![]() |
Kiri ke Kanan: Reuven Sang Rahval, Karth Sang Shazin, Clarissa Sang Vestal |
Namaku Karth. Aku adalah anggota
Shazin, sebuah klan pembunuh gelap yang juga adalah pasukan elit di Legiun
Falthemnar.
Walau menjadi Shazin bukan
pekerjaan terhormat, aku terus menjalaninya bertahun-tahun penuh pengabdian.
Prinsipku, siapapun yang terbukti adalah sumber masalah atau bahaya di Negeri
Elvar harus dilenyapkan.
Jadi di sinilah aku,
berkelebat nyaris tanpa suara, searah dan seiring hembusan angin. Melompati
pohon demi pohon seperti kera, kadang berayun di akar-akar rambat yang
bergelantungan. Sosokku yang tinggi, ramping dan cukup berotot membuat
gerakanku lebih lincah dan lentur. Rambut kelabuku yang panjang berikat
berkibar bagai ekor rubah.
Di Hutan Telssier ini, tiap
batang dan daun pepohonan, semak-belukar, tiap ceruk tanah, aliran air dan
pergerakan udara kumanfaatkan agar selalu tersamar tiap saat. Walhasil, makhluk
manapun akan sulit mengenali sosokku, mendengar gemersik gerakku, bahkan bau
tubuhku.
Tak terkecuali sasaranku
kali ini, seorang pria parobaya yang berdiri seorang diri di tepi telaga. Ia
berkumis tebal, mengenakan bandana, sepasang anting besar dan rompi bersulam.
Matanya tampak berkaca-kaca, sepenuhnya tertuju pada sebuah pusara tak jauh
dari batas air.
Saat berikutnya,
terdengar suara lembut pria manusia itu. “Ayah datang lagi, Lyra. Tak terasa,
sudah bertahun-tahun sejak kau beristirahat selama-lamanya…”
Sang ayah tak mampu lagi
menahan air matanya yang membuncah.
“Ya, Lyra, selama itu
pula waktu serasa terhenti. Ayah tahu, ayah harus merelakanmu, seperti halnya
ibumu saat penyakit merenggutnya. Saat ternyata kau menyusul ibumu, hati ayah
hancur luluh. Bahkan suamimupun hilang tak tentu rimba.
Kini ayah sudah lelah,
Lyra. Lelah. Ayah tak tahan lagi hidup tanpa keluarga tercinta. Katakanlah,
Lyra, ayah harus bagaimana?”
“Mudah saja. Jangan
bergerak dan sambutlah kematianmu, Olaf.” Kata-kata itu meluncur dari bibirku
sederas tubuhku yang terjun dari pohon terdekat. Belatiku terayun, siap
mengiris leher calon korbanku itu.
Tak kusangka, Olaf malah
membenturkan kepalanya pada kepalaku persis di belakangnya. Kakiku tersurut
mundur dua langkah, kepalaku pening bukan kepalang.
Olaf menghunus sebilah
pedang pendek dan berseru, “Jadi kau ingin mengantarku ke akhirat? Hmm,
setahuku aku tak punya musuh.”
“Kau punya, Olaf,”
jawabku tenang. “Jangan tanyakan siapa, karena aku takkan mengatakannya.”
“Tak masalah,” tanggap
Olaf sambil menepuk dada. “Ambil nyawaku, kalau bisa.” Pria kekar itu maju
sambil menyabet-nyabetkan pedangnya.
Dengan lincah aku
berkelit ke samping, sepenuhnya menghindari terjangan. Tiba-tiba Olaf memutar
tubuh sambil bertumpu pada satu kaki, sabetan pedang deras menerpa ke arah
tubuhku.
Aku bereaksi dengan
mundur menghindar. Sebagian daya sabetan ditahan baju kulitku, sebagian menggores
dadaku.
Baik, saatnya main keras.
Kuhunus senjata andalanku, pedang berbilah tipis yang membelit pinggangku bagai
sabuk. Pedang lembut ini lantas kugerakkan meliuk-liuk bagai ular. Olaf
berusaha menangkis, namun lebih banyak ujung pedangku mematuki tubuhnya
daripada yang berdenting di bilah pedang si gipsi.
Mulai putus asa, Olaf
dengan nekad mengulurkan tangannya, menangkap bilah pedang lembut.
“Bodoh, kaukira semudah
itu merebut senjataku?” Kuhentakkan tanganku, kutarik pedang sekuat tenaga.
