Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

12 August 2018

VYRATH Vimana - Andry Chang



V  I  M  A  N  A
Andry Chang

“Cepat lari, ibu, Raka! Jangan sampai terlanda lahar atau menghirup asap beracun!” seruku.
Repotnya, aku harus melambatkan lariku agar ibu dan adik laki-lakiku tak tertinggal. Tentunya, kugandeng tangan mereka berdua agar setidaknya kecepatan lari mereka tak terpaut jauh lebih lambat daripadaku.
Sesekali, aku mendengar teriakan pilu di belakangku.
Sesekali, aku menoleh ke belakang dan melihat satu-dua orang roboh dengan mulut berbusa atau terjegal lumpur merah membara.
Walau mereka bukan ibu atau adikku, wajahku meringis menahan pedihnya rasa hatiku.
Suara gelegar kembali membahana. Itu letusan gunung api susulan.
Tiba-tiba kurasakan tarikan di tangan kananku. Dengan sigap kulepaskan gandengan tangan kiriku dengan Raka, lalu melambai sebagai isyarat agar ia terus berlari.
 “Kau larilah terus, Thya!” seru ibuku dengan napas terengah-engah. “Jangan sampai gara-gara ibu, kau dan Raka...!”
Tak sempat berdebat lagi, kugendong saja ibu di punggungku dan kembali berlari.
“Jangan, Thya! Turunkan ibu, nanti kau...!”
Aku takkan bisa memaafkan diriku lagi bila gagal menyelamatkan ibu. Namun yang kutakutkan adalah, jangan-jangan ibu benar. Napasku mulai terasa sesak dan kaki-kakiku terasa makin gerah. Salah melangkah atau berhenti, dua nyawa akan langsung melayang.
Tak ada pilihan, kupaksakan diriku mengerahkan lebih banyak tenaga untuk berlari lebih cepat lagi. Apapun tak kuperhatikan lagi.
Aku baru bisa bernapas lega saat lahar dan kabut tak lagi menjangkau kami. Namun, itupun setelah aku tersadar dari kelelahan yang jauh melampaui ambang batas manusiawi.
“Ah, syukurlah kakak kembali pada kami.” Wajah Raka yang pucat kembali merona oleh semangat baru. “Andai kakak tak bangun lagi selamanya, kami...”
Kusela dia dengan suara yang masih lemah. “Kaulah yang akan menjaga ibu dan bertahan hidup. Pria Negeri Dwipala pantang mengeluh, apalagi menitikkan air mata! Kulit kita memang sawo matang, tapi darah kita tetap sama-sama merah dengan manusia paling perkasa sekalipun!”
Raka hanya tertunduk dan mengangguk. Walau mulai beranjak remaja, ia masih saja bersikap bagai bocah. Agak beda dengan diriku, gadis yang hanya tiga tahun lebih tua darinya. Aku harus jadi pengganti ayahku yang gugur dalam perang sebagai tulang punggung keluargaku ini.
“Tapi bagaimana kita akan melanjutkan hidup? Yang kita punya sekarang tinggal pakaian yang tersandang di badan. Apa kita akan kembali lagi ke desa kita yang telah hancur itu?” tanya ibu.
Aku menggeleng.
“Apa kita harus pindah ke daerah lain di Dwipala yang jauh dari gunung api, jauh dari resiko mendapat giliran kena bencana tahunan?”
“Daerah-daerah itu sudah padat penduduk,” kataku. “Kalaupun kita membuka lahan baru, kita harus membabat hutan dan menghadapi ancaman bencana-bencana lain, yaitu banjir dan tanah longsor. Doa-doa dan korban bakaran kita untuk Dewi Air, Ranaya ternyata tak cukup untuk meredam bencana kali ini, sehingga kitalah yang jadi korban akibat dosa-dosa warga negeri kita!”
Raut frustrasi Raka tergurat nyata di parasnya. “Lantas kita harus tinggal di mana?”
Aku terdiam cukup lama. Lalu kujentikkan jariku. “Oh ya, aku baru ingat. Aku pernah mendengar tentang Voltuscant, sebuah benua tepat di titik tengah dunia kita, Vyrath. Itu adalah benua kecil yang seluruh wilayahnya adalah sebuah kota.”
Raka mendelik bingung. “Vol-tus-cant?”
“Ya. Konon, berkat teknologi teramat canggih yang diajarkan Dewa Petir, Ohmae, bencana khas Voltuscant yaitu hujan halilintar selalu bisa diredam oleh penangkal-penangkal petir yang bertebaran di setiap sudut. Tak ada jalan lain, hanya di Voltuscantlah kita bisa hidup lebih tenang, bebas dari ancaman bencana.”

