[SPECIAL
MISSION]
VAJRA –
ANTAKUSUMA SEJATI
Penulis: Andry
Chang
Bio
Laboratory, Hall of the Abyss
Baru beberapa
detik berlalu setelah memasuki portal gaib, Vajra menemukan dirinya berada di luar
portal lagi. Mata hijaunya terbelalak, bukankah ini tempat yang serupa dengan
sebelumnya?
Dengan cepat
Vajra berputar, menatap sekelilingnya. Meja-meja operasi dan segala peralatan
seperti layaknya rumah sakit modern nan canggih tampak berantakan. Darah kering
tampak menodai segala peralatan itu. Bau anyir merasuk hidung, seolah tempat
ini lebih mirip rumah jagal hewan daripada laboratorium biologi.
Vajra menoleh
lagi, mencari-cari rekan barunya, Hel si naga cilik. Namun naga itu tak tampak
sama sekali di sekitar tempat ini. Yang lebih mengejutkan lagi, Arjuna,
Gatotkaca dan Bima, para guru Vajra yang seharusnya sudah tahu isi pikiran
murid mereka saat ini malah bungkam seribu bahasa, tak ada satupun kata dari
mereka yang terngiang dalam benak si dalang petir itu.
Mungkinkah...
roh-roh para guru itu juga tak ada di tempat ini?
Sebelum Vajra
dapat mencerna dan mengambil kesimpulan dari situasi ini, pendengarannya
menangkap suara-suara keras di kejauhan. Jadi, tanpa pikir panjang ia langsung
berlari ke sumber suara itu. Toh kini ia benar-benar sendirian. Siapa tahu ia
akan menemukan jawaban dari semua ini di ruangan sebelah tempat suara-suara itu
berasal.
Tiba di ruang
sebelah yang tampak seperti sebuah kantor eksekutif yang berantakan pula, Vajra
terkesiap. Ada dua orang sedang berhadap-hadapan, seolah tengah bertarung di
sana. Salah seorang dari mereka adalah sosok hitam yang tengah melayang-layang
di udara. Dialah orang yang sebelumnya telah memporak-porandakan Koloseum
Monster di Amatsu dan membantai banyak orang di sana, termasuk Netori dan
Tarou.
Ingin rasanya
Vajra langsung melabrak si pengacau Turnamen Battle of Realms itu. Namun ia tak
lantas bergerak, karena tatapan matanya kini tertumbuk pada lawan si hitam. Si
orang kedua itu tampak tak melawan, ia hanya berjumpalitan dan menghindar saja
dari lembing-lembing sinar hitam nan tajam yang dilontarkan si sosok hitam.
Mengenali rambut uban panjang dan janggut putih pria yang seharusnya amat
tampan namun tampak berumur itu, kesimpulan datang seketika.
Itu...
Hewanurma! Apa yang ia lakukan di tempat ini?
Saat matanya
tertuju pada Vajra, Hewanurma seketika berjumpalitan lagi ke balik punggung
pemuda berambut hijau panjang itu. Wajahnya tampak ketakutan, dan sorot matanya
menyiratkan rasa syukur atas kedatangan Vajra ini. Tapi apa Vajra akan menolong
Hewanurma?
Jawaban untuk
itu datang seketika. Si sosok hitam menghentikan serangannya, lalu menunjuk
lurus ke arah Vajra dan orang di balik punggungnya.
“Haha, dasar
pengecut kau, Hewanurma!” ujar si hitam. “Semua klonmu di sini telah dihabisi
olehku dan para peserta turnamen yang kubuat berlaga di sini, mengira ini masih
bagian dari Battle of Realms! Tapi
tak apa, anggaplah turnamen ini terus berlanjut dan kami jadi panitia sekaligus
jurinya. Seperti rencana, enam peserta telah lolos ke babak selanjutnya, dan
rekanku telah memindahkan mereka semua ke medan pertarungan yang lain.”
Astaga!
Vajra
terkesiap. Enam yang lolos telah berada
di tempat lain... Jadi aku ini...?!
Seolah membaca
pikiranku, Hewanurma bicara, “Maaf Vajra, aku terpaksa memanggilmu kemari dan
meluluskan Eophi. T-tolong, lindungilah aku dari BlackZ!” Dengan tangan gemetar
ia menunjuk ke sosok si hitam.
“Mengapa harus
aku yang melindungimu?” Tatapan Vajra penuh selidik di balik topeng separuhnya.
“Mengapa bukan Eophi, Asep Codet, Pitta atau peserta kuat lainnya?”
“Itu...
karena... karena...” Ekspresi Hewanurma tampak terlalu panik, kata-kata sulit
terbentuk dari mulutnya.
“Tutup mulut
kalian! Percuma saja mengulur-ulur waktu!” Teriakan BlackZ membahana. “Aku
sengaja memilih tempat ini karena aku tahu kau pasti akan sembunyi di sini,
Nurma! Jadi langsung saja, untuk terakhir kalinya, serahkan Kotak Laplace
padaku!”
Hewanurma
memaksakan senyum. Ia bukan takut mati, tapi takut kelelahan, ditangkap lalu
disiksa sosok “Dewa Hitam” ini dengan teramat keji sampai ia membeberkan segala
rahasianya.