Tanpa disadari lawan, pedang lembut tiba-tiba terulur makin panjang. Bilah-bilahnya
terbagi-bagi, setiap bagiannya tersambung dengan semacam benang.
“Waktunya kau mati.”
Secepat kilat aku bergerak memutar, membelitkan bilah pedang cambuk ke sekujur
leher Olaf. Terkesiap, Olaf berusaha melepaskan pegangan pada bilah pedang,
namun terlambat. Wajah tegangnya mengendur, berganti senyuman damai.
“Lyra, ayah menyusulmu.”
Itulah kata-kata terakhir Olaf saat kepalanya terpisah dari tubuh dan sosoknya roboh
tepat di atas pusara.
Dengan langkah santai kuhampiri
jenazah korbanku. “Kau sungguh tangguh, Olaf. Semoga rohmu tenang, berkumpul
lagi bersama anak-istrimu di alam baka.”
Ya, tugasku tuntas. Namun
ada dua hal mengganggu benakku. Nampaknya sasaranku ini hanya seorang gipsi,
penghibur keliling yang tak berbahaya. Bukan pemburu, penjahat atau ancaman
berarti bagi Negeri Elvar. Mengapa ia harus dilenyapkan? Bila ada kesempatan
nanti, aku akan mencaritahu jawabannya sendiri.
Lagipula, rasanya aku
pernah mendengar nama “Lyra” sebelumnya.
Kakiku melangkah amat
cepat, membawa tubuhku menjauh dari tempat kejadian.
==oOo==
Dari semua tempat di Ther
Melian, tak ada yang lebih kukagumi sekaligus kubenci daripada Ibukota Negeri
Elvar, Falthemnar.
Sebabnya, seorang Shazin
sepertiku tak dapat melenggang tenang menyusuri jalan. Biasanya, aku cukup
mengenakan jubah bertudung saja. Namun, kantung berdarah hasil kerjaku ini
membuatku terpaksa melompat dari atap ke atap rumah dan gedung, menghindari
tatapan curiga para Elvar lain.
Tibalah aku di sebuah
gang sempit. Kuhampiri sosok bertudung putih yang sedang berdiri berpangku
tangan di sana. “Salam, Leidz Clarissa. Tugas telah tuntas,” ujarku sambil
membungkuk tanda hormat.
Serta-merta kusodorkan
kantung berdarah itu ke hadapan si wanita. Clarissa tak menyentuh kantung itu.
Ia hanya melihat isinya dan mengangguk.
“Kerja bagus seperti
biasa, Karth,” ujar Clarissa sambil menyerahkan sebuah kantung kecil padaku.
Kuterima kantung itu, melirik isinya dan mengangguk.
“Terima kasih,” kataku.
“Bila tak ada perintah lagi, Leidz, sebaiknya aku segera kembali pada
pasukanku…”
Clarissa menyela,” Ada satu
tugas lagi untukmu.”
“Siapa yang harus
kulenyapkan?”
“Kali ini kau hanya perlu
mencari seseorang, bukan melenyapkannya.”
Kujawab, “Maafkan aku,
Leidz. Bukankah sebaiknya Elvar lain saja yang…”
“Tidak. Harus kau.” papar
Clarissa. “Saat ini, hanya kau yang kupercaya. Lagipula, aku akan ikut
denganmu.”
Aku terperangah, “Tapi
Leidz…”
“Tak apa, Karth. Tentunya
kau senang bila sekali-kali bekerja terang-terangan, bukan?”
Menegaskan maksudnya,
Clarissa membuka tudungnya. Tampak olehku seraut wajah cantik bermahkotakan
rambut hijau berombak, panjang sepinggang. Tatapan mata hijaunya menyiratkan
kekuasaan, kekuatan kehendak yang pantang dibantah oleh siapapun, termasuk aku.
Ya, aku hanya bisa terpana.
Clarissa melanjutkan. “Orang
yang kita cari ini adalah Lourd Reuven.”
Nama itu tak membuatku
terkejut. Lourd Reuven, mantan perwira Legiun Falthemnar, salah seorang Rahval
terbaik di kalangan Elvar. Setahuku, puluhan tahun yang lalu, ia dan Leidz
Clarissa pernah cukup dekat. Clarissa sering meminta bantuan Reuven menggubah
lagu-lagu ritual penyembahan pada para Aether. Hanya lagu-lagu gubahan
Reuvenlah yang bisa Clarissa nyanyikan dengan penjiwaan sempurna, jadi bisa kupahami
alasan Sang Vestal mencari Rahval itu sekarang.
“Baiklah, Leidz. Tugas
kulaksanakan,” ujarku akhirnya.
Clarissa mengangguk.
“Bagus. Coba kau cari informasi tentang keberadaan Reuven, lalu laporkan
hasilnya padaku,” ujarnya sambil berbalik pergi.
“Daulat, Leidz.”
Masih dengan kantung
berdarah di tangan, aku melesat pergi dari tempat pertemuan. Aku tahu, kini aku
harus melenyapkan barang bukti buah tanganku ini. Apa mau dikata, waktu
istirahat tak kunjung tiba.
==oOo==
Di bawah pancaran
matahari senja, aku tiba di depan rumah seorang Elvar. Tanpa sadar aku
tersenyum. Perpaduan dinding putih berpahat dan rumpun-sulur tanaman yang
melingkupinya tak pelak menimbulkan rasa sejuk nan teduh dalam diriku. Tanganku
terulur, mengetuk lembut pintu depan.
Suara seorang pria
menyambut dari dalam rumah, “Siapa di sana?”
“Ini aku, Karth, ‘ia yang
berjalan dalam bayangan’,” jawabku.
Pintu rumah terbuka. Sesosok
Elvar pria berambut pirang sebahu dan mengenakan kemeja putih panjang selutut muncul
di ambang pintu. Tak salah lagi, wajah rupawan dan sorot mata biru yang lembut
dan bersahabat itu milik Valadin.
Kedua tangan si tuan
rumah menepuk bahuku. “Karth, sungguh kejutan yang menyenangkan! Angin apa yang
membawamu jauh dari Telssier Citadel ke kediamanku ini?”
“Angin pekerjaan, Lourd
Valadin.” Kuatur nada bicaraku agar tak terlalu formal. “Tenang saja, aku hanya
ingin menanyakan suatu hal penting pada anda.”
Sang Eldynn, Ksatria Suci
dan Perwira Legiun Falthemnar itu menatapku sejenak, lalu mundur dari pintu.
“Hm, kita bicarakan di dalam saja.” Benar, Valadin adalah sahabatku, namun
pekerjaan mencegahku terlalu akrab dengan siapapun.
Tak lama kemudian, aku
dan Valadin duduk berhadap-hadapan di ruang tamu.
Valadin membuka
pembicaraan. “Nah, apa yang bisa kubantu?”
Tanpa basa-basi, kuberitahu
dia tentang tugasku mencari Lourd Reuven. Sebagai sahabatnya, kemungkinan
Valadin punya petunjuk tentang keberadaannya.
“Reuven, ya.” Ekspresi
Valadin tiba-tiba berubah. Dahinya berkerut, seakan tengah mencicipi buah yang
masam. “Kurasa aku tahu siapa penugasmu itu. Selain aku, ada satu orang lagi
yang berharap Reuven tak pernah meninggalkan Negeri Elvar. Tapi tenang saja,
aku takkan menyebut namanya. Justru aku akan memberi kalian petunjuk.”
“Apakah itu?”
“Menurutku, Reuven ada di
Benua Ther Melian, entah ia masih hidup atau sudah tiada. Dan tempat terbaik
untuk mencarinya adalah di hutan lebat.”
“Hutan lebat?” Dahiku
mengerut. “Kurasa bukan Hutan Telssier atau di wilayah Elvar, karena Elvar
manapun takkan terlalu sulit menemukannya.”
“Tepat sekali,” ujar
Valadin, senyumnya makin cerah. “Jadi sekarang kau tahu tempat untuk memulai
tugasmu.”
“Ya, terima kasih atas
petunjuk anda, Lourd Valadin.”
Saat aku hendak bangkit
dan minta diri, Sang Eldynn menyela, “Tunggu, Karth. Sebagai ganti bantuan
tadi, aku ingin menawarkan sesuatu padamu.”
“Apakah itu, Lourd?” Aku
duduk kembali.
Valadin menatap lurus
mataku. “Dengar, Karth. Kita sudah bersahabat cukup lama, bukan? Pertanyaannya,
bisakah kau kupercaya?”
Kutatap balik dia.
“Tentu, Lourd Valadin. Anda bisa mempercayaiku.”
“Baiklah. Aku akan mengungkapkan sebuah
rencana besar padamu.” Saat mengatakannya, sorot mata Valadin bagai api yang berkobar-kobar.
Aku terpana. Firasatku, ini
akan lebih besar dari dugaanku yang tergila.
==oOo==