Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

05 November 2011

Topeng Monyet

Sumber foto Topeng Monyet dari artikel ini (Link)

“Sarimin pergi ke pasar.”

Suara itulah yang sayup-sayup terdengar di jalan kecil itu, tenggelam dalam hiruk-pikuk kendaraan dan orang berlalu-lalang.

Di depan sebuah ruko duduklah seorang pria tua yang sedang sibuk menarik-ulur rantai. Wajah keriputnya tampak lesu setelah didera panas matahari sepanjang hari itu.

“Sarimin jualan buah di pasar.” Rupanya ialah yang berseru tadi.

Seekor kera terbelenggu di ujung rantai, memanggul pikulan kayu mainan dan berjalan dengan lincahnya. Tak hanya itu, ia bahkan meloncat lewat ring yang dipegang pak tua. Si kera lalu menaruh pikulan di atas sebuah sepeda motor mainan dari kayu, menaikinya dan mengayuhnya selayaknya pengendara sungguhan.

Tak seorangpun penonton menyaksikan ini. Orang-orang yang lewat berlalu begitu saja tanpa menoleh. Bahkan anak-anak yang selalu nonton gratis malah berkerumun di warnet tak jauh dari sana.

Tak lama, pak tua menyimpan kembali semua peralatannya. Ia lalu bersandar di dinding sambil menghitung uang recehan di telapak tangannya.

“… Dua ribu empat ratus. Lagi-lagi hari sepi ya, Sarimin,” ujarnya pada kera di pangkuannya itu.

“Iya. Puasa lagi deh kita.”

Kera itu… bicara.

Mungkin pak tua punya keahlian bicara lewat perut, tepatnya bicara tanpa menggerakkan bibir seolah-olah benda atau makhluk di dekatnyalah yang bicara.

Sayang, tak pernah pak tua mengecap panggung hiburan dengan atraksi ventriloquist dipadu keahlian akrobatik keranya itu. Bisa jadi karena ia kurang rupawan, tak cukup berbakat bicara untuk menarik hati penonton, kurang memodali peralatan yang lebih enak dilihat dan segudang alasan lainnya yang, tentu saja, mengada-ada. Jadilah ia hidup sebatang kara, melarat dan renta bersama kera di sisinya, satu-satunya sahabatnya.

Dengan tersenyum pak tua merogoh saku celana lusuhnya, mengambil sebuah pisang yang sudah terkupas kulitnya dan isinya tinggal sepertiga. Langsung saja si kera meraih pisang itu dan memakannya sampai tak bersisa.

“Bukan kita. Saya,” ujar pak tua, membelai hewan itu penuh kasih selayaknya anaknya sendiri. “Ayo, kita pulang.”

Saat pak tua hendak bangun, tiba-tiba sesosok pria menghadang tepat di depannya. “Eit, tunggu dulu!” hardiknya, lalu menggosok dua jari tepat di wajah pak tua. “Biasa, setoraan!”

“Ampun, bang. Yang ada aja nggak cukup buat makan. Besok aja ya.”

“Aah, basi! Dari dulu juga bilangnya gak cukup. Gak bisa! Siapa suruh nongkrong di sini, daerah kekuasaan gue, Brutus! Kasi duit, kalo nggak, gue BERI!”

Tiba-tiba Brutus melayangkan tinjunya. Pak tua menjerit, “AMPUUN!” sambil memejamkan mata. Sesaat kemudian, ia tak merasakan apa-apa. Dibukanyalah matanya, menatap bogem mentah si pemuda sangar tepat di ujung hidungnya.

Melihat pak tua berdiri mematung dan gemetar, si preman mendengus, “Hee, diam aja! Mau nantang gue, hah? Beneran…”

Tiba-tiba pak tua merengkuh dadanya. Wajahnya meringis, lalu ia membungkuk.

“Eh? Apaan lu? Pura-pura sakit? Emangnya gue bisa dikibulin tipuan murahan begitu? HUH!” Didorongnya tubuh renta itu hingga membentur tembok dan terduduk di trotoar.

“Bah, langsung teler dia. Payah!”

Segelintir orang yang kebetulan lewat melihat aksi brutal itu, namun mereka malah menjauh buru-buru. Rupanya Brutus sangat ditakuti di daerah itu. Karena itulah, pria yang sekujur tubuhnya penuh tato itu melenggang santai, menghampiri pak tua.

Saat tangannya terjulur untuk merogoh saku, tiba-tiba si kera meloncat ke pangkuan majikannya, mencakar-cakar menyeringai, memperlihatkan taring-taringnya yang panjang nan runcing. “Eeh! Monyet sialaan!”

Mendadak sebuah seruan bergema, “PENGECUT!”

Si preman terpaku lalu menengok kiri-kanan sambil berteriak, “SIAPA ITU! CARI MATI LU! Siapa yang pengecut!”

“Ya kamu! Pengecut! Beraninya menyiksa yang lemah.”

Brutus menoleh lagi, wajahnya langsung pucat dan bicaranya tergagap, “L-lu yang ngomong?”

“Tolong… Tolong… Jantung…” giliran kera itu bicara terbata-bata.

Bibir si kera tak bergerak saat bicara. Brutus yang cukup jeli melihat ini tersenyum sinis.

“Huh, Cuma bicara lewat perut saja. Gertakan basi!”

Sambil berujar, si preman menyeruak maju dan menyingkirkan si kera dengan tangan kekarnya. “Minggir, lu!” teriaknya.

Kini tangannya sibuk merogohi kantung celana lusuh pak tua dan mengeluarkan uang recehan dari sana.

“Gile, bener-bener kere nih orang! Biar mati aja! Rugi gue ngurusin dia!”

Pak tua terus tertunduk, tak bergerak sama sekali. Pasrah, mungkin?

Tak peduli, si preman bangkit berdiri dan bersiap hendak pergi. Tubuh ringkih pak tua tiba-tiba limbung dan jatuh di trotoar, tergeletak seperti boneka rusak.

Pak tua telah meregang nyawa.

Saat Brutus melangkah meninggalkan tempat itu, tiba-tiba si kera menerjang ke arahnya. Dengan refleks ia menghindar. Si kera langsung menerjang lagi dengan lincahnya.

“Monyet gila! Biar lu gue kirim nyusul majikan lu!”

Brutus melepaskan serangkaian tendangan dan tinju dan semuanya hanya mengenai udara.

Mendadak si kera menerjang secepat kilat tepat kea rah wajah si preman. Sebelum bisa menghindar, kera itu terlanjur membenamkan taring-taringnya di lehernya.

Sambil berteriak kesakitan, Brutus malah menarik paksa hewan itu hingga lukanya malah melebar. Habislah sudah. Karena satu kesalahan si kekar roboh tertelungkup. Darah kentalnya mulai menggenang di trotoar.

Dengan sisa tenaganya Brutus menegadah, menatap ke tubuh renta tak bernyawa di depannya, yang sesaat lagi akan ia susul ke akhirat.

Pandangannya melamur. Dengan setitik kesadaran dan nafas yang tersisa dilihatnya si kera berdiri tepat di depannya dengan mulut berlumuran darah. Hewan itu… bicara, “Rasakan balasanmu, bodoh. Kau kira tadi itu majikanku yang bicara lewat perut?”


Cerpen oleh : Andry Chang
Jakarta, September 2011

No comments:

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia