LAGAN DONI
DAN MAKHLUK LANGIT Eni Lestari
“Ah, tolong, Tuan…”
Itu gadis kesepuluh yang
menggodanya minggu ini. Praktiknya selalu sama. Mereka pura-pura terjatuh
ketika membawa keranjang berisi aneka buah, sengaja menyibak rok untuk
menyajikan kaki mulus tanpa noda, tak lupa menunduk dalam-dalam, memperlihatkan
belahan dada yang memesona.
Kalau saja Lagan Doni seperti
Agam, pemuda kampung seberang yang terkenal bejat dan suka meniduri para gadis,
ia pasti sudah mengambil kesempatan itu—menggiring para gadis yang
‘menyodorkan’ dirinya di tengah jalan ke gubuk tak berpenghuni, memuaskan
hasrat lelakinya. Namun, alih-alih melakukannya, Lagan Doni cuma membantu gadis
itu berdiri, mukanya ditekuk masam, lalu pergi begitu saja, meninggalkan si
gadis penggoda yang melongo, menatap punggungnya dari belakang.
Lagan Doni mendesah. Tak bisa
dipungkiri dengan paras tampan dan tubuh atletis dambaan semua wanita, banyak
gadis mengincarnya untuk dijadikan suami. Mereka melakukan segala macam cara,
dari yang sopan sampai binal. Sayang, Lagan Doni tak tertarik menikah. Ia tidak
suka terikat, berkomitmen, atau hal semacam itu. Toh, umurnya masih muda. Lagan
Doni merasa masa muda hanya sekali, jadi ia tak mau menghabiskannya dengan terkungkung
di bawah ketiak wanita. Intinya, ia tak mau melakukan sesuatu yang berpotensi membuat
kebebasannya terkekang.
“Lagan Doni! Lagan Doni!”
Panggilan itu serta merta membuat
Lagan Doni menoleh. Ia melihat tetangganya Randu menghampirinya. Muka pemuda itu
terlihat panik dan napasnya terengah.
“Ada apa?” Lagan Doni merasa was-was. Ini
bukan pertama kali Randu menghampirinya dengan wajah panik seperti itu.
Terakhir kali menemuinya—kira-kira seminggu lalu—pemuda itu membawa kabar buruk.
“Ibumu… dia…”
Lagan Doni mengumpat. Kakinya
melangkah cepat. Randu mengikuti di sampingnya.
“Dia membuat keributan lagi?”
“Lebih dari itu. Dia menjadikanmu
bahan taruhan. Kalau kalah, kau akan dinikahkan dengan putri Tuan Raju. Aku
tahu ibumu pandai bermain kartu. Sebelumnya, dia juga sudah menang sebanyak
tiga kali. Tapi, kupikir aku perlu memanggilmu. Tidak ada keberuntungan yang
datang terus-terusan. Apalagi Tuan Raju orangnya licik.”
Tangan Lagan Doni terkepal. Ini
bukan pertama kali ibunya membuat keributan di kedai minum tempat Randu
bekerja. Semenjak ayahnya meninggal, ibunya itu seperti kehilangan arah. Ia
suka mengacau, minum minuman keras, bahkan berjudi. Lagan Doni tahu sebelum
menikah dulu, ibunya memang tergolong ‘nakal’. Mendiang ayahnya lah yang
berhasil ‘menjinakkan’-nya.
Suara sorak sorai menyambut
kedatangan Lagan Doni begitu ia sampai di kedai. Tanpa permisi, Lagan Doni menerjang
arus kerumunan orang. Orang-orang itu tampak berkumpul di sudut kedai. Dari
seruan melengking yang dikenalnya, Lagan Doni tahu mereka tengah menonton
ibunya dan Tuan Raju bermain kartu.
“Akuilah kekalahanmu, Nyonya!”
Tuan Raju terbahak. “Aku tidak keberatan punya menantu Lagan Doni. Putriku
Sanggar Alam begitu memujanya. Sayang sekali, anakmu itu tak mempan dirayu. Ini
kesempatanku membuat putriku bahagia.”
“Sayangnya, aku keberatan, Tuan
Raju,” sahut Lagan Doni. Ia menarik kartu yang dipegang ibunya, lalu
melemparnya ke tengah meja.
“Apa yang kau lakukan?!!” jerit
ibu Lagan Doni. “Kau tidak lihat aku sedang sibuk?!”
Lagan Doni melotot. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, ia menyeret ibunya itu keluar dari kedai. Ibu
Lagan Doni memberontak. Sumpah serapah juga keluar dari bibir Tuan Raju karena
Lagan Doni telah menginterupsi permainan kartunya. Lagan Doni tidak peduli. Ia
terus memegang lengan ibunya, membawa wanita setengah baya itu pulang.
Beberapa pasang mata menyaksikan
pemandangan itu sambil berbisik-bisik. Lagan Doni tak mengindahkannya. Ia tahu
apa yang dipikirkan orang-orang itu. Mereka pasti berpikir ibunya biang onar.
Apa yang dilakukannya kali ini memang tak seberapa. Lagan Doni ingat, seminggu
lalu ibunya itu nyaris menari dengan tubuh telanjang karena kalah berjudi.
Untunglah, Lagan Doni datang tepat waktu, sehingga bisa mencegah aksi heboh
ibunya itu.
“Apa aku harus mengikat tangan dan
kaki Ibu agar Ibu tak seenaknya pergi dan membuat kekacauan?” ucap Lagan Doni
begitu mereka sampai rumah. Lagan Doni memijat pangkal hidungnya, merasa lelah.
“Apa maksudmu?! Aku cuma menuruti
perintah ayahmu! Ini semua kemauan ayahmu!”
Lagan Doni menghela napas panjang.
Alasan ini lagi. Lagan Doni sungguh bosan mendengarnya. Mana mungkin ayahnya
yang sudah meninggal bisa datang ke mimpi ibunya, memintanya melakukan hal-hal
bodoh, bahkan tak bermoral? Ibunya pasti sudah tidak waras. Mungkin kematian
ayahnya begitu mengguncang kesadaran ibunya, sehingga ibunya itu kerap
berhalusinasi, lalu pada akhirnya melakukan hal-hal yang tak masuk akal.
“Ayahmu mendatangi Ibu semalam,
Lagan Doni. Ah, Ibu sangat merindukannya…” Mata ibu Lagan Doni menerawang. “Kami
berbincang lama sekali. Dia berkata Ibu harus pergi ke kedai dan menantang Tuan
Raju bermain kartu. Cuma itu pesan ayahmu semalam.”
Sinting! Lagan Doni
sungguh ingin memaki ibunya seperti itu. Namun, ia masih tahu diri. Ia
menghormati ibunya. Ia selalu ingat pesan ayahnya dulu untuk tidak melukai hati
ibunya dan mengucapkan kata-kata kasar padanya.
“Ayahmu juga bilang sebentar lagi
kau akan menikah. Ah, Ibu sungguh tidak sabar melihatmu berkeluarga. Apalagi
dari dulu kau tidak pernah menanggapi permintaan ayahmu untuk lekas menikah.”
Lagan Doni tak menggubris ucapan
ibunya. Ia melangkah pergi menuju kamarnya, meninggalkan ibunya yang termenung
memandang awan di kejauhan.
==oOo==
Jemari lentik itu bergoyang di
udara. Awan-awan di sekitarnya menggumpal seperti ribuan gula kapas yang disatukan,
lalu meledak menjadi serpihan. Serpihan awan itu kemudian meleleh, mengotori rambut
Nini Sari yang melintas di dekatnya. Tak hanya itu. Angin kencang menyusul
kemudian, meliuk-liuk, membuat baju Nini Sari berkibar dan rambutnya meriap
bagai tak disisir selama seminggu.
Nini Sari mengerling sebal. Ia
segera menghampiri Lembayung Senja yang tengah duduk di sebuah batu besar. Kaki
saudarinya itu ditekuk, dagu menempel di lututnya, dan matanya memandang ke
bawah.
