Judul : Chiru’un, Disciples of Luan (Si gadis dari Padang Rumput Suku Selatan)
Penulis : Tasfan
Editor : Ratna Mariastuti
Korektor : A.S. Sudjatna
Sampul : Moon Eclipse Studio
Cetakan : Pertama, Mei 2012
Penerbit : DIVA Press
Sekitar empat tahun yang lalu (2008), jagad fiksi Indonesia sempat dihebohkan oleh novel Tanril
, sebuah novel semisilat-fantasi yang ditulis dengan sangat apik oleh Nafta Shintiel Meika.
Tanril begitu
memuaskan pembaca yang mengharapkan adanya gebrakan baru dalam dunia
fiksi-fantasi lokal sehingga inilah satu di antara sedikit fiksi fantasi
lokal yang mendapat bintang empat di Goodreads. Kalau saja bukan karena
model
lay out-nya yang memusingkan mata karena setiap dialog
dicetak miring semua, tentu banyak yang akan memberi nilai hampir
sempurna. Untungnya, penulis tidak berlama-lama menghilang, ia muncul
kembali dengan prekuel dari
Tanril, yang mengisahkan apakah
Luan itu (yang menjadi sesuatu yang begitu misterius di
Tanril), apakah
Dao Di itu, dan mengapa pergerakan takdir bisa sedemikian cepat di padang-padang rumput selatan dan Zirconia.
Kisah diawali dengan munculnya Suku Selatan yang menguasai dunia bagian
selatan dengan lima konfederasinya. Salah satunya adalah Konfederasi
Bayu yang memiliki tugas melindungi sebuah suku suci penjaga rahasia
suci alam semesta yang konon telah ada bahkan sebelum Dewa Maha Kuasa
dan Maharaja Dunia Clem muncul. Rahasia itu bernama
luan, dan
inilah kisah tentang rahasia itu. Adalah Chiru’un, seorang gadis kecil
bandel yang bersama delapan gadis lainnya dari Suku Selatan telah
terpilih sebagai para pewaris
luanyang selanjutnya. Mereka semua dikumpulkan oleh Sang Wanita Suci Penguasa
Luan,Anbelle yang bertugas menjaga cahaya pelangi suci,
luan itu sendiri.
Manusia hidup mengabdi pada kewajiban
Karenanya hatinya sesungguhnya
Lebih tinggi dari gunung
Lebih dalam dari lautan
Karena jiwanya sesungguhnya murni
Hanya terlihat setelah tempaan dan beban
Ia bisa mengatasi segalanya dan melepas segalanya
Itulah inti dari jalan pelangi
Sembilan
anak suci itu kemudian dikumpulkan dan dididik di Balai Bayourunaa,
sebuah bangunan biara di tengah padang rumput tempat Anbelle, sang Tetua
Tertinggi Penguasa tinggal. Di tempat inilah Chiru’un dan delapan gadis
lainnya ditempa, baik fisik, pikiran, dan terutama hati mereka dalam
jalan pelangi. Tidak ada asal-usul, atau karakter, atau perbedaan fisik
atau apapun yang dipertahankan disini, mereka semua adalah sama, sesama
saudari yang diikat oleh tali pelangi yang menyatukan mereka. Hari-hari
dijalani dengan berlatih menyulam dan bersemadi, masuk ke alam pelangi
itu sendiri. Dari yang semula hanya menjahit dengan benang biasa,
akhirnya sembilan pewaris
luan itu bisa mengeluarkan benang-benang cahaya sewarna pelangi dari jari mereka. Inilah wujud
luanyang paling dasar.
Segera saja, mereka larut dalam kegembiraan. Segera saja, mereka
berlomba menghasilkan aneka bentuk benang-benang cahaya yang mampu
menipu mata dan bisa digunakan untuk melihat cahaya tak kasat mata. Saat
itulah Chiruun mampu memahami potensi besar dalam diri, sebuah luapan
energi besar yang harus disalurkan dan dijalankan dengan semestinya,
yakni dengan belajar
luan. Dan hari demi hari, tahun demi
tahun, pelajaran dan didikan diberikan oleh Anbelle dengan segenap
kesabaran dan pengetahuan dalam dirinya. Begitu rupa penulis
menggambarkan masa delapan tahun pelajaran mereka, lengkap dengan
karakterisasi yang sangat kuat dan jalinan cerita yang rumit hingga
akhirnya datanglah masa-masa menjelang prahara. Kesembilan penerus
luan harus
bersiap. Di depan mereka, terbentang masa yang penuh marabahaya yang
hanya bisa diatasi oleh jiwa yang pemberani dan memiliki bekal untuk
menggunakan pengetahuan
luan. Lalu, bisakah Chiruun dan delapan kawannya lulus sebagai para penguasa
luan? Bagaimana nasib dunia dan suku selatan selanjutnya? Semuanya bergantung pada penguasaan dan pemahaman mereka akan
luan itu.