==oOo==

Mudah saja menebak hasil akhir perbincangan kami setelah letusan gunung api di Dwipala itu.
Dengan menumpang kapal pengungsi, aku, ibu dan Raka merantau ke Voltuscant.
Ternyata, teknologi di Dwipala dan ketujuh benua lainnya di Dunia Vyrath masih sebatas pedang dan panah dibanding pistol laser di Voltuscant.
Voltuscant sudah maju terlalu jauh berabad-abad dari masanya. Apalah daya kami, pendatang dari negeri kuda-gigit-besi ini untuk hidup layak di negeri ini?
Yang tersisa untuk kami hanyalah kerja kasar. Ibu berkeliling menjajakan masakan tradisional khas Dwipala, sementara aku dan Raka membantunya sambil belajar demi hidup yang lebih layak.
Aku sadar, berjualan makanan saja akan menumpulkan ilmu tenaga dalam dan kecepatan yang telah kuasah lewat perguruan silat di Dwipala. Jadi, kapanpun ada kesempatan selepas kerja dan belajar, aku selalu menyisihkan, kalau perlu mencuri waktu untuk berlatih lari dan ilmu beladiri.
Kurasa kebanyakan orang lain berpikiran sama denganku. Orang-orang yang sudah tak tahan lagi didera bencana di keenam benua lain di Vyrath lebih memilih memadati distrik-distrik pinggiran yang kumuh. Akibatnya, rumah-rumah dibangun bertumpuk-tumpuk dan amat padat, disangga tiang-tiang pancang baja dan menjulang hingga menutupi langit.
Nah, itulah caraku berlatih, yaitu dengan mendaki tumpukan-tumpukan rumah itu sampai ke puncak. Jadi, perasaanku baru lega saat aku menatap lagit berbintang atau matahari terbit di puncak ‘rak baja raksasa’ yang ternyata adalah menara penangkal petir ini.
Tak hanya itu, aku selalu melayangkan pandangan ke hutan gedung pencakar langit di Distrik Pusat di kejauhan. Setiap kali itu pula, aku jadi makin ingin tahu ada apa di Distrik Pusat itu, walaupun kami dari distrik-distrik pinggiran jelas-jelas dilarang masuk ke sana.
Hasrat yang jadi terlalu kuat itu akhirnya mendorongku untuk mencoba menyusup ke distrik pusat. Namun, tentu saja penjagaan yang amat ketat dengan dukungan sistem keamanan dan persenjataan canggih memupus niatku itu seketika. Keluargaku jelas jauh lebih penting daripada ‘rencana wisata gila’-ku itu.
Suatu hari, dalam perjalanan pulang setelah daganganku habis terjual, aku mendengar suara-suara teriakan dari sebuah gang buntu. Tanpa pikir panjang aku bergegas ke gang itu dan melihat seorang pria muda yang tengah dikeroyok oleh sedikitnya lima orang pria.
Pria itu tampak memar-memar dan berdarah-darah. Siapapun yang melihat itu pasti menduga ini aksi perampokan dan si pria malang adalah korbannya, lalu lari mencari selamat.
Bedanya, hanya aku yang cukup berani maju. Tanpa peringatan, aku melesat bagai bayangan dan memberondong salah seorang pengeroyok dengan tendangan dan pukulan. Ditambah satu hantaman telak di tengkuk, si perampok kubuat terkapar dan bergeming di tanah.
Tentu saja keempat penjahat lainnya sontak menoleh ke arahku. Si pemimpin berseru, “Beraninya kau ikut campur, gadis kecil! Kalian berdua, beri dia pelajaran selagi kami mengurus yang satu itu!”
Tak perlu diajari lagi, aku lantas berkelit kesana-kemari bagai belut. Gada dan tinju kedua lawanku itu hanya menerpa udara. Melihat pertahanan mereka terbuka lebar, aku melompat sambil menendang kepala lawan pertama. Lalu aku mendarat dan mendaratkan tendangan kedua di perut si lawan kedua.
“Kurang ajar!” Kedua penjahat yang terkena serangan itu jadi kalap. Salah satu dari mereka bahkan meninju perutku saat posisi berdiriku belum seimbang betul.
Giliran diriku yang terpental dan roboh. Aku cepat-cepat bangkit, namun kali ini aku hanya berdiri siaga. Para lawan ini bukan bandit-bandit kampung yang biasa jadi sasaran latihanku.
Para ‘penjahat’ kali ini malah terkesan jauh lebih berdisiplin, serangan emreka tampak rapi bagai sedang berbaris. Kini, kelima insan itu mendadak mundur teratur dan kembali membentuk barisan formasi tempur.
Aku terkesiap. Ternyata mereka bukan penjahat, melainkan prajurit yang menyamar.
Si komandan regu tampak babak-belur. Ia berseru, “Makan kapsulnya!”
Dengan sigap dan segera, kelima prajurit itu mengeluarkan masing-masing sebuah kapsul, lalu langsung menelannya sebelum siapapun bisa mencegah mereka. Mereka lalu berteriak kesakitan.
Semua mata mereka membesar, hidung menyusut. Wajah mereka jadi memanjang akibat rahang yang membesar. Mulut merekapun berubah amat lebar. Saat menyeringai, tampak deretan taring pengganti gigi. Tangan-tangan merekapun berubah menjadi tentakel-tentakel yang jadi sepanjang cambuk, melecut kesana-kemari menebar ancaman.
Si pria berambut pirang itu meneriakkan peringatan, “Awas! Mereka itu nef’ragh! Jangan lawan mereka dari jarak dekat!”
“Nef-apa?” Aku mendelik, tak pernah mendengar tentang makhluk itu sebelumnya. Apa itu semacam monster dari dunia lain?
Tak sempat lagi bicara apapun, aku berkelit dari lecutan tentakel salah satu nef’ragh itu. Namun tentakel nef’ragh kedua menghantam perutku, membuatku terpelanting dan membentur dinding.
Semua nef’ragh beralih menyerang si pria pirang dulu yang adalah sasaran utama. Namun pria itu malah menyeringai. Giliran pistol lasernya menyalak, memuntahkan larik-larik sinar tajam yang menerpa kelima lawan.
Sedikitnya tiga nef’ragh tumbang seketika. Satu berdiri di tempat dengan tubuh berdarah-darah yang adalah lendir hijau. Nef’ragh kelima yang paling kuat, yang adalah si pemimpin regu masih terus merangsek maju dengan ganasnya. Satu tembakan lagi di bahu tak menghentikannya dan si pria pirang sudah masuk jarak serangan tentakel.
Aku yang baru pulih melompat dan menendang kepala nef’ragh itu keras-keras. Namun si monster hanya terdorong ke samping, lalu berdiri tegak lagi. Secara naluriah ia membuka rahangnya lebar-lebar, hendak menggigitku dengan deretan taringnya yang mengerikan.
“Baguslah kau ganas seperti hewan.” Si pria pirang tiba-tiba muncul dan menempelkan ujung laras pistolnya di pelipis si nef’ragh, lalu menembak. Teriring raungan pilu, nef’ragh itu terkapar dengan otak berantakan.
Nef’ragh yang terpaku tadi berbalik hendak lari terdorong naluri. Namun selarik sinar laser menghentikan langkahnya untuk selamanya.
“Heh, salah sendiri. Karena mereka berubah wujud, aku jadi tak menahan diri lagi untuk menggunakan pistolku,” kata si pemuda sambil menyarungkan kembali senjata andalannya itu. Ia lalu menghadapkan wajah tampannya padaku sambil tersenyum penuh pesona, membuat pipiku merona. “Oh ya, terima kasih ya. Berkat pertolonganmu, musuh jadi mengungkapkan wujud mereka yang sebenarnya.”
Aku terperangah. “A-apa...? Jadi wujud manusia mereka itu hanya samaran saja?”
“Gawatnya begitu. Kalau mereka itu manusia biasa dan tak main keroyokan, mungkin aku bisa mengalahkan mereka tanpa pistol. Oh ya, namaku Laz. Boleh aku tahu namamu?”
“T-Thya,” jawabku. Untung namaku pendek jadi kedengarannya tak terlalu gagap. “A-apa kau ini... dari Distrik Pusat? Memang, kami dari Distrik Pinggir dilarang memiliki atau menggunakan senjata canggih, tapi bukan tak mungkin ada dari kami yang...”
“Menggunakannya secara ilegal, ya,” sela Laz. “Tapi kebetulan aku memang warga Pusat.”
“Lho, mengapa kau malah ke daerah ini?”
“Ceritanya panjang dan aku...” Laz tiba-tiba jatuh berlutut. Rupanya luka-luka yang ia dapat saat dikeroyok tadi mulai terasa lagi.
Melihat itu, aku cepat-cepat memapah Laz. “Lanjutkan di rumahku saja,” kataku.
Laz hanya membalas dengan senyum dan tatapan lemah. Namun itu saja sudah cukup membuat hatiku berbunga-bunga.

==oOo==

 Dengan sigap, ibu dan Raka merawat luka-lukaku dan Laz. Mata mereka tak henti-hentinya menatap was-was pada pria yang beda ras dengan kami itu.
Entah karena segan atau percaya padaku, kata-kata protes ataupun teguran hanya mendekam di balik jeruji pola pikir keduanya.
Hebatnya, khasiat jamu Dwipala racikan ibu sungguh manjur. Keesokan paginya, aku dan Laz bangun dengan wajah merona dan luka-luka memar kami berangsur-angsur pulih.
Sambil kami semua menikmati sarapan sederhana nan penuh cita rasa, kubuka perbincangan dengan Laz. “Nah, tolong jelaskan pada kami siapa dirimu dan mengapa orang Distrik Pusat sepertimu ada di daerah pinggiran ini.”
Laz berdehem. “Oh ya, sebelumnya terima kasih sudah memulihkan luka-lukaku. Namaku Laz Bolstrom dan aku adalah salah satu orang yang terpilih untuk Vimana.”
“Vimana? Apa itu?” tanya Raka.
“Vimana adalah sebuah wahana raksasa yang dapat mengarungi antariksa.”
Giliran ibu bertanya, “Apa itu antariksa? Apa tempat itu ada di luar... Vyrath, dunia kita?”
Laz mengangguk.
Aku, ibu dan Raka ternganga. Mimpipun kami takkan bisa membayangkan perkembangan teknologi di Voltuscant bisa sampai sejauh itu.
Namun aku jelas harus menanyakan satu hal vital, “Mengapa meninggalkan Vyrath?”
Laz tercekat, seolah baru kelepasan bicara. Namun karena sudah telanjur, ia menghela napas dan balik bertanya, “Apa alasan kalian merantau ke Voltuscant?”
Tanpa ragu kuceritakan pada Laz tentang bencana di Dwipala dan alasanku memilih hijrah ke Voltuscant dibanding ke daerah-daerah atau benua-benua lainnya.
“Alasanmu sama saja dengan alasan kebanyakan orang, termasuk aku,” tanggap Laz. “Aku, ayah dan ibuku adalah pengungsi dari Benua Aztache. Kami kehilangan kakakku serta segala harta benda dalam bencana khas, yaitu badai tornado. Namun aku diberkahi kejeniusan, sehingga hanya aku sendiri yang diizinkan tinggal di Distrik Pusat.”
“Lalu, apa yang terjadi?” tanya ibu.
“Dua minggu yang lalu, aku mendapat kabar bahwa aku terpilih untuk ikut sebagai awak Wahana Vimana. Tentunya aku ingin memboyong keluargaku pula, tapi itu pasti dilarang. Aku berniat menyelundupkan mereka ke dalam wahana, jadi aku nekad ke distrik ini. Sayang, aku baru memastikan ayah-ibuku telah berpulang akibat wabah penyakit. Saat hendak kembali ke Pusat, aku dikeroyok lima prajurit nef’ragh itu.”
Aku mengangguk, lalu kembali berujar, “Pertanyaanku tadi belum kaujawab, Laz. Mengapa kalian hendak meninggalkan Vyrath dengan Wahana Vimana?”
Laz menatap lurus ke arahku. “Perlu kalian tahu, dunia kita, Vyrath akan segera berakhir.”
“M-maksudmu... kiamat?” Wajahku pucat-pasi seketika.
“Ya. Imam Agung N’beru yang menubuatkannya berdasarkan wahyu dari Ohmae. Sejak awal tercipta, Vyrath adalah planet yang tidak stabil. Bencana khas datang silih-berganti di tujuh benua, di tujuh musim dalam setahun.”
Oh ya, pantas saja musim-musim yang kukenal dinamai berdasarkan bencana-bencana khas itu. Musim api, banjir, gempa, badai, halilintar, kegelapan dan cahaya.
Aku menyela, “Namun adanya kehidupan di sini membuat Sang Sumber Maha Pencipta memelihara Vyrath. Ia bahkan mengangkat Tujuh Dewa Agung untuk menjaga kestabilannya.”
“Benar, Thya. Tapi akan datang satu hari di mana ketujuh bencana itu akan terjadi bersamaan di seluruh dunia, sehingga planet ini meledak dan hancur berkeping-keping. Dan hari itu akan datang sebentar lagi, tepatnya... lusa.”
Kami bertiga terlalu terpaku untuk berkata-kata.
Baru akhirnya aku buka mulut. “B-bagaimana bisa... aku tak tahu itu...?”
Rakapun berujar, “Tidakkah seharusnya dunia kita baik-baik saja dalam penjagaan ketujuh dewa? Kalaupun ada nubuat tentang kiamat, tidakkah seharusnya seluruh dunia tahu tentang itu?”
“Teknologi yang sudah dikembangkan sampai saat ini dan bercampur dengan sihir hanya mampu menghasilkan satu wahana, Vimana. Kapasitasnya dua ribu penumpang beserta awaknya,” kata Laz. “Aku baru tahu tentang rahasia besar itu setelah wahana itu rampung dan aku terpilih.”
“Jadi Voltuscant terpaksa merahasiakan tentang kiamat ini. Mereka hanya memilih dua ribu insan terbaik untuk diselamatkan dari kiamat, sekaligus mencari dunia baru untuk tempat tinggal.” Itu kesimpulan dariku.
“Dua ribu yang terbaik, bukan yang berhati baik,” sergah ibuku dengan ketus.
“Sayangnya begitu,” kata Laz. “Bahkan penyembah dewa paling taatpun belum tentu terpilih.”
Rasa muak pada Vimana membuat perutku terasa mulas.
Aku lantas bangkit dan berdiri membelakangi ibu, Raka dan Laz.
Tanpa menoleh apalagi berbalik, kuungkapkan keputusanku. “Aku ingin kita semua menyusup ke Distrik Pusat dan jadi penumpang gelap Vimana.”
Giliran Laz terperangah. “Tapi, Vimana takkan dapat menampung...”
“Oh, maksudku hanya aku, kau, ibu dan Raka saja. Kelebihan dua-tiga orang takkan membuat Vimana tak bisa mengudara, ‘kan?”
Laz hanya mengangkat bahu. Mau bilang apa, ia memang hutang nyawa padaku.

==oOo==

Di hari yang sama...
Hanya mentari yang sudah tegak-lurus di atas kepala saja yang tak terhalang oleh tembok raksasa setinggi lima puluh meter dan terbentang sejauh mata memandang.
Jangan tertipu oleh suasana serba sepi di perbatasan antara Distrik Pusat dan distrik-distrik pinggiran ini. Di balik lubang-lubang jendela sempit sepanjang tembok kelabu kusam itu ada senjata-senjata canggih yang mampu menembak penyusup di jarak satu kilometer.
Namun kali ini hatiku tak lantas ciut di dekat ‘penjaga tangguh’ itu. Mengenakan pakaian terbaik, dengan wajah-wajah tegang kami berhadapan muka dengan para prajurit jaga.
“Tak usah takut. Mustahil nef’ragh dijadikan prajurit jaga biasa,” kata Laz. Hanya ialah yang berwajah tak tegang dan gerak-geriknya masih cukup luwes dan santai di kelompok ini.
Salah seorang penjaga menegur, “Tahan! Tunjukkan tato kalian!”
Secara bergiliran Laz, aku, ibu dan Raka menghadapkan dahi masing-masing pada perangkat pemindai. Berpendarlah pola sinar yang identik di dahi kami masing-masing, bentuknya seperti huruf V yang tampak seperti sepasang sayap.
Rupanya Laz si jenius telah mempersiapkan segalanya, termasuk perangkat pembuat tato dahi. Untunglah alat sebesar ikat kepala itu tak rusak dalam pertarungan kemarin.
“Baiklah, silakan melintas,” ujar si petugas itu.
Kami berempat melenggang ke sisi lain tembok.
Namun jantungku terus berdegup. Pasalnya, aku teringat peringatan dari Laz sebelum kami berangkat. “Hati-hati. Jangan lega dulu setelah melewati penjaga perbatasan. Bisa jadi ada prajurit yang mengenaliku saat menyusup ke distrik pinggiran. Begitu ada peringatan, kalian harus lari untuk menghindari hujan tembakan.”
Benar kata Laz. Saat kami baru mencapai kira-kira dua ratus meter, suara lonceng tanda bahaya membahana. Maka, kami mulai berlari dan meriam di tembokpun mulai ditembakkan.
Satu tembakan meriam menghantam tanah dekat kakiku, namun imbasnya membuatku jatuh tersuruk di tanah. Aku cepat-cepat bangkit lagi sambil meringis menahan nyeri.
Anehnya, tak ada awan, angin dan hujan, dari langit petir menyambar tepat mengenai tubuhku. Aku kejang-kejang dan berteriak kesakitan, sementara daya petir itu menjalari seluruh tubuhku.
“Thya!” Ibu dan Raka berteriak nyaris bersamaan. Raka hendak menghampiriku, tapi Laz pasang badan menghalanginya.
“Demi Dewi Ranaya, tidaak...!” Ibu yang sudah putus asa hendak tetap ada di samping diriku yang sedang sekarat ini, namun Raka dan Laz menariknya hingga ikut berlari bersama mereka. Namun itu jelas kesalahan besar. Tiga orang bersamaan di satu posisi dan bergerak lamban pasti bakal jadi sasaran empuk rentetan tembakan laser.
Seolah membenarkan ketakutanku, selarik besar cahaya melesat dari tembok dan tepat mengarah ke Raka, Laz dan ibu. Entah naluri atau sebentuk kekuatan misterius menggerakkan semua kaki dan tubuhku hingga melesat bagai dan secepat halilintar sungguhan. Dengan refleks pula aku berbalik dan pasang badan, tanganku terulur lurus tepat ke arah larik laser besar itu.
Aku tercengang. Dengan satu entakan tenaga dalamku, larik laser itu terhenti seketika di udara.
Tak hanya aku saja, mereka yang beserta denganku lebih tercengang lagi.
Tak ada waktu lagi untuk mencari tahu apa yang terjadi pada diriku ini. Sedikitnya tiga larik laser lainnya menerpa ke arahku dan secara refleks kutahan pula. Rasa nyeri di kedua tanganku seolah memberi peringatan bahwa aku tak bisa terus menahan semua itu terlalu lama. Akalku terbit, mungkin aku bisa membelokkan tembakan-tembakan itu ke tanah atau ke...
Kucoba dengan mengibaskan tanganku sekuat tenaga. Ajaib, keempat larik laser itu terpental balik tepat ke arah tempat larik-larik itu ditembakkan. Tiga ledakan dahsyat di tembok perbatasan membuatku menyadari sesuatu. Ohmae bukan hendak membunuhku, melainkan merestui niat kami berempat dengan menganugerahiku kesaktian dewata yang serupa dengannya. Itu adalah prana untuk menghambat energi listrik, laser atau semacamnya, bahkan memantulkannya kembali.
“Ayo, Thya! Kita harus terus lari!” seru Laz.
Kali ini akurasi tembakan dari meriam-meriam laser lain yang tidak hancur berkurang. Sebab yang pasti adalah jarak para sasaran itu makin jauh, nyaris melewati ambang batas jarak tembakan efektif meriam yaitu satu kilometer. Tembakan-tembakan lambung yang menyusul setelahnya makin mudah kami hindari. Aku sendiri menangkis dan mementalkan dua-tiga tembakan lagi.
Seperti halnya saat menyelamatkan diri dari letusan gunung api di Dwipala dulu, aku baru bisa bernapas lega saat kami telah mencapai daerah yang penuh pepohonan dan bangunan. Dengan demikian, kami terlindung dari tembakan meriam laser dan bisa bersembunyi dari kejaran pasukan penjaga perbatasan.
Sebagai warga Distrik Pinggiran, penampilan kami jadi terkesan lusuh di Distrik Pusat ini. Apalagi luka-luka baru kami pasti bakal memancing kecurigaan warga. Maka Laz membelikan kami pakaian yang pantas di toko pertama yang kami temukan.
Kami keluar dari sana dengan penampilan seperti warga terhormat. Hanya aku saja yang memilih pakaian ketat yang mengikuti lekuk-lekuk tubuhku supaya bisa bergerak bebas.
“Kau sungguh cantik dengan pakaian itu, Thya. Tapi kurasa aku lebih suka pakaian tradisional yang kaukenakan saat pertemuan pertama kita kemarin.” Pengakuan Laz itu tak ayal membuat wajahku memerah bagai tomat. Aku cepat-cepat berpaling dari Laz agar ia tak melihatnya.
Aku baru menoleh kembali pada Laz saat ia mengayunkan tangannya dan berkata, “Ayo, kita harus cepat menyusup ke lokasi peluncuran Vimana sebelum terlambat.”

==oOo==

Suara debar jantungku seakan lebih keras daripada langkah kakiku kini.
Teknologi Voltuscant yang dikembangkan terburu-buru dan bercampur sihir menyisakan banyak kelemahan pada sistem keamanan di lokasi peluncuran wahana.
Karena itulah, Laz yang jenius berhasil menemukan jalan masuk rahasia dan mengakali alat pemindai di pintu. Lalu kami masuk tanpa terdeteksi sama sekali.
Namun, tetap saja kami harus berhati-hati dengan para penjaga. Karena kami sudah berada dekat dengan tempat peluncuran Vimana dan penampilan kami rapi-jali, para penjaga itu mengira kami adalah calon-calon penumpang Vimana yang terpilih.
Terdengarlah suara berkumandang ke seluruh fasilitas itu. “Peluncuran Vimana, tiga puluh menit lagi.” Debar jantungku jadi makin keras.
Dekat pintu menuju hangar, Laz berbisik pada kami, “Nah, di titik inilah bahaya dimulai. Bila ada prajurit nef’ragh yang mengenaliku di dalam sana, kita harus cepat lari!”
Aku mengangguk dan berjalan di belakang rombongan.
Hangar merangkap tempat peluncuran Vimana adalah sebuah ruangan beratap kubah yang lebih luas daripada lapangan atau ruang tertutup apapun yang pernah kulihat. Tentunya yang paling menarik perhatianku adalah sebuah benda bundar bagai piring terbang di kejauhan, yang kuyakini adalah wahana raksasa, Vimana. Andai kulihat dari jarak lebih dekat, aku pasti akan mengira wahana ruang angkasa itu adalah sebuah istana, bahkan kota terbang.
Itulah tujuan kami, satu-satunya wahana keselamatan kami.
Seruan seorang prajurit jaga berkumandang di belakangku, “Hei, tunggu! Itu Laz si buronan! Tangkap dia dan kelompoknya!”
Bahkan ibu yang larinya paling lamban di antara kami berempatpun mampu setidaknya tak tertinggal di belakang rombongan. Mungkin karena beliau telah cukup ‘terlatih’ setelah beberapa kali melarikan diri atau murni karena ketakutan.
“Berhenti kalian! Menyerahlah!” seru para penjaga yang melihat kami, tapi tentu saja kami tak menggubris peringatan itu. Jadi, yang menyalak selanjutnya adalah pistol-pistol laser.
Saatnya kutunjukkan kebolehanku. Dengan langkah-langkah secepat halilintar, kudekati penjaga terdekat. Dengan satu sikutan di dagu, kulumpuhkan pria itu dan kurebut pistolnya.
Selarik sinar laser nyaris menembus tubuhku. Kubalas tembakan itu dengan bidikan yang lebih cepat dan akurat, membuat ledakan di sebuah perangkat sehingga prajurit di sampingnya terpental.
Hujan laser memaksaku terus berlari kesana-kemari. Parahnya, yang paling tak kuperhatikan adalah prajurit di depan jalur perjalananku yang telah mengacungkan pistolnya hendak menembak. Lazpun sedang sibuk menembaki prajurit-prajurit lain sehingga tak memperhatikan itu pula.
Mengerahkan segenap keberaniannya, tiba-tiba Raka menyeruak maju untuk melindungi ibu. Si prajurit yang ternyata sedang membidik Laz itu tak menduga serangan yang datang dari samping itu, hingga satu tinju keras menghantam pipinya. Rasa sakit tak tertahankan di telapak tangan Raka terbayar oleh satu pistol yang berhasil ia rampas.
Walau belum pernah menggunakan senjata itu, Raka ternyata cukup paham untuk membidik dengan satu tangan lurus memegang pistol dan disangga dengan tangan satunya lagi agar bidikan tak melenceng. Setidaknya satu dari lima tembakannya cukup terarah ke sasaran.
Menyaksikan itu semua, kuacungkan jempol ke arah Raka dan dibalas dengan senyum bangga si remaja pria itu. Kembali aku berkelit dari beberapa tembakan lagi dan membalas dengan berondongan yang akurat. Setidaknya tiga prajurit tumbang akibat aksiku saja.
Baru saja kusadari, kini wujud keperakan berkilap Vimana nyaris sepenuhnya menutupi pandangan mataku. Kecuali ada ruang kosong di bagian bawah wahana itu yang adalah sebuah lubang yang amat besar dan amat dalam.
Vimana sendiri disangga di atas empat tiang amat raksasa dan amat tebal. Sekarang, tinggal satu tangga yang masih terjulur turun. Entah sudah berapa menit kami berlari dan bertarung hingga tiba di anjungan keberangkatan ini. Setiap saat tangga itu bakal ditarik ke dalam wahana. Terpaksa kami harus berkelit dan menembak para prajurit penjaga anjungan itu untuk memastikan tak ada musuh lagi yang dapat menghalangi kami memasuki wahana.
Tiba-tiba sesuatu membuatku berteriak, “Tangganya mulai ditarik! Raka, bawa ibu naik ke wahana! Aku dan Laz akan melindungi kalian di sini, lalu menyusul!”
Raka hendak protes, namun ia lantas menaikkan ibu di tangga miring itu. Raka sendiri setengah melompat dan baru berhasil menjejakkan kaki di anak tangga paling bawah.
Giliran aku yang melompat lebih tinggi dan berhasil menjejak dan merengkuh anak dan pegangan tangga.
Giliran Laz tiba, tapi anehnya ia malah berbalik ke arah yang berlawanan dengan tangga. Melihat itu, aku ikut berbalik dan berseru, “Laz, cepat naik!”
Namun Laz tak menjawab. Ia malah mengacungkan pistol ke depan.
Sekilas kulihat pula ke arah yang dihadapi Laz. Benar saja, sepasukan besar prajurit Distrik Pusat Voltuscant berbondong-bondong tiba di anjungan keberangkatan dan mengepungnya.
Mengapa harus sebanyak itu? Apakah mereka sebenarnya mengincar diriku karena kekuatan Ohmae yang baru kudapat ini? Lantas Laz pasang badan agar aku bisa memasuki Vimana?
Mendadak, hujan sinar laser kembali menerpa. Ibu dan Raka terhindar dari berondongan itu karena mereka sudah berada di ambang pintu Vimana.
Namun, salah satu larik tembakan itu menyerempet pinggangku. Keseimbanganku sirna, sehingga aku terjatuh dari tangga.
“Thya! Kakak!” Terdengar suara teriakan histeris ibu dan Raka.
Lebih parahnya, aku terjun bebas ke dalam lubang raksasa tak berdasar di bawah sana.
Ajaibnya, aku malah masih cukup sadar dan cukup bertenaga, sehingga tanganku sempat memegang semacam gagang besi di tepian lubang itu. Lebih ajaib lagi, lukaku tak terasa terlalu nyeri dan tak banyak berdarah. Maka, kukerahkan tenagaku memanjat jaringan besi di dinding lubang raksasa itu sampai di lantai anjungan, tempat yang aman.
Belum sempat aku menghela napas lega, pemandangan di depanku membuatku terkesiap. Tampak Laz sedang bergerak secepat kilat sama sepertiku, menghindari tembakan dan balas menembak. Setidaknya dua dari lima tembakannya tepat ke sasaran. Satu per satu, para prajurit terkapar di tempat. Tak kusangka Laz lebih lincah daripadaku. Aksinya menghadapi pasukan besar itu sendirian bagaikan... dewa.
Saat itu pula kudengar seruan lantang. “Hentikan tembakan!”
Satu perintah itu membuat hujan tembakan berhenti nyaris seketika.
Lazpun berhenti berlari, napasnya kini memburu.
Perhatianku seketika tersita oleh seorang wanita berkulit hitam yang maju ke depan barisan prajurit, lalu berdiri dengan penuh gaya. Ia mengenakan gaun panjang serba putih. Lekuk dan kerutan di wajahnya meyiratkan kematangan usia, namun justru tubuhnya tampak tegap dan cukup berotot bagai hasil binaraga.
Laz tersenyum sinis pada wanita itu. “Wah, wah, Imam Agung N’beru sendiri menemui aku yang bukan siapa-siapa ini. Sungguh suatu kehormatan.”
“Justru sebaliknya,” kata N’beru dengan suara dibuat-buat. “Aku sengaja ke anjungan ini untuk menemuimu, wahai titisan dewata.”
Dua kata terakhir itu membuat detak jantungku seolah terhenti. Mataku menyorot ke arah Laz, menuntut penjelasan.
Seolah ingin membungkam N’beru, Laz melesatkan beberapa tembakan dalam setarikan napas. N’beru menahan larik-larik laser itu dengan lapisan energi pelindung tubuhnya.
“Kau tak pernah mau belajar.” N’beru membusungkan dada. “Kuberi kau kesempatan hidup dengan menjadi ‘tawanan’ di Vimana, tapi kau malah melarikan diri ke Distrik Pinggiran dan kembali kemari dengan membawa tiga penumpang gelap saja. Apa sebenarnya maksudmu, hah?”
 “Sejak awal aku hanya ingin menghadapimu saja, pengkhianat!” bentak Laz. “Untunglah Thya menolongku saat aku dikeroyok nef’ragh. Jadi aku menawarinya kesempatan untuk menumpang Vimana sebagai imbalannya.”
“Tapi, coba kau lihat. Gadis itu tak ikut menumpang Vimana dan malah ada di dekatmu. Sekarang, kalian berdua akan mati sia-sia di tempat ini.”
“Kurasa tidak,” kata Laz. “Lihat perutmu.”
Si pendeta wanita mengerutkan dahi, lalu melihat dan meraba perutnya sendiri. Dari sekian banyak tembakan Laz, ternyata satu larik laser menembus medan pelindung dan menghunjam perut N’beru. Ironis sekali, sekarat karena satu tembakan tepat di titik lemah saja.
Mesin Vimana mulai meraung.
“Menyebalkan!” rutuk N’beru. “Terpaksa kami menunjukkan jati diri yang sebenarnya! Semua nef’ragh, berubah wujud!”
Hampir serempak, sejumlah prajurit menelan kapsul khusus. Wujud manusia mereka berubah menjadi makhluk bertaring banyak dan bertentakel besar-besar.
Aku terkesiap, ternyata sebagian kecil dari seluruh pasukan ini adalah nef’ragh yang bisa beralihrupa menjadi manusia.
N’beru berseru, “Habisi semua yang bukan nef’ragh dan lindungi aku!”
Paham betul perintah N’beru, para nef’ragh menyerang aku, Laz dan para prajurit lain. Meskipun berjumlah lebih banyak, para prajurit manusia kewalahan menghadapi kebuasan nef’ragh-nef’ragh yang masing-masing bertubuh sebesar beruang itu.
Aku mulai berlari ke arah pertarungan. Setiap tembakan kupicu dengan hati-hati, jangan sampai mengenai prajurit asli. Hanya satu sasaranku, yaitu N’beru.
Anjungan mulai bergetar, tanda ‘pemanasan’ mesin Vimana hampir rampung.
N’beru lantas bergerak-gerak tak wajar seperti kesurupan. Wujudnya berubah dan meraksasa. Wujud akhirnya adalah nef’ragh yang empat kali lebih besar daripada semua sesamanya. Bedanya, ia memiliki enam tentakel yang lebih besar dan panjang dan bagian bawah tubuhnya yang jadi seperti tubuh ular naga.