“Lihat kekacauan yang kau bikin!”
sembur Nini Sari sembari mendekat. Ia menunjuk penampilannya yang berantakan.
“Aku ada janji dengan Ratu. Aku sudah berdandan sejak pagi, tapi kau merusak
semuanya!”
Lembayung Senja melirik dengan
muka lesu, tak mengindahkan ucapan Nini Sari. Ia malah mengembuskan napas
panjang, kembali melamun.
Nini Sari bersungut-sungut karena
tak dipedulikan. Sebenarnya, ia tahu alasan Nini Sari bermuka lesu seharian ini.
Kemarin ia memergoki saudarinya itu turun ke Vanapada demi menjerat Lagan Doni
agar jadi miliknya. Meski tak tahu kejadian selengkapnya, namun melihat
ekspresi Lembayung Senja, Nini Sari tahu pasti adiknya itu lagi-lagi ditolak.
Tentu saja Nini Sari bahagia
melihat fakta itu. Semenjak bertemu Lagan Doni—kira-kira sebulan lalu—Nini Sari
juga menyukai pemuda itu. Waktu itu, ia, Lembayung Senja, dan lima bidadari Kahyangan lainnya pergi mandi
di sebuah telaga terpencil di tengah hutan. Ketika pulang, mereka melihat Lagan
Doni tengah menebang kayu. Seketika langkah mereka terhenti. Mereka tak kuasa
memandang pesona Lagan Doni—perpaduan wajah tampan, tubuh tegap, lengan berotot,
serta keringat yang membasahi tiap jengkal kulitnya.
Aneh tapi nyata, mereka sama-sama
jatuh cinta pada Lagan Doni. Itu pertama kalinya ada pemuda manusia yang menarik
perhatian mereka. Lalu, sebuah usul pun tercetus—persaingan untuk merebutkan
Lagan Doni. Para bidadari itu boleh
mengerahkan usaha apa saja asal bisa memiliki Lagan Doni.
Satu per satu bidadari mulai
melancarkan aksinya. Sayang, Lagan Doni tak mempan dirayu. Bahkan ketika ada
yang tak tahu malu menyergap pemuda itu di semak-semak, Lagan Doni juga tak
tergoda. Ia malah berlari menjauh sambil berseru baru saja bertemu orang gila.
Akhirnya, lima bidadari lain menyerah untuk mendapatkan
Lagan Doni. Kini, hanya tersisa Nini Sari dan Lembayung Senja yang masih
menyisakan aroma persaingan. Tapi, melihat wajah lesu Lembayung Senja,
sepertinya gadis itu kali ini hampir menyerah. Sesuatu yang sangat diharapkan
Nini Sari tentunya.
“Jadi, apa kau mengikuti jejak
yang lain, merelakan Lagan Doni untukku?” Nini Sari mengangkat alisnya
tinggi-tinggi dengan raut muka sombong.
Lembayung Senja menjulingkan
matanya malas. “Jangan berkhayal, Nini Sari. Lihat dirimu. Memang kau pantas
mendapatkan Lagan Doni?”
Nini Sari merengut. Memang kalau
dibandingkan bidadari penghuni Kahyangan lainnya, ia tak memiliki tubuh ideal
yang digilai para pria. Wajahnya pun biasa saja. Yang mampu dibanggakannya
paling kecepatannya membaca dan suaranya yang merdu.
“Begini ya, saudariku.” Nini Sari
menepuk bahu Lembayung Senja sok perhatian. “Untuk mendapatkan Lagan Doni, kau
butuh sesuatu yang lain. Asalnya dari sini…” Nini Sari mengetuk dahinya dengan
jari telunjuk. “Kuno sekali kan
menjerat lelaki dengan modal dada dan paha?” Nini Sari terbahak.
Lembayung Senja melotot
mendengarnya. Nini Sari terus tertawa. Ia kemudian berlalu, meninggalkan
Lembayung Senja yang terus mengumpat karena dikatai oleh Nini Sari.
==oOo==
“Jadi, apa aku harus berdiam terus
di sini, tanpa melakukan apa pun?” sungut Nini Sari. Ia meneguk tuak di meja,
lalu bersendawa keras-keras. Pemuda di hadapannya mengernyit dengan wajah tak
suka dengan kelakuan Nini Sari.
“Aku tak ingin para saudariku yang
lain mencapku bermulut besar. Kau sudah berjanji padaku, Awan. Kau akan
membantuku membungkam mulut saudariku yang sering meremehkanku!” lanjutnya.
Pemuda itu, Aksara Awan, tersenyum
kecil. Ia menepuk lengan Nini Sari yang gusar, tatapannya berubah menenangkan.
“Aku tahu. Tenang saja, Nini Sari. Rencanaku sudah sempurna. Aku sudah
memperhitungkan semuanya. Setelah ini, kau tinggal turun ke Vanapada dan
mengikuti semua instruksiku.”
Mata Nini Sari berbinar. “Apa itu
berarti Lagan Doni akan jadi milikku?”
“Untuk hal itu aku belum bisa
memastikannya. Ada
yang tidak bisa kubaca. Sepertinya, tanpa sepengetahuannya, Lagan Doni punya
ilmu kanuragan. Kekuatanku tak bisa menjangkaunya,” jelas Aksara Awan. “Ada sesuatu dalam dirinya
yang mengikat dan memikat. Mungkin itu sebabnya dia bisa membuat makhluk Kahyangan
tertarik padanya. Manusia biasa tak mungkin bisa melakukannya.”
Nini Sari mengangguk mengerti.
“Jadi, kapan aku bisa menjalankan rencanamu?”
Aksara Awan mendongak, memandang semburat
jingga di langit, tanda hari menjelang petang. “Aku masih harus menunggu
pertanda-pertanda. Tapi bisa kupastikan dalam waktu dekat…” Aksara Awan
memandang Nini Sari dengan tatapan sukar diartikan. “Apa kau sungguh-sungguh
terhadap pemuda itu, Nini Sari? Kalau sampai Paduka Raja tahu, ia tak mungkin
merestui kalian. Makhluk Kahyangan dan manusia Vanapada tak boleh bersatu dalam
pernikahan. Akan ada bencana besar kalau itu sampai terjadi. Kau tahu itu, kan ?”
Nini Sari mengibaskan tangannya. “Ah,
itu kan cuma
dongeng bikinan tetua kita.”
“Itu bukan cuma dongeng, Nini
Sari!” hardik Aksara Awan. Nini Sari sampai tersentak mendengarnya. Aksara Awan
menghela napas. Ia menatap gadis di depannya dengan sorot minta maaf. “Kalau
ini cuma sekadar permainan belaka, persaingan antar saudara seperti katamu, aku
mau saja membantu. Tapi kalau lebih dari itu, aku tak mungkin mengambil
konsekuensi besar atas apa yang akan terjadi. Karena itu, jawab aku, Nini Sari.
Apa kau sungguh-sungguh terhadap Lagan Doni? Kau berniat bersama dengannya,
atau bahkan… menikahinya?”
Nini Sari terdiam. Kepalanya
tertunduk. Ia tahu susah menyimpan rahasia dari Aksara Awan. Namun, alih-alih
mengaku, Nini Sari menendang tungkai kaki pemuda itu. Ia tergelak, lalu
menepuk-nepuk pahanya, seolah baru saja menyaksikan acara parodi tahunan yang
diselenggarakan pihak Kahyangan.
“Mukamu serius sekali, Awan,” ucap
Nini Sari di sela-sela tawanya. Setelah puas tertawa, ia duduk di samping Aksara
Awan, lalu merangkul bahu pemuda itu. “Begini, sejak kapan aku menaruh minat
serius terhadap laki-laki? Aku bahkan menolak pinangan Raja Guntur. Padahal kau
tahu sendiri hampir semua penghuni Kahyangan—termasuk para saudariku—tergila-gila
padanya. Yah, sebelum mereka berubah haluan menggilai Lagan Doni…”
“Bukan itu masalahnya. Yang ingin
kuketahui adalah perasaanmu yang sesungguhnya,” sergah Aksara Awan tegas, tak
ingin Nini Sari mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
Nini Sari kembali terdiam. Ia
susah mengakui telah jatuh cinta pada Lagan Doni—bukan seperti saudarinya yang
lain yang menjadikan pemuda itu sebagai objek obsesi sesaat. Yang dirasakannya lebih
dari itu.
Nini Sari tak tahu bagaimana
awalnya. Mulanya, ia hanya suka melihat pemuda itu. Ada daya tarik yang kuat pada dirinya,
sehingga Nini Sari betah berlama-lama memakai wujudnya sebagai merpati Kahyangan
dan turun ke Vanapada, mengekor ke mana pun Lagan Doni pergi. Ia juga suka membuntuti
Lagan Doni ke hutan, memerhatikan pemuda itu menyadap lontar atau menebang
kayu.
Nini Sari tak bisa mendeskripsikan
perasaannya. Dulu, ia hanya akan tertawa ketika mendengar penuturan saudarinya ketika
mereka jatuh cinta. Kini, ia tahu rasanya. Mungkin seperti itulah definisi
dimabuk asmara ,
seperti yang dulu sering didengarnya. Satu hal yang baru pertama ini
dirasakannya.
“Aku…” Nini Sari menundukkan
kepala. Ia mendesah panjang. “Aku tahu tak bisa membohongimu terus-terusan,
Awan. Ya, aku memang menyukai Lagan Doni. Lebih dari yang kau pikirkan. Dan ya,
aku juga berkeinginan menikah dengannya.”
“Kau tahu itu tak mungkin bisa
terwujud. Akan ada bencana besar…”
“Aku tahu! Kau tak perlu
mengatakannya dua kali!” sahut Nini Sari ketus. “Tapi, kau berjanji padaku,
Awan. Apa kau lupa janjimu sendiri?”
Aksara Awan tersentak. Ia ingat
peristiwa puluhan tahun silam, ketika klannya dihabisi para penunggang naga. Saat
itu, pihak Kahyangan lah yang menyelamatkannya. Sebagai imbalannya, ia dan
beberapa anggota keluarganya yang selamat pun dijadikan budak. Mereka bekerja
rodi demi para penghuni istana.
Keadaan Aksara Awan sungguh parah
saat itu. Tubuhnya kurus kering, pakaian pun tak layak. Pihak istana memang
berlaku kejam pada para budak. Saat itulah, ia bertemu Nini Sari. Nini Sari
berumur sepuluh tahun dan sedang berjalan-jalan ke pasar ketika tanpa sengaja
ia melihat Aksara Awan memanggul karung berisi bahan makanan. Karena belum
makan sejak pagi, Aksara Awan tampak lesu. Karungnya pun terlepas dari
genggaman, menyebabkan isinya tumpah ruah di jalan. Seorang mandor mendekat. Ia
lalu menendang tubuh Aksara Awan tanpa ampun.
Melihat hal itu, Nini Sari segera
berlari dan merentangkan tangan, meminta mandor itu berhenti menendangi Aksara
Awan. Dengan otoritas sebagai putri Paduka
Raja , ia meminta
Aksara Awan agar dibebaskan dari budak. Ia ingin Aksara Awan menjadi asisten
pribadinya.
“Aku tak mungkin lupa…” Aksara
Awan berlutut di hadapan Nini Sari, mengenyahkan segala macam perasaan yang
berkecamuk di batinnya. Janji masa lalu itu mengikatnya. Janji yang dibuatnya
untuk penyelamat dirinya. Bahwa ia rela mengorbankan segalanya demi Nini Sari—demi
kebahagiaan, demi tawa ceria yang menghias bibir gadis itu.
Nini Sari tersenyum tipis. Ia tahu
selalu bisa mengandalkan Aksara Awan, memanfaatkan pemuda itu lewat kebaikan
kecil tak berarti yang dilakukannya dulu.
==oOo==
Kabut itu tebal, membuat Aksara
Awan berusaha sekuat tenaga mengerahkan tenaga dalam untuk menyibaknya. Rasanya
sungguh sulit. Pemuda itu sampai kewalahan. Kekuatannya pun sudah diambang
batas. Sementara kabut itu makin menebal, berwarna keabuan, dan nyaris membuat
matanya buta. Aksara Awan terpaksa menyerah. Ia pun berbalik, keluar dari ruang
mimpi Lagan Doni. Ia sungguh merasa kesal. Ini usahanya yang kesekian kali, tapi
ia tak kunjung bisa menyelisik mimpi pemuda incaran Nini Sari itu.
Aksara Awan membuka mata. Peluh
membanjiri sekujur tubuhnya, meski udara malam ini dingin membeku. Ia duduk di
bawah pohon di hutan keramat Kahyangan, kepalanya mendongak, memandang dedaunan
hijau kehitaman. Tak ada nyala api. Hanya sinar bulan purnama di langit yang
menemani ritualnya malam ini.
Alis Aksara Awan merengut. Ia
merasa kalah. Meski sudah membaca literatur berisi aneka mantra dan
meningkatkan ilmu kanuragan, usahanya itu tak juga membuahkan hasil. Ia masih
belum bisa memasuki ruang mimpi Lagan Doni. Pemuda daratan itu—entah bagaimana—mempunyai
pelindung. Dan Aksara Awan tak bisa merusaknya. Itulah yang membuatnya kesal.
Berbeda sekali ketika ia mencoba
memasuki ruang mimpi ibu Lagan Doni. Mudah saja baginya untuk menanamkan
pemikiran aneh dan absurd pada wanita itu. Misalnya saja ketika ia menyaru sebagai
suaminya yang telah meninggal dan memintanya melakukan ini-itu. Esoknya, ibu
Lagan Doni pun melakukan perintahnya, seolah baru saja mendapat wangsit dari
langit.
Aksara Awan memang menjadikan ibu
Lagan Doni sebagai kelinci percobaan, sebelum melakukannya pada Lagan Doni. Tapi,
menyadari mimpi Lagan Doni sukar ‘ditaklukkan’, Aksara Awan menata ulang
rencananya.
Pemuda itu berpikir sejenak,
mempertimbangkan segala hal. Senyum menghias wajahnya. Matanya kembali
terpejam. Tanpa mendapat kesulitan yang berarti, roh Aksara Awan memasuki pintu
ruang mimpi ibu Lagan Doni. Ia mengubah wujudnya menjadi Nini Sari. Jemarinya melayang
di udara dan seketika panorama alam mimpi ibu Lagan Doni berubah. Aksara Awan
tersenyum. Kakinya melangkah ringan, siap melakukan rencananya.
==oOo==
Mentari pagi menyembul ringan dari
balik gunung tertinggi di Keroko Puken, sebuah pulau-desa tempat tinggal Lagan
Doni. Sinarnya bersemburat jingga, memancar lembut pada embun di dedaunan,
membuat Lagan Doni yang baru saja bangun menatapnya kagum.
Lagan Doni memang suka bangun pagi.
Biasanya, sebelum ke hutan untuk mencari kayu bakar dan menyadap lontar, ia duduk
di bawah pohon randu tak jauh dari rumahnya. Lagan Doni menikmati aktivitas
pagi yang menyegarkan—kicau burung di kejauhan, kokokan ayam jago, atau
orang-orang bertopi caping yang melintas hendak ke sawah. Hal itu membuatnya
bersemangat untuk memulai harinya.
Sayang, akhir-akhir ini Lagan Doni
jarang tertidur lelap. Rasanya ada sesuatu yang mengusik tidurnya, membuatnya
kerap terbangun tengah malam. Alhasil, pagi ini ada sisa kantuk yang tersisa.
Lagan Doni menguap lebar. Ia bangkit
dan memandang jendela kamar ibunya. Seperti biasa, ibunya akan bangun siang.
Lagan Doni mendesah. Tanpa berpamitan, ia pun pergi menuju hutan, memulai
aktivitas paginya—mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar.
==oOo==
Seperti disengat lebah, Ibu Lagan
Doni meloncat bangun dari tidurnya. Mata wanita itu mengerjap berulang kali,
teringat mimpinya semalam. Spontan saja ia berteriak memanggil Lagan Doni.
Karena anaknya itu tak juga menyahut, wanita itu segera berkeliling rumahnya.
Lagan Doni tak terlihat di mana-mana. Ibu Lagan Doni mendengus dan mengumpat,
lupa sepenuhnya kewajiban Lagan Doni yang harus pergi ke hutan di pagi hari.
Ibu Lagan Doni termenung di depan
rumahnya. Ia kembali terngiang mimpinya.
Dalam mimpinya, ibu Lagan Doni
bertemu seorang gadis berperawakan mungil, namun terlihat cantik. Mereka
melakukan perjalanan melintasi padang
rumput. Ibu Lagan Doni bisa melihat awan berarak di langit, domba-domba
merumput, dan dari kejauhan hutan pinus tampak kehijauan. Pemandangan yang
sangat indah, membuat ibu Lagan Doni betah. Terlebih gadis mungil bersamanya
bernyanyi dengan suara merdu. Ibu Lagan Doni terbuai nyanyiannya. Ia merasa
ingin berada di tempat itu untuk selamanya.
Tiba-tiba saja, nyanyian gadis itu
berhenti. Ibu Lagan Doni menoleh. Ia tak mendapati gadis itu di mana pun. Yang
ada di sampingnya malah seekor burung merpati. Burung itu terbang dan hinggap
ke pangkuan ibu Lagan Doni.
“Apa kau menyukai nyanyianku,
Nyonya?” tanya burung itu.
Ibu Lagan Doni terperanjat. Ia tak
menyangka merpati itu bisa bicara. “Si-siapa kau?”
Burung itu terbang mengitari ibu
Lagan Doni. “Aku adalah Nini Sari, sang merpati Kahyangan. Ini adalah taman
tempat tinggalku di Kahyangan. Apa Nyonya menyukai tempat ini?”
Ibu Lagan Doni mengangguk. “Tempat
ini sangat indah. Nyanyianmu juga indah.”
Merpati itu berhenti terbang. Asap
mendadak mengepul dari tubuhnya. Sosok merpati itu hilang, digantikan gadis
mungil berwajah cantik. Ibu Lagan Doni melongo, tak percaya dengan apa yang
dilihatnya.
“Apa tujuanmu membawaku kemari,
Nini Sari?” tanya ibu Lagan Doni, setelah berhasil menguasai rasa terkejutnya.
“Ada sesuatu yang kuinginkan darimu, Nyonya. Aku
sedang bersiteru dengan ayahku. Dia memaksaku menerima pinangan salah seorang
temannya. Karena itulah, aku ingin meninggalkan Kahyangan dan tinggal di dunia.
Apa kau sudi membantuku?”
“Untuk apa aku membantumu? Itu tak
ada gunanya bagiku. Malah akan menambah beban keluargaku. Perlu kau tahu,
suamiku baru saja meninggal. Aku cuma tinggal dengan anakku Lagan Doni. Kau
hanya akan menghabiskan beras simpanan kami kalau tinggal bersama kami,” ucap
ibu Lagan Doni ketus.
“Tenang saja, Nyonya. Kalau ini
masalah materi, aku bisa membantumu. Kujamin aku tak akan membebanimu.
Lihatlah…” Nini Sari meraup dedaunan yang meranggas di tanah. Dalam sekejap
mata, dedaunan itu berubah menjadi berkeping-keping emas.
Mata ibu Lagan Doni membeliak. Ia
menelan ludah. Sebelah tangannya terulur, hendak memegang kepingan emas itu.
Nini Sari menggeleng cepat. Ia kembali mengajukan penawaran. “Apa kau masih
bersikeras tidak akan membantuku, Nyonya?”
Ibu Lagan Doni berdehem. “Baiklah,
aku menerima tawaranmu.”
“Kalau begitu, aku akan selekasnya
menemuimu, Nyonya. Sampai jumpa.”
Mendadak angin berembus kencang,
menerbangkan dedaunan. Mata ibu Lagan Doni menyipit. Ketika membuka mata, ia
sadar tak berada di padang
rumput. Yang dilihatnya adalah langit-langit rumahnya yang terbuat dari daun
rumbia.
Ibu Lagan Doni mengembuskan napas.
Matahari sudah tinggi, tapi anaknya itu tak juga pulang. Ia sungguh ingin
menceritakan mimpinya semalam. Ini adalah kesempatan baginya untuk memperoleh
kekayaan tanpa perlu bekerja keras.
Karena tak sabar menunggu kepulangan
anaknya, ibu Lagan Doni segera menyiapkan bekal makanan. “Aku akan mencari
Lagan Doni ke hutan!” serunya seraya melangkah menyusuri jalan setapak yang
menghubungkan gubuknya dengan hutan.
Sebenarnya, ibu Lagan Doni tak
pernah menjejakkan kakinya ke hutan. Tapi, ia tak kuasa menahan hasrat untuk
bertemu anaknya, menceritakan mimpinya itu. Tiba-tiba, ibu Lagan Doni
menghentikan langkah. Ia teringat mimpinya beberapa waktu lalu, ketika mendiang
suaminya berkata Lagan Doni akan lekas menikah. Mungkinkah…? Ibu Lagan Doni tersenyum
lebar. Ia makin bergegas, tak sabar bertemu anak semata wayangnya.
==oOo==
Nini Sari mengangguk mendengar
penjelasan Aksara Awan. “Apa rencana ini akan berhasil?” ujarnya, sedikit tidak
yakin.
“Kau meragukanku?” Aksara Awan
terlihat tersinggung. Setelah usaha yang dilakukannya, kini Nini Sari malah
menyangsikan rencana yang sudah dirancangnya dengan matang.
“Bukan begitu, Awan. Aku tidak
suka berspekulasi. Apalagi kau melibatkan ibu Lagan Doni. Aku tak ingin
melibatkan pihak luar untuk mendapatkan Lagan Doni.”
Aksara Awan mendengus. “Sudah
kubilang, Lagan Doni punya ilmu kanuragan. Aku tak bisa menembus ruang mimpinya
untuk memengaruhinya. Jalan satu-satunya adalah melibatkan ibunya. Tenang saja,
Nini Sari, semua sudah kuperhitungkan. Aku sudah paham watak ibu Lagan Doni.
Dia seorang yang kikir, pemaksa dan suka berbuat nekat. Dan dari pengamatanku,
meski Lagan Doni tak menyukai ibunya, dia tak bisa membantahnya. Dia juga tak
mungkin meninggalkannya, karena mendiang ayahnya pernah berkata untuk menjaga
ibunya.”
Nini Sari mendesah panjang. Walau ada
rasa tak nyaman, ia tak punya alasan untuk menolak. Terlebih ini demi
mendapatkan Lagan Doni.
“Baiklah, aku akan mengikuti
kata-katamu.”
“Kalau begitu, kita berangkat
sekarang?”
Nini Sari mengangguk kecil. Mereka
segera berubah wujud—Nini Sari menjadi merpati dan Aksara Awan menjadi gagak.
Sayap mereka berkepak dan menembus awan-awan, menuju bumi Keroko Puken yang
terlihat bagai untaian mutiara berwarna kehijauan dari atas langit.
==oOo==
Aksara Awan yang memakai wujud
gagak bertengger di dahan sebuah pohon. Ia menunggu kedatangan Lagan Doni. Ia
sengaja menyihir jalan setapak dalam hutan, sehingga pemuda itu susah menemukan
jalan pulang. Tiap Lagan Doni berbelok dan menyusuri jalan setapak yang biasa
ia lalui, ia akan menemui jalan bercabang. Terus seperti itu sampai berjam-jam,
sehingga bisa dipastikan Lagan Doni tak akan bisa sampai rumah.
“Sial! Kenapa dari tadi jalannya
berputar-putar terus?!!”
Terdengar umpatan tak jauh dari Aksara
Awan. Aksara Awan tersenyum. Ia mengubah wujudnya menjadi wujud manusia, dan
melompat turun ke bawah. Kakinya mantap menjejak tanah. Aksara Awan lalu mengintip
dari balik pohon. Selang beberapa meter darinya, Lagan Doni tampak kelelahan
membawa kayu bakar. Pemuda itu berhenti sejenak. Ia menyandarkan kayu bakarnya
yang diikat pada sebatang pohon, lalu duduk untuk beristirahat.
Ini pertama kalinya Aksara Awan
melihat Lagan Doni secara langsung, tidak melalui penerawangan yang
dilakukannya selama ini. Secara fisik, pemuda itu memang sempurna. Tapi, ada
aura lain yang terpancar dari sosoknya. Aura itu berwarna keunguan, memancar
dari atas kepalanya. Aura itulah yang mampu memikat bidadari penghuni Kahyangan.
“Siapa itu?”
Aksara Awan terperanjat karena Lagan
Doni menyadari kehadirannya. Ia segera keluar dari balik pohon dan memasang tampang
lelah. Ketika bertatapan dengan Lagan Doni, pemuda itu membelalak, seolah baru
saja melihat hantu muncul dari bawah sungai. Hal itu membuat Aksara Awan
sedikit tidak nyaman. Tapi, ia berusaha mengenyahkan perasaan itu dan fokus
melakukan sandiwaranya.
“Aku tersesat…” ucap Aksara Awan
lesu. Ia juga memegangi perutnya sambil setengah meringis. “Aku juga kelaparan.
Apa kau punya sedikit minuman?”
Lagan Doni menggeleng. “Maaf,
bekalku sudah habis.”
Aksara Awan mendesah sambil
terhuyung-huyung. Ia lalu berpura-pura pingsan dan menubruk tubuh Lagan Doni
yang berkeringat. Lagan Doni tersentak. Segera dipapahnya Aksara Awan dan
disandarkan pada sebatang pohon.
“Kau tidak apa-apa?” ucap Lagan
Doni cemas.
Aksara Awan mengerang. Lagan Doni
menelan ludah, takut pemuda di hadapannya mati karena kelaparan. Ia segera
berdiri, teringat ada mata air yang dilewatinya tadi. Secepat kilat ia ke sana , sambil sesekali
menoleh ke belakang, memastikan orang itu mau menunggunya sejenak.
Ketika Lagan Doni tak terlihat
lagi, Aksara Awan terkikik geli. Ia tak menyangka aktingnya bagus juga, mampu
mengecoh Lagan Doni. Saat Aksara Awan mendengar derap kaki mendekat, ia kembali
memejamkan mata, pura-pura pingsan. Ia mendengar Lagan Doni begitu cemas
melihatnya tak sadarkan diri.
“Apa yang harus kulakukan?!” seru
Lagan Doni panik.
Aksara Awan
mendengar Lagan Doni berjalan mondar-mandir. Tiba-tiba, pemuda itu berhenti
melakukannya. Aksara Awan menunggu. Ia mendengar Lagan Doni seperti meneguk air
yang dibawanya. Aksara Awan tersentak ketika jemari Lagan Doni membuka mulutnya. Tanpa permisi,
matanya sontak terbuka dan mendapati Lagan Doni mendekatkan wajah, dan
mengalirkan air lewat mulutnya.
Aksara Awan
membatu. Lagan Doni pun tak bereaksi apa-apa. Mereka bertatapan dalam diam,
mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi—yang tentunya jauh dari sesuatu yang
diharapkan Aksara Awan.
==oOo==
Nini Sari tahu sebentar lagi ibu
Lagan Doni akan melewati mata air yang biasanya ia kunjungi untuk berendam
bersama bidadari Kahyangan lainnya. Sejak setengah jam lalu, dengan wujud
burung merpati, Nini Sari memang menguntit ibu Lagan Doni dari belakang. Tak
urung, Nini Sari cemas. Bagaimana kalau rencana Aksara Awan tak berjalan sesuai
yang dikehendakinya? Apa yang harus ia lakukan? Nini Sari menggelengkan
kepalanya pelan, mengusir pikirannya yang mendadak ragu-ragu. Ia berusaha
optimis dan mempercayai setiap langkah yang telah diatur Aksara Awan.
“Lagan Doni!! Anakku!!” Ibu Lagan
Doni terus memanggil-manggil nama anaknya di sepanjang jalan. Nini Sari tahu
inilah saatnya. Ia pun melambaikan selendang yang melingkar di pinggangnya.
Serta merta, tubuhnya melayang, mendekati ibu Lagan Doni.
Ibu Lagan Doni menjerit begitu
melihat penampakan seseorang yang melayang di atasnya. Wanita itu mengerjap,
takut telah melihat hantu. Baru ketika Nini Sari memanggil namanya dan
menjejakkan kakinya di tanah sejajar dengannya, ibu Lagan Doni menghela napas
lega. Ia tahu gadis di hadapannya adalah seseorang yang muncul di mimpinya.
“Kau ingat janjimu, Nyonya?”
tuntut Nini Sari, sesuai skenario yang dijelaskan Aksara Awan sebelumnya.
“Perlihatkan emas-emas itu.” Ibu
Lagan Doni tak mau kalah. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan mendapat
pundi-pundi emas.
Nini Sari meraup dedaunan kering.
Matanya terpejam, dan bibirnya mengucap mantra yang dipelajarinya dari Aksara
Awan. Dedaunan itu tak berubah menjadi apa pun. Sebagai gantinya, ia malah
melihat ibu Lagan Doni memekik riang dan menghambur ke arahnya, mengambil
dedaunan kering yang dilihatnya sebagai kepingan emas. Nini Sari tertawa dalam
hati. Rupanya pengaruh mantra yang bersifat halusinasi itu sungguh mempan
terhadap ibu Lagan Doni.
“Sekarang kau percaya padaku,Nyonya?”
tanya Nini Sari.
“Ya, ya. Ini lebih dari cukup.” Mata
ibu Lagan Doni berbinar-binar. “Ah, aku punya satu permintaan lagi. Kalau ini
kau turuti, aku akan membawamu ke rumahku.”
“Apa itu, Nyonya?”
“Kau harus bersedia menikahi
anakku Lagan Doni.”
Nini Sari melongo, tak menyangka
ibu Lagan Doni akan meminta hal itu—sesuatu yang memang diinginkannya. Sekarang
Nini Sari percaya sepenuhnya pada Aksara Awan. Analisis pemuda itu sungguh jitu.
Tak diragukan lagi kemampuannya ‘membaca’ pribadi orang lain, juga kemampuannya
memengaruhi orang lain lewat alam bawah sadarnya—melalui ruang mimpinya.
“Baiklah, aku akan menuruti
permintaanmu, Nyonya,” pungkas Nini Sari. “Tapi, ada syarat yang harus kau
penuhi, mengingat aku adalah makhluk Kahyangan. Apa kau bersedia memenuhinya?”
“Pasti.”
Nini Sari tersenyum. Ia mengulang apa yang diucapkan Aksara Awan
padanya. Ibu Lagan Doni mengangguk setuju. Ia tak peduli resiko yang akan
didapatnya. Yang terpenting, ia sudah mewujudkan keinginan mendiang suaminya.
==oOo==
“Jadi, kau sedang mencari adikmu?”
tanya Lagan Doni. Ia berjalan sembari memanggul kayu bakarnya. Walau lelah, ia
berusaha tak menunjukkannya pada Aksara Awan, pemuda yang ditolongnya beberapa
saat lalu. Pemuda itu kini tampak sehat setelah Lagan Doni memberinya minum
lewat… wajah Lagan Doni sedikit jengah ketika memikirkannya. Namun, ia berusaha
keras melupakan kejadian itu. Apa yang dilakukannya murni spontanitas. Perihal
Aksara Awan tiba-tiba membuka mata, ia berpikir mungkin itu hanya refleks saja.
Aksara Awan bergumam samar. “Ya.
Dia kabur dari rumah. Aku harus lekas menemukannya, sebelum ayah kami marah
besar.”
Lagan Doni mengangguk saja. Ia tak
berniat ingin tahu alasan yang membuat adik Aksara Awan kabur dari rumah. Lebih
dari itu, ia berusaha mengusir kecanggungan yang menguar dari Aksara Awan.
Pemuda itu menjaga jarak dengannya, meski mereka berjalan bersisian. Lagan Doni
memaklumi sikap Aksara Awan. Masalahnya, ia masih tak tahu bagaimana harus
bersikap.
Lagan Doni melirik Aksara Awan.
Kulit pemuda itu putih bersih bak susu, tak seperti pemuda di kampungnya yang
karena sering beraktivitas di luar, kulitnya berubah menjadi kecokelatan sehat.
Ia juga tampak ringkih dan penyakitan, seolah tak pernah melakukan pekerjaan
berat. Lagan Doni yakin Aksara Awan tak berasal dari Keroko Puken, atau desa di
sekitarnya. Lagan Doni suka bertualang, mengelilingi bumi Keroko Puken yang
berbentuk kepulauan di bagian timur wilayah kepulauan Rainusa di jazirah
Antapada itu. Ia ingat tak pernah bertemu pemuda seperti Aksara Awan
sebelumnya.
“Itu rumahku,” tunjuk Lagan Doni
ketika ia melihat gubuknya. “Setelah meletakkan kayu bakar ini, aku bisa
membantumu mencari adikmu. Bagaimana?”
Aksara Awan terlihat senang.
“Terima kasih. Aku menghargai kebaikanmu.”
Lagan Doni balas tersenyum. Ia
mendongak, memandang langit yang kemerahan, tanda hari menjelang petang. Biasanya,
ia tak pernah pulang terlambat seperti hari ini. Lagan Doni tahu ibunya tak
mungkin mengkhawatirkannya, karena ia lebih suka berada di kedai untuk
minum-minum. Namun, alangkah terkejutnya Lagan Doni ketika mendapati ibunya
tengah menunggunya. Perempuan setengah baya itu langsung memeluknya. Wajahnya
tampak berbinar.
“Ada apa, Ibu?” tanya Lagan Doni heran. Ia
menurunkan kayu bakar yang dibawanya.
Menyadari Lagan Doni tak datang
sendiri, ibu Lagan Doni memicingkan mata. Ia memandang pemuda yang datang
bersama Lagan Doni dengan cermat. Tatapan matanya seolah menilai penampilan
pemuda itu yang kurus kering dan berwajah manis, seperti perempuan saja.
“Siapa dia?”
Lagan Doni segera memperkenalkan
Aksara Awan, juga awal mula perkenalan mereka di hutan. Ibu Lagan Doni tidak
terlalu menggubrisnya. Ia tampak acuh tak acuh. Lagan Doni sedikit merasa tak
enak pada Aksara Awan melihat perilaku ibunya yang tidak sopan.
“Aku sudah mendapatkan istri
untukmu, Anakku,” ucap ibu Lagan Doni, membuat Lagan Doni terkejut. Ia melirik
Aksara Awan yang menggeser langkahnya untuk menjauhinya dan duduk di bawah
pohon randu.
“Apa maksud Ibu?” bisik Lagan
Doni. Ia sungguh tak suka tiap ibunya itu menyinggung gadis mana yang layak
dinikahinya. Ia benar-benar tak berniat menikah sekarang.
“Kau akan tinggal bersamanya. Dia
ada dalam rumah. Kalian akan tinggal sekamar. Tak perlu upacara pernikahan, juga
tak perlu mahar. Dia milikmu sekarang.”
Lagan Doni berang. “Sudah
kubilang, aku tak mau menikah, Ibu! Jangan memaksaku! Aku tak mau menuruti
kemauan Ibu!”
Ibu Lagan Doni melotot. Ia
mencengkeram lengan Lagan Doni yang berotot. “Kali ini kau harus menuruti
perintah Ibu! Ini kesempatan bagiku untuk mendapat pundi-pundi emas. Lihatlah!”
Ibu Lagan Doni mengeluarkan dedaunan kering yang disembunyikan di balik
bajunya. “Apa kau tidak lihat emas-emas ini? Kau tak perlu bekerja lagi,
Anakku. Syaratnya, kau hanya perlu sekamar dengan gadis pilihan Ibu.”
Lagan Doni mendengus. Ia
menunjukkan dedaunan kering itu dengan tatapan mencemooh. “Apa Ibu sudah gila?
Ini cuma daun kering!”
“Ini emas, Lagan Doni! Apa kau pikir
Ibu sedang bercanda sekarang?!!” Ibu Lagan Doni naik pitam.
Lagan Doni mendesah panjang.
Ditatapnya wajah ibunya yang berharap penuh padanya. Satu pikiran terbersit di
benaknya. Mungkin ibunya memang sudah tidak waras sekarang. Mungkin otaknya
sudah korslet atau ia mengalami delusional parah, sehingga bisa melihat sesuatu
yang tak sesuai dengan kenyataan.
“Ibu…” Lagan Doni memegang kedua
bahu ibunya. “Aku mohon, berhentilah melakukan ini semua. Ada sesuatu yang tak beres pada diri Ibu.
Mungkin Ibu sakit. Aku akan membantu Ibu menyembuhkannya. Ibu mau, kan ?”
“Aku tidak sakit, Lagan Doni!”
teriak ibu Lagan Doni marah. “Bisa-bisanya kau mengatai ibumu sakit, padahal
aku berusaha agar kau tak perlu bekerja keras lagi!”
“Ibu…”
“Kalau kau tak menuruti kata-kata Ibu,
Ibu akan loncat dari tebing Patuah Alam!”
Lagan Doni berdecak. Tebing Patuah
Alam adalah tebing tertinggi di Keroko Puken, yang berbatasan langsung dengan
sungai Renggani. Sungai Renggani berarus deras. Siapa pun yang tercebur ke sana,
dipastikan tidak akan selamat. Selama ini, sungai Renggani dijauhi penduduk
Keroko Puken. Sudah banyak yang tewas akibat terseret arus di sungai itu.
“Baiklah, Ibu. Baiklah…” Lagan
Doni akhirnya mengalah. Ibunya memang egois dan kerap berbuat nekat, tak peduli
itu akan mencelakakan dirinya atau tidak. Lagan Doni tak mau mengambil resiko.
Meski itu artinya ia harus mengorbankan perasaannya.
“Nah, itu baru anakku!” Ibu Lagan
Doni tersenyum senang. Ia segera menggeret Lagan Doni ke dalam rumah untuk
menemui calon istrinya.
Lagan Doni pasrah. Saat itulah, ia
sadar tak menemukan Aksara Awan di mana pun. Kepala pemuda itu menoleh ke kanan
dan kiri. Aneh, pikirnya. Aksara Awan seolah lenyap. Padahal ia yakin pemuda
itu tadi duduk di bawah pohon randu tak jauh darinya.
Koak… koak…
Seekor burung gagak melintas di
atas kepala Lagan Doni. Lagan Doni mendongak. Ia melihat gagak itu terbang
menuju hutan.
Mendadak, sebuah perasaan tak
nyaman menyerang tengkuk Lagan Doni. Pemuda itu menoleh ke belakang. Ia seperti
melihat seseorang tengah mengamatinya dari kejauhan, dari balik semak perdu.
“Ayo, Lagan Doni! Cepatlah!” ajak
ibu Lagan Doni lagi.
“Iya, Ibu. Iya…” jawab Lagan Doni,
berusaha melupakan perihal seseorang yang mengamatinya. Ketika menoleh ke
belakang, ia tak melihat siapa pun. Lagan Doni mengedikkan bahu. Mungkin itu tadi cuma perasaanku saja,
pikirnya enteng.
==oOo==
Jantung Nini Sari berdebar kencang
ketika pintu itu terayun terbuka dan Lagan Doni masuk, lalu menutupnya. Pemuda
itu tidak tersenyum. Wajahnya pun datar, tanpa ekspresi sama sekali. Nini Sari
menelan ludah. Aksara Awan sudah menceritakan betapa Lagan Doni tak menyukai
tiap ibunya memojokkannya untuk meminang seorang gadis. Nini Sari tahu bencinya
Lagan Doni dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Apalagi ia dipaksa sekamar
dengan gadis asing, demi kepingan emas imajiner yang hanya bisa dilihat ibunya.
“Aku tak tahu bagaimana kau
mengelabui ibuku, yang jelas aku tak menyukainya. Aku melakukan ini semata-mata
agar ibuku tetap hidup. Cuma dia satu-satunya keluarga yang aku miliki,” ucap
Lagan Doni.
Nini Sari tersenyum, berusaha
menahan gejolak jantungnya yang menggila. Ia menghela napas pendek, lalu
melangkah mendekati Lagan Doni. Ditatapnya pemuda tegap dan berwajah tampan di
hadapannya—sosok yang menghiasi mimpi-mimpinya beberapa minggu ini. Kini, sosok
itu nyata. Ia bisa menyentuhnya dengan tangannya sendiri. Tak ada penghalang,
tak ada penolakan. Ia bisa merealisasikan imajinasi liar yang kerap
menyerangnya tiap malam, tiap ia memikirkan Lagan Doni.
“Aku melakukan perjanjian dengan
ibumu…” ujar Nini Sari dengan intonasi pelan. Ia berjarak beberapa senti saja
dari Lagan Doni. Jemari gadis itu menyusuri rahang Lagan Doni yang kokoh, jakunnya,
dan berakhir di dadanya yang bidang. Hasrat memenuhi kepalanya, sehingga ia tak
bisa berpikir jernih.
“Kau melakukannya dengan sihir,
kalau begitu?” Lagan Doni mengambil jarak. “Aku tak melihat emas yang kau
janjikan. Apa yang kau lakukan pada ibuku?”
Nini Sari tertawa kecil. Ia
mendorong badan Lagan Doni ke tempat tidur. “Kau tak perlu tahu. Yang kau perlu
tahu adalah bahwa aku… mencintaimu…” bisik Nini Sari mesra. Ia lalu membungkam
bibir Lagan Doni dengan ciuman, juga pelukan hangat.
Lagan Doni diam saja. Ia tak
bereaksi, juga tak memberikan respons. Pemuda itu memejamkan mata. Sebuah sosok
melayang di benaknya. Lagan Doni tersenyum. Ia membayangkan sosok itu lah yang kini
menyusuri tiap jengkal tubuhnya, mengabaikan kehadiran Nini Sari yang tak henti
memberinya ciuman dan pelukan.
==oOo==
Kaki Aksara Awan terayun-ayun. Ia
duduk di dahan sebuah pohon besar dalam hutan yang gelap dan tanpa penerangan.
Aksara Awan tahu misinya sudah terpenuhi. Ia sudah membuat Lagan Doni menjadi
‘milik’ Nini Sari malam ini. Aksara Awan mendesah. Entah kenapa, ia merasa ada
sesuatu yang kurang. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah.
Aksara Awan mendongak, memandang bulan
yang berbentuk bulat sempurna di langit. Ia tahu Nini Sari tak akan melanggar
pantangan yang telah dirumuskannya demi mendapatkan Lagan Doni. Ya, makhluk Kahyangan
dan manusia Vanapada memang tak bisa disatukan dalam pernikahan yang melibatkan tetua adat. Ritualnya akan
mengundang para dewa datang dan mengakibatkan bencana, seperti banjir bandang
disertai air bah. Karena itulah, Aksara Awan memberi solusi. Kalau Nini Sari
masih ingin memiliki Lagan Doni, maka ia harus menjadikan pemuda itu sekadar pria
yang dapat dikunjungi. Tak boleh ada ikatan, meski Nini Sari mencintainya
setengah mati.
“Mungkin sudah saatnya aku
pulang…” ucap Aksara Awan, ketika samar-samar ia mendengar seseorang memanggil
namanya. Aksara Awan segera berubah wujud menjadi gagak. Tak lama, ia melihat
Lagan Doni datang. Tangan kanannya menggenggam obor. Nyala apinya merah
kekuningan, membias pada kulit Lagan Doni yang kecokelatan.
“Dia tidak ada di hutan. Ke mana
dia pergi?” Lagan Doni terlihat kecewa.
Aksara Awan yang melihatnya merasa
tertegun. Untuk apa Lagan Doni mencarinya? Apa yang diinginkannya? Karena
penasaran, Aksara Awan segera terbang menjauh. Setelah memastikan Lagan Doni
tak bisa melihatnya, ia kembali berubah menjadi sosok manusia. Aksara Awan
menjentikkan jari. Seketika sebuah obor menyala di tangan kirinya. Ia lalu
berjalan, mendekati Lagan Doni.
“Awan!” pekik Lagan Doni begitu
melihat Aksara Awan. Wajahnya seketika berbinar. “Aku mencarimu dari tadi. Apa
kau berhasil menemukan adikmu?”
Aksara Awan menggeleng. “Entahlah.
Mungkin dia tidak ada di sini. Omong-omong, kenapa kau mencariku?”
Lagan Doni terlihat gelagapan. “Aku…
aku ingin menemuimu…”
“Untuk apa?”
Lagan Doni makin salah tingkah. Ia
menggigit bibir bawahnya gugup. Ditatapnya Aksara Awan yang menunggu
jawabannya. Lagan Doni melangkah maju. Ia melepas obornya ke tanah. Nyala
apinya perlahan-lahan padam. Ia pun melakukan hal yang sama pada obor yang
dibawa Aksara Awan.
Kini, hanya kegelapan yang
menyelimuti Lagan Doni dan Aksara Awan. Aksara Awan terkesiap ketika lengan
berotot Lagan Doni memeluk bahunya. Anehnya, ia tak menolak perlakuan itu. Ia malah
menikmati sensasinya yang membuat darahnya berdesir, dan bergejolak.
==oOo==
Sosok tinggi besar itu nyengir
lebar begitu berhasil menangkap buruannya—seorang gadis mungil yang kini
meronta-ronta dalam pelukannya. Ia sudah memata-matai gadis itu dari tadi dari
balik semak perdu. Ia menunggu dengan sabar hingga malam menjelang. Ketika
gadis itu pada akhirnya keluar rumah dan melewati semak perdu seraya memanggil
nama Lagan Doni, ia pun meraih pinggangnya, lalu memeluknya erat-erat. Gadis
itu berusaha melepaskan diri, tapi sosok tinggi besar itu tak berniat melepasnya
pergi.
“Lepaskan aku, Raja Guntur!” seru
gadis itu marah. Ia menggigit lengan Raja Guntur kuat-kuat.
“Sayang sekali, Nini Sari.
Gigitanmu cuma terasa seperti gigitan semut.” Raja Guntur terkekeh.
Nini Sari mengerang sebal. Raja
Guntur malah makin bersemangat tak ingin melepas Nini Sari. Ketika ia sudah
puas mempermainkan Nini Sari, ia pun melepas pelukannya. Agar Nini Sari tak
lari, ia memegang lengan gadis itu erat-erat.
“Lepaskan tanganku,” ucap Nini
Sari gusar.
Raja Guntur menggeleng pelan,
sedikit dramatis. “Kalau aku melepasnya, kupastikan kau akan melihat sesuatu
yang buruk, Nini Sari. Aku hanya tidak ingin membuatmu terluka.”
“Apa maksudmu? Dan… bagaimana kau
bisa ada di sini?”
“Tentu saja ini berkat kekuatan
cintaku padamu. Meski kau menolakku, aku tak bisa melupakanmu begitu saja. Sampai
sekarang aku masih menunggumu. Aku bahkan bersedia meminangmu sekali lagi…”
Nini Sari menjulingkan matanya
malas. “Jangan berbelit-belit, Raja Guntur. Tidak mungkin kau begitu saja ada
di sini. Apa kau mengikutiku?”
