sang Kusir tak mampu menyurutkan langkah orang-orang yang kesetiaannya sebatas uang itu. “Grrh, dasar tak berguna! Tak apa, biar kutuntaskan ini sendirian! Rasakan musuh terbesar kalian, pasukan kayu, Badai Lautan Api!” Tangannya terulur, api tersembur dan menyebar luas ke depannya. 

“Semua berlindung!” seru Geppetto. Pinocchio dan kedua temannya bereaksi cekatan, sembunyi di balik rak dan meja terdekat. 

“Saudara-saudaraku, berlindunglah!” teriak si mantan boneka kayu. Namun para mainan malah membentuk pagar betis. Para prajurit kayu menutar-mutar senapan mereka seperti kincir angin, diikuti para mainan lain dengan senjata masing-masing. Boneka-boneka yang tak bersenjata berputar-putar seperti gasing, berharap menepis api dengan angin yang mereka timbulkan.

Empat mainan terkena serangan telak dan terkapar dalam keadaan hangus. Lalu, dari balik “barikade”, tiga boneka yang menunggang kuda-kudaan kayu berderap amat cepat, menerjang musuh. 

Clive Barker si penyihir digdaya terpaksa menghentikan apinya. Dengan gesit ia melecutkan cemeti yang tiba-tiba membara, membakar para penyerang tanpa ampun. 

“Hahaha! Dengan kekuatan baru dari tuanku, Mephistopheles ini, dendamku pasti lunas beserta bunganya!” sesumbar Sang Kusir melihat para mainan tak kuasa bergerak lagi. “Sekarang, habislah kalian semua!” 

“Masih ada mainan terakhir!” seru Pinocchio tiba-tiba. Tak disangka-sangka, dia, Cecilia dan Lentino memanfaatkan jeda saat badai api padam tadi untuk mendekat. Ketiganya lantas berjongkok, menekan bagian belakang kodok-kodok mainan mereka di lantai. 

“Terjang!” Jari-jari dilepas, ketiga kodok kayu melompat. Karena para mainan itu juga ikut jadi hidup, kecepatan dan kekuatan daya lompatan mereka jadi berlipat ganda, menghantam telak wajah dan tubuh Barker sebelum ia sempat menangkis dengan cemetinya yang berat. Begitu kuatnya hantaman itu, tubuh Barker sampai terpelanting dan jatuh tersuruk.

Memanfaatkan kesempatan ini, para mainan meringkus Barker dan menekannya kuat-kuat di tanah. Sang Kusir berusaha berontak, namun tindihan puluhan mainan berat membuatnya tak mampu bergerak lagi. 

Tepat saat itu pula, beberapa karyawan pabrik tiba di ruang bawah tanah bersama tiga orang berpakaian putih-putih dan mengenakan lencana berbentuk seperti orang merentangkan tangan, lambang sang dewa utama, Vadis. Salah satu karyawan melapor, “Pak Geppetto, kami sudah menangkap para penjahat yang lari dan baru tahu bapak di sini.” 

“Bagus,” jawab Geppetto. “Bagus sekali pula, anak-anak dan para mainan. Sekarang, biar para polisi sihir Vadis yang menangani Sang Kusir ini…”

Masih teringkus, Barker malah berseru, “Kalian pikir kalian sudah menang Geppetto, Pinocchio? Salah! Aku masih punya sihir terakhir! Kalian semua sudah terjebak!” Tiba-tiba seluruh tubuh Sang Kusir menebar hawa hitam pekat. Pinocchio yang menyadari “ilmu lama” ini berbalik lari sambil berseru, “Itu ilmu penyerap daya hidup! Larii!” 

Semua manusia dalam ruang bawah tanah itu lari sejauh-jauhnya ke arah pintu keluar. Energi kegelapan dari sang kusir lantas membentuk sosok salah satu dedengkot iblis bertanduk lima, Mephistopheles, siap diledakkan dan meluluhlantakkan seluruh ruang bawah tanah. 

Saat berikutnya, tiba-tiba semua mainan melepas cekalan mereka pada Sang Kusir. Dengan satu entakan, tubuh-tubuh kayu itu, baik yang masih utuh maupun hangus menggabungkan diri menjadi sosok seorang malaikat wanita bersayap amat lebar yang mirip…

“Peri Biru! Bunda!” teriak Pinocchio. Memang inilah taktik Galateia sejak awal. Bila kekuatan iblis Mephistopheles mewujud nyata, barulah Duta Dewata Vadis itu turun tangan dengan kekuatan penuh.
“Huh, lagi-lagi kau mengganggu rencanaku!” Sang Kusir bangkit dan bicara, namun suara yang keluar bukanlah miliknya. “Tak apa, biar kau musnah sekalian!” 

“Enyahlah kau, Mephistopheles! Meringkuklah kau bersama Vordac, Arachus dan para iblis lainnya dalam Alam Ketiadaan!” Sambil mengatakannya, sosok Peri Biru raksasa menekuk sayap-sayapnya, seolah memeluk si iblis hitam. Di saat bersamaan, wujud energi Mephistopheles meledakkan dirinya sendiri. 

Pinocchio menaikkan tangan, melindungi matanya. Walau demikian, ia masih melihat cahaya putih menyilaukan dari tubuh si peri kayu raksasa yang bertumbukan dengan hawa hitam, meredam energi lawan agar ledakan tak menyebar.

Beberapa saat kemudian, cahaya putih memudar, pudar dan akhirnya lenyap sama sekali. Sosok Galateia raksasa tercerai-berai, kembali menjadi mainan-mainan, benda-benda mati yang tergeletak di lantai. Di tengah hamparan itu tampak Sang Kusir, Clive Barker terkapar di lantai, kejang-kejang. 

Salah seorang polisi sihir berkata, “Nampaknya seluruh kekuatan api dan kegelapan dalam dirinya sudah lenyap. Orang ini bukan penyihir lagi, jadi ia akan dikenai hukuman biasa, dipenjara untuk waktu yang sangat lama.” Lantas ia dan dua rekannya membelenggu dan menggiring si penjahat meninggalkan tempat kejadian.
Pinocchio hanya terpaku melihat kepergian musuhnya – dan musuh semua anak – ini. Perasaannya belum sepenuhnya tenteram, apakah bahaya dari musuh-musuh lamanya ini sudah benar-benar berlalu? Atau kelak akan datang musuh-musuh lain yang lebih berbahaya? 

Sebagian jawabannya datang segera dalam wujud sahabat lama Pinocchio, Jiminy. Si kepala pelayan memasuki ruang bawah tanah pabrik dengan tertatih-tatih, tubuhnya penuh luka. Untunglah luka-luka itu sudah dirawat oleh para pelayan rumah sebagai pertolongan pertama sehingga tak membahayakan jiwa. 

“Tuan! Tuan muda! Syukurlah kalian berdua selamat,” seru si mantan jangkrik itu sambil tersenyum lega.
“Ya, berkat pinjaman kekuatan dari Peri Biru,” ujar Pinocchio. “Juga berkat kerjasama ayah, para sahabatku dan para karyawan pabrik ini. Tapi, bagaimana dengan Stromboli?” 

“Saat aku terdesak dan nyaris tumbang, tiba-tiba sepasukan polisi datang bersama sekelompok pengrajin mainan. Stromboli menuduh para sekongkolannya itu berkhianat, dan mereka balas menuduh Stromboli memeras mereka, maka terjadilah pertempuran. Akhirnya aku berhasil melumpuhkan si raja boneka itu, dan kurasa dia akan berbagi bilik penjara dengan Sang Kusir.” Pinocchio tertawa mendengar kalimat terakhir Jiminy itu. 

Tiba-tiba wajah Pinocchio kembali muram. “Kita memang selamat dari bencana hari ini, tapi bagaimana dengan lain kali? Aku tak mau membahayakan ayah dan teman-temanku lagi. Mungkin sebaiknya aku pergi berkelana saja…”

Yang menyela Pinocchio kali ini adalah suara yang merdu dan lembut milik Galateia, Sang Peri Biru. “Kau tak perlu pergi, Pinocchio. Ayahmu, pabrik Geppetto dan para sahabatmu masih sangat membutuhkanmu. Lagipula kau masih harus menyelesaikan sekolah.”

“Tapi kekuatan dan bakat yang kumiliki sekarang bisa jadi bakal mendatangkan musuh-musuh baru, juga bencana yang entah bakal separah apa.” 

Peri Biru membelai rambut hitam Pinocchio dengan penuh kasih. “Jangan takut, anakku tersayang. Segala makhluk di Everna diciptakan dengan takdirnya masing-masing. Apalagi dirimu, boneka kayu yang memenuhi takdirmu menumpas kekuatan gelap dan menjadi manusia sejati. Bunda yakin, kau akan makin kuat, makin tegar dan menajdi pelindung dan panutan bagi orang banyak. Seorang pahlawan sejati.”

Wajah Pinocchio berubah cerah kembali, hatinya kini penuh keyakinan. Ia lantas menatap ayahnya, Geppetto, sahabat-sahabatnya Jiminy, Lentino dan Cecilia yang balas tersenyum padanya. Pinocchio lantas menoleh kembali ke arah ibu penciptanya, Galateia, namun Sang Peri Biru telah menghilang dari pandangan. Ia menduga-duga apakah orang-orang dalam tempat itu sempat melihat sosok dewata itu tadi, lalu mengurungkan niat untuk membahasnya lebih lanjut. 

Pinocchio melangkah keluar dari ruang bawah tanah dengan satu keyakinan bahwa petualangannya akan terus berlanjut, mewarnai hari-hari si mantan boneka kayu.

Dan hidupnya akan menjadi mahakarya yang paling indah dan sempurna.

Galateia Ratu Peri Cahaya, salah seorang Duta Vadis di Everna. Disebut pula Peri Biru karena selalu berpakaian serba biru muda berpadu putih. Menjadi Duta Vadis karena Galateia berjasa mendukung para pahlawan menumpas Mephistopheles. 

Mephistopheles Raja Iblis Kegelapan, salah seorang Duta Adair di Everna setelah Arachus. Lalu, seperti Vordac ia memberontak. Akhirnya ia tumpas di tangan Galateia dan para pahlawannya.

Sumber-sumber gambar: 
Atas: Pinocchio versi Boneka Jepang: www.peakswoods.com

No comments:

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia