MEMBANGUN SEMESTA FANTASI - Bagian III
By:
Ken Budha, penulis Shangri-La
the Hidden City
You Are What You Eat
Dua pemikir besar tempo dulu, Anthelme Brillat-Savarin dan Ludwig
Andreas Feuerbach, bersepakat bahwa karakteristik manusia ditentukan
oleh apa yang mereka makan--karena cara manusia memperoleh makanan
sangat menentukan pola hidupnya, ilmu pengetahuan yang harus
dikuasainya, dan konflik-konflik yang dihadapinya.
Menyambung
dari bagian (2), di mana asal-usul semesta fantasi kita menentukan
bagaimana semesta itu bekerja, pada bagian (3) ini kita akan lihat
bagaimana bekerjanya semesta itu akan menentukan bagaimana konflik
muncul--dan, pada akhirnya, bagaimana plot kita bisa bekerja.
1. Mahluk Sentient adalah bagian dari alam dan bergantung pada alam itu
Mari
kita ambil contoh Manusia pada Terra 101. Pada awalnya, Manusia hidup
selaras dengan alam, sedapat mungkin ia menjaga kesetimbangan hayati
pada alam itu agar kelangsungan hidupnya bisa terjamin. Tapi, alam terus
berubah sekalipun tanpa campur-tangan manusia. Ketika perubahan iklim
terjadi, Manusia pun harus berubah. Perubahan bukanlah satu hal yang
mudah, dan begitu banyak konflik terjadi ketika satu komunitas Manusia
diharuskan menanggapi tekanan perubahan yang ada di sekitarnya.
2. Jahat dan Baik seringkali merupakan ekspresi dari ketersediaan sumber daya alam
Ketergantungan
Manusia akan alam ini makin nyata justru ketika ia sudah mengenal
peradaban. Dalam bentuk paling sederhana pun, sebuah peradaban selalu
berusaha menaklukkan alam agar memberi manfaat bagi manusia--seringkali
dengan menghancurkan kesetimbangan dan keragaman hayati yang ada pada
alam perawan. Sebuah peradaban yang rakus akan segera kehabisan sumber
daya alam, dan harus mencari sumber baru bagi kelangsungan hidup mereka.
Mulailah terjadi penjarahan terhadap peradaban tetangga. Maka "the Evil
Empire" pun lahirlah. Inilah penjelasan paling masuk akal mengapa Evil
Empire seringkali digambarkan sebagai tanah tandus yang tidak dapat lagi
mendukung kehidupan. Juga penjelasan paling masuk akal mengapa negeri
yang dijajah oleh Evil Empire kemudian ikut menjadi tandus dan kehabisan
sumber daya alam.
Tapi kita tidak perlu selalu
membuat kerakusan sebagai penyebab penjarahan. Perubahan iklim mendadak
atau kutukan dewata (tergantung dari Asal-usul Semesta kita) bisa
mendorong satu peradaban ke dalam keputusasaan dan kegilaan. Didesak
oleh kebutuhan untuk bertahan hidup, sebuah peradaban yang tadinya
makmur bisa saja berubah menjadi "evil" ketika bencana kelaparan melanda
negeri mereka.
3. Kelangkaan sumber daya alam mendorong perlombaan teknologi
Satu
mahluk disebut sentient ("cerdas") apabila ia terus-menerus berusaha
menemukan pemecahan atas permasalahan yang dihadapinya--secara
individual ataupun komunitas. Inovasi merupakan ciri dari sebuah
peradaban. Satu peradaban mungkin menguasai teknologi besi, dan memiliki
banyak tambang bijih besi, namun kurang dengan lahan pertanian.
Bagaimana peradaban itu menggunakan teknologi yang mereka punya sebagai
alat bantu pemecahan masalah pangan adalah
plot point atau
backstory yang sangat menarik.
Tiap
peradaban juga akan mengalami tekanan sosial dan politik apabila
peradaban tetangga membuat terobosan dalam teknologi. Ancaman invasi,
itu salah satu ketakutan yang riil--tapi perubahan dalam peta
perdagangan juga bisa menjadi sumber tekanan ini.
***
Intinya,
semesta menyediakan sumber daya dan kelangkaan--serta
perubahan-perubahan yang akan menggeser peta kekuatan antar peradaban.
Perjuangan mahluk-mahluk sentient untuk memanfaatkan sumber daya,
mengatasi kelangkaan dan menghadapi perubahan alam merupakan sumber
inspirasi untuk jalannya cerita.
Jika sihir merupakan bagian
dari semestamu, perlakukan akses terhadap sihir ini sebagai salah satu
bagian dari sumber daya alam--konflik-konflik yang timbul dari perebutan
akses terhadap sihir ini, termasuk perlombaan teknologi untuk
penggunaan sihir, akan tergarap dengan lebih realistis dan detil.
Tidak
perlu ketiga tips itu dipergunakan sekaligus, carilah bagian yang
paling pas dengan ide cerita yang kamu punya. Novelku Shangri-La the
Hidden City, misalnya, memakai point nomor 3 sebagai landasan
konfliknya. Ketika Manusia Biasa telah berhasil memajukan teknologi
sehingga mampu melakukan hal-hal yang bahkan tidak dapat dilakukan para
penyihir dalam semesta itu (misalnya telekomunikasi atau transportasi
jarak jauh), ada tekanan sosial keras pada komunitas penyihir untuk
menanggapi perubahan itu. Ada ketakutan bahwa satu saat Manusia Biasa
akan mampu benar-benar mengalahkan para penyihir--dan mengingat sejarah
bagaimana Manusia Biasa mengejar-ngejar dan menganiaya para penyihir,
ketakutan ini sangat realistis dan wajar. Ada golongan penyihir yang
menjadi anti terhadap teknologi Manusia, ada pula yang berkeyakinan
bahwa jalan untuk menerobos kemandegan dalam dunia sihir adalah dengan
memeluk teknologi Manusia Biasa itu. Ini merupakan bahan yang sangat
kaya untuk meramu konflik antar individu dan kelompok dalam Shangri-La
the Hidden City.
Sumber artikel:
Bagian III:
https://www.facebook.com/notes/fantasy-worlds-indonesia/membangun-semesta-fantasi-you-are-what-you-eat-3/588029217936335
No comments:
Post a Comment