[BATTLE OF REALMS 5 – PRELIMINARY]
VAJRA – BUMI GONJANG-GANJING!
Penulis: Andry Chang
Bumi gonjang ganjing langit kêlap-kêlip
katon lir kincanging alis risang mawèh gandrung
sabarang kadulu wukir moyag-mayig
saking tyas baliwur lumaris anggandrung
Dhuh Sang Ri Sumitra
tanlyan paran reh kabeh sining wana
nangsaya maringsun
katon lir kincanging alis risang mawèh gandrung
sabarang kadulu wukir moyag-mayig
saking tyas baliwur lumaris anggandrung
Dhuh Sang Ri Sumitra
tanlyan paran reh kabeh sining wana
nangsaya maringsun
Bumi berguncang langit gempar, kilat menyambar-nyambar
tampak seperti gerak alis orang yg sedang kasmaran
semua tampak bagai gunung bergoyang-goyang
dari hati yg kacau, amat memikat ia melenggang
dan berujar, Dhuh Sang Adi Sumitra
tiada yg lain, mengapa semua isi hutan
menganiaya pada diriku
tampak seperti gerak alis orang yg sedang kasmaran
semua tampak bagai gunung bergoyang-goyang
dari hati yg kacau, amat memikat ia melenggang
dan berujar, Dhuh Sang Adi Sumitra
tiada yg lain, mengapa semua isi hutan
menganiaya pada diriku
Ada-ada Grêgêt Saut Wana Wasa – Lagu Pembuka Pedalangan Jawa
Seorang pemuda berambut hijau, bertopeng merah dan berzirah pelindung dada merah tengah terkapar berdarah-darah di atas aspal jalanan dekat Keraton Yogyakarta. Tampak persis di depannya sesosok manusia bertubuh besar dan amat kekar, kulit kelabunya tampak kehitaman dalam keremangan malam. Sosok besar itu tampak seperti zombie atau mayat hidup, namun bagian kepalanya tertutup kain putih kusam, hingga ia tampak seperti pocong, hantu berbungkus kain kafan.
Lantas, wujud sang pocong-zombie itu berangsur-angsur berubah dan menyusut menjadi sesosok pria tua yang tampak cukup bugar. Dengan suara serak namun lantang pria itu berkata, "Camkan kata-kataku sekali lagi. Aku Ki Rogohjiwo, dan akulah gurumu, orang yang menyelamatkan nyawamu saat kau nyaris mati kelaparan, juga membesarkanmu. Jadi, bergabunglah denganku atau kau mati. Kutunggu jawabanmu di kali lain kita bertemu."
Itulah mimpi terburuk dalam hidup Raditya Damian, pemuda berambut hijau panjang bergaya ekor kuda yang akrab dipanggil dengan nama Radith ini. Mimpi yang lebih parah daripada berakhirnya karier Radith sebagai dalang wayang golek kontemporer saat ia baru mulai. Mimpi yang terpampang di matanya saat melayang dalam ranah antara ada dan tiada.
Terus melayang...
Hingga secercah cahaya mengubur segala mimpi dan keremangan itu. Dan lagi-lagi, segala eksistensi Radith terserap ke dalamnya.
==oOo==
"Selamat datang di Alforea, wahai para petualang!"
Suara inilah yang pertama kali menyambut Radith saat tubuhnya mendarat di jalanan berbatu Kota Despera, pusat kegiatan Battle of Realms di Dunia Alforea. Penampilan pria muda itupun berubah, mengenakan kostum yang ia gunakan saat menjadi Vajra, avatar-nya dalam game online. Radith belum mengenakan perangkat-perangkat pusakanya, karena semua itu masih "tersimpan" secara magis dalam kalung batu jasper berbentuk bintang yang ia kenakan.
Radith menggeleng, tak percaya penglihatannya. Segala sesuatu di kota ini begitu nyata dan mirip ekspansi dalam game Everna Online bertajuk Battle of Realms – Exiled Realm. Yang ia lihat berikutnya adalah suasana halaman depan sebuah kastil, juga wajah-wajah banyak orang – dan pelbagai makhluk lain – yang sama kebingungannya dengan dirinya.
Di balkon kastil tampak seorang pria setengah baya berambut panjang serba putih dan berpakaian putih-putih seperti ilmuwan. Yang berdiri di sampingnya adalah dua gadis berpakaian maid alias pelayan bercelemek yang tampangnya persis satu sama lain. Yang berdiri paling depan di balkon adalah seorang wanita cantik berpakaian amat anggun – dan cukup menggoda iman. Dialah karakter dalam ekspansi Battle of Realms yang memberikan sebaris undangan pada Radith untuk mendaftar sebagai peserta dalam "permainan" ini. Pesan berupa dialog "Apakah kau ingin melanjutkan perjuanganmu menguak takdir?" serta pilihan "Ya" atau "Tidak" di bawahnya.
Namun, tak sedetikpun Radith menduga dirinya akan "didatangkan" langsung ke ranah Alforea ini sebagai darah dan daging. Baru setelah mencerna isi pidato wanita bernama Tamon Ruu dan pria bernama Hewanurma itu, Radith baru paham bahwa dirinya ternyata sedang ikut serta dalam sebuah turnamen petarung antar-dimensi yang disebut Battle of Realms. Kini sedang berlangsung babak penyisihan, dan hanya setengah dari jumlah semua petarung yang sedang berkumpul di sini yang akan maju ke babak berikutnya.
Yang harus Radith lakukan saat ini adalah membentuk sebuah tim yang beranggotakan paling banyak empat petarung. Oke, Radith memang salah seorang pemain peringkat tertinggi di Everna Online. Namun, di "alam aneh tapi nyata" ini, Radith malah terpaku dalam ragu. Pasalnya, siapa yang harusnya ia ajak bicara? "Penyakit" kesehariannya di Yogya seakan kambuh. Tanpa "samaran" avatarnya, Vajra, Radith jarang memulai pembicaraan, termasuk dengan teman-teman sebayanya. Apalagi dengan gadis amat cantik berambut coklat yang berpenampilan layaknya idola remaja, yang dikerubungi serombongan pemuda tampan di tengah halaman itu. Ingin rasanya Radith menyapa gadis itu, namun tubuhnya terasa kaku, seakan tak mau menuruti kata benak dan hatinya.
Seorang maid dengan nama "Catherine" tercantum di nametag-nya menghampiri Radith dan menyerahkan sebuah memory card yang langsung Radith pasang dalam smartphone-nya. Di dalamnya tersimpan data-data lengkap semua peserta turnamen, termasuk foto mereka, serta segala informasi yang perlu diketahui tentang Alforea. Dengan data-data ini, Radith jadi tahu siapa-siapa saja yang perlu ia "dekati".
Namun tetap saja Radith tak kunjung bicara dengan seorangpun. Jadi, daripada larut dalam galau, ia duduk bersila di pojok halaman yang berbatasan dengan dinding kastil. Ia meraih ke belakang tengkuknya, lalu melepasan sebentuk kalung dengan liontin berbentuk bintang dari batu jasper kuning keemasan yang selalu ia kenakan di balik t-shirt hijaunya.
Radith menaruh kalung itu di jalanan lalu mengucapkan mantra, "Bumi Gonjang-Ganjing!"
Kilatan cahaya petir seketika melingkupi kalung bintang itu. Dalam hitungan detik, kilatan itu membesar dan terpecah tiga. Lalu mewujud kembali sebagai tiga buah wayang golek – tepatnya Wayang Menak – yang menggambarkan tokoh Arjuna, Bima dan Gatotkaca dalam Epos Mahabharata karya Walmiki, versi Jawa. Bedanya dengan wayang golek biasa, ketiganya tak dilengkapi tongkat-tongkat penggerak. Mereka berdiri tegak dengan sendirinya di halaman kastil itu.
Sebagai seorang dalang sakti, tentu Radith menggerakkan wayang-wayang itu dengan prana tenaga dalamnya. Dari kesepuluh jarinya memancarlah semacam benang-benang petir yang menjalari ketiga wayang itu. Tentu hanya insan-insan saktilah yang bisa melihat "benang-benang gaib" ini. Lalu ketiga wayang golek itu mulai bergerak-gerak dengan teratur, seolah ketiganya hendak berdiskusi. Radith tak menggerakkan bibir sama sekali, dan tiga suara yang berbeda-beda bergema, seolah sungguh berasal dari Arjuna, Bima dan Gatotkaca.
"Wah Kakang Bima, Radith memanggil kita lagi," ujar Arjuna, suaranya merdu bagai biduan.
Lantas Bima menjawab dengan suara berat, "Ya, Arjuna. Tapi di mana kita ini? Pemandangannya... beda sekali! Ini bukan Arcapada, bukan pula Bumi!"
Gatotkaca menjawab dengan suara yang kedengaran berimbang keras-lembutnya, penuh wibawa, "Ini Alforea, dunia di dimensi berbeda dengan Bumi, yang mungkin saja sesemesta, sedimensi dengan Arcapada dan Everna. Rupanya di ranah yang didatangi Radith ini ada kesempatan untuk menempa diri. Yah, hitung-hitung ini seperti Kawah Candradimuka tempat aku 'ditempa' dulu."
Radith angkat bicara, menimpali, "Ya, benar kata Gatot. Guruku, Ki Rogohjiwo mengancam nyawaku. Aku kalah dari Gangren karena kurang pengalaman dan jurus Tinju Brajamusti macet di tengah jalan. Ditambah aku masih harus melatih jurus-jurus sihir yang belum rampung kupelajari, serta menguasai segala kemungkinan variasi jurus agar serangan kita jadi lebih tak terduga. Mohon bantuan dan bimbingannya, pinisepuh sekalian. Hanya kalianlah teman-temanku di alam asing ini."
Bima angkat bicara, "Kurasa sebaiknya kau tak mengandalkan kami semata. Galanglah dukungan dan carilah sekutu-sekutu dari para pendekar lain yang berada di Alkima ini."
"Tapi dari mana aku harus mulai? Siapa yang harus kuajak bicara lebih dulu?" tanya Radith. "Dengan siapa aku cocok bekerjasama? Bagaimana bila aku mendekati orang yang salah, sementara para calon ideal malah lebih dahulu 'diklaim' tim lain?"
"Ah, ya," tanggap Arjuna. "Aku baru ingat, walau Radith hampir setampan aku, dia belum tentu memiliki kharisma dan daya tarik dewata seperti diriku." Hampir saja Radith menepuk jidatnya sendiri, tanpa sengaja memutus benang-benang sihir dari wayang Arjuna itu.
Gatotkaca kembali bicara, "Jadi, Ayahanda Bima dan Pamanda Arjuna, ayo kita bantu Radith mencari teman-teman dan sekutu-sekutu baru dengan cara yang 'tidak biasa'. Kita buat pertunjukkan kisah petualangan kita di Arcapada. Siapa tahu ada yang tertarik dengan kebolehan Radith sebagai dalang sakti."
"Ya, setuju!" seru Bima, tangan wayangnya teracung ke udara. "Nah, lakon apa yang akan kita bawakan kali ini?"
Radith menjawab, "Bagaimana kalau 'Perang Besar Bharatayudha', saat Bima adu gada dengan Duryudhana dan Arjuna adu panah dengan Adipati Karna?"
Arjuna mengangguk. "Ide bagus! Ayo kita sajikan pertunjukkan yang belum pernah ada di Alforea dan sempat menggoyang Yogya ini!"
"Bumi Gonjang Ganjing!"
==oOo==
PARA PEMBAWA TERANG
Setelah hampir setengah jam mengadakan pertunjukkan, Raditya Damian, si dalang wayang golek menghela napas. Hmpf, rupanya orang-orang di sini masih saja sibuk sendiri-sendiri, pikirnya. Kalau begini terus, aku takkan bisa menggalang tim atau bergabung dengan siapapun.
Hampir seketika, sesosok manusia kerdil mirip anak gemuk berpipi tembam berusia 8 tahun berlari menghampiri Radith. Anak itu lantas berseru riang, "Wah, ada tukang main boneka! Kau ini pengguna petir juga ya, bun~?"
Radith lantas menghentikan aksinya dan menyahut, "Ya. Kenalkan, namaku Radith, aku seorang dalang wayang golek dari Yogyakarta."
"Yogyakarta? Di mana itu?" Si pipi tembam mengerutkan dahi.
"Di dunia yang disebut Bumi."
"Waah, Bumi, ya? Namanya hampir sama dengan namaku, bun~! Kenalkan, Namaku Baldwin Ulrich Ragnavald Nikolai Ol'Dweller the IV, tapi semua orang memanggilku Bun. Aku adalah gnome dari Gnomeria, dan orang menjulukiku 'Si Gelembung'!" Radith mendelik, menurutnya julukan itu lumayan pas mengingat tubuh Bun yang nyaris bulat itu.
Lantas seorang gadis manis yang mengenakan tudung ungu dan berkulit agak gelap menghampiri Bun dan menegurnya, "Rupanya kau kemari ya, Bun? Kukira kau sedang cari makanan lagi!"
"Wee, nggak kok, bun~! Bun 'kan baru nom-nom, masa' nom-nom lagi?"
Gadis itu lantas berbisik pada Radith, "Si Bun ini tak pernah kenyang dan tak pernah bisa menahan diri tiap kali melihat makanan. Tapi anehnya, si gendut itu masih kelihatan kecil-kecil saja."
"Oi, Bun dengar itu ya, Liona! Jangan panggil Bun gendut, bun~!" Si cebol berkacak pinggang.
"Haha, bercanda kok, Bun," ujar gadis yang dipanggil Liona itu. "Iya deh, kamu tuh nggak gendut, hanya sedikit montok saja." Bun mencondongkan bibir dan merengut seperti anak kecil. Lantas Liona berpaling pada Radith dan berkata, "Oh ya, kenalkan, namaku Liona Lynn, julukanku 'Sang Cahaya'."
Gantian Radith yang mendelik, mengingat penampilan gadis ini tak terkesan terlalu "bercahaya". Namun si rambut hijau tetap menjaga sikap. "Aku Raditya Damian. Oh ya, apa tim kalian sudah lengkap?"
Bun menggelengkan kepala. "Belum, kami baru berdua, bun~."
"Boleh aku bergabung dengan kalian?" tanya Radith. "Siapa tahu kekuatan petirku dapat berguna dalam pertarungan, baik jarak pendek, jarak menengah dan sihir."
"Hmm, lumayan juga untuk tipe penyerang." Liona bertopang dagu. "Begini saja, ikutlah dengan kami dulu mencari anggota keempat, kita bicarakan sambil jalan." Radith mengangguk setuju.
Namun, saat hendak mengumpulkan wayang-wayangnya, Radith melihat Bun sedang memeluk ketiga wayang itu layaknya boneka. "Awas, jangan di...!" Radith tak melanjutkan kata-katanya karena si gnome telah terlebih dahulu merapal, "Buff: Augment!"
Liona juga hendak menegur, tapi lengan Radith menghalanginya. "Ssst," bisik Radith. "Kurasa Bun tengah mempelajari senjata-senjataku. Ya, mereka adalah wayang Bima, Arjuna dan Gatotkaca. Gabungan ketiganya adalah wujud tarungku, yaitu Vajra." Radith menunjuk dari kiri ke kanan sesuai dengan yang Liona lihat. "Sebagai sesama pengguna sihir, sebaiknya kita tak mengganggunya."
Si tudung ungu mendelik, mulutnya ternganga seolah berkata, "Oh."
Radith dan Liona memutuskan menunggu. Namun tiba-tiba satu suara keras menyeruak dari keramaian. "Hei, awas kau, lelaki berpakaian tak sopan!" Dengan sigap Liona menutup telinga Bun sebelum konsentrasinya pecah, sementara Radith bergerak menuju sumber keributan.
Rupanya yang berteriak-teriak itu adalah gadis berambut coklat yang sempat Radith perhatikan tadi. Radith juga sempat mencocokkan ciri-ciri gadis itu dengan data miliknya, dan namanya adalah Ariana Maharani. Aria tampak tengah mengejar seorang pemuda bertelanjang dada dan hanya mengenakan semacam rok layaknya dewa-dewa Yunani Kuno. Spontan Radith menegur, "Tolong jangan berteriak, ada yang sedang berkonsentrasi penuh di sana." Ia menunjuk ke arah Bun.
"T-tapi penampilan si Tarzan itu...!" Aria berseru tertahan.
Si pemuda berambut coklat panjang acak-acakan itu menyela, "Sudah kubilang, namaku Wildan! Dan ini cawat, pakaian umum dari tempat asalku, Valtessa di Dunia Reverse. Tenang saja, kau tak akan melihat apa-apa saat aku melompat... TINGGI!" Mendadak, Wildan mengerahkan kekuatan Halilintar Pendorong di kakinya dan melompat vertikal, hampir setinggi balkon kastil.
"KYAAA!" Si gadis menutup matanya, tak berani menegadah. Hanya Radith dan segelintir pendekar yang berkumpul di sanalah yang menyaksikan kalau kata-kata Wildan itu benar adanya. Cawat memang berkibar, tapi bagian dalamnya dilapisi semacam celana dalam jenis boxer berwarna putih.
"Sudah lihat?" tantang Wildan saat dia mendarat dengan mulus, menyibak debu jalanan ke segala penjuru. Ariana terbatuk-batuk kena debu, lalu membentak lagi, "Ya, ya, terserah kaulah! Pokoknya kau masih hutang padaku satu es krim dan baju baru karena menabrakku tadi! Awas! Kalau mangkir, rasakan akibatnya!" Ia lantas mengacungkan satu tangannya, semburat kristal es memercik dari sana. Dengan gaya agak dingin dan angkuh, Ariana melangkah pergi.
"Dasar gadis muda, makin cantik mereka, tingkahnya makin macam-macam saja." Wildan mengangkat bahu dan kedua tangannya. Tampak sebentuk senjata cakar di tangan kanan dan sepasang sabit berantai berwarna putih kekuningan tersandang dalam sarung bersabuk panjang yang terselempang menyilang di tubuhnya. "Oh ya, ngomong-ngomong terima kasih sudah membantuku tadi. Namaku Wildan Hariz, Pejuang Halilintar berjulukan 'Senyum Dewa'. Siapa namamu?"
"Aku Raditya Damian, dalang wayang golek dari Yogya. Apa kau sudah punya kelompok sendiri?"
"Belum. Apa masih ada kelompok yang lowong?"
"Kelompok kami perlu satu orang lagi agar pas berempat. Melihat aksimu tadi, firasatku berkata peranmu akan sangat dibutuhkan dalam misi kita di babak penyisihan Battle of Realms ini."
Wildan menggaruk-garuk kepalanya, membuat rambutnya tambah acak-acakan. "Ya, kurasa itulah yang dimaksud dalam surel yang kuterima saat 'tersedot' ke dalam dunia ini. Mungkin inilah 'pertarungan yang ditakdirkan untukku', dan pertemuan kita inipun telah diatur oleh takdir."
"... Yap, takdir bernama Hewanurma, Tamon Ruu dan siapapun yang telah menciptakan kita. Ayo, kita temui teman-teman kita yang lain," ajak Radith. Wildan mengangguk dan keduanya melangkah.
"Wah, wah, rupanya kamu di sini ya, Radith," ujar Liona yang mendekat bersama Bun.
Radith menanggapinya, "Iya. Oh ya, ini ada teman baru. Kenalkan, namanya Wildan Hariz. Wildan, ini Liona Lynn, dan yang memeluk wayang itu Bun."
"S-salam kenal!" Wildan kembali menggaruk kepalanya. Suara lantangnya terdengar agak terbata-bata karena matanya bersitatap dengan paras Liona yang "bercahaya" dengan tudung diturunkan dan rambut ikal merahnya tergerai "liar". Gadis itu membalas Wildan dengan "senyum dewi"-nya, sementara Bun malah menanggapi dengan nada malas. "Bun..."
"Lho, apa yang terjadi dengannya?" Wajah Wildan penuh tanda tanya.
"Tadi, Bun mempelajari ketiga pusaka milik Radith dengan kemampuan The Art of Artifice-nya," Liona menjelaskan. "Wayang Gatotkaca dan Arjuna berhasil ia perkuat, namun saat memegang wayang Bima, suara-suara keras kalian dan jeritan si gadis berambut coklat mengganggu konsentrasinya. Akibatnya, wayang yang dipegangnya terlontar dan Bun jadi kehilangan fokus seperti orang dungu."
Liona menyerahkan wayang Bima pada Radith, sang dalang cepat-cepat memeriksanya. Untunglah wayang itu terbuat dari sejenis emas yang telah diperkuat dengan sihir, sehingga tak cacat bila jatuh.
"Hei, siapa yang kamu sebut dungu, bun~!?" sergah Bun tiba-tiba. Rupanya ia baru pulih dari efek samping ilmunya. "Bun tidak dungu, Bun... Bun lapaar... Maaf ya, Radith. Pusaka-pusakamu itu punya sejarah yang amat panjang, mungkin muat ditulis dalam buku paling besar di Gnomeria. Semoga suatu hari kau bisa mengembalikan kesaktian ketiganya seperti sediakala."
"Tak apa-apa, setidaknya kau sudah memperbaiki dua pusakaku. Terima kasih banyak ya," kata Radith. Ketiga wayang kembali ditegakkan di jalanan, lalu ia kembali merapal, "Tri Mandala Vajra!"
Wayang Bima berubah wujud menjadi Pancanaka, topeng separuh wajah berwarna merah bersisi emas. Wayang Arjuna menjadi Gandiwa, gelang emas berpermata mirah, sedangkan wayang Gatotkaca menjadi Antakusuma, zirah pelindung dada merah bersisi emas dengan lambang sebuah bintang emas berujung delapan di tengahnya. Ketiga pusaka itu melayang dan terpasang sempurna di wajah, pergelangan tangan kanan dan tubuh atas Radith. Zirah Antakusuma tampak setengah tertutup jaket beskap dalang coklat yang dikenakan Radith, dan separuh wajah kirinya yang tertutup topeng merah memancarkan kesan garang, kontras dengan wajah aslinya yang tampan dan simpatik.
"Inilah wujud tarungku, Vajra, Pendekar Halilintar," ujar Radith. "Nah, karena kita sudah berempat, kurasa kita perlu membicarakan strategi tim dulu di tempat yang lebih nyaman dan tak terlalu bising. Bagaimana kalau..."
"Di rumah makan sana, bun~!" Tanpa menunggu, si gemuk-pendek sudah melesat. Sambil geleng-geleng kepala, tertawa geli dan memutar bola mata, ketiga rekannya lantas mengikutinya.
==oOo==
Di rumah makan ini, Radith setidaknya bisa agak bernapas lega. Sesuai keterangan dalam database tentang turnamen antar dimensi ini, segala hajat hidup peserta turnamen, termasuk makanan ditanggung oleh panitia. Dengan kata lain, semua makanan dalam rumah makan ini gratis, asal dijatah jangan sampai seluruh persediaan habis untuk satu-dua orang saja.
Bisa dibayangkan raut wajah Tamon Ruu dan Hewanurma andai mereka menyaksikan "atraksi" Wildan dan Bun ini. Jatah makanan keduanya tandas tanpa sisa, jadi Radith dan Liona yang biasa makan secukupnya memesan sesuai jatah maksimum dan membagi kelebihannya pada kedua rekannya itu. Walau makanan bergaya mirip Eropa di Kota Despera ini sangat menggugah selera, entah mengapa Radith sekilas merindukan saat-saat dia lesehan di Malioboro dan menikmati nasi gudeg kesukaannya bersama... Tiba di titik itu, Radith menutupi wajahnya yang tak tertutup topeng supaya para rekannya tak melihat nafsu membunuh yang tergurat di sana.
Walau tampak sibuk sendiri-sendiri, inilah saat paling tepat untuk membicarakan strategi dan segala kemungkinan yang dapat diramu untuk saling membantu antar anggota. Bahkan cara-cara mengatasi kelemahan masing-masingpun dibahas, hingga tercapai pengertian bersama.
Masih banyak kemungkinan taktik tak terduga yang bisa digarap, namun dalam waktu singkat yang dijatahkan panitia ini, setidaknya hal-hal mendasar telah disepakati. Salah satunya, Radith ditunjuk sebagai ketua tim karena paling banyak mengutarakan idenya, serta berwatak paling serius dan tenang di antara empat sekawan ini. Semula Radith menolak karena menganggap Liona lebih cocok memimpin tim, dan Radith sendiri lebih cocok "di belakang layar" seperti dalang. Namun ketiga rekannya bersikeras, apalagi setelah Liona berkata, "Kami bukan wayang. Kami butuh pemimpin, bukan dalang. Tampillah di muka dan jadilah penerang jalan kami, dan kami akan mengikutimu dengan sepenuh hati." Mendengar itu, Radith menerima tugas dan tanggungjawab sebagai ketua tim dengan lapang dada.
Tak ada waktu untuk latihan, jadi waktu yang ada digunakan untuk istirahat sejenak dan menenangkan diri di penginapan. Radith menggunakannya untuk melakukan tapa brata, mengisi tenaga dalamnya hingga kedua matanya tampak berkilat-kilat, penuh tenaga. Liona juga melakukan hal serupa, memastikan dirinya punya cukup persediaan mana, yaitu energi yang diserap dari alam untuk mengerahkan sihir. Wildan lebih suka melemaskan otot-ototnya dengan olahraga. Sedangkan Bun... dia sedang berlatih untuk ikut lomba selanjutnya, yaitu kontes tidur mendengkur paling bising di Gnomeria.
Saat senja menjelang, suara maid membahana di seantero kota. "Waktu pembentukan tim telah habis. Para peserta turnamen diharapkan berkumpul di Tempat Pemberangkatan Misi. Hubungi maid terdekat untuk memandu anda."
Maka keempat pendekar menemui maid yang bertugas memandu mereka dalam misi. Tempat pertemuan itu adalah sebuah kubah besar tak jauh dari kastil Kota Despera, yang adalah tempat pemberangkatan tim-tim peserta turnamen menuju lokasi misi masing-masing. Desain kubah berangka baja ciptaan Hewanurma itu terkesan futuristis, dan di dalamnya ada kubah-kubah yang lebih kecil dengan ruangan serba terang dan putih-bersih, dari puncak hingga dinding dan lantainya.
Maid Catherine pemandu misi bertanya dengan suara datar, "Jadi, ini tim kalian, Wildan, Radith, Bun dan Liona? Siapa ketua tim? Apa ada nama untuk tim kalian?"
Radith menjawab, "Saya Radith alias Vajra, ketua tim. Dan nama tim kami adalah Lightbringers."
Sebuah monitor hologram muncul di hadapan Tim Lightbringers, dan Catherine menjelaskan gambar padang berbatu dan kastil yang muncul di sana. "Baiklah Tim Lightbringers, kita mulai penjelasannya. Tentara Alforea menyerbu kastil tua yang terletak di utara Padang Shohr'n, sebuah gurun tanah berbatu. Dulu, kastil itu adalah pusat Kerajaan Shohr'n yang telah lama punah dan menjadi sebuah kerajaan penuh monster dan undead. Alforea telah memerangi Shohr'n dan mendesak mereka ke kastil pertahanan terakhir ini."
Sampai titik ini, segalanya terkesan cukup wajar hingga citra hologram berikutnya muncul. "Sebenarnya ini pertempuran yang seimbang, tapi seseorang – atau sesuatu – telah memasang dua menara kristal gaib raksasa terkutuk di sayap kiri dan sayap kanan, membentuk portal gaib antar-dimensi di depan pintu masuk kastil dan menghancurkan kastil itu. Akibatnya, segala macam monster dan makhluk ajaib dari ranah lain berduyun-duyun memasuki Alforea, tak ada habisnya. Pasukan Alforea terdesak hebat, jumlahnya berkurang dari lima ribu orang sampai sekitar lima ratus. Komandan pasukan sudah tewas, dan para tentara masih bertahan."
Bun bergidik ngeri mendengar dua kalimat terakhir tadi.
"Jadi," lanjut sang maid, "Misi kalian adalah menyelamatkan Laskar Alforea, menghancurkan kedua menara itu untuk menghentikan serangan monster, dan memenangkan pertempuran ini bagi Alforea. Oya, sebagai bonus, cari tahu siapa atau apa biang keladi munculnya portal gaib itu. Laporkan pada kami, atau tangkap dia bila perlu."
"A-duh, Bun tak menyangka harus ikut perang di sini, melawan monster yang tak habis-habisnya pula. B-Bun takut, bun~"
"Tak usah takut, Bun, 'kan ada kami yang membantumu," kata Radith. "Ingat-ingat saja segala taktik yang kita bahas tadi, dan ubahlah bila perlu. Tenang ya, Bun." Ia menepuk pundak gnome itu dengan lembut, seakan-akan itu adik kecilnya sendiri. Tanpa sadar, Bun tersenyum.
Catherine lalu membahas hal-hal teknis sehubungan misi ini. Setelah segala detil misi selesai dijelaskan dan para anggota tim memahaminya, sang maid berkata, "Nah, karena sekarang kalian sudah tahu tentang misi babak penyisihan ini, kalian dilarang keluar untuk merombak susunan tim. Kalian diizinkan keluar dari sini hanya bila kalian menyatakan mengundurkan diri. Nah, apa kalian ingin mengundurkan diri dari turnamen ini dan kembali ke ranah kalian masing-masing?"
Liona yang pertama angkat bicara, "Keberadaanku di Alforea mungkin adalah satu-satunya kesempatanku untuk menemukan Riz Si Pahlawan. Dan Rizlah yang cukup kuat untuk mengalahkan Feil Sang Kegelapan dan menyelamatkan Dunia Agarex, tempat asalku. Aku harus tetap maju."
Wildan berkata, "Aku adalah pejuang yang terdampar di Bumi, dan aku harus pulang ke Reverse, duniaku. Jelas aku takkan menyerah di sini. Kalau menyerah, aku akan kembali ke Bumi, bukan ke tempat asalku, ke Keluarga Florian."
Radith menimpali, "Aku ke Alforea untuk menempa diri. Bumi dan Indonesia adalah tempat tinggalku, dan aku harus bertambah kuat demi membantu Liga Pahlawan Super Adilaga, mempertahankan kedamaian dari ancaman teror dari guruku dan para penjahat super lainnya."
Mendengarkan pernyataan ketiga rekannya, Bun gemetaran. "B-Bun tak mau apa-apa. Bun hanya ingin pulang ke Gnomeria, bertemu lagi dengan papa, mama dan teman-teman Bun lagi. Tapi, tapi... teman-teman baru Bun di sini pasti akan kesulitan bila Bun ingin mengundurkan diri saja. Jadi... jadi Bun harus membantu teman-teman Bun sampai tujuan kalian tercapai, bun~"
Justru Radith yang terus memegangi pundak si gnome. Katanya, "Bantulah kami, Bun. Kami semua di sini membutuhkanmu. Tak hanya butuh kemampuanmu saja, tapi juga seluruh keberadaanmu. Berkat kamu, kita jadi berkelompok, dan keceriaanmu membuat tim kita sungguh berseri-seri."
"R-Radith, Wildan dan Liona butuh Bun?" Mata Bun mulai berkaca-kaca.
"Ya, lebih dari yang kamu kira," ujar Radith lagi. "Bagi aku yang yatim piatu dan dikhianati oleh satu-satunya keluarga yang aku kenal di Bumi, kalianlah keluargaku di Ranah Alforea ini."
"Dan sudah sewajarnya keluarga saling bahu-membahu, saling melindungi dan bersama-sama hingga garis akhir," ujar Wildan, dan Lionapun mengangguk.
Sesegukan, Bun menangis haru di rangkulan Radith. Ia serasa mendapatkan kakak-kakak baru.
Radith lantas bicara, "Baik, kalau begitu kita akan menjalani misi ini. Itulah keputusan kami, Nona Catherine." Catherine mengangguk seraya berkata, "Silakan lakukan persiapan terakhir, kami akan memindai kalian ke lokasi misi begitu kalian siap."
Liona Lynn, si penyihir bermata dan berambut ungu merapal sihir pertamanya, "Avalon!" Sebentuk Tirai Cahaya seperti aurora borealis seketika mengelilingi keempat pendekar itu, hingga mereka tampak seperti mengenakan tirai biasa di badan.
Wildan Hariz menggunakan sihir Penyintas Liar, memanggil seekor harimau putih bernama Mao yang lantas ia tunggangi. "Nah, seperti di Valtessa dulu 'kan, Mao!?" Mao meraung tanda setuju.
Batu mirah Gelang Gandiwa di pergelangan tangan kanan Raditya Damian berpendar seperti cahaya petir, sementara di tangan kirinya terpasang senjata cakar emas yang ia pinjam dari Wildan khusus untuk misi ini. "Baik, kami siap!" serunya. Padahal saat ini, debar jantung Radith lebih menghentak daripada saat pentas wayang golek pertamanya di Keraton Yogyakarta belum lama ini.
"Nah, selamat menjalankan misi. Semoga beruntung dan tetap hidup hingga akhir." Teriring kata-katanya itu, sang maid berangsur menghilang dari pandangan. Ruangan serba putih itu menjadi gelap, lantainya berganti menjadi tanah gurun berbatu-batu dan langit menjadi gelap, bintang-gemintang.
==oOo==
BARA MURKA DI PADANG CADAS
Memasuki medan pertempuran di Padang Shohr'n, Radith yang kini beraksi sebagai Vajra dapat menelaah situasinya lebih jelas sekarang. Vajra, Liona, Bun dan Wildan kini berdiri di puncak bukit yang adalah perkemahan utama pasukan Alforea. Di hadapan mereka, para prajurit Alforea yang rata-rata mengenakan baju zirah besi berlambang griffin sedang bertempur melawan pasukan musuh yang datang dari utara.
Sebuah kastil yang sudah hancur berdiri di atas sebuah bukit lain, yang jaraknya kira-kira lima kilometer dari bukit ini. Yang masih tampak utuh adalah dua menara kristal yang menjulang, dengan portal hitam raksasa di antara kedua menara itu. Posisi seluruh pasukan sedang terkepung dan terdesak. Tanpa bantuan para pendekar, pasukan Alforea akan musnah dalam hitungan menit.
Yang mengherankan, musuh adalah makhluk-makhluk dari segala macam bentuk dan ukuran, yang adalah lawan-lawan dalam game Everna Online. Dari monster-monster terlemah macam flobber, para penerbang macam kelelawar raksasa, goblin, hobgoblin sampai yang amat tangguh seperti orc, troll, bahkan ada naga pula. Mereka muncul seakan tak habis-habisnya.
"Liona, terus rapal Avalon! Bun, saat di bawah bukit, gunakan Spark-mu! Ayo kita maju dan buka jalan ke utara!" seru Vajra sambil menunjuk ke arah kastil.
"Baik!" Wildan yang menunggang Mao melesat amat cepat, menuruni bukit sambil mengayunkan sepasang sabit berantainya. Di kaki bukit, sabit-sabit itu seakan menari, membabat monster apapun yang dapat dijangkaunya.
Mengandalkan kecepatan lari alaminya berkat latihan keras sejak kecil, Vajra menyusul di belakang Wildan. Gelang Gandiwa berpendar, Vajra mengerahkan jurus perdananya, Panah Petir Pasopati. Ia menembakkan peluru-peluru petir dari jari telunjuk tangan kanannya dengan amat cepat seperti pistol laser. Dengan ketepatan yang mengagumkan, Pasopati melumpuhkan beberapa monster yang sedang dihadapi para prajurit.
Gejala ini memicu para monster untuk bergerak menyerang formasi pendekar yang menuruni bukit. Liona menangkal serangan jarak jauh dengan sempurna, sementara para monster yang nekad menerjang dari darat atau udara terpental atau tertahan seperti membentur dinding beton.
Saat tiba di kaki bukit, Bun berseru, "Spark!" sambil menjejak tanah. Sebentuk Gelombang Kejut bertenaga petir seketika merambat melalui tanah sejauh radius 25 meter. Dengan memusatkan pikiran dan memilih sasaran, gelombang itu meningkatkan kecepatan gerak dan serangan kawan, dan sebaliknya membuat lawan menjadi kejang-kejang paling lama lima detik. Para prajurit yang adalah "kawan" memanfaatkan kesempatan ini dengan menjatuhkan lawan-lawan mereka. Sedangkan Vajra dan timnya terus menerobos dan hanya menjatuhkan lawan-lawan yang menghalangi jalan saja.
Mendapat asupan energi tambahan, Vajra menghimpun prana. Saat simbol bintang Zirah Antakusuma berpendar seperti cahaya lampu listrik, Ia mengubah jurusnya menjadi serangan jarak dekat, Tinju Petir Brajamusti. Sasaran pertamanya adalah sesosok orc, makhluk seperti manusia kekar berkulit hijau yang membawa kapak besar yang baru masuk jarak serang Bun. Si orc mengayunkan kapaknya dan menggores jaket Vajra yang terlindung zirah. Sebaliknya, satu pukulan uppercut Vajra telak mengenai dagu bawah lawan, membuat si orc terpelanting dan terkapar, entah pingsan atau tulang lehernya patah.
Dalam waktu kurang dari tiga menit, kepungan musuh tampak agak longgar. Frekuensi kedatangan monster juga terasa agak jarang. Para prajurit berseru-seru garang, perkembangan ini telah memberikan harapan dan asupan semangat baru yang amat mereka butuhkan.
Memanfaatkan jeda sesaat di posisi jauh dari musuh, Vajra menoleh ke arah kastil. Tanpa sengaja ia melihat bulan di langit tampak makin membesar dan perlahan-lahan turun, tepat di atas reruntuhan kastil itu. "Lihat bulan itu!" serunya pada rekan-rekannya dan seluruh pasukan. "Apa yang terjadi? Ini tak ada dalam keterangan Catherine tadi!"
Salah seorang prajurit berseru menanggapinya, "I-itu Alkima, salah satu bulan di dunia kami! Di sanalah tempat Tamon Rah, Dewa Kemurkaan disegel oleh Tamon Ruu!"
"A-apa?" Mata Liona terbelalak, bahkan Wildan dan Bun berhenti bertempur dan menghampiri Vajra. "Tolong jelaskan, prajurit!" seru gadis berambut ungu itu.
"A-aku tak tahu banyak tentang sejarah, tapi lihat! Ada dua larik cahaya merah terpancar dari menara-menara kristal itu! Aagh! Kalau sampai Tamon Rah tampil, habislah semuanya! A-aku harus lari dari sini!" Si prajurit lantas berbalik dan melarikan diri dalam paniknya.
Saat itu pula, terdengar suara ledakan yang amat dahsyat, memekakkan telinga. Vajra memandang ke arah bulan – Bulan Alkima telah meledak! Gelombang kepanikan melanda seluruh pasukan yang masih menempur musuh, apalagi saat satu sosok raksasa muncul dari serpihan-serpihan bulan itu. Dari yang semula tampak sebesar bola tenis di angkasa, sosok itu makin mendekat dan makin besar.
Makin dekat ke daratan, tampak jelas bahwa itu adalah sosok seekor kuda bersayap kobaran api dengan tubuh bagai terbuat dari batu merah membara. Makin dekat lagi, tampak surainya yang berkobar bagai api neraka dan semacam tanduk unicorn yang tampak seperti kristal merah darah yang seakan tertancap di dahinya. Dan saat kuda terbang itu melayang-layang di udara, baru jelas bahwa ukurannya sangat kolosal dengan tinggi sekitar lima puluh meter. Penampilan ini jelas mampu menciutkan nyali siapa saja, bahkan dewa dan iblis sekalipun.
Apalagi saat seorang prajurit lain lari terbirit-birit seperti orang gila sambil berteriak, "T-Tamon Rah! Seseorang telah membebaskan Tamon Rah dari segelnya! Ia yang tak bisa mati! Dan ia akan membalas dendam, membawa kiamat ke seluruh Alforea!"
Anehnya, para monster juga gemetaran di hadirat "dewa" ini dan terus menyerbu.
Wildan, petarung terkuat dalam empat sekawan ini berkomentar, "Oi, Radith, tidakkah kaupikir kata-kata prajurit itu terlalu berlebihan?" Ia lantas menebas satu goblin yang telah melukai lengannya.
Vajra dilukai dan ganti melukai hobgoblin lawannya lebih parah. "Entahlah. Tapi di tempatku berasal, perlu robot-robot raksasa setinggi dia untuk menandingi si Tamon Rah ini. Yang pasti," lanjutnya pada para prajurit lainnya. "Kita harus terus maju, terus bergerak secepat mungkin ke sasaran kita, menara-menara kristal itu!"
Suara raungan sang kuda raksasa membahana, memperjelas segalanya. Namun setelahnya ia tampak berdiam diri, menoleh ke kiri-kanan seperti kebingungan – atau gila. Saat itu pula para monster kembali beraksi, namun dengan gerak-gerik yang lebih ganas dan membabi-buta daripada sebelumnya.
"Semua prajurit, maju ke utara dan berpencar sejauh yang kalian bisa! Keselamatan kalian bergantung dari itu!" perintah Vajra, memanfaatkan kesempatan ini. Ia mulai berlari, diikuti ketiga rekannya. Lantas Vajra berseru, "Wildan, ambil posisi sayap kanan! Aku sayap kiri, sedangkan Bun dan Liona di tengah!"
"Siap!" seru Wildan-Bun-Liona. Mereka semua lalu bergerak sesuai arahan Vajra, mengambil jarak sepelemparan batu dari masing-masing posisi tempur ini.
Bun lantas berinisiatif – seperti biasa – mengerahkan ilmunya, Seismic Sense dengan berseru, "Visualize!" Ilmu ini membantu Bun untuk "melihat lebih tajam" keadaan medan di sekelilingnya, sekaligus berguna untuk mendeteksi musuh yang menyusuri tanah.
Liona yang telinga lancipnya masih tersembunyi di balik tudungnya sengaja menghilangkan medan pelindung Avalon yang sudah banyak didera. Gantinya, gadis itu merapal sihir tingkat lanjut, "Valgus!" Sebilah pedang yang seluruhnya, gagang dan bilahnya bercahaya tergenggam di tangan kanan penyihir yang mengenakan zirah putih di balik tudung panjang ungunya itu. Pedang Valgus lalu dihunjamkan berkali-kali pada musuh dan menangkis banyak serangan. Saat menangkis itulah, pedang menyerap daya serangan yang membenturnya.
Wildan menyabet-nyabetkan kedua sabitnya, menunggang harimau sampai menerobos jauh ke tengah-tengah musuh. Saat berikutnya, ia mengerahkan Halilintar Pendorong di kedua tangannya dan keempat kaki harimaunya, Mao. Pergerakan keduanya bagai dewa petir, membunuh banyak monster dengan kecepatan – yang katanya – setara dewa, sebelum mereka bisa membalas serangannya.
Sedangkan Bun bertarung dengan menggunakan senjata-senjata yang ia rebut dari musuh dengan ilmu The Artifice Mind. Begitu satu senjata rompal karena banyak dipakai dan mutu bahannya rendah, Bun berteriak, "Hungry", mengambil satu senjata lain – tentunya yang cukup ringan untuk ia bawa. Sekali Bun tuntas mempelajari senjata itu, ia menyabetkannya sepiawai jagoan-jagoan kung-fu.
Vajra lagi-lagi menembaki musuh dengan Panah Petir Pasopati, dan membunuh siapa dan apapun yang menyerangnya dengan cakar emas pinjaman. Kali ini perut dan paha si rambut hijau ini terserempet lagi oleh senjata-senjata lawan, namun ia selalu membalasnya beserta bunganya.
Tiba-tiba Vajra mendengar Bun berteriak, "Awas, musuh raksasa menyerbu dari depan!" Ia menoleh dan melihat Tamon Rah sedang berderap cepat. Kuda raksasa itu menghentak tanah bagai gempa bumi, menerjang para prajurit dan monster yang dilaluinya dan terus melaju ke arah Liona dan Bun. Gawat, mengapa mereka tak segera menghindar? Pikirnya.
Baru di detik berikutnya Vajra mendapat gagasan. Sambil merobek seekor imp, sejenis kera terbang dengan cakarnya, Vajra menghimpun prana. Ia lantas berbalik dan menebar jurus andalannya, Jaring Petir Dalangsukma, yaitu sepuluh larik petir setipis benang. Benang-benang itu lantas mengikat tubuh Liona dan Bun dan ditarik, sehingga keduanya terseret ke arah penolongnya. Tubuh kolosal Tamon Rah dengan leher rendah di posisi menanduk berlalu, namun lidah-lidah api dari hentakan kaki-kaki sebesar tiang itu sempat menyerempet dan melukai tubuh Liona.
Setidaknya kini kedua anggota Lightbringers selamat. "Ayo Bun, Liona, bangkitlah! Kalian tak apa-apa, 'kan?" seru Vajra sambil berbalik ke arah rekan-rekannya itu. Tapi bukan berterima kasih, si gadis tomboy malah membentak, "Kau ini bagaimana, Vajra? Bun sedang mengerahkan Spark ke arahku dan aku berniat menyerap terjangan Si Rah, tahu?!"
"Aku tak tahu apa Valgus bisa menyerap kekuatan setara dewa," ujar Vajra, hatinya mulai jengkel karena diajak debat di saat-saat kritis begini. "Jadi maaf, ini salahku. Ayo kita maju lagi..."
"A-Awaas, bun~!"
Vajra menoleh ke arah yang ditunjuk Bun, separuh wajahnya pucat seketika. Rupanya Tamon Rah telah berbalik arah dan menerjang ke arah Lightbringers! Tanduk Kristal Api Murka-nya menebar daya penghancur yang meluluhlantakkan para monster yang dilaluinya.
Namun Liona malah tersenyum. "Lihat kemampuanku," katanya sambil memegang erat Pedang Cahaya dengan dua tangan. Vajra yang telah membawa Bun menyingkir berteriak, "Jangan, Lionaa!" Namun percuma saja, jaring petirnyapun pasti terlambat.
Tinggal beberapa langkah lagi antara hidup dan mati, tiba-tiba sisi tubuh raksasa Tamon Rah terhantam sebuah kekuatan dahsyat dan terdorong menyamping. Walau luput dari terjangan, Liona protes, "Hei!" Apalagi saat melihat pelakunya, Wildan Hariz yang menggunakan Gelombang Kejut Menyilaukan. Rupanya kekuatan petir-cahaya yang pada dasarnya ditebar itu kali ini dipusatkan pada satu titik, yaitu hantaman sabit gandanya yang telah disatukan menjadi tombak panjang.
"Lho, kok malah protes?" sergah Wildan sambil memicingkan kedua matanya, yang pupilnya tampak menyempit seperti mata harimau tunggangannya. "Ayo cepat bergerak dan menyebar sebelum si kuda itu berbalik lagi!"
Vajra berbalik dan menarik tangan Bun agar si gnome berlari lebih cepat. Sekilas tampak pula Liona yang ikut lari dengan wajah mendongkol, namun sang dalang lebih berkonsentrasi menembaki musuh di depannya. Seismic Sense Bun bereaksi lagi. "Tamon Rah menerjang ke arah kita lagi! Kita harus bagaimana, bun~?"
"Kita menghindar saja!" Dengan gesit Vajra berbalik, namun kali ini ia tak mengerahkan jurus apa-apa. Bun menatap Vajra keheranan, apa "kakak"-nya itu sudah gila atau kehabisan prana?
Lantas sebuah keanehan terjadi. Arah lari Tamon Rah kini melenceng, berbelok dan tak mengarah ke Vajra-Bun lagi. Ternyata Rah mengincar Wildan, yang sengaja menebar aura menyilaukan dari tubuhnya lewat pengerahan Gelombang Kejut Menyilaukan kedua, kali ini dengan metode dasar. "Tamon Rah mengincar siapapun yang mengerahkan jurus di dekatnya! Biar kugiring dia jauh-jauh!"
"Silakan!" seru Vajra. Ia tahu, dengan jurus Halilintar Pendorong, kecepatan Wildan dan Maolah yang mampu menandingi kecepatan si kuda dewa. Lantas ia berseru pada kedua rekannya yang lain, "Ayo kita maju lagi! Jangan-berhenti-bergerak!" Bun kembali bergerak dengan napas agak memburu, mungkin karena beban di ranselnya. Kali ini Liona yang menarik tangan Bun, ekspresi wajahnya masih mendongkol.
Vajra berlari lagi, kali ini menyamping ke timur laut. Tiba-tiba ia melihat Tamon Rah yang sedang mengejar Wildan malah membubung tinggi ke udara. Yang paling janggal, para monster malah berlarian kacau dan tak menyerang siapapun. Firasat buruk seketika merasuki Vajra. "AWAS! Ada serangan besar!" serunya sekeras-kerasnya. Bun dan Liona yang berada dekat sang ketua terkesiap.
Benar saja, si kuda raksasa mengepakkan sepasang sayap yang bentangannya setara pesawat angkut militer, sambil melayang stasioner di langit bagai bulan berapi. Saat berikutnya, sepasang sayapnya menembakkan puluhan bola api raksasa bagai air mancur, yang mampu menghancurkan apapun secara acak. Seekor naga yang terbang di bawah Tamon Rah terkena bola api itu dan jatuh dengan tubuh terbakar. Para prajurit dan monster di darat yang tertimpa hangus tanpa sisa, dan bola-bola api itu membuat ceruk dangkal saat menghantam tanah berbatu-batu.
Sedikitnya tiga bola api terjun mengancam Tim Lightbringers. Vajra dan Liona mengempos prana pelindung sambil bergerak lincah, menjauhi bola api pertama. Sementara Wildan berhasil menghindari bola api kedua dengan bantuan kecepatan Mao.
Yang paling masalah adalah Bun, kelincahan alami Ras Gnomenya tak diimbangi dengan kecepatan yang memadai. "Aduh, aduh! Jangan kena Bun, jangan, bun~!" Keringat dinginnya mengucur deras, bola api ketiga sedang melesat tepat ke arahnya! Bun tak sempat lari lagi! Untunglah di saat yang tepat Vajra menarik tubuh tambun-kerdil Bun dengan Jaring Dalangsukma. Walau luput dari hantaman langsung, tubuh Bun tetap terhantam bebatuan yang terbang imbas benturan bola api dengan tanah. Si gnome jatuh terkapar di tanah, luka-luka di sekujur tubuhnya tampak parah.
"Bun!" pekik Vajra. "Liona, tolonglah dia!"
Dengan sigap Liona menghampiri Bun yang tak bergerak itu. "Bertahanlah, Bun! Aurum!" Sang penyihir cahaya menyentuhkan tangannya pada dada Bun, di posisi jantungnya. Seberkas sinar keemasan berkelap-kelip terpancar dari tangan Liona, mengalirkan energi penyembuh ke tubuh si gnome.
Untung tadi Liona sempat menangkis dan menyerap banyak energi serangan dengan Pedang Valgus, cukup untuk mengerahkan sihir Sinar Emas Penyembuh, Tirai Cahaya Pelindung dan cara-cara lain untuk membantu rekan-rekannya tanpa takut kehabisan energi mana. Sihir penyembuh ini hanya mampu menyembuhkan luka dan sebagian kesehatan "pasien"-nya. Saat wajah Bun yang pucat kembali memerah, sihir Liona buyar, begitu pula Pedang Cahaya. Kini andalannya tinggal Tirai Cahaya Pelindung, dan butuh waktu jeda beberapa menit sebelum Valgus dapat dirapal lagi, tentu dengan persediaan energi serapan yang cukup. "Fiuh, untung aku tak nekad menangkis Tamon Rah tadi." Liona menyeka peluh di wajahnya.
Vajra menegadah ke langit, melihat Tamon Rah sedang melayang berputar-putar saja seperti kehilangan akal. Entah berapa lama ia akan terus begitu.
"Ayo! Kita maju lagi, mumpung Tamon Rah masih jauh di langit!" seru Vajra yang sejak tadi bertugas melindungi kedua rekannya dan menghabisi puluhan monster dengan peluru-peluru petirnya. Ia lantas berlutut dan memanggul Bun. "Aduh, 'adikku' ini berat juga, ya?"
"Jangan... bilang Bun... berat! Bilang saja berbobot, bun~!" Walau terdengar seperti kelakar, suara lemah Bun itu sungguh menghangatkan hati Vajra, yang sudah bersumpah melindungi keluarganya di Alforea ini.
Lantas Vajra mulai berlari lagi, lebih lamban dari biasanya. Liona berlari mengimbanginya sambil memperbarui tirai Aurora, dan Wildan – seperti biasa – mengambil posisi jauh di depan. Lagi-lagi Vajra menembaki musuh-musuh dan membantu membuka jalan bagi sisa pasukan Alforea. Dalam hati ia merasa agak lega, mungkin Tamon Rah sedang sibuk sendiri di sisi lain gurun. Inilah kesempatan emas untuk mendekati menara kristal kembar – secepatnya.
==oOo==
PENGORBANAN VAJRA
Tim Lightbringers lantas bagai tenggelam dalam pusaran badai pertempuran. Tanpa terasa, jarak lima kilometer hampir tuntas terlalui. Penandanya adalah sepasang menara kristal kembar yang menjulang setinggi kurang lebih lima puluh meter di lereng bukit, tepatnya depan reruntuhan kastil Kerajaan Shohr'n. Tampak ratusan monster berjaga di depan kastil itu, termasuk yang maju menyerbu dan yang keluar dari portal hitam hampir setiap detiknya.
Tamon Rah sekali lagi muncul melintas. Kali ini para pendekar hanya menghindar dan menyerang monster-monster lain dengan kekuatan fisik saja, tanpa jurus, tanpa prana. Lantas sang kuda berapi kembali membubung ke udara dan menembakkan bola-bola api pamungkasnya. Di daerah dekat kastil itu, belasan sasaran luluh-lantak termasuk lebih dari seratus monster penjaga kastil, dan hanya segelintir prajurit Alforea musnah terbakar.
Satu bola api mengancam nyawa Wildan dan tunggangannya, Mao. "Heh, biar kutepis!" Dengan penuh percaya diri Wildan mengerahkan Halilintar Pendorong dan melompat tinggi-tinggi, langsung menyambut bola api itu. Lalu pemuda bertampang urakan itu menyabetkan sabit ganda yang telah ia satukan jadi tongkat, lagi-lagi dengan energi Gelombang Kejut Menyilaukan yang sepenuhnya dimampatkan di ujung bilah sabit. Pertumbukan bola api dan sabit menebar dentuman dan daya penghancur nan dahsyat ke segala arah. Bola api buyar, namun Wildan juga jatuh ke tanah dengan tubuh berdarah-darah.
"Aurum!" Liona menembakkan Sinar Emas Penyembuh dan menangkap Si Bocah Liar di pelukannya. Wildan kembali berdiri sambil mengucapkan terima kasih dan menampilkan "senyum dewa"-nya lagi. Namun sesosok harimau yang terkapar membuat dia bergegas menghampiri sahabatnya itu dengan wajah cemas. Ia berseru panik, "Mao! Mao, bertahanlah, jangan mati!"
Liona lantas berkata, "Biar aku rawat Mao. Kau pergilah, bantu Vajra dan Bun!" Wildan mengangguk dan langsung melesat pergi.
Sementara itu, di jarak kira-kira dua ratus meter dari portal hitam, kekuatan Bun kembali pulih. Apalagi Vajra sempat memberinya sosis gulung yang terburu-buru diambil dari ransel besar di punggungnya, dan dihabiskan Bun dalam waktu hampir sekejap mata.
Vajra berkata, "Kurasa kita harus menerobos untuk mencapai menara. Apa kau siap, Bun?"
"Tentu saja! Bun bisa pulih cepat, bun~!" jawab si gnome. "Bun mau panggil teman, boleh 'kan?"
"Silakan!"
Sambil berjalan cepat si gnome merapal, "Nexus: Merrygold!" Seketika, sesosok gnome lain, mirip anak kecil bertanduk rusa yang mengenakan kostum seperti dukun ala Indian Amerika muncul di hadapan Bun. Wajah penuh bercak merah si dukun gnome tampak amat girang. "Waah! Bun panggil Merry, sepupu Bun! Bun makan banyak sayur 'kan, non~?"
"Nanti saja jawabnya! Tolong perkuat kami dulu, cepat bun~!" Wajah Bun jadi ketus.
Merrygold mengangguk, mencari mantra yang tepat di buku catatannya, lalu mengayun-ayunkan Tongkat Penangkap Mimpi ke arah langit. Lantas ia merapal, "Hound-wolf-To-te-maa, non~!"
Tiba-tiba sebentuk totem besar jatuh dari langit, menimpa beberapa monster sekaligus. Lantas dengan arahan Merrygold, totem itu menebar gelombang yang meningkatkan daya hindaran, kecepatan pengerahan jurus dan mantra sekaligus berangsur-angsur mengisi prana dan mana para pendekar, yaitu Bun, Vajra dan Wildan yang baru bergabung dengan mereka.
Pelbagai monster membentuk barisan dan menyerbu langsung ke arah para pendekar dengan amat cepat. "Terima kasih, Merry! Nah, ayo kita terobos!" Vajra memberi isyarat telunjuk ke atas pada Wildan dan telunjuk ke bawah pada Bun. "Mulai!"
Mengingat pola serangan gabungan yang pernah mereka bahas di Despera, Bun menyerang pertama dengan berseru, "Spark!" Dengan amat cepat ia mengirim gelombang kejut berdaya listrik ke segala arah, membuat para monster di barisan terdepan kejang-kejang dan yang lain saling bertabrakan. Gelombang yang mengenai Vajra dan Wildan yang sedang berlari membuat gerakan mereka makin cepat. Wildan kembali melompat tinggi-tinggi dengan Halilintar Pendorong.
Dengan jurus Tinju Brajamusti, energi petir terkumpul dan dimampatkan di kedua tinju Vajra. Lalu ia menghentakkan lengannya lurus ke depan, menembakkan larik petir besar bagai meriam sinar laser. Tak ayal, monster-monster dalam barisan bertumbangan. Para monster tangguh seperti orc atau raksasa jenis ogre yang tak tewas terlanda sambaran petir Vajra terus maju. Namun Wildan mendarat di tengah-tengah musuh dan merobek semua yang masih berdiri dengan sepasang sabit berantai bermuatan petirnya. Alhasil, jalur lurus dari titik awal di jarak dua ratus meter sampai ke portal hitam dipenuhi tubuh-tubuh pelbagai makhluk yang luluh dan terkoyak. Kira-kira dua ratus prajurit Alforea yang telah tiba di lokasi menempur para monster yang tersisa di medan dan yang baru muncul dari portal. Kemenangan hampir pasti di tangan, tinggal satu tugas terakhir saja...
Wildan berdiri berkacak pinggang di jarak seratus meter dari portal sambil berseru keras-keras, "Ha! Rasakan Bumi Berguncang, Langit Gempar versi jurus gabungan pamungkas Lightbringers! Siapa yang bisa bertahan dari kedahsyatan..."
Kata-kata Si Bocah Liar terhenti, ia menegadah seraya ternganga. Vajra dan seluruh pasukan melihatnya pula. Sesosok makhluk raksasa setinggi kurang lebih empat puluh meter muncul dari portal hitam. Seluruh tubuhnya terdiri dari bebatuan yang disambungkan dengan sendi-sendi. Kepalanya seakan terbenam, menyatu dengan bahunya. Wajahnya hanya berupa satu bola mata tunggal bagai kristal yang berpendar merah dalam rongga gelap, hingga bola mata itu bisa bergeser ke kanan-kiri. Dua zombie dan tiga tengkorak hidup yang lebih dahulu keluar dari portal dilanda raksasa itu, dilumat tanpa ampun. Melihat itu, Wildan langsung ambil langkah seribu, mundur teratur untuk bergabung kembali dengan timnya.
"Gila, itu golem batu raksasa!" seru Liona yang baru datang menunggang Mao, bergabung kembali bersama Vajra dan Bun. "Kalau tak salah, sifat batu meredam petir, bukan? Petir hanya bisa menjalari batu, tak bisa menembusnya!"
"Sebenarnya bisa, bila petirnya lebih kuat dari batu," jawab Vajra. "Sayang jurus Naga Pancanaka belum kukuasai benar. Bila aku memaksakan diri merapalnya, pasti aku bakal terluka dalam dan kehabisan prana. Bun, Liona, tolong 'kerjai' golem itu sementara aku mencari celah kelemahannya!" Vajra lantas mulai menembakkan Panah Petir Pasopati-nya ke arah mata si golem.
"Baik, bun~!" Merrygold si gnome sudah menghilang setelah batas waktu "kemunculannya" yaitu lima menit lewat. Jadi kini Bun bisa memanggil Nexus alias makhluk maya antar ranah yang lain. "Nexus: Monica!" Sesosok gnome perempuan bertudung dan berjubah ungu seperti Liona muncul dan melayang-layang di samping Bun.
"Ada apa Bun panggil-panggil Monica, mon~?" ujar Monica, wajah manisnya tampak agak ketus.
Bun menjawab, "B-begini, Mon Mon sayang, Bun minta tolong kerjai yang itu ya, bun~" Ia menunjuk ke arah si golem.
Monica ternganga, lalu menggeleng. "Nggak bisa! Enak aja, masa' yang sebesar itu diberi ke Monica! Maaf deh, mon~!"
"Nanti Bun buatkanMon Mon kue pai ungu super spesial deh, bun~!"
Monica tersenyum licik, "Oke, janji ya! Nexus: Purplepie, Graycake~mon!" Ia lantas memanggil roh-roh gaib kesayangannya yang berbentuk seperti kue pai ungu dan kue bolu kelabu. Monica terbang bersama kedua roh itu, lalu melemparkan Graycake dan Purplepie bergantian ke arah golem itu.
Sang golem raksasa sedang menghajar pasukan Alforea, dan sempat hampir melumat Wildan yang mencoba menghantam sendi-sendinya dengan susah-payah. Saat kedua "roh kue" menghantam kepalanya, tiba-tiba gerakan si raksasa jadi tak teratur dan akhirnya berhenti dan mematung. Itulah efek dari kutukan Monica, reaksi si golem terhadap itu menunjukkan makhluk ini rupanya digerakkan oleh roh yang terkandung dalam kristal golemium di matanya itu.
"Giliranku! Biar kuhancurkan dia!" Liona baru akan maju dengan Pedang Vargusnya saat Vajra menghalanginya seraya berkata, "Tunggu, Liona. Aksi Monica tadi memberiku gagasan untuk menangani makhluk yang satu ini. Kau bantulah Wildan dan serang menara kristal sayap timur bersama para prajurit! Bun, mintalah Monica menerbangkanmu ke atas bahu golem itu!"
"T-tapi, tunggu! Apa maksudmu, bun~?" Tak mau berpanjang-lebar menjelaskan rencananya, Vajra langsung maju menghampiri Wildan. "Oi, Wildan!" serunya. "Tolong 'terbangkan' aku ke punggung si golem, lalu kau bantu Liona menghancurkan menara kristal sayap timur!"
"Baik!" Wildan yang blak-blakan langsung mengerahkan Halilintar Pendorong, merangkul Vajra dan membawanya melompat tinggi hingga "hinggap" di pundak si raksasa batu. Wildan lalu menjejak si tubuh batu dan melompat ke arah Mao yang menunggu di tanah, menyusul Liona yang "berselancar" di udara dengan sepatu anti-gravitasinya.
"Nah, sekarang coba, apa reaksimu terhadap Jaring Dalangsukma?" kata Vajra sambil menghimpun prana, lalu memancarkan kesepuluh benang petirnya ke dalam mata kristal si raksasa batu itu. Bun yang dibawa terbang Monica mendarat di samping Vajra, dan Monica menghilang seketika, kembali ke ranahnya. Lalu Bun bertanya, "Bagaimana, bun~?"
Vajra mendelik di balik topeng merah separuhnya, seolah meminta Bun untuk menunggu. Sesaat kemudian, pijakan kaki Bun mulai goyah karena si golem bergerak. "Whoa! Whoa, bun~!" Benang-benang petir masih tersambung ke si golem. Kini Vajralah yang mengendalikan golem itu, dan golem itu adalah "wayang"-nya. Bun berinisiatif menyalurkan Spark pada Vajra untuk mengisi prana "kakak"-nya itu, dan Vajra tersenyum padanya sebagai tanda terima kasih. "Ayo, kita serbu menara barat!" katanya.
Golem raksasa berderap agak berat dan perlahan tapi pasti. Saat mencapai jarak tiga puluh meter dari menara kristal, tiba-tiba kristal gaib sebesar manusia yang melayang di puncak menara itu menembaki si golem dengan peluru-peluru sihir yang berentetan setiap detik. Setelah menemukan pijakan yang mantap, Vajra dan Bun berlindung di bagian belakang bahu golem batu itu dan terus maju. Selain "wayang", golem itu kini jadi "perisai" mereka. Pucuk dicinta ulam tiba.
"Lho, kok Vajra tahu menara kristal itu akan menembaki kita bila kita mendekatinya, bun~?" Bun bertanya lagi, namun Vajra tak menjawabnya karena sedang berkonsentrasi penuh. Padahal Bun sendiri juga melihat gelagat aneh pasukan monster yang cenderung berbaris di satu jalur, tak mau mendekat ke jarak tembak menara kristal itu.
Jadi, daripada menggunakan jurus-jurusnya, Vajra memilih memanfaatkan kekuatan besar si golem saja. Tentunya yang pertama kali dihantam si golem hingga hancur dengan tinjunya adalah kristal penembak yang melayang secara magnetis di puncak menara. Lalu dengan kekuatan penuh si golem berusaha mencabut menara, tapi benda itu bergeming. Pasti dasarnya menancap amat dalam di tanah.
Tak masalah, Vajra mengendalikan si golem menghantami dinding menara. Untungnya bahan kristal itu cukup rapuh seperti pohon pada umumnya, sehingga mudah pecah dihantam senjata dan serangan fisik manusia biasa setara prajurit Alforea. Apalagi dengan kekuatan raksasa, lima kali hantaman cukup membuat dinding kristal jebol. Menara kristal itu bergerak perlahan dan makin condong seperti pohon sedang tumbang.
Namun tiba-tiba dinding kristal menara itu berangsur menyatu, kembali utuh seperti sediakala. Posisinya yang condong kemballi tegak, dan dinding itu tetap memancarkan energi gaib, menjaga keutuhan portal hitam raksasa. Vajra terperangah, ada apa gerangan?
Vajra lantas menoleh pada Wildan yang sedang menghantami dinding menara sayap timur bersama para prajurit, kelihatan seperti sekelompok penebang pohon yang menggunakan kapak biasa. Sementara Liona mengaktifkan sepatu gaibnya, "berselancar" di udara dengan lincahnya menepis, menahan, menangkisi serta menyerap berondongan peluru sinar sihir dengan Pedang dan Zirah Cahayanya. Walau belum sampai tumbang, menara itu sudah tampak seperti pohon yang lingkar batangnya tertebang sepersepuluhnya.
Justru Bun yang mengutarakan kesimpulannya, "Astaga! Kita harus menghancurkan kedua menara kristal ini bersamaan! Menara yang hancur duluan akan kembali utuh, dan kita harus mengulang dari awal lagi, bun~!"
Vajra mengangguk tanda mengerti. "Jadi kitalah yang harus menyesuaikan waktu tumbangnya dengan regu Wildan-Liona!"
Kabar baiknya, kristal yang melayang di ujung menara sudah hilang dan tak terbentuk lagi, jadi tak ada peluru sinar yang memberondong Vajra dan Bun. Sedangkan monster-monster yang keluar dari portal masih bisa dibendung pasukan Alforea yang membentuk pagar betis dekat portal.
Tak mau buang waktu, Vajra kembali mengendalikan si golem menghantam dinding kristal. Namun kali ini jeda waktu antar pukulannya lebih lama. Sesekali ia menoleh ke menara timur, berusaha menyamakan kekuatan dengan regu Wildan.
Tiba-tiba raungan keras kembali membahana. Vajra menoleh ke belakang dan melihat Tamon Rah sedang berderap cepat dari tenggara ke arah menara timur. Regu Wildan dan Liona dalam bahaya!
"Bun, cepat turun! Ajak pasukan menghantami menara ini! Aku harus menghadang Tamon Rah!" teriak Vajra seraya membuat si golem berbalik dan berderap ke timur. Bun tak berani protes. Dengan lincah ia menuruni tubuh batu itu dan melaksanakan arahan sang ketua Tim Lightbringers.
Di sayap timur, Wildan dan Liona terperangah melihat Tamon Rah. Saat kuda berapi itu makin makin dekat dengan sayap api terkembang, mendadak sosok raksasa si golem batu menerjang ke arah si kuda gila. Sebelum kedua raksasa itu bertabrakan, tinju golem lebih dahulu mendarat di wajah Tamon Rah. Rah balas menanduk si golem dengan cula kristalnya. Si golem lantas menghantamkan tinju kedua dan ketiga di kepala dan tubuh depan lawan, hingga si kuda terdorong ke belakang.
Makin mengamuk, Rah mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi dan menghantam tubuh golem. Vajra jatuh dari bahu "wayang"-nya itu. Untunglah dengan sigap ia menggunakan Jaring Dalangsukma, menahan daya jatuhan seperti berayun dengan tambang. Alhasil, Vajra mendarat dengan selamat di tanah.
"Saatnya berganti taktik!" Dengan berat hati Vajra lari kembali ke menara sayap barat, membiarkan kedua raksasa itu terus bertarung.
Sambil terus menangkisi sinar, Liona berteriak pada Vajra, "Gunakan serangan fisik biasa saja! Sihir dan prana takkan mempan pada dinding menara kristal!" Vajra mengangkat satu tangan tanda mengerti.
Berbekal informasi Liona itu, Vajra memungut senjata-senjata apapun yang bisa ia bawa dari tanah. Sesampainya di menara barat, ia mulai membantu Bun dan para prajurit Alforea menebang menara kristal dengan lambang runik gaib tanda segel Tamon Rah berpendaran di dalamnya. Tentunya senjata cakar pinjaman dari Wildan di tangan kiri Vajra jadi amat berguna, kristal makin mudah pecah dihantam senjata dewata itu walau tanpa menggunakan prana sama sekali.
Sementara itu, pendaran di menara kristal sayap kanan mulai pudar, dan menara mulai condong. Vajra terus menghantami dinding bagiannya dengan wajah memucat. Apa akal? Luka-lukaku makin parah dan pranaku hampir habis, begitu pula dengan ketiga mitraku. Kalau sampai menara tak tumbang bersamaan, kalau salah satu menara ini beregenerasi hingga utuh lagi, habislah semua!
Detik-detik berikutnya, mata Vajra kembali berkilau penuh semangat. Pandangannya tertuju pada Tamon Rah yang ternyata berhasil menumbangkan si golem raksasa hingga tak bisa begerak lagi. Si kuda raksasa kembali membubung di udara, namun ia malah berputar-putar saja di sana seperti linglung. Dan ia tak menebar bola-bola api pamungkasnya lagi.
Melihat itu, Vajra menarik napas lega. Namun saat itu pula sepercik gagasan terbit dalam benaknya. Sang dalang bertopeng merah berhenti menghantam sejenak, menghimpun prananya sambil berteriak, "Bun, pasukan Alforea, menyingkirlah!" Para prajurit cepat-cepat menyingkir, tapi Bun masih terus menghantam dinding kristal gila-gilaan seolah sedang hilang akal. Apa kini dia sedang lapar lagi?
"Maaf soal ini ya, Bun!" Terpaksa Vajra mengubah jurus dengan menebar Jaring Dalangsukma, membelit tubuh bulat si gnome dan melontarkannya hingga jauh ke arah barat, ke "tempat aman".
Gelang Gandiwa berpendar, dan Vajra menembak-nembak ke udara dengan Panah Petir Pasopati. Apa dia sudah gila? Jelas saja, pengerahan prana dan jurus itu menarik perhatian si kuda raksasa yang merah menyala di udara itu.
Tersadar dari "lamunan"-nya, Tamon Rah meraung gila dan langsung terjun, menerjang ke arah Vajra di kaki bukit dengan kecepatan tinggi. Melihat reaksi itu, Vajra malah tersenyum menyambut maut. Maaf saudara-saudariku, terpaksa kulakukan pertaruhan terakhir ini, batinnya. Selamat tinggal Bun, Liona, Wildan. Senang sekali aku bisa menganggap kalian... keluargaku sendiri.
Dengan setitik sisa prananya, Vajra terus memberondong Tamon Rah. Kristal gaib juga ikut menembak Rah dalam jarak serang, namun sang "kuda dewa" sudah tak peduli lagi. Mata Vajra bertatapan langsung dengan mata "dewa" yang akan mencabut nyawanya, namun tak ada Panah Pasopati melesat. Prana Vajra tandas tak bersisa, menghindarpun tak sempat lagi. Semoga Liga Adilaga berhasil menghentikan guruku, itulah pikiran terakhirnya.
Saat ujung cula kristal merah Tamon Rah tinggal beberapa jengkal lagi membentur zirah Vajra, tiba-tiba tubuh sang dalang serasa ditarik oleh satu kekuatan besar. Pemuda berambut hijau itu terbanting di tanah, seiring satu dentuman dahsyat dan derak suara seperti bangunan runtuh.
Saat berikutnya, Vajra melihat Tamon Rah sudah menabrak menara kristal gaib raksasa itu hingga runtuh berkeping-keping. Yang lebih melegakan, menara kristal sayap kiri itu runtuh bersamaan dengan runtuhnya dengan menara sayap kanan. Semuanya itu kini berpadu dengan reruntuhan kastil, jadi bukti sejarah. Sepasang aksara runik suci, segel Tamon Rah yang semula terkurung dalam menara kristal kini melayang bebas di udara dan bersinar seterik matahari. Akibatnya, portal hitam raksasa di depan gerbang kastil menyusut dengan cepat. Semua monster yang masih hidup di medan perang ini tersedot kembali ke dalam portal itu, teriring sorak-sorai kemenangan para prajurit Alforea yang tersisa.
Di saat bersamaan, tubuh Tamon Rah si kuda api raksasa bersayap tampak seakan terurai menjadi semacam uap membara. Ia jadi makhluk terakhir yang tersedot ke dalam portal. Tamon Rah akhirnya kembali ke tempatnya tersegel, yaitu Bulan Alkima. Anehnya, sebelum tubuhnya lenyap suara Tamon Rah malah membahana seperti suara seorang pria. "Awas kau, Tamon Ruu! Tunggu pembalasanku!" Portal gaib makin mengecil dan akhirnya lenyap tak bersisa.
Selesailah sudah. Vajra memaksakan senyum lemah di balik topeng separuhnya. Tatapannya kini beralih pada sang penolong jiwanya yang kini berlutut di sampingnya. Dialah si penyihir cahaya berambut dan bermata ungu, Liona Lynn.
"Gila kamu, Vajra, bermain api dengan si pelontar api raksasa itu! Itu tadi tindakan paling bodoh, paling gila... dan paling berani yang pernah kulihat! Aurum!" Seberkas cahaya kelap-kelip terpancar dari kedua telapak tangan Liona di atas dada Vajra, perlahan-lahan memulihkan luka-luka sang rekan. Kondisi Vajra ternyata parah, hawa desakan amat dahsyat dari tanduk kristal Tamon Rah telah meninggalkan luka dalam yang tiap saat dapat mengancam jiwanya.
Dalam keadaan masih sadarkan diri, Vajra melihat Bun berlari-lari kecil ke arahnya sambil mengunyah sosis sisa bekalnya. "Radith jahat!" serunya, tak peduli lagi mau panggil apa. "Teganya lempar Bun jauh-jauh! Sakitnya tuh di sini, bun~!" Bun mengusap-usap punggung bawahnya.
Vajra tertawa lemah, sedangkan Liona hanya mendelik nakal karena masih merapal Sinar Emas Penyembuh. Tampak dari timur Wildan mendekat bersama Mao si harimau, keduanya tertatih-tatih karena luka-luka yang belum pulih. Wildan mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi ke arah Vajra sambil menyunggingkan "senyum dewa"-nya.
Saat itu pula, sebuah portal putih muncul di tempat bekas portal hitam tadi. Maid Catherine si pemandu misi keluar dari portal itu seraya berkata, "Selamat, kalian sudah sukses menyelesaikan misi ini. Silakan masuki portal ini untuk kembali ke Despera."
Vajra alias Raditya Damian melayangkan pandangannya ke arah langit. Tampak Alkima, bulan di Alforea kembali utuh dan perlahan kembali membubung ke orbitnya, menandakan kembalinya keseimbangan alam. Ia lantas berucap lemah, "Nah, sekian lakon hari ini. Raditya Sang Dalang undur diri dulu, sampai jumpa di lain kesempatan."
Seiring kata terakhirnya, kesadaran segera meninggalkan pemuda bertopeng merah itu, berganti hitam yang lebih gelap daripada malam.
-------------------------
Baca pula postingnya di blog Battle of Realms 5:
No comments:
Post a Comment