11 tahun kemudian
Nurul telah beranjak menjadi gadis remaja, dan telah pindah ke sebuah kota besar. Ia mendapat pekerjaan sebagai seorang reporter sebuah televisi swasta yang terdapat di kota itu. Walau begitu, ia masih tetap tidak dapat melupakan kejadian masa kecilnya; Ketika tidur, kadang ia bermimpi sedang berjalan di antara pepohonan di pinggir desanya, mencari Soleh dan teman-temannya. Dan akhirnya masa lalunya itu kembali menghampirinya.
Pada suatu hari yang cerah di bulan November, tepatnya 1 hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-18, ia mendapat sebuah tugas dari atasannya, untuk meliput sebuah kejadian aneh pada sebuah desa. Nurul sangat terkejut ketika mendengar nama desa tempat kejadian itu terjadi.
“De.. Desa Sumur Batu ? Me.. memangnya, ada kejadian apa, Pak ?”
“Ada beberapa orang turis yang sedang berkunjung ke desa tersebut, yang sepertinya menghilang. Sudah 2 hari mereka tidak berada di tempat penginapan, dan penduduk desa juga mengatakan tidak pernah melihat mereka selama 2 hari itu. Coba kamu cari berita mengenai masalah ini.”
“Apa polisi sudah melakukan penyelidikan ?”
Atasannya itu termenung sesaat, lalu menjawab, “Itulah yang aneh. Sepertinya di desa itu tidak ada polisi sama sekali, dan penduduk desa juga agak aneh. Mereka seperti.. menyembunyikan hal ini dari pihak luar. Aku sendiri mendapat laporan mengenai kejadian ini, dari seorang rekan saya yang kebetulan singgah di desa itu.”, lalu atasannya menengok kepada Nurul sambil berkata, “Nurul, kamu jangan mengatakan kepada mereka, kalau kamu seorang reporter ! Mereka pasti tidak akan mengatakan apapun jika kamu mengaku sebagai wartawan.”
Mendengar itu, Nurul hanya bisa mengangguk sambil menjawab, “Baik Pak, saya mengerti.”
Ketika sedang berjalan di lorong studio, ia termenung memikirkan hal itu.
“Desa Sumur Batu, desa tempat asalku dahulu. Dan kejadian yang sama seperti yang dulu menimpa Soleh, kembali terjadi lagi disana. Kali ini, aku tidak akan melarikan diri lagi.
Aku akan menyelidikinya, dan mencari tahu rahasia apa yang disembunyikan para penduduk !”
Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-18, pagi-pagi benar Nurul sudah berangkat menuju Desa Sumur Batu, desa tempatnya berasal; Bukan untuk merayakan hari ulang tahunnya, melainkan untuk tugasnya sebagai reporter, sekaligus untuk menyelidiki kejadian pada masa lalunya.
Setelah melalui perjalanan melelahkan naik bis melewati daerah pegunungan, akhirnya Nurul sampai juga di Desa Sumur Batu. Matahari sudah berada pada puncaknya, ketika Nurul turun dari bis yang membawanya. Nurul memperhatikan sekelilingnya, lalu menarik nafas dalam-dalam.
“Akhirnya aku kembali kemari. Abah, emak, bagaimana keadaan kalian ?”
Lalu Nurul berjalan memasuki desa. Tampak olehnya beberapa pemuda desa sedang mencangkul sawah mereka, sementara yang lainnya menebang pohon. Ada juga anak-anak sekolah berlari-lari di pematang sawah, sepertinya baru pulang dari sekolah. Nurul berhenti sejenak, tersenyum.
“Semuanya tidak berubah, masih seperti dulu ketika aku meninggalkan desa ini.
Kira-kira, apa ada yang masih ingat denganku ya ?”
Akhirnya Nurul sampai di sebuah rumah penginapan tempatnya tinggal selama beberapa hari. Seorang kakek tua yang sudah agak bungkuk, menyambutnya dengan ramah dan sopan.
“Apakah Anda datang dari kota ? Selamat datang di desa kami, Desa Sumur Batu. Penginapan ini memang kecil dan sangat sederhana, tapi saya harap Anda bisa kerasan disini.”
Setelah berkata demikian, kakek itu mengantar Nurul menuju kamarnya. Ketika kakek itu hendak pergi, Nurul bertanya, “Kakek, maaf, tapi bolehkah saya menanyakan sesuatu ?”
Kakek itu berhenti, lalu menengok sambil tersenyum ramah.
“Apa yang hendak ditanyakan ?”
“Saya dengar, sejak beberapa hari yang lalu, ada pengunjung seperti saya yang menghilang. Apa kakek mengetahui sesuatu ?”
Mendengar pertanyaan Nurul, wajah kakek itu langsung berubah; Senyumnya menghilang, dan berganti dengan wajah marah.
Lalu, sambil berjalan pergi, beliau menjawab, “Saya tidak tahu apa-apa !”
Nurul terpana beberapa saat melihat perubahan sikap yang begitu mendadak dari Sang kakek pemilik penginapan. Lalu akhirnya ia duduk sambil menggelengkan kepala.
Tempat pertama yang dikunjungi Nurul adalah rumahnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat rumahnya dalam keadaan rusak dan tidak ditinggali lagi. Kepada seseorang yang kebetulan lewat di situ, Nurul bertanya, “Maaf Pak, orang yang dulu tinggal disini pindah kemana ?”
Laki-laki setengah baya yang membawa cangkul itu memperhatikan Nurul dengan tajam.
“Kamu orang luar ? Jangan berbuat macam-macam, kalau nggak ingin ‘menghilang’ seperti yang kemarin itu !”
