Bun – Dyna Might – Vajra. Ilustrasi oleh Sam Riilme
[ROUND 2 – CORE
LEVEL]
VAJRA – BUMI
DIPIJAK, LANGIT DIJUNJUNG
Penulis: Andry
Chang
Di manapun bumi
dipijak, di sanalah langit dijunjung.
Sekali lagi,
Vajra memasuki portal antar-dimensi dalam keadaan sekarat, nyaris kehabisan
darah.
Bedanya kali
ini, segala deraan nyeri itu hilang saat tubuh langsing-semampai pria berambut
hijau dikepang ekor kuda itu melayang menyusuri terowongan portal. Tak hanya
kembali segar-bugar dan merasa kenyang, prana alias tenaga dalam tubuh pemuda
bernama asli Raditya Damian ini pulih sepenuhnya. Jadi ia tak perlu melakukan
ritual pemulihan prana dan kondisi tubuh yang disebut tapa brata.
A-ada
apa ini? batin
Vajra, mengerutkan dahinya saat menatap tubuhnya dan bekas-bekas lukanya. Jangan-jangan kondisiku sudah amat gawat,
hingga aku harus dipulihkan di sini. Tapi mengapa pranaku juga ikut pulih?
Belum lagi
kesimpulan diambil, ponsel pintar Vajra berdering. Ya, inilah ponsel radar
berupa sebentuk kristal hitam yang tahan gempuran sedahsyat apapun, cinderamata
dari misi pertarungan di kaldera bersalju, Los Soleil. Mata hijau pria muda itu
menatap layar monitor. Ada kiriman surel
untukku? Tak ada nama pengirimnya pula. Tanpa pikir panjang, Vajra menekan
simbol “terima” di layar sentuh ponsel itu. Sebuah layar hologram terpancar dan
melayang di atas ponsel, dan ia membaca isi teks surel yang terpampang di sana.
Tarung Tiga Arah di Ruang Inti
Perpustakaan Utama Alforea
Syarat
Kemenangan: Bunuh atau lumpuhkan lawan dengan membuat health bar mereka habis.
Peserta:
Bun vs. Dyna Might vs. Vajra
Waktu
Pertarungan: Segera
Gila!
Apa yang kaupikirkan, Hewanurma? Masa’ tak ada waktu untuk setidaknya
menenangkan diri dari kelelahan lahir-batin akibat pertarungan yang lalu?
Inikah yang kausebut turnamen antar-ranah yang “alami, mengukir kenyataan dan
manusiawi”? Dewa macam apa kau ini?
Sebuah suara
bernada maskulin dan berwibawa terngiang di benak Vajra. “Jangan berburuk sangka dulu. Selidiki dulu perkaranya, baru putuskan
tindakan yang tepat untuk mengatasinya.”
Ekspresi tegang
di wajah Vajra yang tertutup topeng merah separuh mengendur seketika. “Kau benar, Guru Gatotkaca,” katanya
dalam hati. “Hewanurma sempat
memberitahuku, ada peretas-peretas yang sedang berusaha untuk mengacaukan
turnamen ini, bahkan berusaha menghapus eksistensi para peserta. Siapa biang
keladinya, dan apa tujuannya?”
“Aku
yakin kau akan menemukan petunjuk tentang itu bila kau menyelidikinya dengan
seksama,” susul
suara lembut berkharisma khas Arjuna, salah seorang dari Pandawa Lima dalam
Kitab Mahabharata.
Suara lantang
Bimapun bergema, “Tenangkan dulu dirimu
sendiri, baru kau siap menghadapi tekanan dan tantangan apapun, kapan saja, secepat
apapun itu terjadi!”
“Terima
kasih juga, Guru Arjuna dan Guru Bima.” Sebelah mata hijau Vajra seakan
berpendar penuh tekad, matanya yang tertutup pun berkilau keemasan. “Mulai saat ini, aku takkan ragu dan
berprasangka buruk lagi.”
Sang pendekar
dalang sakti telah menantang kuda dewata raksasa dan jadi yang terakhir
bertahan hidup di Kaldera Candradimuka Bersalju. Segila apapun tantangannya,
pasti ia jalani.
Namun masih ada
satu hal yang mengganjal di hati Vajra. Sesuatu tentang salah seorang peserta tarung
tiga-arah yang bakal menantinya di ujung portal antar-dimensi ini.
==oOo==
Sebuah lingkaran
cahaya berlambang pelbagai aksara gaib muncul di lantai pualam putih, di satu
sisi dalam sebuah ruangan bundar. Sosok si dalang sakti, Vajra muncul di atasnya,
terselubung cahaya yang adalah efek visual dari sihir teleportasi.
Anehnya,
pemandangan di sekeliling Vajra ini terlalu indah untuk disebut nyata. Betapa
tidak, tempat yang disebut “ruang inti perpustakaan” ini berdinding
serba-putih, disangga pilar-pilar putih dipahat dengan gambar-gambar yang amat
detil. Yang paling menarik perhatian Vajra adalah pahatan seekor kuda bersayap
dan bertanduk yang mirip Tamon Rah di tiap pilar itu. Di depan kuda itu tampak
sesosok wanita berambut panjang dan memegang pedang. Siapakah dia?
