Kiri ke Kanan: Reuven Sang Rahval, Karth Sang Shazin, Clarissa Sang Vestal |
Namaku Karth. Aku adalah anggota
Shazin, sebuah klan pembunuh gelap yang juga adalah pasukan elit di Legiun
Falthemnar.
Walau menjadi Shazin bukan
pekerjaan terhormat, aku terus menjalaninya bertahun-tahun penuh pengabdian.
Prinsipku, siapapun yang terbukti adalah sumber masalah atau bahaya di Negeri
Elvar harus dilenyapkan.
Jadi di sinilah aku,
berkelebat nyaris tanpa suara, searah dan seiring hembusan angin. Melompati
pohon demi pohon seperti kera, kadang berayun di akar-akar rambat yang
bergelantungan. Sosokku yang tinggi, ramping dan cukup berotot membuat
gerakanku lebih lincah dan lentur. Rambut kelabuku yang panjang berikat
berkibar bagai ekor rubah.
Di Hutan Telssier ini, tiap
batang dan daun pepohonan, semak-belukar, tiap ceruk tanah, aliran air dan
pergerakan udara kumanfaatkan agar selalu tersamar tiap saat. Walhasil, makhluk
manapun akan sulit mengenali sosokku, mendengar gemersik gerakku, bahkan bau
tubuhku.
Tak terkecuali sasaranku
kali ini, seorang pria parobaya yang berdiri seorang diri di tepi telaga. Ia
berkumis tebal, mengenakan bandana, sepasang anting besar dan rompi bersulam.
Matanya tampak berkaca-kaca, sepenuhnya tertuju pada sebuah pusara tak jauh
dari batas air.
Saat berikutnya,
terdengar suara lembut pria manusia itu. “Ayah datang lagi, Lyra. Tak terasa,
sudah bertahun-tahun sejak kau beristirahat selama-lamanya…”
Sang ayah tak mampu lagi
menahan air matanya yang membuncah.
“Ya, Lyra, selama itu
pula waktu serasa terhenti. Ayah tahu, ayah harus merelakanmu, seperti halnya
ibumu saat penyakit merenggutnya. Saat ternyata kau menyusul ibumu, hati ayah
hancur luluh. Bahkan suamimupun hilang tak tentu rimba.
Kini ayah sudah lelah,
Lyra. Lelah. Ayah tak tahan lagi hidup tanpa keluarga tercinta. Katakanlah,
Lyra, ayah harus bagaimana?”
“Mudah saja. Jangan
bergerak dan sambutlah kematianmu, Olaf.” Kata-kata itu meluncur dari bibirku
sederas tubuhku yang terjun dari pohon terdekat. Belatiku terayun, siap
mengiris leher calon korbanku itu.
Tak kusangka, Olaf malah
membenturkan kepalanya pada kepalaku persis di belakangnya. Kakiku tersurut
mundur dua langkah, kepalaku pening bukan kepalang.
Olaf menghunus sebilah
pedang pendek dan berseru, “Jadi kau ingin mengantarku ke akhirat? Hmm,
setahuku aku tak punya musuh.”
“Kau punya, Olaf,”
jawabku tenang. “Jangan tanyakan siapa, karena aku takkan mengatakannya.”
“Tak masalah,” tanggap
Olaf sambil menepuk dada. “Ambil nyawaku, kalau bisa.” Pria kekar itu maju
sambil menyabet-nyabetkan pedangnya.
Dengan lincah aku
berkelit ke samping, sepenuhnya menghindari terjangan. Tiba-tiba Olaf memutar
tubuh sambil bertumpu pada satu kaki, sabetan pedang deras menerpa ke arah
tubuhku.
Aku bereaksi dengan
mundur menghindar. Sebagian daya sabetan ditahan baju kulitku, sebagian menggores
dadaku.
Baik, saatnya main keras.
Kuhunus senjata andalanku, pedang berbilah tipis yang membelit pinggangku bagai
sabuk. Pedang lembut ini lantas kugerakkan meliuk-liuk bagai ular. Olaf
berusaha menangkis, namun lebih banyak ujung pedangku mematuki tubuhnya
daripada yang berdenting di bilah pedang si gipsi.
Mulai putus asa, Olaf
dengan nekad mengulurkan tangannya, menangkap bilah pedang lembut.
“Bodoh, kaukira semudah
itu merebut senjataku?” Kuhentakkan tanganku, kutarik pedang sekuat tenaga.
Tanpa disadari lawan, pedang lembut tiba-tiba terulur makin panjang. Bilah-bilahnya
terbagi-bagi, setiap bagiannya tersambung dengan semacam benang.
“Waktunya kau mati.”
Secepat kilat aku bergerak memutar, membelitkan bilah pedang cambuk ke sekujur
leher Olaf. Terkesiap, Olaf berusaha melepaskan pegangan pada bilah pedang,
namun terlambat. Wajah tegangnya mengendur, berganti senyuman damai.
“Lyra, ayah menyusulmu.”
Itulah kata-kata terakhir Olaf saat kepalanya terpisah dari tubuh dan sosoknya roboh
tepat di atas pusara.
Dengan langkah santai kuhampiri
jenazah korbanku. “Kau sungguh tangguh, Olaf. Semoga rohmu tenang, berkumpul
lagi bersama anak-istrimu di alam baka.”
Ya, tugasku tuntas. Namun
ada dua hal mengganggu benakku. Nampaknya sasaranku ini hanya seorang gipsi,
penghibur keliling yang tak berbahaya. Bukan pemburu, penjahat atau ancaman
berarti bagi Negeri Elvar. Mengapa ia harus dilenyapkan? Bila ada kesempatan
nanti, aku akan mencaritahu jawabannya sendiri.
Lagipula, rasanya aku
pernah mendengar nama “Lyra” sebelumnya.
Kakiku melangkah amat
cepat, membawa tubuhku menjauh dari tempat kejadian.
==oOo==
Dari semua tempat di Ther
Melian, tak ada yang lebih kukagumi sekaligus kubenci daripada Ibukota Negeri
Elvar, Falthemnar.
Sebabnya, seorang Shazin
sepertiku tak dapat melenggang tenang menyusuri jalan. Biasanya, aku cukup
mengenakan jubah bertudung saja. Namun, kantung berdarah hasil kerjaku ini
membuatku terpaksa melompat dari atap ke atap rumah dan gedung, menghindari
tatapan curiga para Elvar lain.
Tibalah aku di sebuah
gang sempit. Kuhampiri sosok bertudung putih yang sedang berdiri berpangku
tangan di sana. “Salam, Leidz Clarissa. Tugas telah tuntas,” ujarku sambil
membungkuk tanda hormat.
Serta-merta kusodorkan
kantung berdarah itu ke hadapan si wanita. Clarissa tak menyentuh kantung itu.
Ia hanya melihat isinya dan mengangguk.
“Kerja bagus seperti
biasa, Karth,” ujar Clarissa sambil menyerahkan sebuah kantung kecil padaku.
Kuterima kantung itu, melirik isinya dan mengangguk.
“Terima kasih,” kataku.
“Bila tak ada perintah lagi, Leidz, sebaiknya aku segera kembali pada
pasukanku…”
Clarissa menyela,” Ada satu
tugas lagi untukmu.”
“Siapa yang harus
kulenyapkan?”
“Kali ini kau hanya perlu
mencari seseorang, bukan melenyapkannya.”
Kujawab, “Maafkan aku,
Leidz. Bukankah sebaiknya Elvar lain saja yang…”
“Tidak. Harus kau.” papar
Clarissa. “Saat ini, hanya kau yang kupercaya. Lagipula, aku akan ikut
denganmu.”
Aku terperangah, “Tapi
Leidz…”
“Tak apa, Karth. Tentunya
kau senang bila sekali-kali bekerja terang-terangan, bukan?”
Menegaskan maksudnya,
Clarissa membuka tudungnya. Tampak olehku seraut wajah cantik bermahkotakan
rambut hijau berombak, panjang sepinggang. Tatapan mata hijaunya menyiratkan
kekuasaan, kekuatan kehendak yang pantang dibantah oleh siapapun, termasuk aku.
Ya, aku hanya bisa terpana.
Clarissa melanjutkan. “Orang
yang kita cari ini adalah Lourd Reuven.”
Nama itu tak membuatku
terkejut. Lourd Reuven, mantan perwira Legiun Falthemnar, salah seorang Rahval
terbaik di kalangan Elvar. Setahuku, puluhan tahun yang lalu, ia dan Leidz
Clarissa pernah cukup dekat. Clarissa sering meminta bantuan Reuven menggubah
lagu-lagu ritual penyembahan pada para Aether. Hanya lagu-lagu gubahan
Reuvenlah yang bisa Clarissa nyanyikan dengan penjiwaan sempurna, jadi bisa kupahami
alasan Sang Vestal mencari Rahval itu sekarang.
“Baiklah, Leidz. Tugas
kulaksanakan,” ujarku akhirnya.
Clarissa mengangguk.
“Bagus. Coba kau cari informasi tentang keberadaan Reuven, lalu laporkan
hasilnya padaku,” ujarnya sambil berbalik pergi.
“Daulat, Leidz.”
Masih dengan kantung
berdarah di tangan, aku melesat pergi dari tempat pertemuan. Aku tahu, kini aku
harus melenyapkan barang bukti buah tanganku ini. Apa mau dikata, waktu
istirahat tak kunjung tiba.
==oOo==
Di bawah pancaran
matahari senja, aku tiba di depan rumah seorang Elvar. Tanpa sadar aku
tersenyum. Perpaduan dinding putih berpahat dan rumpun-sulur tanaman yang
melingkupinya tak pelak menimbulkan rasa sejuk nan teduh dalam diriku. Tanganku
terulur, mengetuk lembut pintu depan.
Suara seorang pria
menyambut dari dalam rumah, “Siapa di sana?”
“Ini aku, Karth, ‘ia yang
berjalan dalam bayangan’,” jawabku.
Pintu rumah terbuka. Sesosok
Elvar pria berambut pirang sebahu dan mengenakan kemeja putih panjang selutut muncul
di ambang pintu. Tak salah lagi, wajah rupawan dan sorot mata biru yang lembut
dan bersahabat itu milik Valadin.
Kedua tangan si tuan
rumah menepuk bahuku. “Karth, sungguh kejutan yang menyenangkan! Angin apa yang
membawamu jauh dari Telssier Citadel ke kediamanku ini?”
“Angin pekerjaan, Lourd
Valadin.” Kuatur nada bicaraku agar tak terlalu formal. “Tenang saja, aku hanya
ingin menanyakan suatu hal penting pada anda.”
Sang Eldynn, Ksatria Suci
dan Perwira Legiun Falthemnar itu menatapku sejenak, lalu mundur dari pintu.
“Hm, kita bicarakan di dalam saja.” Benar, Valadin adalah sahabatku, namun
pekerjaan mencegahku terlalu akrab dengan siapapun.
Tak lama kemudian, aku
dan Valadin duduk berhadap-hadapan di ruang tamu.
Valadin membuka
pembicaraan. “Nah, apa yang bisa kubantu?”
Tanpa basa-basi, kuberitahu
dia tentang tugasku mencari Lourd Reuven. Sebagai sahabatnya, kemungkinan
Valadin punya petunjuk tentang keberadaannya.
“Reuven, ya.” Ekspresi
Valadin tiba-tiba berubah. Dahinya berkerut, seakan tengah mencicipi buah yang
masam. “Kurasa aku tahu siapa penugasmu itu. Selain aku, ada satu orang lagi
yang berharap Reuven tak pernah meninggalkan Negeri Elvar. Tapi tenang saja,
aku takkan menyebut namanya. Justru aku akan memberi kalian petunjuk.”
“Apakah itu?”
“Menurutku, Reuven ada di
Benua Ther Melian, entah ia masih hidup atau sudah tiada. Dan tempat terbaik
untuk mencarinya adalah di hutan lebat.”
“Hutan lebat?” Dahiku
mengerut. “Kurasa bukan Hutan Telssier atau di wilayah Elvar, karena Elvar
manapun takkan terlalu sulit menemukannya.”
“Tepat sekali,” ujar
Valadin, senyumnya makin cerah. “Jadi sekarang kau tahu tempat untuk memulai
tugasmu.”
“Ya, terima kasih atas
petunjuk anda, Lourd Valadin.”
Saat aku hendak bangkit
dan minta diri, Sang Eldynn menyela, “Tunggu, Karth. Sebagai ganti bantuan
tadi, aku ingin menawarkan sesuatu padamu.”
“Apakah itu, Lourd?” Aku
duduk kembali.
Valadin menatap lurus
mataku. “Dengar, Karth. Kita sudah bersahabat cukup lama, bukan? Pertanyaannya,
bisakah kau kupercaya?”
Kutatap balik dia.
“Tentu, Lourd Valadin. Anda bisa mempercayaiku.”
“Baiklah. Aku akan mengungkapkan sebuah
rencana besar padamu.” Saat mengatakannya, sorot mata Valadin bagai api yang berkobar-kobar.
Aku terpana. Firasatku, ini
akan lebih besar dari dugaanku yang tergila.
Dengan sangat hati-hati Clarissa
melangkah melintasi tanah lembab, becek dan berlumpur di Mumtaz, desa yang
terletak di sisi Barat Daya Hutan Kabut di wilayah Kerajaan Lavanya, di Jazirah
Timur Benua Ther Melian.
“Kau yakin kita harus ke
desa ini, Karth?” Sang Vestal melihat pemandangan sekitarnya dan mengerutkan
dahi.
“Aku hanya mengikuti petunjuk
Lourd Valadin, Leidz,” ujarku santai. “Selain Telssier, hutan paling lebat di
Ther Melian adalah Hutan Kabut. Hanya di desa inilah kita bisa menyewa pemandu
terbaik agar tak tersesat di hutan itu.”
Clarissa diam seribu
bahasa. Beberapa saat kemudian, aku memasuki kedai minum satu-satunya di desa.
Sementara Elvar wanita itu memilih berdiri saja di luar.
Tak sampai setengah jam,
aku keluar bersama seorang pria. Melihat pria berkulit gelap, berjanggut kasar,
kotor dan mengenakan baju kulit rusa itu, Clarissa langsung melabrak, “Karth,
bunuh orang ini! Pemburu laknat! Beraninya kau muncul di hadapanku!”
Bukan bertindak, aku
hanya bicara, “Leidz Clarissa, tenanglah. Ini teman lamaku, Deevgan. Dia memang
seorang pemburu, tapi hanya dialah yang bisa kita andalkan. Deevgan mengenal
Hutan Kabut seperti anaknya sendiri.”
Clarissa protes, “Kau
berani menentang perintahku dan bergaul dengan perusak alam, Karth? Bunuh dia
sekarang juga, atau…”
“… Atau kau akan
memaksaku melanggar sumpah sebagai Shazin?” ancamku. Tanganku menggenggam
gagang belati, siap menghabisi Elvar angkuh itu.
“Hmph, baik, kutarik
perintahku,” ujar Clarissa akhirnya. “Tapi aku akan membuat perhitungan
denganmu setelah ini semua selesai.”
Terserah. Aku tak peduli.
Bagaimanapun caranya, walau harus mengendurkan prinsipku sendiri, tugas harus
dituntaskan.
“Kita bicara di tempat
lain saja,” ujar Deevgan sambil pasang wajah masam. “Mari, Leidz yang
terhormat.”
==oOo==
Setelah kekusutan paham
terurai, aku, Clarissa dan Deevgan kini menyusuri hamparan pepohonan di Hutan
Kabut.
Mencari Reuven di tempat
seperti ini jelas bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kabut tipis yang
menggantung di udara sepanjang hari mempersempit jarak pandang. Jadi Deevgan
mengandalkan indera peraba, penciuman dan pendengaran serta pengetahuannya
untuk menentukan arah.
“Lihat lumut itu,” ujar
Deevgan sambil meraba batang pohon. “Kurasa kita sudah dekat Sungai Kaligo.”
Aku terkesiap. Tak terasa
sudah lebih dari tiga hari kami menjelajah. Bahkan Leidz Clarissa yang
cerewetpun tampak lesu.
Terpaksa aku lagi yang
mengambil keputusan. “Kita keluar sejenak dari hutan. Siapa tahu di sana ada
lebih banyak pohon buah-buahan untuk menambah perbekalan.”
Clarissa hanya mengangguk
lemah.
Setibanya di tepi Sungai
Kaligo, kami bertiga terus berjalan ke arah Timur Laut. Setengah hari lewat,
mataku tertumbuk pada sebuah rumah di kejauhan.
“Nah, selamat datang di
rumahku,” ujar Deevgan tiba-tiba. Melihat mata Clarissa yang melebar, tak dapat
kusembunyikan senyum puasku.
“Hmph, rupanya kau juga
sudah tahu sejak awal,” rutuk Elvar wanita itu.