Mendengar jawaban itu, Nurul untuk kedua kalinya terkejut. Sementara orang itu melanjutkan perjalanannya.
“Kenapa mereka sepertinya nggak suka dengan orang luar ?
Lalu, apa yang terjadi dengan keluargaku ?”
Nurul menarik nafas panjang, lalu pergi menuju pinggiran desa, tempat terakhir ia melihat Soleh. Ketika melihat sebuah pohon besar, sekilas ia teringat akan hari itu.
“Kalau aku tidak terpilih jaga pertama, apakah aku juga akan menghilang ?”
Tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya, “Hey kamu, ngapain kamu disitu ?!”
Nurul menengok, dan melihat seorang pemuda desa bertelanjang dada dengan membawa cangkul, dan sebuah handuk dekil tersandang di pundaknya, berdiri menatapnya dengan pandangan tajam.
“E.. eh, saya hanya...”
“Itu tempat yang nggak boleh dimasukkin, apa kamu nggak tahu ? Cepat pergi !”
Nurul terkejut, “Tempat yang nggak boleh dimasukkin ?”, lalu ia berlari mendekat ke arah si pemuda tersebut, “Kenapa ?”
Ditanya seperti itu, wajah pemuda tersebut tampak kebingungan.
“Yah, kalau kamu tanya sih, aku juga sebenarnya nggak tahu. Menurut abah, dulu disini pernah ada yang ilang disembunyikan setan, jadi aku nggak boleh ke sana.”
Mendengar itu, Nurul terdiam. Ia sadar, bahwa yang dimaksud ‘ilang disembunyikan setan’ pasti-lah Soleh dan kawan-kawannya.
Tiba-tiba pemuda itu bertanya lagi, “Eh, apa kamu orang dari luar desa ?”
“I.. iya, memangnya kenapa ?”
Reaksi pemuda itu sangat berbeda dengan orang-orang yang sebelumnya ditemui Nurul; Pemuda itu tersenyum gembira.
“Wah, aku senang banget bisa ketemu orang luar. Apa kamu dari kota ? Ceritakan dong, kota itu kayak apa sih ?”, lalu sambil menggaruk bagian belakang kepalanya, ia berkata, “Maklum aja, aku dari lahir nggak pernah keluar dari desa ini.”
Nurul-pun tersenyum, “Boleh saja. Tapi kamu juga harus menceritakan mengenai desa ini ya ?”
Pemuda itu mengajak Nurul ke sebuah rumah gubuk kecil di pinggiran desa.
“Inilah rumahku. Memang kecil, tapi yah... memang beginilah keadaanku. Disini aku tinggal bersama dengan emakku yang udah tua, karena abah mati setahun yang lalu.”
Ketika pintu dibuka, dari dalam rumah terdengar suara, “Ali, apa kamu udah pulang ?”
“Iya emak, kebetulan hari ini kerjaan cepat selesai. Dan, aku bawa tamu nih.”
Di dalam rumah itu, Nurul melihat seorang wanita tua dengan rambut yang hampir seluruhnya sudah memutih, berwajah keriput, dan memakai baju yang sudah agak kumal. Dengan berjalan tertatih-tatih, ia mendekati mereka.
“Aduh Ali, kenapa kamu membawa gadis cantik ini ke gubuk kita ?”, lalu wanita tua itu menengok ke arah Nurul, “Maaf ya, anak ini memang suka seenaknya saja. Tempat ini nggak cocok untuk gadis secantik kamu.”
Sambil tersenyum, Nurul menjawab, “Nggak apa-apa kok. Dulu waktu masih kecil, saya juga tinggal di tempat seperti ini.”
“Eh ?”, wanita tua itu memperhatikan Nurul, “Jadi kamu.. bukan berasal dari kota ?”
“Sekarang saya memang tinggal di kota besar, tetapi ketika kecil saya tinggal di desa.”
“Oh, begitu.”, lalu wanita tua itu tertawa, “Kalau gitu, silahkan ngobrol dulu dengan Ali. Saya akan menyiapkan hidangan.”
Lalu wanita tua itu membalikkan badan sambil terbatuk-batuk. Sementara Ali, si pemuda tersebut, telah menyiapkan sebuah bangku untuk Nurul.
“Silahkan duduk. Maaf kalau rumah ini berantakan, karena nggak ada yang ngurus.”
Setelah Nurul duduk, Ali langsung menanyakan banyak hal mengenai kota. Ketika Nurul bercerita, Ali mendengarkan dengan penuh semangat. Dan akhirnya, tiba giliran Nurul yang bertanya mengenai desa tersebut.
“Aku dengar, katanya beberapa hari yang lalu, ada beberapa orang dari luar desa yang hilang ya ? Sebenarnya, gimana kejadiannya ?”
Ali terdiam sejenak, lalu menjawab, “Kayaknya orang-orang itu masuk ke dalam daerah terlarang tadi. Dan sejak itu, tidak ada seorang-pun yang melihat mereka lagi. Kenapa kamu tertarik dengan hal itu ?”
“Ah, itu...”, Nurul berusaha mencari alasan yang tepat, “... karena hal itu sepertinya menarik. Aku ini seseorang yang menyukai misteri, jadi rasanya penasaran kalau ada kejadian seperti itu.”
Tiba-tiba wanita tua ibunda Ali menyeletuk, “Penasaran sih boleh-boleh aja, tapi kalau tidak ati-ati, nanti bisa ilang juga kayak mereka ! Pokoknya, jangan masuk ke daerah terlarang itu !”
Nurul-pun mengangguk, “Tenang saja, saya akan ingat nasehat Anda. Saya tidak akan masuk kesana.”
No comments:
Post a Comment