Legenda Everna
Pinocchio
- Pembalasan Stromboli
Andry Chang
Ada tertulis dalam legenda, Pinocchio si boneka kayu
telah menyelamatkan anak-anak dari Taman Ria Pulau Kesenangan, menyelamatkan
Geppetto dari dalam perut ikan paus dan mendapatkan hak hidupnya sebagai
manusia sejati. Namun, apakah itu berarti segalanya berakhir baik? Benarkah Pinocchio
de Geppetto dan ayahnya, Giuseppe de Geppetto hidup bahagia sepanjang hayat?
Selain bersekolah dan belajar dengan rajin,
Pinocchio juga terus belajar menjadi pembuat mainan seperti ayahnya. Ternyata
ia berbakat alam. Dalam waktu dua tahun, mainan-mainan buatan Pinocchio
terkenal di kota-kota besar di Valanis, mulai dari tempat tinggalnya di
Berlynis sampai ke ibukota, Ascension dan kota semenanjung, Encarte. Para
orangtua ramai bicara dari mulut ke mulut bahwa mainan buatan Geppetto sangat
indah dan detil, tahan banting dan entah mengapa jadi terkesan… hidup.
Namun, produk baru yang amat populer ini jadi
ancaman serius bagi banyak pengrajin mainan lainnya. Alih-alih meningkatkan
mutu, para saingan Geppetto di Berlynis malah berkumpul, bersekongkol, mencari
cara untuk menyingkirkan pesaing lemah yang tiba-tiba jadi hebat ini. Segala
cara dibahas dan diperdebatkan, namun tak satupun yang mencapai kata sepakat.
Hingga di suatu kali pertemuan, seorang pria
bertudung dan berpakaian serba hitam menyusup masuk ruangan rahasia.
“Hei, apa-apaan ini? Pergi kau sekarang dari sini,
atau kami terpaksa bertindak kasar!” sergah salah seorang pengrajin.
“Tenang saja, Jacopo,” ujar seorang pengrajin lain.
“Dia ini teman lama yang sangat ahli dalam memecahkan masalah seperti yang kita
hadapi ini.”
“Oh, begitukah?” Wajah Jacopo berubah cerah. “Kalau
begitu selamat datang, tuan…”
“Stromboli. Federico Stromboli,” ujar si penyusup
sambil membuka tudungnya. Tampak wajah tirus dan mata berkantung yang nyaris
mirip serigala kelaparan. Ditambah perawakannya, mantan pemain sirkus boneka
ini sudah jauh lebih kurus daripada dua tahun yang lalu.
“Langsung ke pokok masalahnya saja,” ujar Jacopo tak
sabar. “Kami di sini punya masalah dengan…”
Stromboli menyela, “Geppetto, pabrik mainan yang
baru itu. Ya, sobatku sudah memberitahuku tentang ini. Sekasrang serahkan saja
segala urusan ini padaku. Anggap saja si biang masalah itu sudah lenyap ditelan
bumi.”
“Wah, terima kasih, Tuan Stromboli, kami takkan
pernah…”
“Simpan saja terima kasihmu. Kini kita bahas imbalan
untukku,” sela Stromboli, mengelus kumis-janggutnya yang masih panjang, tebal
dan hitam, satu-satunya kebanggaannya. “Mulai sekarang, semua mainan yang
kalian buat harus dijual di tokoku, Emporio del Stromboli. Dan kalian berhak
mendapat tiga puluh persen dari keuntungan penjualan.”
Para pengrajin langsung protes, Jacopo mewakili
mereka sebagai juru bicara. “Tak bisa begitu, Stromboli! Kamu hanya perantara,
jadi bagian tiga puluh persen itu seharusnya jatahmu!”
Mendengar itu, Stromboli langsung berdiri dan siap
angkat kaki. “Itukah keputusan kalian? Terima saja tawaranku, atau kerjakan
saja ‘tugas kotor’ kalian sendiri!”
Tak ada kesempatan berpikir panjang lagi, Jacopo
spontan bangkit dan berseru, “Tunggu, Stromboli!”
==oOo==
Walau segala petualangan dan kewajiban kerjanya
telah membuat Pinocchio terkesan lebih dewasa daripada usianya, ia tetap
anak-anak berusia sebelas tahun yang masih gemar bermain dan bercanda-ria.
Karena memang ramah dan periang, kini Pinocchio
punya banyak teman. Namun ia lebih banyak menghabiskan waktu luangnya bersama
kedua sahabat karibnya, Lentino dan Cecilia. Mereka bertiga sungguh “nakal”,
dalam arti sangat aktif mencari tahu tentang hal-hal baru, apalagi yang
berhubungan dengan pembuatan mainan.
“Lihat penemuan baruku, Pino!” ujar Lentino, si anak
laki-laki berjerawat di pipi dengan bangga. “Ini mainan kodok berpegas, yang
bisa melompat maju bila bagian belakangnya ditekan.”
“Wow, kelihatannya asyik!” tanggap Cecilia, anak
perempuan berwajah manis, berambut pirang kepang dua sambil bertepuk tangan.
“Kamu pasti tak bawa satu lagi saja ‘kan, Tino?”
Lentino mengeluarkan dua kodok mainan lagi dari
kantung jasnya. “Tentu kubuatkan juga untuk kalian!”
“Bagus, ayo kita balapan, kodok siapa yang melompat
paling jauh dan paling cepat!” Dengan amat girang, Pinocchio menerima kodok
mainan itu dan langsung ditaruhnya di tanah.
Segera saja ketiganya main lompat kodok, bahkan ikut
melompat-lompat bersama mainan mereka, sungguh mengasyikkan. Saat matahari
mulai terbenam Pinocchio, Lentino dan Cecilia pulang ke rumah masing-masing
untuk makan malam dan belajar.
Saat hampir tiba di dekat rumahnya, Pinocchio merasa
ada seseorang tengah membuntutinya. Ia menoleh ke belakang, namun tak ada
siapa-siapa di sana. Anak lelaki itu memiringkan kepala dan mendelik heran,
lalu ia mempercepat langkahnya. Baru saat tiba di rumahnya, Pinocchio bisa
bernapas lega. Itu rumah baru yang cukup luas, tiga kali lebih besar dari toko
lama Geppetto dulu.
“Lho, ada apa nak? Mengapa wajahmu tegang begitu?”
tanya Giuseppe de Geppetto yang juga baru pulang dari pabrik mainan miliknya,
beberapa blok dari rumahnya. Walau rambut dan kumis tebalnya sudah putih semua,
seakan kebahagiaan besarnya dua tahun terakhir ini menghilangkan kerut-kerut
keriput di wajah pria yang usianya baru menginjak setengah baya ini.
Takut hidung manusianya bisa memanjang seperti
hidung boneka kayu bila berbohong, Pinocchio menceritakan tentang
kegelisahannya saat pulang main tadi.
“Hahaha, kau ini bisa saja Pino, anakku sayang,” ujar
Geppetto sambil membelai rambut warna hazelnut
anak itu. “Mungkin tadi itu Lentino yang ingin tahu apa kau benar-benar
menyukai ‘penemuan baru’-nya. Seharusnya ia tak perlu menguntitmu segala,
tunggu saja sampai mainan kodoknya berjajar di rak toko mainan di depan pabrik
Geppetto.”
“Asyik, terima kasih, ayah!” Pinocchio memeluk
Geppetto. “Biar kusempurnakan dulu mainan Lentino ini, pegasnya harus lebih ke
dalam ceruk di perut supaya lompatannya lebih terarah…”
“Ayo, ayo, Pino. Kita makan malam dulu. Ayah yakin,
kau pasti sudah lapar, ‘kan?”
Pinocchio mengangguk cepat, lalu berjalan cepat pula
menuju meja makan. Sementara Gepetto hanya geleng kepala saja, rupanya masih
ada setitik kenakalan dalam diri anaknya, yang tentunya itu wajar-wajar saja.
==oOo==
“Pinocchio, bangun! Cepat bangun!”
Suara Geppetto yang keras membuat Pinocchio
terlonjak dari tempat tidurnya. Lantas, sambil mengusap matanya, anak lelaki
itu mengeluh, “Ada apa sih, ayah?”
“Pabrik kita… kebakaran!” seru Geppetto. Gurat-gurat
kepanikan di wajahnya jelas terbaca.
“Apa!? Bagaimana bisa? Bukankah ayah sudah
memperingatkan para karyawan agar tak merokok dengan pipa di dalam dan di
sekitar pabrik? Menjauhkan benda-benda yang mudah menyalakan api dari
kayu-kayuan yang mudah terbakar?”
“Ya, tapi siapa tahu… ada yang lalai… atau sengaja.”
Pinocchio ikut merinding. Ia jadi teringat, ia
sangat takut pada api, apalagi saat berwujud boneka kayu dulu. “Bila benar ini
disengaja… siapa yang tega melakukan ini pada kita?”
“Ayah akan menyelidiki ini, nak. Jadi ayah pergi ke
pabrik sekarang juga. Kau jagalah rumah dan jaga dirimu. Apapun yang terjadi
ingat, ayah selalu menyayangimu.”
“Dan aku juga sayang ayah.” Pinocchio memeluk
Geppetto sekali lagi, lalu terdiam melihat sang ayah keluar dari kamar
tidurnya.
Inilah saat yang amat genting, seperti saat
Pinocchio sekarat setelah keluar dari perut ikan paus dulu. Teringat saat-saat
dirinya berubah menjadi manusia, ia memejamkan mata dan berdoa. Memohon
perlindungan pada sang maha pelindung, Vadis dan sang peri cahaya, Galateia.
Tiba-tiba sebuah suara lembut yang amat nyata
menyapa, “Anakku Pinocchio, bukalah matamu.” Pinocchio menurut dan mengenali
sosok seorang wanita berpakaian serba biru muda bagai bercahaya di hadapannya
itu. “Bunda!” serunya.
Galateia yang dijuluki pula Peri Biru mengangguk dan
mengutarakan pesannya, “Sayangku, dengarkan bunda baik-baik. Ada kekuatan jahat
tengah mendatangimu, dari dua orang musuh yang menagih dendam lama. Yang satu
masih menguasai ilmu hitam seperti dahulu, jadi bunda akan membekalimu kekuatan
untuk melawan orang itu dan pasukannya.”
Pinocchio terperangah. Andai Galateia tak hadir,
mustahil ia dan seisi rumahnya terhindar dari bencana berdarah ini. Andai
Geppetto di rumahpun, mana bisa pria biasa itu melawan?
“Ingat pesanku ini baik-baik, Pinocchio, nyawamu
tergantung dari itu…” Pinocchio menyimak kata demi kata Sang Peri Biru. Setelah
selesai, Peri Biru memeluk Pinocchio erat-erat sambil berkata, “Hanya ini yang
dapat bunda berikan padamu, bunda tak boleh terlalu banyak ikut campur agar kau
jadi lebih kuat dan tegar. Tapi bila ada kekuatan yang jauh melebihi kekuatanmu
ini muncul, bunda baru akan membantumu. Bunda amat sayang padamu, Pinocchio…
anakku.”
Pinocchio sungguh teduh dan terlindung di haribaan
bundanya, seakan dipeluk dengan sayap-sayap malaikat yang nyaman dan hangat.
Namun saat ia membuka mata, sosok Galateia sang peri cahaya telah lenyap.
Suara gaduh di depan rumah mendadak terdengar,
Pinocchio lantas mengenakan jas melapisi piyamanya dan cepat-cepat lari ke
depan rumah. Melewati para pembantu dan pengurus rumah yang ketakutan,
Pinocchio berkata, “Biar kuhadapi mereka.”
“Jangan, tuan muda!” Jiminy, kepala pelayan yang
semula adalah pemain biola yang dikutuk menjadi seekor jangkrik dan kini telah
kembali jadi manusia menghampiri sahabatnya. “Peri Biru juga telah
memberitahukan rencananya padaku. Kita keluar bersama-sama, aku akan membukakan
jalan untukmu.” Tak lupa ia membawa payung andalannya.
“Terima kasih, Jiminy, kau sungguh sahabatku yang
paling pemberani.”
Cukup bicara, Pinocchio dan Jiminy menemui
segerombolan lelaki yang membuat kegaduhan di gerbang depan rumah itu. Si pria
jangkung bercambang yang selalu mengenakan topi tinggi dan setelan kemeja dan
jas yang amat rapi, Jiminy membuka pembicaraan, “Tuan-tuan, ada perlu apa datang
di malam selarut ini? Datanglah lagi besok pagi, secangkir kopi tentu siap
menanti.”
Dua pria maju dari tengah gerombolan. Salah satunya
yang berkumis dan berjanggut tebal berseru, “Simpan saja kopimu, pelayan! Aku
Federico Stromboli ingin menemui Giuseppe de Geppetto, pemilik rumah ini.”
Giliran Pinocchio bicara, “Oh, rupanya Tuan
Stromboli! Dan siapa nama tuan yang satu lagi ini? Ayahku sedang tak di rumah,
jadi biar aku, Pinocchio de Geppetto yang bicara mewakili beliau.” Stromboli,
nama itu sepertinya sangat ia kenal.
Si pria kedua yang juga kurus, berambut serba putih
dan mengenakan pakaian dan topi serba coklat dan lusuh pura-pura terkejut.
“Pino… Pinocchio? Ah… aku ingat nama itu! Itu nama boneka kayu laknat yang
mengacau di Pulau Kesenangan, menghancurkan bisnis keledaiku! Tapi wah, wah…
Tak kusangka, ternyata si boneka telah jadi manusia! Membuat usaha Geppetto
tambah maju pula! Hebat, hebat!”
“Clive Barker, Sang Kusir! Kukira kau sudah tewas
saat jatuh dari tebing pulau itu!” sergah Jiminy dengan gigi gemertak. Seingatnya,
dua tahun yang lalu Barker bertubuh gemuk.
“Ohoho, kenyataannya tidak. Rupanya para iblis masih
sudi membantuku. Pulau Kesenangan telah dihancurkan oleh Polisi Sihir Valanis.
Karena itu pulalah, dua tahun sudah aku sembunyi, menyusun kekuatanku kembali.
Setelah danaku cukup, aku bersekutu dengan Stromboli membentuk tentara bayaran,
lalu mencari kesempatan untuk membalas dendam sekaligus meraup keuntungan
berlimpah. Pabrik Geppetto telah kuhanguskan, biar kini aku merenggut miliknya
yang paling berharga, putranya sendiri!”
“Enak saja! Jangan harap, Barker!” Jiminy mengacungkan
payung besinya yang ringan dan sekokoh pedang dengan gerakan seperti kuda-kuda
pemain pedang anggar.
“Pasukan Stromboli, keroyok pelayan itu!” teriak
Stromboli sambil menyeruak dengan kapaknya. Langsung saja Jiminy dikepung
belasan pria.
Mengandalkan kelincahan alami yang ia latih selama
menjadi jangkrik, Jiminy membuat payungnya berkelebat secepat kilat, menusuk,
memukul, mencederai bahkan melukai beberapa orang anggota pasukan Stromboli.
“Pinocchio, lari!” seru Jiminy, tepat saat satu bacokan
kapak Stromboli menorehkan luka dangkal di dadanya. Pinocchio ragu melihat
kepungan yang masih rapat dan Jiminy yang terdesak, namun si pria jelmaan
jangkrik itu berseru lagi, “Jangan pedulikan aku, cepat lari, SEKARANG!”
Benar, ini waktunya untuk nakal, senakal-nakalnya.
Dengan nekad Pinocchio lari ke arah pagar betis kepungan. “Heh, anak bodoh cari
mati! Rasakan ini!” Sang Kusir menyabetkan cemetinya mendatar untuk menjerat
leher Pino. Namun si anak lelaki itu berkelit dengan amat gesit dan kembali
mendoncang maju, menerobos kepungan.
“Kejar, kejar dia!” Kalap, Sang Kusir berbalik dan
mulai mengejar, lebih dari separuh pasukan mengikutinya.
Air mata Pinocchio terpercik ke belakang, hatinya
miris meninggalkan Jiminy menghadapi kepungan Stromboli. Namun Sang Kusir
adalah orang yang jauh lebih berbahaya. Pino sudah tak seperti dulu lagi, tubuh
boneka kayunya kebal ilmu hitam. Bila sekarang si penyihir sampai menyentuhnya,
seluruh saripati daya hidup akan terhisap keluar dari dalam tubuhnya,
menyisakan bocah tua yang tinggal bau tanah.
