Ada Lendir di SepatumuAndry Chang
Tampak dari depan, gedung apartemen yang satu ini sungguh tak terawat.
Bagaimana tidak, cat-catnya mengelupas, tinggal dinding yang amat kusam dan berlumut. Banyak kaca jendelanya pecah dan retak, beberapa lagi dihembus angin malam, akan menyusul cepat atau lambat.
Pintu depan gedung ini terbuka sedikit, kayunya mulai lapuk. Siapapun bisa keluar-masuk gedung apartemen ini kapan saja, tak ada penjaga sama sekali.
Ruang depan tak kalah kumuhnya. Dindingnyapun kusam dan mengelupas, lantainya berdebu tebal. Ada jejak sepatu berlendir dari dan menuju lift. Bau pesing dan bau bangkai tikus amat pekat di sini, orang gila mana yang betah tinggal di tempat jin buang anak ini?
Liftnya lebih parah lagi. Tiap kali naik atau turun, selalu saja berguncang dan berdecit. Lampu di tombol-tombolnya kadang menyala, kadang tidak. Lampu dalam lift sebentar mati, sebentar menyala, membuat siapapun was-was, sewaktu-waktu benda ini bisa macet atau terlepas, terjun bebas.
Atau setidaknya untuk sementara ini, takut terpeleset lendir licin di lantai lift.
Di lorong lantai lima, lantainyapun licin karena lendir. Tapi yang paling parah, selain bau sampah, pesing dan semacamnya juga ada bau anyir darah. Di ambang pintu ketiga sebelah kanan dari lift, baunya makin pekat, membuat siapapun pasti ingin muntah.
Pintu unit apartemen itu dibiarkan separuh terbuka. Dindingnya dicat berwarna-warni, kebanyakan pink dan hijau muda. Puntung dan abu rokok bertebaran di meja kayu, kursi, bahkan bercampur lendir di lantai. Sampahpun berserakan, termasuk pula beberapa kondom dan pakaian yang belum dicuci.
Penghuni unit apartemen ini, satu-satunya penyewa di lantai lima sedang duduk bersandar di ranjangnya. Dia seorang wanita berusia tigapuluhan, menatap kosong ke dinding kamarnya dengan mata putih semua.
Ada lubang besar di ubun-ubun kepalanya, menyisakan ruang kosong di tempat seharusnya otak wanita itu berada. Dari lubang itu, darah membasahi wajah dan tubuh wanita yang hanya mengenakan kaus dan celana pendek itu, tergenang di ranjang yang ia duduki.
==oOo==
Tak beda dengan apartemen kumuh tadi, kolong jembatan layang ini kerap dijadikan tempat penimbunan, bahkan pembakaran sampah. Apalagi ada menara listrik bertegangan tinggi menjulang tak jauh di sisi jembatan layang tol ini. Sewaktu-waktu api dari sampah bisa saja terpercik oleh angin, lalu meraksasa.
Namun ada saja insan nekad di tempat seperti ini malam-malam. Di antara tumpukan sampah yang tengah terbakar, terbaring seorang bocah laki-laki. Kepalanya terkulai ke satu sisi, tampak lubang besar di ubun-ubunnya. Darah bercampur lendir aneh mulai mengering dalam kondisi terpanggang, seolah wajah si bocah dicat merah.
Mata si bocah terbelalak dan mulutnya ternganga, seolah ingin berkata, “Aku memang anak pemulung, anak jalanan. Tapi aku masih ingin hidup…”
==oOo==
Kontras dengan kedua tempat tadi, suasana hingar-bingar dan gemerlap menghiasi sederetan gedung sepanjang jalan raya padat kendaraan bermotor ini.
Kata-kata seperti “DISCOTHEQUE”, “NIGHT CLUB” dan “EXECUTIVE CLUB” terpampang besar-besar di tengah tarian sinar lampu warna-warni. Dari gedung-gedung itupun terdengar pelbagai macam musik seperti dangdut, house sampai trance yang tumpang-tindih, bercampur dengan suara-suara kendaraan hingga jadi amat bising.
Namun, yang paling ramai malam itu justru gang sempit dan gelap di antara dua gedung diskotik di sana. Jalanannya becek akibat lendir bercampur air cucuran atap. Namun itu semua tak menghalangi puluhan orang menjejali gang selebar persis satu mobil itu. Ada apa gerangan?
Rupanya orang-orang itu sedang menonton seorang pria yang duduk di tepian jalan, bersandar di dinding. Lebih anehnya lagi, pria itu tak melakukan apa-apa. Ia hanya menatap kosong dengan lubang besar di ubun-ubun kepalanya, bagaikan kelapa yang habis diminum isinya.
Keringat bercampur darah menjalari kaus tak berlengan, rompi hitam dan kalung rantai pria itu, juga lengannya yang penuh tato. Di tangannya yang terkulai, tampak pisau yang bilahnya berdarah. Sulit menentukan itu darah siapa, karena sudah bercampur dengan darah si jenazah itu sendiri.
Tak seorangpun di antara para “penonton” yang memanggil polisi. Walau ngeri dan mual melihat pemandangan mengenaskan ini, satu-persatu mereka datang dan pergi dari gang itu. Tentu dengan hati-hati melangkah agar tak menginjak lendir dan darah di jalan.
Mereka kasak-kusuk dalam kerumunan, dan ada juga yang berkata, “Rasakan. Kena batunya dia.”
==oOo==
Masih di sepanjang jalan “dunia gemerlap” itu, ada juga sebuah kedai merangkap mini market yang terang-benderang. Jam di dindingnya menunjukkan tengah malam.
Memanfaatkan keramaian gedung-gedung di sekitarnya, pengunjung di kedai mini market itu cukup banyak. Kebanyakan dari mereka penuh gaya, mungkin ke tempat ini dulu sebelum memilih kenikmatan duniawi sepanjang malam ini.
Beda dengan seorang pria yang duduk sendirian di sudut lantai dua kedai ini, berteman kopi kalengan. Walau di usia akhir tigapuluhan ini wajahnya masih tampak cukup tampan, ia jelas menyamarkan perutnya yang buncit di balik kaus hitam lengan pendek dan jaket pengendara motor berwarna merah yang ia kenakan.
Rambut pria itu tampak disisir rapi, namun baunya menyengat. Mungkin itu asalnya dari gel yang bercampur bau rambut yang lama tak dikeramas. Sikap pria itupun agak aneh. Sebentar-sebentar ia mencolek sol sepatunya, lalu mengoleskan lendir di jarinya itu pada luka sayat belati di lengannya. Anehnya, luka itu merapat seketika dan darahnyapun mengering, bersih tanpa bekas sedikitpun.
Hal yang sama juga ia lakukan pada luka bakar di kedua telapak tangannya dan luka bekas cakaran wanita di pipinya. Dalam hitungan detik, kulitnya pulih seperti semula, seakan luka-luka tadi tak pernah ada. Tak hanya itu, dengan lendir ia membersihkan bekas darah yang mengenainya di gang sempit tadi hingga bersih sempurna.
Tak lama kemudian, seorang wanita pelayan mini market membawakan makanan dan menaruhnya di depan meja si pria berjaket itu.
“Ini mas, pesanannya, satu hamburger dan satu hot dog. Selamat menikmati!” kata si pelayan.
Si pria berkata, “Terima kasih.” Di kedai mini-market tadi, semua makanan dibayar di muka.
“Oh ya, satu hal lagi,” ujar si pelayan wanita sambil menatap tajam si pria berjaket. “Begini, ada lendir di sepatu mas, dan lendir itu membuat lantai jadi licin dan kotor. Ada tamu yang tergelincir dan protes, jadi tolong bersihkan sepatunya ya mas.”
“Oh iya,” Si pria pura-pura melihat ke sol sepatunya. “Maaf ya mbak, akan kubersihkan di kamar kecil setelah makan nanti.”
Si pelayan berbalik pergi, dan si pria menghela napas lega. Lalu si pria meraih hot dog dan mulai menggigitnya sedikit demi sedikit. Tiba-tiba, dari balik jaketnya sepasang sulur seperti tentakel gurita terjulur, meraih hamburger di meja. Terkejut, si pria menepuk sulur itu sambil berbisik, “Hus! Jangan di sini! Nanti saja di kamar kecil!”
Namun tentakel-tentakel penghisap itu tak kunjung ditarik kembali.
“Nanti kita ketahuan!” desis si pria lagi. “Kalau mereka tahu, kau takkan bisa berburu makanan kesukaanmu lagi!”
Makhluk bertentakel itu tak peduli, cepat-cepat diambilnya hamburger itu. Lalu dua tentakel lagi yang berujung runcing seperti pasak tenda atau mata bor membuka bagian bawah kaus, memperlihatkan mulut yang amat besar dan sederet gigi runcing di perut si pria. Mulut itu terbuka, dan hamburger itu dilahapnya. Lantas, keempat tentakel ditarik masuk ke tubuh si pria dan kaus kembali ditutup seperti semula.
Dalam paniknya, si pria melihat ke depan-kiri-kanan dan menarik napas lega. Untunglah tak ada orang yang melihat, apalagi peduli dengan tingkahnya yang seperti orang gila tadi… dan kengerian yang telah menyatu dengan sebagian tubuhnya.
Sambil mengunyah hot dognya, pria berjaket merah itu mengetikkan status jejaring sosial di ponsel pintarnya. “Bahkan makhluk ruang angkasapun suka hamburger.”
Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cerita Bulanan Kastil Fantasi September-Oktober 2014
Tema: Horror in the Stars (Cerpen horor dari/di ruang angkasa)
Link ke thread:
https://www.goodreads.com/topic/show/2004274-lomba-cerbul-kasfan-september-14
Sumber gambar:
http://pikdit.com/i/somebodys-water-broke-in-a-public-bathroom-and-i-slipped-on-the-mucus-plug-thats-good-luck-right/
No comments:
Post a Comment