“Langkahi dulu
Vajra, dan aku akan memberitahumu dengan sukarela,” tanggap Hewanurma.
“Sudah terdesak
malah menggertak?” BlackZ tertawa dibuat-buat. “Netori saja sudah kukirim ke
akhirat dengan sekali gebrakan, apalagi manusia pecundang turnamen yang
menyedihkan ini!”
“Terserah apa
katamu. Silakan coba saja, biar kau lihat sendiri, apakah Vajra memang seperti
katamu itu atau tidak.” Hewanurma menatap Vajra sambil tersenyum penuh arti.
Mendapat
kepercayaan dan diandalkan oleh salah seorang ketua panitia sejati Battle of Realms, mata di topeng Vajra
berkilau keemasan, sarat tekad membaja. Sudah niat tulusnya untuk menolong siapapun yang sungguh membutuhkan pertolongannya, tak
terkecuali Hewanurma yang berjulukan “Dewa Teknologi” dan bukan petarung ini.
Vajra tak perlu
mengatakan apapun. Walau masih tampak berdarah-darah, ia berdiri tegap dan
gagah menghadapi musuh.
Dihadapi seperti
itu, wajah serba hitam BlackZ menyeringai amat lebar. “Oh, jadi kau memilih
untuk melawanku, ya? Dasar tak tahu diri! Kau ini sudah jadi pecundang, kalah
oleh kekuatan takdir! Kalau tidak, kau tinggal melenggang ke pertarungan babak
berikutnya dan pasti bukan kau yang dipanggil si Nurma itu kemari! Pikirkan
itu, topeng separuh!”
Ekspresi Vajra
tak berubah sama sekali. “Mungkin takdir telah membuatku tersisih dari turnamen
ini, walau aku melalui babak terdahulu dengan meyakinkan sekalipun. Aku sudah
paham sistem ini sejak lama, jadi aku selalu siap mental apabila ternyata aku
dipulangkan ke ranah asalku lewat portal gaib atau semacamnya. Tapi, selama aku
masih di ranah ini, selama aku belum kembali ke Bumi, kepada takdir sejatiku,
siapapun yang butuh pertolonganku, aku akan menolongnya walau nyawaku
taruhannya. Oh ya, dan namaku Vajra, ingat itu.”
“Heh, justru kau
yang tak tahu diri, seperti kunang-kunang hendak melahap matahari!” bentak
BlackZ. “Hewanurma sengaja mengumpankanmu padaku agar ia bisa melarikan diri,
tahu! Lihat tampangnya yang sebentar tegar, sebentar memelas itu. Dia hanya
bersandiwara agar bisa memperalatmu, tahu! Jangan harap si Nurma akan
berterimakasih padamu andai kau berhasil menolongnya! Sebaiknya jangan campuri
urusanku, Vajra! Biar kupulangkan kau ke dunia asalmu sekarang juga!” Sebentuk
pusaran angin hitam berpusar di atas telapak angan hitam BlackZ, siap
memerangkap Vajra dalam portal teleportasi gaib buatannya.
“Kalau kau ingin
aku mempercayaimu dan berpihak padamu, BlackZ, harusnya kau tak melakukan
pembantaian di Amatsu,” tegas Vajra. “Kau atau kelompokmu telah merebut
turnamen ini, menggunakan para pesertanya sebagai pion dan mempermainkan nasib
dan takdir mereka sesuka kalian. Kini aku sudah cukup senang karena tahu
setidaknya Eophi Rasaya masih selamat dan terus berjuan, jadi biar kutuntaskan
saja perjuanganku di sini. Akan kukembalikan Turnamen Battle of Realms kali ini pada para penyelenggara sejatinya,
termasuk salah satu panitianya, Hewanurma!”
BlackZ meludah
ke sisi tubuhnya. “Cih! Ternyata orang ini lebih naif daripada yang kuduga!
Terus terang, aku berterima kasih pada kalian semua para peserta turnamen.
Berkat bantuan kalian, akhirnya aku berhasil menemukan Hewanurma di sini. Kau
harus tahu, Netori dan orang-orang Amatsu telah bersekongkol dengan Hewanurma,
membangun dan mengelola laboratorium biadab ini! Mereka pantas mati!”
Fakta baru ini
membuat mata Vajra mendelik.
BlackZ
melanjutkan, “Hewanurmalah yang sedang mencoba membangun pasukan kloning dengan
mengambil sampel jaringan dari para peserta turnamen Battle of Realms! Lalu ia akan menjajah server-server lainnya di
Sol Shefra, daerah-daerah kekuasaan kami! Server Nanthara sudah hancur di
turnamen sebelumnya, dan kini giliran Server Alforea! Laplace, kotak pengabul
permintaan sekaligus pembawa bencana ada di tangannya! Kalau kita tak
menghentikannya, dia akan menguasai atau menghancurkan Amatsu dan semua server
lainnya di planet ini! Jadi terserah kalau kau mau ikut campur, tapi lawanmu
adalah Nurma, bukan aku!”
“Kurasa tidak,”
ujar Vajra, walaupun dahinya sempat berkerut tadi. “Andai kau berhasil merebut
Laplace dari Nurma, tak ada jaminan kau takkan menggunakannya untuk menguasai
Sol Shefra sendirian, ya ‘kan? Andai kau tak beraksi sendirianpun, kau takkan
sudi berbagi kotak itu dengan rekan-rekanmu atau siapapun juga, bukan?”
Mulut BlackZ
ternganga, seakan Vajra baru membeberkan niatnya yang tersimpan di lubuk
hastinya yang terdalam. Lalu, dengan mata kuning yang bagai kobaran api amarah,
ia berseru, “Apapun yang akan kulakukan dengan Kotak Laplace, itu bukan
urusanmu! Yang pasti, tak seperti para peserta turnamen lainnya, akan
kupulangkan kau ke asalmu dengan tubuh tercerai-berai! Mati sajalah kau,
serangga pengganggu bernama Vajra! Rasakan rentetan seranganku, BlackZ LanceZ!”
Sambil terus
melayang di udara, BlackZ mengibaskan kedua tangannya. Lembing-lembing hitam
yang tak terhitung banyaknya meluncur secepat kilat, sasarannya tentu Vajra dan
Hewanurma yang sedang berdiri bersebelahan.
Refleks, Vajra
bergerak menyamping untuk melindungi Hewanurma. Dengan cepat ia menangkisi
lembing-lembing itu dengan rentetan Tinju
Petir Brajamusti. Beberapa sulur yang tak tertangkis menghunjami tubuh
Vajra tanpa ampun.
Untuk sesaat,
tubuh Vajra tampak seperti landak berduri hitam. Saat berikutnya, Vajra
menghentakkan prana petir, memancarkannya dari dada hingga sekujur tubuhnya.
Gilanya, lembing-lembing hitam itu malah patah-patah. Rupanya gabungan daya
entakan prana pelindung dan kekuatan gaib Zirah Antakusuma milik Vajra meredam nyaris semua serangan itu.
BlackZ
terperanjat. Netori saja tak mampu bertahan dari lembing-lembing hitamnya itu.
Lebih
terperanjat lagi Vajra. Rasa-rasanya tenaga dalam dan energinya tak sekuat ini
saat ia diberondong serangan peluru Caitlin Alsace, pedang api Tamon Rah atau
bahkan petir si Vajra kloning. Ia sudah siap mental akan mengalami kesulitan
besar saat menghadapi seorang dewa yang sedang dalam kekuatan penuhnya ini,
tapi rupanya kekuatirannya itu agak berlebihan.
Serangannya
teredam, namun BlackZ tak kehabisan akal. Pusaran energi hitam kembali
terkonsentrasi di kedua tangan serta dadanya, mengiring kata-kata hasutannya.
“Heh heh, jangan senang dulu, bung. ‘Simpanan’-ku masih banyak. Yang pasti, aku
akan menghabisi kalian berdua dengan andalanku, BlackZ RootZ!”
BlackZ lantas
membuktikan kata-katanya dengan mengerahkan jurus yang sama sekali beda dengan
tadi. Kali ini kedua telapak tangannya terulur bagai hendak memeluk sobat lama.
Tentunya yang mengiringi gerak-isyarat itu bukan kehangatan, melainkan
cakar-cakar raksasa bagai sulur-sulur hitam raksasa pembawa maut. Jumlahnya
memang tak sebanyak lembing hitam, pergerakannyapun tak lebih cepat. Namun
semua sulur itu seakan dikendalikan dan mengarah tepat ke tubuh lawan.
Refleks, Vajra
menghindar sambil mempercepat gerak langkahnya dengan tenaga dalam dari jurus Langkah Petir Wisanggeni. Tak mau
mengulangi “kesalahan” pada pertarungan sebelumnya, Vajra meraih tubuh kurus
Hewanurma dan membawanya ikut bergerak bersamanya. Dengan begitu, BlackZ takkan
dengan mendadak mengalihkan sulur-sulur hitamnya pada rekan yang seharusnya
Vajra lindungi, seperti yang terjadi pada Eophi gara-gara melindungi Vajra yang
mengerahkan jurus pamungkas Bumi
Berguncang, Langit Gempar waktu itu.
“Hih, menyebalkan!
Kalian mau mati berdua? Kukabulkan!” Lagi-lagi BlackZ mengempos prana hitamnya.
Sulur-sulur hitam merambat makin cepat saja, terus mengejar kedua sasaran.
Karena tak bisa
terbang seperti lawannya, Vajra hanya bisa berlari kesana-kemari, terus menghindar.
Satu jari telunjuknya terulur, berusaha meredam dan mematahkan laju sulur-sulur
hitam itu, dengan berondongan tembakan Panah
Petir Pasopati. Gilanya, kali ini panah-panah petir Vajra yang justru patah
dan hanya berhasil memperlambat serta meredam sulur-sulur itu.
Benturan energi
hitam dan energi petir menyebabkan dua sulur hitam pecah berantakan, namun
sulur-sulur lainnya malah melaju makin cepat. Tak sempat menghindar, kali ini
sulur-sulur itu menembus prana pelindung Vajra dan menghunjam zirahnya.
Tak sedetikpun
Vajra mengira, kekuatan dewata BlackZ telah berhasil membuat Antakusuma, baju
zirah yang bersama kedua pusaka lainnya, Topeng Pancanaka dan Perisai Gandiwa
adalah wujud terkini pecahan senjata halilintar dewata, Vajra pecah berkeping-keping.
Sulur-sulur
hitam itu akhirnya menembusi tubuh Vajra dari segala arah, seperti halnya
kondisi Netori, sang dewi penguasa Server Amatsu di batas napas terakhirnya.
Vajra tertunduk,
tubuhnya bergeming seolah hanya ditopang sulur-sulur hitam saja.
Untuk pertama
kalinya sejak pertarungan dimulai, wajah Hewanurma berubah pucat pasi. Dengan
mata terbelalak, ia berteriak, “Ayo Vajra, bangkitlah! Kau adalah petarung
terkuat di Battle of Realms! Jangan
biarkan takdir mempermainkanmu lagi! Tamon Rah dan Fafnir telah kautundukkan,
kau tak perlu takluk pada dewa manapun juga!”
Entah Hewanurma
mengetahuinya atau tidak, di Core Level
Database Alforea waktu itu Tamon Rah hanya berwujud virus dan tak dalam
kondisi terbaiknya, tak bisa disebut benar-benar dewa. Dan Fafnir, naga itu
memiliki kelemahan fatal dan bisa dibunuh. Namun BlackZ ini beda, ia tak
segan-segan mengerahkan kekuatan penuh demi menumbangkan manusia yang disebut
si “pewaris dan penakluk dewa” ini. Secara logika, mustahil Vajra bisa
mengalahkan Blackz.
“Sudahlah, aku
bosan main petak umpet di sini! Cicipi saja siksaan bagai neraka, Nurma!”
Sambil mengatakannya, BlackZ melesat ke arah Hewanurma. Benang-benang hitam
terpancar dari kesepuluh jarinya yang terulur, siap mengepung pria beseragam
laboratorium putih itu.
Wajah Hewanurma
makin pucat saja. Jangankan melarikan diri, menghindarpun tak sempat lagi.
Tiba-tiba satu
teriakan membahana, “Sudah kubilang, langkahi aku dulu!”
Teriring benang-benang
petir yang seketika menyebar lebih cepat dari benang-benang hitam BlackZ.
Mungkin karena faktor kecepatan itulah semua benang hitam malah tertangkis,
putus dan buyar terlanda benang petir.
Hewanurma
terperanjat melihatnya. “Jaring
Dalangsukma! Vajra, k-kau masih...?!”
“Masih bernyawa,
ya memang,” ujar Vajra. Ia hanya mengenakan topeng separuhnya, bertelanjang
dada dan berlumuran luka dan darah dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Mata
hijaunya masih menatap nanar ke arah BlackZ, bagai serigala terluka menghadapi
beruang hitam yang baru saja mencabik-cabiknya.
Bahkan BlackZ
sendiripun membelalakkan mata sambil menggeleng tak percaya. “K-kau bukan dewa
seperti Netori! Bagaimana mungkin...?”
Kata-kata itu
justru membuat Vajra pasang wajah sebal. “Itu karena kau membunuh Dewi
Netori, jadi aku harus berhati-hati. Secara tak langsung, Netorilah yang telah
menyelamatkanku tadi.”
“Huh, dasar
pecundang dungu! Coba lihat apa arwah Netori bisa membuatmu tetap hidup dari
jurus ketigaku ini!”
Sekali lagi hawa
hitam berpusar, namun kali ini tampak membesar dari titik pusatnya di tengah
dada hingga ke sekujur tubuh langsing si Dewa Hitam. Hawa hitam yang terpancar
dari tubuhnya yang melayang di udarapun menebar dengan amat pekat dan luas,
hingga tampak bagai sepasang sayap kelelawar, naga atau iblis.
Vajra terhenyak.
Ia tahu, cepat atau lambat ia akan berhadapan dengan musuh sekuat BlackZ, Tamon
Rah berwujud kuda raksasa atau yang lebih kuat lagi. Hanya satu penyesalannya,
hal itu tak terjadi di final Battle of
Realms.
Vajra bergumam,
“Maafkan aku Guru Bima, Guru Gatotkaca dan Guru Arjuna. Aku terpaksa melanggar
ajaran kalian sekali lagi. Andai riwayatku harus terhenti di sini, semoga
kalian mendapatkan pewaris baru yang lebih layak daripada diriku.”
Vajra
menghentakkan tenaga dalamnya sambil terus menghimpun, memusatkan dan
memampatkan energi hayati petir dalam dirinya. Terus, hingga melebihi kekuatan
energi yang pernah dikerahkannya selama ini. Dari Padang Shohr’n hingga tempat
ini. Dari Babak Penyisihan hingga ia telah tersisih kini.
Mencapai
pamungkas yang melebihi segala pamungkas.
Melintas batas
antara hayati dan ilahi.
Mungkin ada yang
mengira ini efek visual nan lebay sisa virus Core Database Alforea. Indra, raja dewa-dewi Veda, pembuat sekaligus
pemilik sejati senjata dewa, Gada Ganda Vajra di tangannya muncul membayang di
belakang punggung Vajra. Padahal sesungguhnya perwujudan ini adalah pertanda
kekuatan Vajra kini telah setidaknya setara dengan si Dewa Hitam.
Menegaskan hal
itu, serpihan-serpihan perangkat Zirah Vajra yang tercecer dalam ruangan
eksekutif teramat mewah dan luas ini melayang, beresonansi sempurna dengan
prana petir Vajra.
Lantas semua
serpihan itu melesat ke tubuh Vajra bagai sekrup-sekrup besi yang ditarik oleh magnet
teramat kuat. Saat serpihan-serpihan itu telah berkumpul semua di satu titik,
seberkas cahaya bagai sambaran halilintar menyambar amat besar dan luas,
membungkus seluruh tubuh Vajra dengan energi.
“Bungkusan
prana” itu sirna sesaat kemudian, mempertunjukkan Vajra dengan penampilan baru
yang amat berbeda langit dan bumi dengan yang sebelumnya. Warna Zirah
Antakusuma kini berubah hitam bersisi emas dengan bintang emas tepat di tengah
dadanya, persis warna asli Zirah Antakusuma wujud awal milik Gatotkaca.
Pelindung lengan, kaki dan selangka memanjang, warnanya senada dengan zirah
pelindung dada hingga perut dan punggung bawahnya.
Topeng Pancanaka
juga membesar menjadi hiasan pelindung kepala ala ksatria pewayangan Jawa,
walau bagian depannya yang berupa topeng berwarna merah-emas tetap menutupi
separuh wajah saja. Sayap-sayap emas-merah berornamen dan berpahatan seindah
mahakarya dewata membentang di punggung Vajra, membuatnya seolah tampak seperti
manusia kupu-kupu.
Inilah Zirah
Antakusuma khas yang pernah disandang Gatotkaca sejak keluar dari Kawah
Candradimuka hingga akhir hayatnya. Berkat pengembangan yang dilakukan roh
Gatotkaca sesuai dinamika zaman dan disesuaikan dengan ciri-ciri sang pewaris,
yaitu penyandangnya saat ini, Raditya Damian.
Melihat
perkembangan drastis ini, BlackZ menggeram. “Hih! Menghadapiku dengan zirah dan
kekuatan pinjaman dari dewa? Biar kutumpas habis dengan jurus berkekuatan
sejati dewata, BlackZ HandZ!”
Tak menunggu
tanggapan Vajra, dari punggung BlackZ mencuatlah delapan tentakel hitam yang
bisa memanjang dan dikendalikan serentak, sesuka hati bagaikan tangan. Tentunya
tentakel-tentakel itu berujung runcing, mampu menghancurkan zirah pusaka
seperti tadi – atau bisa jadi menyerpihkan zirah dewata pula.
Secepat kilat,
kedelapan tentakel itu terulur ke arah Vajra yang berdiri tegak. Secara
alamiah, Vajra melompat tinggi-tinggi untuk menghindar. Namun kedelapan
tentakel itu malah membubung ke arahnya.
Ini perangkap
yang amat sederhana, dan Vajra malah masuk ke dalamnya? Apakah ia telah takabur
setelah mendapatkan kekuatan dewa, lalu lengah? Seperti yang ditakutkan oleh
ketiga wayang-gurunya?
Bahkan Vajra
sendiripun terperanjat. Tubuhnya yang seharusnya jatuh setelah daya loncatannya
habis malah terus membubung tinggi. Dengan refleks pula, Vajra meliuk-liukkan
tubuh dan menghindar dari berondongan lecutan dan hunjaman tentakel, bermanuver
seperti pesawat tempur yang sedang melakukan aksi dogfight akrobatik di udara.
“Oh, kau bisa
terbang sekarang ya?” BlackZ mencemooh
Vajra. “Tapi percuma saja, kau lupa sasaranku yang sebenarnya adalah dia!”
Mendadak BlackZ membelokkan tentakel-tentakelnya ke arah Hewanurma. Posisi sang
ilmuwan kini jauh dari jangkauan Vajra, mustahil sang Satria Halilintar Dewata
dapat melindungi Hewanurma saat ini.
Sekali lagi,
wajah Hewanurma ternganga dan memucat bagai mayat.
Tahu dirinya
telah terpedaya, Vajra malah menghimpun prana. Rupanya ia sedang “bertaruh”,
dari telapak tangannya melesatlah sesosok Naga
Petir Pancanaka. Dengan kecepatan terbang melebihi jurus serupa yang ia
kerahkan sebelumnya, sang naga justru menerjang ke arah pemilik kedelapan
tentakel itu, BlackZ.
Dalam waktu
sepersekian detik itu, BlackZ merasakan dan mengukur daya penghancur si naga
yang berdesir ke arahnya. Merasakan tekanan nyata yang mungkin bakal berakibat
fatal pada dirinya, terpaksa BlackZ menghindar. Konsentrasinya buyar, arah
pergerakan kedelapan tentakelnya jadi kacau sehingga Hewanurma berhasil
menghindari empat tentakel hitam.