Teringat olehku kata-kata Laz. Itu pasti ratu nef’ragh yang bernama Nef’erti.
Tanpa peringatan, keenam tentakel Nef’erti melecut membabi-buta, menewaskan kawan dan lawan. Ia lantas menyeruak, menyasar Laz.
Kutembakkan pistol laser ‘berbaterai’ kristal gaib ke arah Nef’erti. Saat dayanya habis, kupungut dua pistol lain di lantai anjungan dan menembak lagi. Gilanya, semua tembakan itu jadi seperti penggaruk gatal saja bagi si ratu nef’ragh.
Saat bergabung dengan Laz, ia melihat raut frustrasiku dan berseru, “Bidik matanya! Bila ia menembakkan energi, lawan dengan daya penghambat petir milikmu!”
Aku mengangguk dan kami berpencar. Nef’erti menoleh ke kanan-kiri, lalu menerjang ke arahku. Berkat gerakan amat lincah, aku berhasil berkelit dari rahang raksasa yang hendak melumatku. Namun punggungku tertempel di salah satu tentakel raksasanya, tubuhku tak bisa digerakkan sama sekali.
Sang ratu monster lantas mengangkatku sampai dekat ke mulutnya yang menganga lebar.
Refleks, kuentakkan tenaga dalamku, meronta untuk setidaknya lepas dari tentakel ini. Kabar baiknya, hanya satu tanganku yang memegang pistol saja yang berhasil kugerakkan.
Seketika itu pula aku menembak tepat di mata Nef’erti yang sebesar semangka itu. Meraung kesakitan luar biasa, sang ratu nef’ragh meronta dan gerakannya jadi kacau.
Tubuhku tak lagi menempel di tentakel, aku jatuh. Tak habis akal, aku menjejak dan meluncur di tubuh ular Nef’erti, lalu mendarat mulus di lantai anjungan.
Tampak pilar-pilar api menyorot deras dari keempat mesin Vimana, terus ke dalam lubang raksasa di belakang Nef’erti. Amat perlahan, Vimana mulai terangkat ke udara.
Raungan kesakitan Nef’erti berubah menjadi raungan murka. Ia lantas membuka mulut raksasanya dan menyemburkan selarik sinar ke arahku untuk membuatku luluh-lantak.
Mustahil menghindar, kukerahkan seluruh tenagaku untuk menahan larik sinar raksasa itu, sama seperti saat aku menahan serangan meriam laser di dinding perbatasan. Kali ini, tak ayal aku berteriak kesakitan. Setiap jengkal kulitku bagai sedang terkikis, rasanya seperti sedang disayat-sayat hingga ke daging dan tulang.
“Biar kubantu!” Dengan sigap, Laz menempatkan dirinya di sampingku dan ikut mengulurkan dua tangannya. Ternyata iapun memiliki kekuatan penghambat petir, sangat mungkin ialah si ‘titisan dewa’ yang dimaksud N’beru. Yang pasti, tubuhku tak terlalu nyeri lagi. Daya sinar penghancur Nef’erti telah ditahan dengan sempurna, lalu kami ‘simpan’ di medan energi kami.
“Sekarang, pantulkan!” Dipicu aba-aba Laz, kami mengentakkan energi bersama. Sontak larik sinar penghancur Nef’erti dipantulkan kembali, melesat dan tepat menghantam tubuh sang ratu.
Terkejut, serangan sinar Nef’erti terhenti, namun serangan kami tetap terus menerpanya. Walau terlindung lapisan energi yang amat tebal, tubuh raksasa si nef’ragh terdorong cepat ke belakang.
Menyadari bahaya, Nef’erti mencoba meronta, namun satu entakan terakhir dari kami berdua membuat ledakan dahsyat di tubuhnya. Daya ledakan itu melontarkan Nef’erti melewati ambang lubang raksasa, lalu tubuhnya seakan terbenam dalam pilar-pilar api yang terpancar dari Vimana. Satu raungan panjang nan pilu menandai akhir nasib biang penjajah dunia itu.
Niat membuat lawan luluh-lantak malah berbalik dan terjadi pada diri sendiri.
Setelah itu, apapun tak kupedulikan lagi, kecuali Vimana.
Sambil ambil langkah seribu menjauhi panasnya anjungan peluncuran wahana, sesekali aku menoleh ke langit. Raka, ibu... semoga mereka selamat dan ikut menemukan dunia baru.
Hatiku gundah tak terperi. Sempat aku berpikir, apa gunanya aku melawan nef’ragh kalau toh mereka akan ikut musnah bersama kami dan dunia ini?

==oOo==

Hari demi hari telah berlalu sejak keberangkatan Vimana.
Namun aku masih tetap berdiri di sini, di dunia yang sama ini.
Mungkin untuk menebus sakit hatiku diperdaya kaum monster dan dewa, kujalani tugas baruku.
Menyebarkan kabar bahwa Ohmaepun jangan sampai lalai disembah.
Jangan sampai titisannya, Laz tak berdaya lagi menghadapi para penipu digdaya.
Sehingga ia terpaksa menipuku dengan menutupi jati dirinya.
Bersama-sama, kini aku dan Laz harus menipu lebih banyak orang lagi.
Sesungguhnya, dunia manapun bisa saja berakhir setiap saat tanpa terduga.
Namun kebohongan inilah yang mungkin bisa membuat Dunia Vyrath lestari lebih lama.


Sumber gambar: Flying Saucer
https://www.theherald.com.au/story/5052537/how-a-flying-saucer-landed-at-lambton/

Informasi lebih lanjut mengenai Dunia Vyrath dapat disimak lewat label "vyrath" di blog ini.

No comments:

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia