 |
Regu Swarnara (atas) lawan Regu Kalingga (bawah) dalam final Piala Dunia Galahasin di Everna. |
GALAHASIN Andry Chang
Legenda Everna
Sejak lahirnya peradaban dan sejarah, Jazirah Antapada di Dunia
Everna didiami oleh berbagai ragam suku bangsa. Seiring makin
berlipatgandanya populasi manusia, suku-suku itu makin berkembang
sehingga menjadi negara-negara kota.
Selama masa itu, perang
antar negara-kota untuk memperebutkan dan memperluas wilayah kekuasaan
amat kerap pecah. Akibatnya, banyak negeri punah, hampir sepertiga
populasi Antapada musnah, dan lebih separuh sisanya hidup amat melarat,
bahkan makin tergerus akibat wabah penyakit dan kelaparan.
Menyadari
“kiamat” yang akan datang ini, banyak negara-kota bertetangga yang
bergabung, juga para pahlawan-negarawan yang mempersatukan negeri-negeri
menjadi kerajan-kerajaan pulau yang berbatasan dengan laut.
Sejarah
mencatat sedikitnya ada tujuh kerajaan besar yang berdiri di masa yang
sama, di awal Zaman Raja-Raja Pulau Antapada ini. Dari barat ada
Swarnara, Kalingga, Jayandra, Akhsar, Rainusa, Kepulauan Bethara, juga
Dhuraga, kerajaan dengan wilayah terbesar di ujung timur.
Namun,
kedamaian sejati belum tergapai. Kalingga, salah satu dari tiga kerajaan
termakmur di Antapada berambisi menguasai tanah-tanah di seberang batas
lautnya. Bethara ditaklukkan, Akhsar jadi sekutu Kalingga. Lewat perang
berkepanjangan yang kebanyakan berlangsung di lautan, akhirnya laskar
gabungan Jayandra dan Swarnara berhasil memaksa Kalingga-Akhsar
melakukan gencatan senjata.
Agar perdamaian di Antapada tetap
terjaga, sekaligus meredam ambisi negeri-negeri besar untuk mengadakan
ekspansi, perlu ada semacam acara untuk memperingati perang besar yang
baru usai ini.
Seorang bijak cendekia, ahli sihir dan filsafat
yang amat terpandang di seluruh Antapada, Mpu Galahasin menciptakan dan
mengusulkan sebuah pertandingan olahraga yang diadakan tiap dua tahun
sekali. Olahraga ini dimainkan secara beregu di sebuah lapangan yang tak
terlalu luas.
Aturan mainnya cukup sederhana. Regu pelari harus
bergerak cepat, melewati hadangan regu lawan. Seorang pelari hanya boleh
menerobos garis batas bila ia sudah berdua dengan pelari lainnya di
petak yang sama. Bila ada satu anggota regu pelari memegang bendera di
seberang lapangan, regu pelari itu mendapat satu bendera dan berganti
menjadi regu penghadang. Regu pertama yang mendapat lima bendera adalah
pemenangnya. Bilamana ada satu orang pelari saja yang disentuh tangan
penghadang, berarti regu pelari gagal mengibar bendera dan berganti
seketika menjadi penghadang.
Karena tiap regu mewakili salah satu
kerajaan, yang tampil dalam permainan olahraga yang dinamai menurut
penciptanya, Galahasin itu jelas adalah para pria dan atau wanita
terkuat, tercepat, terlincah dan tercerdik di negerinya.
Kekuatan
masing-masing negara diukur dari Kejuaraan Galahasin ini. Kehormatan dan
harga diri bangsa dipertaruhkan, dibebankan di pundak kelima insan
dalam pertandingan yang adil. Pelanggaran peraturan, tindakan curang dan
kekerasan bakal diganjar hukuman. Para pemenang jadi pahlawan, para
pecundang dihibur dan para pecurang dimaki, dicerca di kampung halaman.
Jadi,
bagi pemuda bertubuh langsing bernama Kodra Bhaskara, mewakili seluruh
Kalingga untuk pertama kalinya dalam Kejuaraan Galahasin Antar Kerajaan
ini adalah kehormatan dan kebanggaan yang tak ternilai, tak terkatakan.
Namun, itu tak membuat Kodra lupa diri. Kalingga tak pernah memboyong
arca emas berbentuk Mpu Galahasin dalam dua kejuaraan sebelumnya. Kali
ini, di dwitahun ketiga ini, harapan untuk berjaya bagai secercah fajar
meremangi malam.
“Fajar” itu berangsur-angsur bertambah cerah
ketika Kalingga mulai melibas lawan-lawannya. Menekuk Bethara dengan
telak, karena regu campuran manusia-siluman ikan itu seharusnya lebih
kompak bekerjasama.
Unggul tipis dari para manusia-kadal raksasa
komodo dari Rainusa. Mereka memang amat kuat, licin dan gesit, namun
lemah dalam menyusun strategi. Andai para manusia komodo itu mau bekerja
sama dengan manusia, mungkin ceritanya bakal beda.
Kalah dari
Swarnara. Kodra dan timnya kerap kesilauan melihat seragam lawan yang
berkilap putih keemasan. Lebih tepat lagi, regu Kalingga memang kalah
piawai dari regu Swarnara yang adalah juara Kejuaraan Galahasin pertama.
Menundukkan
regu Dhuraga. Para anggota regu Dhuraga yang semuanya hidup di tengah
hutan belantara seharusnya amat cekatan dan cepat larinya, namun hiasan
kepala mereka yang berat membuat pergerakan mereka terhambat.
Yang
sungguh membanggakan adalah kemenangan lima lawan empat bendera dari
Jayandra. Sebagai juara bertahan, regu ini memang mencerminkan
keunggulan nyata Jayandra sebagai negeri terkuat di Antapada. Namun,
segala kemungkinan dapat bergulir di permainan Galahasin, yang
terkuatpun bisa tumbang hanya karena satu kesalahan saja.
Maka, di
sinilah Kodra, di sebuah arena besar di Mahesapura, ibukota Jayandra,
tempat diadakannya Kejuaraan Galahasin Antar Kerajaan Antapada Ketiga
ini. Ia dan tim Kalingga menghadapi tim Swarnara yang tak terkalahkan,
dalam laga penentuan juara.
Kodra mengenakan rompi tenun
warna-warni, bermotif hewan khas Kalingga, sejenis kerbau yang disebut
anoa. Kepalanya dibebat dengan kain sarung semacam bandana, hingga
rambut kehijauannya tampak berdiri semua bagai rumpun rerumputan tinggi.
Rerumputan
di bawah kaki Kodra lebih hijau lagi, bertebaran di seluruh lapangan
galahasin. Gunanya untuk mencegah para pemain terpeleset di lumpur bila
hujan. Anehnya, rumput itu tampak amat pendek bagai permadani hijau.
Pastilah pertumbuhannya dikendalikan jampi-jampi sihir atau semacamnya.
Batangan-batangan
bambu yang berfungsi sebagai garis-garis batas ditanam dan diperkokoh
dengan sihir. Dari udara, tampak lapangan galahasin itu jadi seperti
jajaran empat bujursangkar raksasa. Panjang sisi tiap bujursangkar itu
adalah dua puluh telapak kaki Mpu Galahasin, dari ujung hingga tumit.
Ada dua baris, terdiri dari masing-masing dua bujursangkar. Empat
penghadang berdiri di garis-garis bambu yang melintang, dan satu penjaga
tengah bersiap di garis bujur terpanjang di tengah lapangan.
Dari
hasil undian, Kalingga mendapat giliran sebgai tim pelari. Berdiri di
sebelah bendera Kalingga bergambar semanggi berdaun empat beralaskan dua
golok mandau bersilangan di dekat garis akhir, pelari utama, Kodra
melirik pada rekannya sesama pelari awal, seorang gadis bernama Withali
di petak pertama baris pertama. Wajah manis serta lenggak-lenggok
tubuhnya yang lincah dan gemulai membuat gadis itu jadi salah satu
andalan tim.
Pelari kedua Kalingga yang berjaga di petak kedua
baris pertama adalah Nagta, seorang tentara yang kekar nan gagah. Di
petak pertama baris kedua ada Luku-Wa, seorang wanita bermata jeli,
pemimpin regu yang otaknya dipenuhi strategi. Di petak kedua baris kedua
berdirilah anggota tim termuda dengan tubuh kecil mirip anak laki-laki
yang baru beranjak remaja, dengan wajah mirip tapir, hewan khas Kalingga
selain anoa. Namanya Tamur si Belut-Tapir, mantan anggota pasukan
penyusup Kalingga.
Karena pertandingan belum dimulai, ketua regu
lawan, seorang pria amat tampan dengan rambut berombak bicara pada
Luku-Wa yang berhadapan dengannya, “Setelah ini selesai, kami akan
mengundang Ratu Kalingga menikmati jamuan dengan Arca Galahasin
bersanding dengan pusaka-pusaka emas lainnya di Istana Swarnara.”
“Ya,
asal kalian pastikan dulu arca aslinya tak bersemayam di Balairung
Agung Kalingga,” jawab Luku-Wa, balik bersilat lidah agar semangat
timnya tetap terjaga.
“Hmph, jangan jumawa dulu. Kami sudah menaklukkan kalian di pertandingan pertama, jangan harap bisa menang kali ini juga!”
“Dalam
pertandingan galahasin, tak ada yang pasti. Pertandingan kami dengan
Jayandra jadi buktinya. Walau begitu, toh kami akan terus berjuang.”
“Huh, kita lihat saja apa permainanmu hari ini setajam kata-katamu,” ujar Hang Janak ketus, berusaha meredam emosinya.
Terdengar
suara membahana dari podium. “Yang terhormat Mpu Galahasin sendiri akan
memimpin pertandingan puncak!” Pencetus dan penggagas olahraga ini
bertindak sebagai wasit, membuat detak jantung Kodra makin cepat karena
bergairah. Tampak pula raut amat bersemangat di wajah semua peserta
lainnya.
Mpu Galahasin, pria sepuh berjanggut panjang dengan
rambut putih berkepang sepinggang berjalan ke tengah arena. Tak hanya
gerak-geriknya, penglihatannya masih tajam, bahkan suaranyapun terdengar
gagah membahana. “Para pemain bersiap! Pertandingan… mulai!”
Gong
berbunyi. Kodra lari dari titik awal, yaitu bendera Kalingga. Ia
memilih bergabung dengan Withali di petak pertama baris pertama. Mereka
hendak melewati Cut Asthi si penjaga garis lintang, seorang gadis mungil
berwajah bulat dan berambut pendek. Menilik sepasang telinga lebar
berbulunya, ditambah ekor pendek dari bokongnya, jelas Cut Asthi adalah
siluman manusia-kancil.
Kodra melirik sekilas ke petak kedua baris
pertama. Tampak Nagta berdiri santai, bahkan terpaku melihat kecantikan
penghadangnya, Salikha yang bagai bidadari. Terpikat anggota regu
lawan, itu pantangan keras di tiap pertandingan. Andai Kodra ingin
menyeberang ke petak Nagta, ia harus melewati hadangan si penjaga garis
bujur, seorang pria berkulit biru kehijauan berperawakan mirip Kodra.
Namanya Yudha, wakil kaum peri air, para perenang dan penyelam terunggul
di Swarnara.
“Ingat pesan Luku-Wa, Kodra,” bisik Withali sambil
bergerak samping-menyamping, mencari kesempatan. “Lebih seringlah
bekerjasama dengan Nagta.”
“Ya, ya,” jawab Kodra dengan nada enggan. Tiba-tiba, ia berlari amat cepat ke ujung petak untuk melewati… Cut Asthi.
“Hah,
mudah terbaca!” Tersenyum penuh kemenangan, si siluman kancil melesat
untuk menyentuh Kodra. Tiba-tiba Kodra malah melompat mundur,
memanfaatkan ingatannya akan “kecepatan kancil” Asthi dan menghindar
dari sentuhan tangannya. Asthi terkesiap, lantas lari ke sisi satunya
saat melihat Withali hampir melewati garis bambu tepat ke titik tengah
lapangan.
“Eit, jangan harap!” Yudha juga ikut menghadang Withali.
Namun gadis itu tiba-tiba berhenti di luar jangkauan tangan kedua
penghadangnya. Asthi dan Yudha baru sadar mereka tertipu saat tiba-tiba
Kodra melesat dari belakang rekannya secepat kilat. Ia melewati garis
bambu dan bergabung di petak sebelah bersama Nagta.
“Lihat siapa yang akhirnya bergabung,” sindir Nagta si prajurit kekar.
Kodra balas menyindir, “Aku ingin menyapa siluman musang berkulit bidadari itu sebentar.”