Itu berarti, dua
tentakel hitam lainnya sempat melecut dan dua lagi menghunjam tubuh Hewanurma.
Saat ujung-ujung runcing itu tercerabut, darah tersembur dan terus keluar dari
luka-luka tusukan itu. Hewanurma berdiri mematung, limbung sesaat, lalu roboh
di lantai dengan posisi tertelungkup.
“Hewanurma!”
seru Vajra. Bedanya, konsentrasinya malah makin terpusat. Naga Pancanaka berkelok dan menerkam sisi tubuh BlackZ.
Tak ayal si
sosok hitam berteriak pilu, entah sejak kapan terakhir kalinya ia merasakan kesakitan
yang menyiksa dan mengancam jiwanya seperti ini. Kedelapan tentakelnya buyar
seketika, dan untuk pertama kalinya sejak kedatangannya di Amatsu, BlackZ
menyentuh, bahkan terkapar di permukaan tanah.
“Menyebalkan
kau, Vajraa!” Dengan kebencian dan murka bagai lava menggelegak, BlackZ
cepat-cepat bangkit dan menerjang langsung ke arah Vajra.
Mungkin
berdasarkan pengalamannya, Vajra malah maju melayani BlackZ. Segera saja
keduanya terlibat dalam saling menangkis, melesatkan dan menahan dalam jual-beli
pukulan-pukulan dahsyat. Tinju-tinju BlackZ yang sarat prana hitam inti
kegelapan beradu dengan rentetan Tinju
Petir Brajamusti. Keduanya makin kesetanan, tak sedikitpun tanda salah satu
dari mereka akan tumbang setelah lama berselang.
Pada akhirnya, BlackZ-lah
yang pertama kehabisan kesabaran. Dengan satu entakan ia menjauh, menjaga jarak
dengan lawannya. “Cukup sudah,” sergahnya. “Aku tak punya waktu lagi! Akan
kuhancurkan kau seperti Koloseum Monster dengan pamungkasku, BlackZ Hole!”
Sesaat kemudian,
tubuh BlackZ mulai membesar dan berubah bentuk. Ia tak lagi tampak seperti
manusia, melainkan sesosok monster bulat raksasa. Tingginya menjulang hingga
hampir melampaui pembatas antara dinding baja dan langit-langit berbentuk kubah
heksagonal. Bagian depan tubuh si Dewa Monster Lubang Hitam hanya terdiri dari
sebuah mulut berbentuk bundar dengan daya energi hitam yang terus-menerus
berpusar, serta sebuah mata kuning besar dan menyala-nyala tepat di
tengah-tengah “mulut” itu.
Seketika itu
pula, Vajra di udara merasakan tubuhnya mulai ditarik oleh sebentuk daya hisap
maha dahsyat. Tak hanya dirinya, semua benda di ruangan eksekutif itu, besar
maupun kecil di hadapan si monster juga mulai ikut terhisap.
Vajra terkesiap.
Sepengetahuannya, prinsip Lubang Hitam dalam astronomi adalah menghisap segala
benda seolah memakannya, lalu “mencerna”-nya hingga terurai menjadi
partikel-partikel sub-atomik hingga musnah sama sekali. Jadi bila sampai
“termakan” lubang maut itu, bahkan dewa dan iblispun bakal musnah tak bersisa.
Jadi, Vajra
terpaksa mengerahkan akal dan pertaruhannya yang terakhir. Keempat sayap atas
Zirah Antakusumanya menekuk hingga ujung-ujung sepasang sayap atasnya menyatu.
Mati-matian ia terbang menjauh, melawan daya hisap BlackZ Hole sambil tentunya menghimpun energi pamungkas terkuatnya.
Lantas, Vajra
berdiri tegak. Dua jari tangannya terulur lurus ke atas, sedangkan dua jari
tangannya yang lain terulur lurus ke bawah. Pertandanya jelas sudah, itu salah
satu gelagat pengerahan jurus pamungkas, Bumi
Berguncang, Langit Gempar.
Makan waktu jauh
lebih cepat daripada sebelumnya, Vajra hanya perlu tiga detik untuk
mendatangkan selarik pilar petir dari bawah tanah dan atas langit. Petir dewata
itu mendera tubuh monster BlackZ Hole seolah
tak ada habisnya.
Raungan si
monster dewa hitam membahana, namun ia masih terus menghisap segala sesuatu
walaupun dayanya tak sedahsyat sebelumnya. Inilah penentuan menang-kalah yang
sebenarnya. Entah Vajra yang tertelan mulut lubang hitam, atau monster BlackZ Hole yang hangus tersengat
listrik bertegangan ultra-tinggi.
Sekeras apapun
usaha Vajra terbang sejauh-jauhnya sambil terus menyambar BlackZ, tubuhnya
malah terus tersedot makin dekat. Parahnya, daya hisap musuh memang berkurang,
tapi tetap cukup kuat untuk “melahap” Vajra. Ia terkesiap, ternyata sejak tadi
ia hanya menyerang dengan kekuatan setengah-setengah karena sambil menolak daya
hisap. Satu gagasan gila muncul, bagaimana jika Vajra membiarkan dirinya
terhisap saja?
Tak perlu pikir
panjang lagi, Vajra kembali merentangkan sayap-sayap Zirah Antakusuma dan
tersedot dengan cepat. Saat itu pulalah, ia menghantam BlackZ dengan segenap
kekuatan yang tersisa dan terdahsyat.
Tubuh Vajra
makin dekat dengan mulut raksasa hitam pemakan segala itu.
Matanya terbelalak
ngeri...
Tiba-tiba, Vajra
hanya terpelanting saja dan jatuh terjerembab di lantai. Walau daya penghancur
sekaligus penghisap jurus BlackZ Hole tadi
sempat membuat darah segar banyak mengalir dari mulutnya, Vajra tetap berusaha
bangkit berdiri dan berputar secepat yang ia bisa. Salah satu kabar baiknya,
Zirah Dewata Vajra Antakusuma masih tampak utuh sempurna.
Vajra lantas
menoleh ke tempat lawannya seharusnya berada. Tampak di lantai itu BlackZ
terkapar, kejang-kejang setelah tersambar halilintar pamungkas berdaya ribuan
volt tadi. Wujud monster raksasanya telah menyusut seketika menjadi semula,
yaitu sosok pria berutubuh kurus dan serba hitam. Tak jelas sama sekali apakah
ada tambahan bekas hangus hitam di kulit legamnya. Jangankan bangkit, bicara
dan menegadah ke arah Vajrapun BlackZ tak mampu lagi.
“Kuakui aku
takkan tega bertindak kejam bila aku harus membunuh Eophi Rasaya waktu itu, dan
membiarkan takdir yang bicara,” kata Vajra. “Tapi, demi membalaskan dendam
Hewanurma, Netori, Tarou dan rakyat Amatsu, terpaksa aku harus menghabisimu,
BlackZ.” Ucapannya dibuktikan dengan konsentrasi energi petir di telapak
tangannya yang menyerupai ujung tombak nan runcing, siap dihunjamkan ke jantung
Sang Dewa Hitam.
Di detik-detik
terakhir nyawanya, BlackZ malah memaksa diri menatap Vajra penuh kebencian
serta berkata, “Dasar bodoh dan naif kau, Vajra... Kenaifanmu itulah yang bakal
mencelakakanmu sebentar lagi...!”
Justru tanggapan
Vajra datang berdesir seperti tombak pencabut nyawa. Namun, sesaat kemudian
Vajra terkejut bukan kepalang. Tubuh BlackZ telah menghilang, tapak maut Vajra
hanya menghunjam udara.
Waspada
sepenuhnya, Vajra kembali berbalik. Kali ini ia menghadapi sesosok pria lain
yang mengenakan masker oksigen di wajahnya. Si masker berdiri dengan ambil
jarak beberapa langkah dari Vajra, sambil memapah tubuh BlackZ yang tampak
lemas.
“Nah kan, kau
berlebihan lagi,” ujar si masker pada si hitam. “Sudah kubilang jaga
tindakanmu, sekarang kau malah membangkitkan kekuatan sejati seorang peserta turnamen.”
“Vajra bukan
peserta turnamen lagi!” protes BlackZ. “Lagipula dia...!”
“Sudahlah, ayo
kita berkumpul dengan yang lainnya di markas!” Dengan satu ayunan tangan, si
masker mendatangkan sebuah portal antar-dimensi. Lalu ia memasuki portal itu
dengan membawa – lebih tepatnya menyeret – tubuh BlackZ yang masih amat lemas.
“Hei, tunggu!”
Vajra merangsek hendak mengejar dan menyerang musuh-musuhnya, namun terlambat.
Portal antar-dimensi telah tertutup rapat lagi dan lenyap BlackZ dan si masker
juga ikut lenyap, tak terjangkau lagi. Vajra menarik napas lega, bagian
tugasnya di Sol Shefra ini akhirnya tuntas sudah. Biarlah para pendekar yang
masih berstatus peserta turnamen Battle
of Realms yang menuntaskan selebihnya.
Vajra berbalik
hendak mencari jalan keluar dari laboratorium biologi ini, mungkin pula mencari
portal antar-dimensi seperti di Balai Pengembangan tempatnya berlaga
sebelumnya.
Namun, betapa
terkejutnya Vajra. Hewanurma, yang ia kira telah tewas karena serangan BlackZ
tadi kini malah berjalan ke arahnya sambil bertepuk tangan.
“Wah, sungguh
mengagumkan,” kata Hewanurma sambil tersenyum lebar. “Kau kini telah jauh lebih
kuat, lebih digdaya daripada perkiraanku semula, Vajra. Kau memang salah
seorang peserta terkuat di Battle of
Realms, tak percuma aku memilihmu untuk rencana besarku ini.”
“Apa maksudmu?
Rencana besar apa? Bukankah tadi kau sudah tewas dan tubuhmu terhisap ke dalam
pusaran jurus pamungkas BlackZ?” Vajra tak kuasa menyembunyikan kebingungannya.
“Oh, yang tewas
itu tadi salah satu kloning diriku. Kloningku yang lainpun kurasa juga sudah
tewas dibunuh salah seorang peserta turnamen yang lain. Aku yang asli hanya
perlu mengamati segalanya dari kejauhan, dan inilah saatnya memetik buah dari
rencana besarku, yang bibitnya telah lama kutanam dan telah tumbuh menjadi
pohon yang besar.”
“Buah? Bibit?
Pohon?” Waspada, Vajra mengerahkan energi lagi untuk menyerang Hewanurma.
“Ya! Dan aku
akan memanennya darimu... Vajra!” Hewanurma hanya menjentikkan jarinya.
Mendadak,
seberkas cahaya merah terpancar dari dalam tubuh Vajra. Cahaya itu berubah
seketika menjadi semacam cairan kental, membungkus lambang bintang emas di
tengah-tengah zirahnya dan mengubah warnanya menjadi semerah darah.
“Mustahil! Sejak
kapan kau...?” Vajra ingin berontak, tapi tubuhnya malah tak bisa digerakkan
sama sekali, terbelenggu oleh sebentuk energi tak kasat mata. Dikerahkannya
seluruh kekuatan prananya, namun tetap saja ia bergeming.
“Oh, justru aku
mendapat sedikit bantuan dari sekutu rahasiaku, Tamon Rah. Saat kau
mengalahkannya, pedangnya merasuk ke dalam tubuhmu, bukan? Sejak saat itu, kau
selalu dapat dengan mudah mempelajari jurus-jurus baru, kekuatanmu meningkat
pesat, bahkan kau menyerap kekuatan dari kloningmu sendiri dan zirahmu yang
hancur berubah menjadi zirah dewata. Apa kau kira asupan kekuatan itu dari
pengalamanmu dan ‘hadiah’ dari para gurumu semata? Tidak! Kekuatan barumu itu
berasal dari pedang Rah, bentuk lain dari bibitku!”
Mata Vajra
terbelalak, seolah tengah melihat malaikat maut mendatanginya. Andai saja
energinya tak terkuras akibat pengerahan pamungkas tadi, mungkin ia masih bisa
melawan. Segala sesuatu yang ia lihat, yang semula berwarna-warni jadi berubah
serba merah-darah. Idealisme Vajra menjunjung tinggi kebenaran dan menolong sesama
justru dimanfaatkan oleh orang yang telah memberikan kepercayaan padanya, orang
yang ia bela dengan taruhan nyawa selama keberadaannya di Sol Shefra ini.
“Ya, bibit itu
bernama Kotak Laplace, dan kaulah inangnya, Vajra!”
Hewanurma
menegaskan nasib Vajra ini dengan tersenyum amat lebar, senyum mengerikan yang
sama dengan yang pernah ia tampilkan waktu pertama kali bertemu dengan Vajra di
Alforea dulu.
“Sekarang kau
baru kenal musuhmu yang sesungguhnya, ‘kan?” ujar Hewanurma dengan nada
layaknya ilmuwan gila. “Kadangkala, dalam pertarungan antara hitam dan putih,
yang kelabulah yang mengambil keuntungannya. Mulai saat ini, kaulah Vajra,
ksatria sempurna yang akan membukakan jalan bagiku sebagai penguasa mutlak
seluruh Sol Shefra! Bagaimana, bonekaku? Apa kau sudah siap untuk membantuku
lagi?”
Bola mata Vajra
yang tak tertutup topeng merahnya berubah semerah darah, pupil hijaunya berubah
hitam. Ekspresi wajah tampannyapun berubah sangar, sarat nafsu membunuh dan
menghancurkan yang menggelegak, siap diledakkan kapan saja.
Bahkan suara
Vajra berubah lebih berat dan datar saat ia berkata, “Ya, tuanku.”
VAJRA
Final Upgrade
Zirah
Dewa, Vajra Antakusuma:
Saat kekuatan
Vajra sudah dirasa pantas untuk mengenakan zirah ini, sebenarnya ia sudah bisa terbang.
Saat mengenakan zirah dewa, Vajra dapat melayang-layang di udara dan mengubah
kecepatan terbangnya. Bila keempat helai sayapnya yang seperti X-Wings dilipat hingga ujung-ujungnya
bersentuhan saat sedang terbang, kecepatan terbangnya akan setara pesawat jet,
yaitu antara Mach-1 hingga Mach-3. Jurus-jurus Vajrapun dapat lebih mudah
divariasikan, bertambah kuat dan waktu rapalannyapun jadi jauh lebih cepat.
Catatan: Ini
adalah fan story yang bukan entri resmi Battle
of Realms 5. Cerita ini saya buat semata-mata untuk menuntaskan kanon
Vajra, yang semoga cukup sinkron dengan kanon panitia. Jadi entri berikutnya
untuk Vajra dari saya adalah epilog. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah
membaca, mengikuti kanon Vajra selama ini, juga masukan-masukan dan
krisar-krisar berharganya. Selanjutnya, Vajra akan kembali berlaga di ADILAGA
Season 2: Vajrayana. Salam dari kreator Vajra, Andry Chang.
Move
like a butterfly, sting like a bee
Dance
like Astaire, swing like Ali
And
electrocute like Vajra
No comments:
Post a Comment