Pinocchio bergidik mengingat kekuatan-kekuatan
mengerikan Clive Barker dan terus lari. Tiba-tiba, dua orang anak kecil muncul
di depannya dan ikut lari bersamanya.
“Tunggu, Pino! Kami ikut!” seru Cecilia.
Pino berseru balik, “Cecilia, Lentino, cepat pulang!
Orang-orang yang mengejarku amat berbahaya!”
“Dan membiarkan sahabat baik kita ini menghadapi
mereka semua sendirian?” kata Lentino. “Tenang, kami bawa mainan yang pas untuk
acara semacam ini!” Anak laki-laki jerawatan itu mengeluarkan sebuah ketapel
dan sekantong kerikil dan menyerahkannya pada Pino.
“Ide bagus! Baik, ikut aku ke pabrik! Kita perlambat
mereka!” Sambil terus berlari, Pinocchio dan kedua temannya sesekali
menembakkan ketapel setiap kali ada pengejar yang terlalu dekat. Hanya dua
tentara bayaran Barker tumbang oleh rentetan tembakan untung-untungan dalam
gelap ini. Setidaknya para pengejar gagal memperkecil jarak dengan anak-anak
itu.
==oOo==
Tiba di lokasi pabrik, Pinocchio menatap gedung
hangus yang apinya belum seluruhnya padam itu dengan sedih campur geram. Namun
mereka bertiga harus terus berlari ke tempat tujuan, yaitu tangga menuju ruang
bawah tanah pabrik.
“Ayah, cepat buka pintu ruang bawah tanah!” teriak
Pinocchio saat melihat Geppetto di depan tangga menuju ke bawah yang belum
hangus.
“Apa maksudmu, nak?” Geppetto terperanjat dan
langsung mengerti begitu melihat para pengejar di kejauhan. “Oh ya! Ikuti aku!”
Keempat orang itu menuruni tangga dengan amat
cekatan, Geppetto membuka pintu ruang bawah tanah dengan kunci yang selalu
dibawanya kemana-mana dan masuk bersama anak-anak.
Lentino dan Cecilia yang belum pernah tahu “rahasia”
ini ternganga. Ternyata, ruang bawah tanah itu amat luas, hampir seluas pabrik
mainan di atasnya. Yang paling mencengangkan, tampak berbagai macam mainan,
besar dan kecil berjajar rapi di meja-meja, rak-rak dan lantai. Rupanya itulah
contoh-contoh hasil rancangan ayah-anak Geppetto sejak pabrik ini berdiri,
bahkan jauh sebelum Pinocchio si boneka kayu “lahir”.
“Ayah, teman-teman, ayo kita gunakan mainan-mainan
ini…!” Pinocchio berlari menghampiri hamparan karya-karya mereka tepat saat
para pengejar berhasil menyusul. Kini, empat manusia bukan petarung ini harus
menghadapi puluhan pria bersenjata ditambah seorang penyihir sakti.
“Keledai-keledai yang lari terpojok antara dua
pilihan, menghamba atau mati jadi tumbal ritual ilmu hitam. Tapi kali ini beda,
pilihannya adalah mati dan mati,” ujar Sang Kusir, diikuti tawa sadis para anak
buahnya. “Untunglah ruang ini belum terbakar, ini akan jadi bahan bagus untuk
alibi ‘kecelakaan kerja’!”
“Jangan senang dulu, Pak Kusir! Kami punya kejutan
manis di sini!” Pinocchio lantas berdiri di tengah-tengah ruangan, merentangkan
tangannya dan merapal semacam mantra, “Tubuh
kayu tak berjiwa, pada cahaya datanglah. Peri Biru beri nafas nyawa,
saudara-saudaraku bangkitlah!”
Dan keajaiban terjadilah. Hampir semua mainan di
ruang bawah tanah itu bergerak dengan sendirinya keluar dari rak-rak dan meja
pajangan, melangkahi lantai. Inilah “pasukan saudara-saudari Pinocchio”, para
boneka kayu, kuda-kudaan, bahkan prajurit mainan yang siap dengan senapan
masing-masing.