“Hei,
enak saja! Dia bagianku!” Nagta berlari ke arah yang sama dengan Kodra,
seakan ingin mencegahnya “main mata” dengan Salikha. Salikha sendiri
melihat kesempatan emas, berlari ke ujung terjauh petak agar bisa
menyentuh dua lawan sekaligus.
Namun sekali lagi, dengan gerakan
amat cepat Kodra berputar balik sambil bertumpu pada satu kaki, dengan
mudah melewati Nagta dan Salikha sekaligus. Ia lantas berlari tanpa
henti untuk melewati si anggota pria bertubuh paling besar di regu
Swarnara, Bur-Gai dari tengah lapangan.
“Dasar nekad! Habislah
kau!” teriak Bur-Gai sambil bergerak untuk menghadang, dibantu Yudha di
garis bujur. Kodra memang nekad, ia berlari terlalu ke tengah dan malah
melamban hingga Yudha berhasil menyentuhnya. Si pemuda biru melonjak
kesenangan.
Melihat itu, Kodra malah tersenyum sambil berkata, “Jangan terlalu yakin, bung. Lihat baik-baik.”
Yudha
dan Bur-Gai menoleh ke arah yang ditunjuk Kodra. Tampak Tamur, si
manusia-tapir mungil telah berdiri di seberang garis akhir sambil
memegang tiang bendera Swarnara. Walau posisinya tadi di belakang Kodra,
kecepatan lari Tamur memang melebihi Kodra hingga ia menyentuh bendera
persis sepersekian detik
sebelum Kodra tersentuh lawan.
Pandangan
semua insan, baik pemain dan penonton beralih seketika pada sang wasit,
Mpu Galahasin yang merentangkan telapak tangan ke arah bendera Kalingga
sambil berseru, “Satu bendera untuk Kalingga!”
“Bagus, Tamur!”
Kodra mengacungkan jempol ke arah Tamur, dibalas tatapan dingin si
siluman tapir.
“Dasar pemuda nekad,” decak Tamur kesal. Andai Tamur tak
cukup cepat, bendera pertama di papan nilai Kalingga pasti tak jadi
berkibar.
Ketua regu, Luku-Wapun menegur Kodra, “Tolong lebih hati-hati, Kodra. Swarnara terlalu tangguh untuk kauhadapi sendirian saja.”
“Ya, ya.” Lagi-lagi Kodra menanggapinya dengan malas.
Namun
sikap masa bodoh pemuda belia itu lagi-lagi diganjar dengan kenyataan
pahit. Kejadian di pertandingan pertama Kalingga-Swarnara terulang
kembali.
Bur-Gai, si pria besar dengan seikat rambut berkibar
mirip rambut jin bertengger di pucuk kepala plontosnya ternyata amat
lincah. Sekali lagi, dia menerobos halangan Tamur dengan bantuan Yudha.
Kodra berusaha meraih Bur-Gai yang bergerak menyilang ke petak baris
dua.
“Kena kau, sasaran besar!” Tangan Kodra jelas menjangkau tubuh Bur-Gai, namun lagi-lagi hanya menyentuh udara.
Kodra
hanya bisa ternganga saat si pria besar bergabung dengan Salikha di
posisi ujung tombak. Keduanya mengecoh Nagta, si bidadari menyusup
dengan gemulai, membelai lembut bendera Kalingga penuh kemenangan. Nagta
hanya bisa gigit jari, bertekad takkan terpikat lawan lagi. Kalingga
satu bendera, Swarnara satu bendera.
Kekuatiran Kodra lain lagi.
Tenang, tenang, kau bisa mengatasi si raksasa itu, Kodra menenangkan diri sendiri.
Kau bisa belajar dari pengalaman di pertandingan yang lalu. Kau pasti bisa.
Mungkin
Kodra memang bisa, namun kenyataan berkata beda. Lagi-lagi menerobos
langsung sebagai pelari utama, Kodra terpaksa menghindari sapuan tangan
Bur-Gai yang bagai sayap naga raksasa. Kodra berhasil, namun ia lantas
disambut sentuhan tangan Yudha di tubuhnya.
Kali ini, Luku-Wa tak
segan-segan menegur keras, “Sekali lagi kau beraksi sendirian, Kodra,
kau bakal terus main galahasin sendirian di kampungmu – selamanya.
Mengerti?”
“Ya, aku mengerti.” Kodra tak berani mengeluh lagi.
==oOo==