“Bukan mengikutimu, lebih tepatnya
mengawasimu. Aku tahu kau dan Aksara Awan sedang bermain-main. Targetnya
manusia Vanapada bernama Lagan Doni itu. Ah, pasti kau bertanya-tanya dari mana
aku tahu. Iya, kan? Lembayung Senja yang memberi tahu kalau kalian tengah
memperebutkan Lagan Doni. Aku heran, apa istimewanya laki-laki itu. Dia tidak
setampan aku, atau sekuat aku. Kalian sudah salah menetapkan target. Terlebih
dia cuma manusia Vanapada. Manusia Vanapada tak bisa apa-apa, kau tahu itu,
kan? Aku lebih baik darinya.”
Nini Sari mendengus mendengar penuturan
Raja Guntur yang suka membanggakan dirinya sendiri.
“Jujur, aku penasaran dengan
rencanamu mendapatkan Lagan Doni. Meski, ya… aku harus menahan sakit hati
melihat kau bersamanya…” Raja Guntur pura-pura mengusap ujung matanya dengan
sapu tangan imajiner. “Tapi, ada satu hal yang menarik. Apa kau mau tahu?”
“Apa?” sahut Nini Sari tak sabar.
“Kau harus menghadiahiku ciuman
kalau ingin tahu…” Raja Guntur tersenyum jahil.
Nini Sari sudah siap pergi, tapi
Raja Guntur langsung memegang lengannya. “Aku cuma bercanda. Jangan dianggap
serius begitu.”
Nini Sari mengangkat dagunya
tinggi-tinggi, menunggu jawaban Raja Guntur. Raja Guntur tertawa tanpa alasan.
Tiba-tiba saja ia menggendong Nini Sari, membuat gadis itu terpekik kaget.
“Aku berubah pikiran. Aku ingin
kau melihatnya sendiri.” Raja Guntur menjejakkan satu kakinya ke tanah. Sebuah
tirai tak kasat mata melingkupinya dan Nini Sari. Mereka lalu terbang, pergi
menuju hutan. Sebenarnya, Nini Sari keberatan dengan perlakuan Raja Guntur.
Namun, ia juga penasaran dengan ucapan laki-laki itu.
“Jangan bersuara…” Raja Guntur
berbisik di telinga Nini Sari. Mereka turun di dekat sebuah pohon. Tak jauh
darinya, Nini Sari melihat nyala api obor di tanah yang berangsur-angsur padam.
Tapi, bukan itu yang membuat mata Nini Sari membeliak. Ia melihat sosok Lagan
Doni dan Aksara Awan saling berangkulan dengan bibir saling memagut mesra.
“Cukup sampai di sini…” Raja
Guntur menutup mata Nini Sari dengan sebelah tangannya. Ia kembali menggendong gadis
itu dan terbang ke langit, kembali ke Kahyangan.
Muka Nini Sari masih tampak syok
begitu Raja Guntur mendudukkannya di sebuah batu besar. Mereka ada di kediaman
Raja Guntur yang di sekeliling istananya tertutup awan yang menggumpal berwarna
keabuan. Raja Guntur adalah dewa hujan. Ia memang bertugas mengatur pergerakan
hujan di jazirah Antapada, wilayah kekuasaannya di Zaman Dewa-Dewa ini.
“Aku tak percaya…” ucap Nini Sari
terbata-bata. Ia mencoba tak mengingat kejadian yang dilihatnya di dalam hutan.
Mendadak Nini Sari teringat cerita
Aksara Awan mengenai Lagan Doni—terutama keengganan pemuda itu untuk menikah. Ia
ingat bagaimana saudarinya berusaha mati-matian menaklukkan pemuda itu lewat
keseksian tubuhnya, tapi tak juga digubris oleh Lagan Doni. Nini Sari juga
ingat ketika mereka sekamar dan Lagan Doni tak merasa apa pun bahkan setelah ia
telanjang.
Nini Sari mendesah panjang. Ia
hanya tak menyadarinya. Sayang sekali. Ia terlalu mencintai Lagan Doni,
sehingga dibutakan perasaannya sendiri.
Namun, ada satu hal yang membuat
Nini Sari berang. Ia sungguh tak menyangka Aksara Awan tega mengkhianatinya.
Padahal ia berpikir pemuda itu bisa diandalkan. Aksara Awan bahkan membantunya,
memikirkan rencana demi rencana agar Lagan Doni menjadi miliknya. Nini Sari
mendengus. Apapun alasan di balik tindakan Aksara Awan di belakangnya, Nini
Sari tak mungkin bisa memaafkannya.
“Kenapa Aksara Awan? Kenapa harus
dia?” Nini Sari menunduk sedih.
Raja Guntur mengangkat bahu.
“Mungkin tanpa dia sadari, dia juga menyukai Lagan Doni, sesama pria? Kita tak
bisa menebak pikiran seseorang, bahkan orang terdekat kita sekali pun. Kecuali
kalau kau memang ahli melakukannya…”
Nini Sari terdiam. Ia masih belum
bisa mengenyahkan perasaan terluka yang dirasakannya. Ia ingin membalasnya. Ia
ingin Aksara Awan dan Lagan Doni lenyap, sehingga perasaannya pun ikut lenyap
tak berbekas.
“Apa kau mau membantuku, Raja
Guntur?” pinta Nini Sari. Ada sorot memohon pada kedua matanya.
Raja Guntur tersenyum. Ia membelai
rambut Nini Sari, gadis yang digila-gilainya dari dulu. “Apapun maumu, aku
pasti akan menyanggupinya. Apa yang kau inginkan?”
Nini Sari mengucap keinginannya.
Raja Guntur tersenyum. Bagi dewa sepertinya, permintaan itu adalah hal yang
mudah saja.
==oOo==
Hujan terus turun di bumi Keroko
Puken, seolah tak pernah berhenti. Air sungai Renggani mulai meluap dan meluber
melewati tanggul. Petir pun menyambar-nyambar di langit yang menghitam, seolah
menyuarakan kemarahan. Badai menerjang tanpa ampun, membuat atap-atap rumah
yang terbuat dari daun rumbia rontok satu per satu. Penghuninya pun kocar-kacir
keluar rumah, tak sempat membawa perbekalan dikarenakan banjir mulai
menggenangi lantai rumah mereka.
Penduduk Keroko Puken
berduyun-duyun mendatangi pelabuhan. Mereka segera naik kapal kosong, berusaha
menyelamatkan diri. Mereka saling sikut karena kapal itu hanya mampu menampung
beberapa orang saja. Salah seorang kakek terlihat mendorong wanita paruh baya
yang membawa karung berisi dedaunan kering. Wanita itu terus berteriak agar
diberi tempat. Ia sesumbar bisa membeli kapal dengan kepingan emas yang
dimilikinya—yang sesungguhnya tak terlihat di mana pun.
Air bah mulai mengguyur bumi
Keroko Puken. Daratan itu mulai menghilang sedikit demi sedikit. Mayat
orang-orang yang tak sempat menyelamatkan diri mengapung, mengikuti arus air. Tubuh
mereka membiru dan banyak luka menggores kulitnya.
Akhirnya, bumi Keroko Puken
tenggelam. Tak ada yang tersisa. Langit yang menghitam pun berubah cerah,
diiringi sinar mentari pagi yang perlahan naik—mentari sebagai pertanda hari
baru dan cerah, sebagai pelipur lara atas luka hati seseorang di luar sana, yang
kini mulai pulih melihat penyebabnya tak lagi bernyawa.
Adaptasi dari Cerita Rakyat Flores Timur - Tenggelamnya Keroko Puken.
Kisah ini adalah Juara 2 dalam Event Giveaway “Road to 2016” Writing
Challenge – Re-Writing Dongeng Lokal Indonesia yang diadakan oleh Grup
Penggemar Novel Fantasi Indonesia (PNFI) di Facebook.com
No comments:
Post a Comment