“Hahaha! Pasukan aneh dan lucu, pantasnya dihancurkan
seperti belalang! SERBU! Habisi mereka semua!” Perintah Sang Kusir itu bagai
melepas kekang sekumpulan serigala ganas yang langsung menerjang ke arah
sekawanan domba.
Para mainanpun menyerang. Karena tak mungkin ada
peluru dari senapan kayu, yang terjadi adalah benturan kayu dengan pedang,
besi, kayu dan tubuh manusia. Para prajurit bayaran mencoba memotong kayu
dengan senjata-senjata tajam dan mematahkannya dengan pentungan dan palu. Namun
bahan kayu ek pilihan bermutu tinggi pada mainan-mainan itu hanya jadi tercacah
saja, tak patah sekali pukul.
Yang lebih mengerikan, seorang prajurit bayaran
berhasil memenggal kepala satu boneka kayu. Gilanya, boneka itu tetap bergerak
cepat, kedua kakinya menendang tulang kering pria bertubuh besar itu hingga tumbang
dan tertelungkup di lantai.
Para mainan hanya memukul dan tak sampai membunuh,
namun jumlah mereka yang lebih banyak mampu membuat para tentara bayaran
kewalahan. Tak tahan jadi bulan-bulanan mainan, para lelaki yang rata-rata
bertampang berangasan itu lari kocar-kacir meninggalkan medan pertempuran.
Salah satu tentara itu bahkan berteriak, “Aku
dibayar bukan untuk ini! Lari!”
“Hei, kembali kalian, pengecut! Siapa bisa
menghabisi Pinocchio akan kubayar tiga kali lipat!” Percuma. Seruan Sang Kusir
tak mampu menyurutkan langkah orang-orang yang kesetiaannya sebatas uang itu.
“Grrh, dasar tak berguna! Tak apa, biar kutuntaskan ini sendirian! Rasakan
musuh terbesar kalian, pasukan kayu, Badai
Lautan Api!” Tangannya terulur, api tersembur dan menyebar luas ke
depannya.
“Semua berlindung!” seru Geppetto. Pinocchio dan
kedua temannya bereaksi cekatan, sembunyi di balik rak dan meja terdekat.
“Saudara-saudaraku, berlindunglah!” teriak si mantan
boneka kayu. Namun para mainan malah membentuk pagar betis. Para prajurit kayu
menutar-mutar senapan mereka seperti kincir angin, diikuti para mainan lain
dengan senjata masing-masing. Boneka-boneka yang tak bersenjata berputar-putar
seperti gasing, berharap menepis api dengan angin yang mereka timbulkan.
Empat mainan terkena serangan telak dan terkapar
dalam keadaan hangus. Lalu, dari balik “barikade”, tiga boneka yang menunggang
kuda-kudaan kayu berderap amat cepat, menerjang musuh.
Clive Barker si penyihir digdaya terpaksa
menghentikan apinya. Dengan gesit ia melecutkan cemeti yang tiba-tiba membara,
membakar para penyerang tanpa ampun.
“Hahaha! Dengan kekuatan baru dari tuanku,
Mephistopheles ini, dendamku pasti lunas beserta bunganya!” sesumbar Sang Kusir
melihat para mainan tak kuasa bergerak lagi. “Sekarang, habislah kalian semua!”
“Masih ada mainan terakhir!” seru Pinocchio
tiba-tiba. Tak disangka-sangka, dia, Cecilia dan Lentino memanfaatkan jeda saat
badai api padam tadi untuk mendekat. Ketiganya lantas berjongkok, menekan
bagian belakang kodok-kodok mainan mereka di lantai.
“Terjang!” Jari-jari dilepas, ketiga kodok kayu
melompat. Karena para mainan itu juga ikut jadi hidup, kecepatan dan kekuatan
daya lompatan mereka jadi berlipat ganda, menghantam telak wajah dan tubuh
Barker sebelum ia sempat menangkis dengan cemetinya yang berat. Begitu kuatnya
hantaman itu, tubuh Barker sampai terpelanting dan jatuh tersuruk.
Memanfaatkan kesempatan ini, para mainan meringkus
Barker dan menekannya kuat-kuat di tanah. Sang Kusir berusaha berontak, namun
tindihan puluhan mainan berat membuatnya tak mampu bergerak lagi.
Tepat saat itu pula, beberapa karyawan pabrik tiba
di ruang bawah tanah bersama tiga orang berpakaian putih-putih dan mengenakan
lencana berbentuk seperti orang merentangkan tangan, lambang sang dewa utama,
Vadis. Salah satu karyawan melapor, “Pak Geppetto, kami sudah menangkap para
penjahat yang lari dan baru tahu bapak di sini.”
“Bagus,” jawab Geppetto. “Bagus sekali pula,
anak-anak dan para mainan. Sekarang, biar para polisi sihir Vadis yang
menangani Sang Kusir ini…”
Masih teringkus, Barker malah berseru, “Kalian pikir
kalian sudah menang Geppetto, Pinocchio? Salah! Aku masih punya sihir terakhir!
Kalian semua sudah terjebak!” Tiba-tiba seluruh tubuh Sang Kusir menebar hawa
hitam pekat. Pinocchio yang menyadari “ilmu lama” ini berbalik lari sambil
berseru, “Itu ilmu penyerap daya hidup! Larii!”
Semua manusia dalam ruang bawah tanah itu lari
sejauh-jauhnya ke arah pintu keluar. Energi kegelapan dari sang kusir lantas
membentuk sosok salah satu dedengkot iblis bertanduk lima, Mephistopheles, siap
diledakkan dan meluluhlantakkan seluruh ruang bawah tanah.
Saat berikutnya, tiba-tiba semua mainan melepas
cekalan mereka pada Sang Kusir. Dengan satu entakan, tubuh-tubuh kayu itu, baik
yang masih utuh maupun hangus menggabungkan diri menjadi sosok seorang malaikat
wanita bersayap amat lebar yang mirip…
“Peri Biru! Bunda!” teriak Pinocchio. Memang inilah
taktik Galateia sejak awal. Bila kekuatan iblis Mephistopheles mewujud nyata,
barulah Duta Dewata Vadis itu turun tangan dengan kekuatan penuh.
“Huh, lagi-lagi kau mengganggu rencanaku!” Sang
Kusir bangkit dan bicara, namun suara yang keluar bukanlah miliknya. “Tak apa,
biar kau musnah sekalian!”
“Enyahlah kau, Mephistopheles! Meringkuklah kau
bersama Vordac, Arachus dan para iblis lainnya dalam Alam Ketiadaan!” Sambil
mengatakannya, sosok Peri Biru raksasa menekuk sayap-sayapnya, seolah memeluk
si iblis hitam. Di saat bersamaan, wujud energi Mephistopheles meledakkan
dirinya sendiri.
Pinocchio menaikkan tangan, melindungi matanya.
Walau demikian, ia masih melihat cahaya putih menyilaukan dari tubuh si peri
kayu raksasa yang bertumbukan dengan hawa hitam, meredam energi lawan agar
ledakan tak menyebar.
Beberapa saat kemudian, cahaya putih memudar, pudar
dan akhirnya lenyap sama sekali. Sosok Galateia raksasa tercerai-berai, kembali
menjadi mainan-mainan, benda-benda mati yang tergeletak di lantai. Di tengah
hamparan itu tampak Sang Kusir, Clive Barker terkapar di lantai, kejang-kejang.
Salah seorang polisi sihir berkata, “Nampaknya
seluruh kekuatan api dan kegelapan dalam dirinya sudah lenyap. Orang ini bukan
penyihir lagi, jadi ia akan dikenai hukuman biasa, dipenjara untuk waktu yang
sangat lama.” Lantas ia dan dua rekannya membelenggu dan menggiring si penjahat
meninggalkan tempat kejadian.
Pinocchio hanya terpaku melihat kepergian musuhnya –
dan musuh semua anak – ini. Perasaannya belum sepenuhnya tenteram, apakah
bahaya dari musuh-musuh lamanya ini sudah benar-benar berlalu? Atau kelak akan
datang musuh-musuh lain yang lebih berbahaya?
Sebagian jawabannya datang segera dalam wujud
sahabat lama Pinocchio, Jiminy. Si kepala pelayan memasuki ruang bawah tanah
pabrik dengan tertatih-tatih, tubuhnya penuh luka. Untunglah luka-luka itu
sudah dirawat oleh para pelayan rumah sebagai pertolongan pertama sehingga tak
membahayakan jiwa.
“Tuan! Tuan muda! Syukurlah kalian berdua selamat,”
seru si mantan jangkrik itu sambil tersenyum lega.
“Ya, berkat pinjaman kekuatan dari Peri Biru,” ujar
Pinocchio. “Juga berkat kerjasama ayah, para sahabatku dan para karyawan pabrik
ini. Tapi, bagaimana dengan Stromboli?”
“Saat aku terdesak dan nyaris tumbang, tiba-tiba
sepasukan polisi datang bersama sekelompok pengrajin mainan. Stromboli menuduh
para sekongkolannya itu berkhianat, dan mereka balas menuduh Stromboli memeras
mereka, maka terjadilah pertempuran. Akhirnya aku berhasil melumpuhkan si raja
boneka itu, dan kurasa dia akan berbagi bilik penjara dengan Sang Kusir.”
Pinocchio tertawa mendengar kalimat terakhir Jiminy itu.
Tiba-tiba wajah Pinocchio kembali muram. “Kita
memang selamat dari bencana hari ini, tapi bagaimana dengan lain kali? Aku tak
mau membahayakan ayah dan teman-temanku lagi. Mungkin sebaiknya aku pergi
berkelana saja…”
Yang menyela Pinocchio kali ini adalah suara yang
merdu dan lembut milik Galateia, Sang Peri Biru. “Kau tak perlu pergi,
Pinocchio. Ayahmu, pabrik Geppetto dan para sahabatmu masih sangat
membutuhkanmu. Lagipula kau masih harus menyelesaikan sekolah.”
“Tapi kekuatan dan bakat yang kumiliki sekarang bisa
jadi bakal mendatangkan musuh-musuh baru, juga bencana yang entah bakal separah
apa.”
Peri Biru membelai rambut hitam Pinocchio dengan
penuh kasih. “Jangan takut, anakku tersayang. Segala makhluk di Everna
diciptakan dengan takdirnya masing-masing. Apalagi dirimu, boneka kayu yang
memenuhi takdirmu menumpas kekuatan gelap dan menjadi manusia sejati. Bunda
yakin, kau akan makin kuat, makin tegar dan menajdi pelindung dan panutan bagi
orang banyak. Seorang pahlawan sejati.”
Wajah Pinocchio berubah cerah kembali, hatinya kini
penuh keyakinan. Ia lantas menatap ayahnya, Geppetto, sahabat-sahabatnya
Jiminy, Lentino dan Cecilia yang balas tersenyum padanya. Pinocchio lantas
menoleh kembali ke arah ibu penciptanya, Galateia, namun Sang Peri Biru telah
menghilang dari pandangan. Ia menduga-duga apakah orang-orang dalam tempat itu
sempat melihat sosok dewata itu tadi, lalu mengurungkan niat untuk membahasnya
lebih lanjut.
Pinocchio melangkah keluar dari ruang bawah tanah
dengan satu keyakinan bahwa petualangannya akan terus berlanjut, mewarnai
hari-hari si mantan boneka kayu.
Dan hidupnya akan menjadi mahakarya yang paling
indah dan sempurna.
Galateia
Ratu
Peri Cahaya, salah seorang Duta Vadis di Everna. Disebut pula Peri Biru karena selalu
berpakaian serba biru muda berpadu putih. Menjadi Duta Vadis karena Galateia berjasa
mendukung para pahlawan menumpas Mephistopheles.
Mephistopheles
Raja
Iblis Kegelapan, salah seorang Duta Adair di Everna setelah Arachus. Lalu, seperti
Vordac ia memberontak. Akhirnya ia tumpas di tangan Galateia dan para pahlawannya.
Sumber-sumber gambar:
Atas: Pinocchio versi Boneka Jepang: www.peakswoods.com
No comments:
Post a Comment