Chiru’un--dengan
jumlah halaman yang lebih dari 500--kurang menampilkan episode-episode
khas dari sebuah fiksi fantasi (yakni pengantar, pemicu, konflik, dan
penyelesaian). Alurnya mungkin bisa dibilang datar dan agak membosankan
karena hampir tidak ditemukan adegan tentang perang secara fisik.
Penulis rupanya lebih menonjolkan pengembangan karakter serta konsep
antropologis dari bangsa Suku Selatan dan bangsa-bangsa di sekitarnya.
Lebih dari itu, penulis bahkan menciptakan bahasanya sendiri,
sebagaimana Tolkien. Lebih hebatnya lagi, walaupun bahasa itu rekaan,
tapi penulis menyusun kosakatanya secara konsisten, tidak asal comot
atau merangkai huruf tak bermakna. Bahasa dalam
Chiru’un begitu
metodologis, yang hampir-hampir membuat pembaca percaya bahwa bahasa
itu ada. Novel ini juga secara mendetail membahas tentang aspek-aspek
geografis dan terutama ciri-ciri fisik dan budaya dari bangsa-bangsa
yang berdiam di dunia rekaannya. Sungguh, hampir-hampir novel ini bisa
menjadi rujukan antropologis dari dunia fantasi yang diciptakan oleh
sang penulis.
Sebagaimana saya bilang di atas, alur
Chiru’un begitu
lambat dan hampir-hampir datar. Hal ini berbahaya karena dapat membuat
pembaca bosan dan langsung melempar buku ini ke rak. Tapi anehnya, buku
ini sama sekali tidak membosankan. Kepiawaian penulis dalam merangkai
kata dan kalimat adalah sangat luar biasa, hampir-hampir membuai bak
seorang tukang cerita yang kehadirannya sendiri sudah mempesona pembaca.
Kita akan diajak ke dunia
Luan, belajar tentang diri sendiri
dan juga orang lain, serta karakter-karakter manusia pada umumnya. Aneka
nasihat dan nilai kehidupan disampaikan dengan begitu bagusnya, dengan
typo yang minim dan model penceritaan yang sangat rapi dan menyenangkan.
Banyak
orang di dunia ini mengalami penderitaan dan kesusahan. Tapi, di kelak
hari, mereka melihat derita dan kesusahan itu sebagai kenangan indah.” (hlm 169)
“Apakah
kalian memahami rahasia alam semesta ini: bahwa kebahagiaan sejati
tidak ditemukan di masa lalu atau masa depan, melainkan di masa kini.” (hlm 521)
Begitu banyak pelajaran tentang kehidupan dalam novel ini, saya sendiri
sampai terpaku melihat betapa piawainya penulis bertutur tanpa terkesan
menggurui, betapa hal-hal besar itu dapat disampaikan melalui sebuah
cerita fiksi-fantasi tanpa menghilangkan alur cerita ataupun mengubahnya
menjadi sebuah buku motivasi populer. Dan, bagi pembaca yang telah
terlebih dulu terpesona dengan
Tanril, maka
Chiru’un akan membuat keterpesonaan itu kian lengkap. Akhirnya, apakah
luan itu?
Apakah yang dimaksud dengan jalan pelangi itu? Bacalah dan Anda akan
paham bahwa dalam diri masing-masing insan selalu ada pelangi yang akan
mengusir awan kelap dalam jiwa.
“
Luan
adalah sinar pembimbing hidup kami. Jalan jiwa dan jantung hati kami.
Anyaman kasih dan harapan kami. Cahaya kami. Sekarang, dan selamanya.” (hlm 516)
Selamat berpetualang dalam
luan.
Resensi oleh: Dion Yulianto
Sumber: http://www.facebook.com/notes/dion-yulianto/chiruun-disciples-of-luan-si-gadis-dari-suku-selatan/477278415621213
No comments:
Post a Comment