Saat istri dan putri
semata wayang Deevgan menyambut si pemburu dengan penuh mesra, ekspresi
Clarissa berubah. Asumsiku, nampaknya ia menginginkan menjadi istri dan ibu,
merasakan kasih sayang keluarga.
“Mari, masuklah,” ujar
Deevgan ramah. “Anggap saja rumah sendiri.”
Aku dan Clarissa melangkah
masuk, sementara Deevgan sibuk melepas rindu.
Tiba-tiba, Clarissa
tampak bagai tersambar petir. Kulayangkan pandang ke sumber kejutan, dan baru
kusadari aku telah bertindak ceroboh.
Di dinding kayu rumah si
pemburu tergantung kepala-kepala pelbagai jenis hewan yang pernah diburunya.
Rusa, babi hutan, harimau, bahkan salah satu satwa yang dianggap suci di Ther
Melian. Itulah rusa bertanduk tunggal, Shadhavar.
Sebelum aku sempat
mencegah, Sang Vestal yang ternyata cukup lincah terlanjur melesat keluar
rumah. Kususul dia, namun terlambat. Clarissa tampak berdiri di kejauhan,
belatinya menempel di leher putri Deevgan.
“Priya!” Istri Deevgan
berteriak histeris.
“Oh, nama yang bagus!”
sindir Clarissa. “Sayang, itu tak bisa menutupi dosa-dosa ayahmu!”
“Leidz Clarissa! Kita
masih bisa bicarakan ini!” seruku. “Ingat, ini bukan wilayah Elvar. Mustahil
pemburu seperti Deevgan tahu tentang larangan membunuh Shadhavar!”
Clarissa membentak,
“Pembunuh Shadhavar harus membayar dengan nyawa. Entah dirinya sendiri, atau
orang yang ia sayangi. Itu aturan mutlak!”
Bahkan sang ayah mengiba.
“Kumohon, lepaskanlah anakku! Aku bersumpah takkan memburu Shadhavar lagi
seumur hidup!”
“Enak saja, takkan
kubiarkan pemburu melenggang tanpa hukuman!” bentak Clarissa. “Karth, bunuh
Deevgan!” Jelas, alasan apapun takkan bisa menggoyahkannya.
Aku terpaku sesaat dalam
keraguan, dalam kondisi serba-salah ini. Saat berikutnya, kutemukan diriku
berhadap-hadapan dengan lawanku, yaitu… Deevgan.
Pastinya, belati yang
menyatu dengan sarung tanganku yang disebut katara yang mendahuluiku bicara.
Sengaja kulambatkan gerakanku. Deevgan mengayunkan lembingnya secepat mungkin,
menangkis rentetan tusukanku dengan susah-payah. Namun, dari sorot matanya
kurasa ia mengerti maksudku.
Saat tubuhku membelakangi
Clarissa, gerak bibirku menyampaikan pesan. “Akan kuserang Elvar itu mendadak.
Rebutlah anakmu, bawa keluargamu lari.”
Saat aku mencoba mencari
kesempatan, tiba-tiba serampai melodi memenuhi udara. Itu irama kecapi yang
mengiringi suara nyanyian seorang Elvar pria. Tanpa sadar aku dan Deevgan
berhenti bertarung, terbuai oleh nyanyian indah tiada tara itu.
Aku terkesiap. Ini lagu
yang pernah kudengar beberapa kali, terakhir tiga tahun yang lalu. Namun yang
menyanyikannya terakhir kali adalah seorang wanita bernama…
Ah, aku lupa namanya.
Lagipula, kini Elvar
pemusik sihir yang disebut Rahval yang kucari itu telah hadir di hadapanku.
“Lourd Reuven,” ujar
Clarissa. “Seharusnya aku tahu…” Cekalannya pada Priya mengendur. Gadis kecil
itu menyelinap, menghambur ke pelukan bundanya.
“Leidz Clarissa,” sahut
Reuven dengan nada dingin, sedingin tatapan mata ungu gelapnya. Denting kecapi
terhenti seketika. Sang Rahval berdiri tegap dan gagah, rambut coklat yang
menutupi sebagian wajahnya berkibar diterpa angin.
Reuven melanjutkan. “Urusan
apa yang membawa seorang Tetua Vestal dan seorang Shazin jauh ke hutan
terpencil di ujung benua ini?”
“Mencarimu,” jawabku.
“Nah, karena kalian sudah
menemukanku, apa kalian akan membujukku agar kembali ke Falthemnar? Itu
permintaanmu bukan, Leidz?”
Kata-kata Reuven rupanya
tepat sasaran. Leidz Clarissa tak mengucapkan sepatah katapun, hanya menatap
Elvar berambut coklat itu penuh harap.
Ah, rupanya Clarissa masih
menaruh hati pada Reuven. Pantas saja ia rela meninggalkan tugasnya, menjelajah
separuh benua demi mencari satu orang ini. Menebak isi hati orang lain ternyata
memang bukan bakatku.
Reuven hanya tinggal
berkata “ya”, dan tuntaslah tugasku.
“Jawabanku ‘tidak’.
Silakan kalian pulang, jangan mengganggu ketenangan hutan dan keluarga ini.”
Nada bicara Reuven tetap datar, menegaskan maksudnya.
Penolakan mentah-mentah
itu membuat wajah Clarissa pucat seketika.
“K-kau… Mengapa?” Mata
wanita itu berkaca-kaca. “Sengaja aku menunggu puluhan tahun. Aku yakin, waktu
selama itu akan mampu membuatmu melupakan wanita itu… manusia itu.”
Reuven menggeleng.
“Tidak, aku selamanya takkan bisa melupakan istriku tercinta, walaupun ia telah
lama tiada. Dialah pilihanku, belahan jiwaku, bukan kau. Jadi pulanglah,
Clarissa. Aku akan selalu berdoa agar kau menemukan cinta sejatimu. Bisa jadi
ia adalah pemuda teman seperjalananmu itu.” Ia menunjuk ke arahku.
Aku terperangah. Mungkin
Reuven benar. Sesungguhnya, sangat sulit bagi seorang Elvar untuk jatuh cinta.
Sekali ia memilih kekasih, bahkan menikah, selamanya hatinya akan terikat pada
pasangannya walaupun terpisah oleh kematian. Jadi, jatuh cinta lagi akan
berlipat kali lebih sulit, bahkan nyaris mustahil.
Aku yakin Leidz Clarissa
memahami itu. Namun ia nekad menentang kenyataan, mencoba menggapai cinta yang
mustahil diraihnya. Kini, yang dituainya hanya kekecewaan mendalam.
“Oh, jadi memang sudah
tak ada lagi harapan yang tersisa bagiku,” tutur Clarissa di sela isak
tangisnya. “Bila demikian, akupun tak punya pilihan lagi. Karth, Elvar bernama
Reuven itu telah berkhianat, membawa aib besar bagi kaum kita. Ini tugas baru
bagimu. Bunuh Reuven!”
Kali ini, sebagai Elvar
berdarah murni, aku memilih untuk patuh. Dengan pedang cambuk dan katara,
kuserang Reuven. Sang Rahval menghindar dengan lincahnya, terus bergerak
menjaga jarak.
Kembali kecapi
berdenting. Kali ini gelombang suara yang dihasilkannya menggerakkan udara di
sekitarnya, melesat bagai hujan belati tajam.
Kutarikan pedang cambukku
membentuk medan pelindung tubuh. Benturan udara dan logam terdengar
bergemerincing.
Tiba-tiba, Reuven memetik
senar kecapi dengan empat jari sekaligus, menembakkan gelombang suara besar
yang langsung menghantam tubuhku. Walhasil aku roboh dan muntah darah.
Tiba-tiba, tubuhku terasa
dirasuki cahaya hangat. Aku bangkit, tenagaku pulih seketika. Ini pasti sihir
penyembuhan dari Sang Vestal, Clarissa.
Secepat kilat kulesatkan
katara ke leher Reuven. Ia berhenti memetik, mengayunkan kecapinya dan
menangkis. Gerakannya agak terlambat, karena tusukanku melenceng ke bahunya.
Reuven meringis, darah mengalir dari luka barunya.
Lalu, aku dan Reuven
jual-beli serangan, kali ini dalam jarak dekat. Dalam posisi menguntungkan ini,
kulecutkan pedang cemetiku bagai badai. Secepat apapun Reuven menangkis, darah
terus bercipratan dari tubuh Elvar petarung jarak jauh ini.
Walhasil, pakaian
serba-ungu Reuven kini kemerahan oleh darahnya sendiri. Sang Rahval terkapar di
tanah, hanya bertopang sikunya.
Leidz Clarissa menapak
maju. “Sayang sekali kau harus berakhir seperti ini, Reuven,” ujarnya. “Yah,
setidaknya kau takkan kesepian di akhirat. Ada istrimu dan ayah mertuamu yang
akan menemanimu di sana.”
Mata Reuven terbelalak.
“Apa? Olaf? Jangan-jangan kalian telah…”
“Itu buah karya si
Shazin. Nah, ucapkan selamat tinggal pada dunia, Reuven. Karth, tuntaskan
tugasmu.”
Namun aku hanya terpaku.
Hanya satu pikiran di benakku. Jika Olaf adalah ayah mertua Reuven, maka
anaknya, Lyra adalah… Astaga! Ternyata selama ini aku diperalat demi dendam
pribadi!
“Karth, tunggu apa lagi? Habisi dia,
sekarang!”
Sebelum aku sempat
bergerak, tiba-tiba Reuven bangkit dan menerjang ke arah Clarissa, otak segala celakanya.
Gelombang suara tajam penuh murka dari kecapinya menghujani aura pelindung Sang
Vestal tanpa ampun.
Kewalahan, Leidz Clarissa
terus bergerak menghindar. “Karth, tolong aku!” teriaknya. “Tunaikan sumpahmu
sebagai Shazin!”
Terlambat. Bilah-bilah gelombang
tajam terlanjur menembusi dan menyayat tubuh Clarissa. Kalaupun tak tewas, ia
pasti lumpuh total.
Beberapa saat kemudian, kulihat
Reuven berjalan perlahan ke arahku. “Aku mengerti, kau hanya menjalankan
perintah. Aturan Klan Shazin telah membutakan nuranimu,” ujarnya dingin. “Pergi
kau, sebelum aku berubah pikiran.”
Aku terperangah. Bisa
saja Reuven mencacah tubuhku saat aku lengah tadi.
Namun, saat aku hendak
berbalik pergi, mataku tertumbuk pada sesuatu di balik punggung si pengampun.
“Lourd Reuven, lihat!”
Reuven membalikkan tubuh
ke arah telunjukku terulur. Dari reaksinya yang mundur setapak, jelas ia setuju
denganku.
Tampak sesosok makhluk
bangkit perlahan-lahan dari tempat Leidz Clarissa terkapar. Rupanya, tubuh
Elvar wanita itulah yang berubah wujud dan terus membengkak, hingga melampaui
bahkan merobohkan pohon di dekatnya.
Wujud Clarissa kini lebih
mirip pohon daripada manusia. Ranting bersebaran seperti rambut, cabang-cabang
seperti tangan dan belitan akar seperti gaun yang menjuntai, menyusur tanah.
Ada satu kata yang bisa
menggambarkan sosok ini.
“Daemon!” rutuk Reuven
dengan gigi gemeletak.
Si pohon raksasa
menanggapinya. “Ya. Akulah Zvahal, Daemon pohon yang digdaya. Telah
bertahun-tahun aku mendekam di tubuh Elvar ini. Segala perasaan negatifnya,
termasuk rasa cemburunya membuatku makin kuat.”
Aku meludah. “Lantas kau
mengambil-alih tubuh Leidz Clarissa saat ia sekarat? Cih! Di antara segala
makhluk, kaulah yang terendah. Dasar benalu! Keluar saja kau dari tubuhnya!”
“Beraninya kau menyebutku
benalu!?”
Nampaknya aku berhasil
membuat Daemon itu marah. Keenam tangan sulurnya berlecutan, membuat aku dan
Reuven pontang-panting menghindar. Walhasil, lecutan itu menjebol dinding rumah
Deevgan.
Sambil terus menghindar,
Reuven mendekat ke arahku. Dari isyarat matanya aku paham seketika, kami harus bahu-membahu
untuk mengalahkan Daemon ini. Kujawab dia dengan satu anggukan cepat.
Detik berikutnya aku
melesat, menghunjamkan kataraku di punggung si Daemon pohon. Satu dahan meliuk,
melecut. Aku berkelit. Dahan hanya menggores kulit lenganku. Tiba-tiba, dahan
kedua menghantam telak perutku, membuatku terpelanting. Tak ayal kepalaku
terbentur dinding rumah.
Saat peningku berangsur
hilang, tampak Reuven jadi bulan-bulanan Zvahal.
Aku menerjang, bertaruh hidup-mati.
Kataraku menusuk,
menghentikan laju lengan runcing yang menyasar hati.
Kubelitkan pedang cambuk
dengan segenap kekuatan, membelenggu Zvahal.
Lalu aku berteriak,
“Sekarang!”
Sang Rahval memainkan
kecapinya, kembali melesatkan gelombang-gelombang tajam yang mengiris tubuh si
raksasa.
Di bawah tekanan, Zvahal
malah tertawa. “Haha, pisau-pisau kecil itu takkan bisa menghancurkanku! Dasar
bo… hah! Hah? Mustahil! Aku Daemon terkuat!”
Sekuat apapun raga, pasti
ambruk bila disayat-sayat tanpa henti.
“Tidak! Aku tak rela
takluk! Tak rela!” Seiring kata terakhirnya, tubuh Zvahal pecah berhamburan ke
segala penjuru. Yang tertinggal hanya tubuh sekarat sang inang, Clarissa, di
pelukanku.
Dengan wajah membiru,
Sang Vestal menoleh ke arah Reuven.
“Maafkan aku… karena
terlalu… mencintaimu… Lourd… Reuven…”
Tubuh Clarissa bergetar
hebat, lalu tangannya terkulai.
Tak sengaja kutitikkan
air mata.
Jenazah Sang Tetua Vestal
kukuburkan di tepian sungai ini. Walau tak menyimpan rasa pada Clarissa, Reuven
ikut menangis dan memainkan lagu bernada lirih. Setelah lagunya rampung, Sang
Rahval berbalik untuk pergi.
“Tunggu, Lourd Reuven!”
seruku.
“Mau apa lagi?” gerutu
Elvar bermata ungu itu tanpa menoleh. “Kita sudah tak ada urusan lagi. Bahkan
aku telah meminta Deevgan dan keluarganya pindah ke desa. Pergilah, Karth.
Anggap saja aku sudah mati.”
“Tapi, Lourd, selain
Clarissa, ada Elvar lain yang peduli pada hidup-matimu.”
“Siapa dia?”
“Sahabatmu, Lourd
Valadin.”
Mendengar nama itu,
Reuven menoleh. “Lantas, mau apa dia? Menyuruhmu memaksaku agar kembali?”
Aku menyanggah, “Bukan.
Beliau hanya menitipkan pesan bahwa beliau telah bertemu dua wanita yang sangat
mirip denganmu.”
Reuven tercekat. Beberapa
saat kemudian, kembali ia bertutur dengan nada lebih ramah. “Apakah kedua
wanita itu kini sehat-walafiat?”
“Lourd Valadin tak
memberitahuku lebih jauh.”
“Begitukah? Hm. Bisa
bantu aku? Bila Valadin menanyaimu, katakan saja kau gagal menemukanku.”
“Tak masalah. Bagaimana
dengan anda sendiri, Lourd Reuven?”
Reuven mengembangkan
senyum langkanya. “Hutan Kabut adalah rumahku. Semua makhluk di sini adalah
sahabatku. Yah, kurasa aku akan baik-baik saja.”
“Baiklah. Sampai jumpa
lagi, Lourd Reuven.”
Mataku tak lepas menatap Sang
Rahval Pertapa yang pergi menjauh. Firasatku berkata, aku akan bertemu lagi
dengannya. Tiba-tiba terbersit di benakku, wajah Reuven sangat mirip dengan
wajah sahabat karibku. Mungkinkah ia…? Ah, belum tentu. Sebagai makhluk
elok-rupawan, pasti banyak Elvar yang mirip satu sama lain.
Secepat kilat kulangkahkan
kakiku, menyusuri tepian Sungai Kaligo ke arah Utara. Tujuan selanjutnya,
bergabung dengan Laruen di Hutan Telssier.
-------------------------------
Ther Melian Fan Fiction Contest 2012
Serial Fantasi Ther Melian - karya Shienny M.S.
www.thermelian.co.cc
http://shiennyms.wordpress.com
http://fantasindo.blogspot.com/2012/09/ther-melian-fan-fiction-contest-2012.html
Facebook Note:
http://www.facebook.com/notes/andry-chang/ther-melian-fan-fiction-sang-shazin-andry-chang/10151110989451741
No comments:
Post a Comment