Ruang
perpustakaan bundar ini ternyata amat luas, dengan garis tengah kira-kira tiga
puluh lima meter. Di atas, tampak langit-langit berbentuk kubah yang terbuat dari
kristal bening. Larik-larik cahaya berupa angka “1” dan “0” seperti rentetan
kode biner dalam bahasa komputer keluar-masuk tanpa henti lewat langit-langit
itu, menyelusup dari dan ke dalam buku-buku yang berjajar amat rapi dan teratur
dalam rak-rak yang menutupi seluruh dinding, kecuali pilar-pilar penyangga
ruangan ini.
Kontras dengan
dinding-dindingnya, tak ada perabot apapun di lantai, kecuali karpet biru
panjang yang membentang sampai ke sisi sebuah panggung berlantai pualam yang
terletak persis di tengah balairung perpustakaan ini.
Sambil berjalan
lurus, Vajra melihat dua sosok lain berdiri dengan gagahnya di tiap-tiap tepi panggung.
Bila dilihat dari atas, posisi ketiga insan yang kini berdiri di sana persis di
sudut-sudut segitiga sama sisi.
“Wah, wah, tak
kusangka kita bertiga akan langsung bertarung di tempat ini,” ujar seorang pria
berwajah cenderung amat cantik ketimbang tampan, mengenakan kemeja hitam berdasi
ungu, serta jas dan celana panjang putih. Ia membungkuk, melambaikan topi
fedora coklatnya dengan penuh gaya, rambut ungu berponi panjangnya melambai
amat gemulai. Tiap gerakannya diiringi efek visual tebaran bunga-bunga ungu dan
suara angin bagai siulan merdu. “Perkenalkan, namaku Dyna Might. Kalian pasti
lawan-lawanku di arena ini, bukan?”
“Ini
perpustakaan, bukan arena, bun~!” ujar seorang anak laki-laki kecil berusia
kira-kira delapan tahun yang berdiri di pojok kedua. Wajahnya masih tampak terlalu
manis, walau kedua matanya tertutup poni rambut hitamnya. Mengiring tiap
gerakannya, aroma serba-serbi makanan dari tubuh langsingnya semerbak memenuhi
balairung, ditambah efek visual bintang-bintang emas dan selendang-selendang
cahaya biru yang senada dengan topi biru bermotif bintang emas yang
dikenakannya. “Sudahlah, kita mulai saja tarungnya! Jangan sampai Bun, Baldwin
Ulrich Ragnavald Nikolai Ol’Dweller Keempat lapar, bun~!”
Mata Vajra
terbelalak. Tanpa sadar gaya terkejutnya jadi gemulai seperti gerak-gerik Arjuna,
tokoh pewayangan paling tampan dalam pentas wayang orang. “A-astaga! Kok
tampangmu berubah drastis begitu, Bun? Sekarang kamu jadi langsing, lho!”
“Berubah
apanya!? Jangan bilang Bun langsing, bun~!” Sambil merengut, Bun meraba-raba
perut dan melihat perawakannya sendiri. Kenyataan ia sungguh jadi langsing
membuat si gnome kecil itu menggigit bibirnya. Tiba-tiba, teringat dan
mengenali suara Vajra tadi, wajah si bocah manis berubah cerah. “Wah, kita
bertemu lagi, Radith! Senangnya, bun~!”
Saat Bun baru
akan menghampiri “kakak”-nya itu, Dyna menghardik, “Hei, kamu lupa ya? Kita di
sini untuk bertarung, tahu! Lihat di atas kepalaku ini!”
Vajra menoleh
dan melihat lebih jelas. Rupanya ia terlalu memperhatikan efek-efek visual
berlebihan tadi, jadi baru sekarang menyadari ada garis hijau melintang yang
melayang sejengkal di atas kepala masing-masing peserta.
Pemain game online, khususnya Everna Online seperti Vajra jelas tahu,
itu adalah health bar, indikator
penanda kesehatan dan daya kehidupan alias aura tiap karakter si pemain dalam
game – istilahnya adalah avatar. Warna
hijau adalah pertanda kesehatan yang bagus. Apabila indikator hijau itu makin
pendek, bagian kosongnya ditandai dengan warna hitam. Bila garis hijau makin
pendek dan berubah warna menjadi kuning, berarti kesehatan kurang dari separuh.
Bila amat pendek dan jadi merah, berarti kondisi kesehatannya kritis. Bila health bar menjadi hitam sepenuhnya
alias kosong, hanya ada dua artinya. Yaitu si avatar telah mati atau kehilangan kesadarannya dalam dunia game
itu.
Bun yang
penglihatannya agak rabun dapat “meraba” kondisi tiap peserta lain dengan salah
satu ilmunya, Seismic Sense, yaitu
pelacakan dengan menggunakan getaran yang menjalari permukaan padat seperti
lantai pualam ini. Ilmu itulah yang diam-diam ia kerahkan saat Dyna sibuk
memperkenalkan diri tadi.
“Rupanya Wildan
benar, Bun,” ujar Vajra, kali ini menirukan gaya Wayang Orang Bima yang suka
berkacak pinggang dan membusungkan dada. “Kita pernah bahu-membahu di Gurun
Berbatu Shohr’n. Tapi cepat atau lambat, kita mungkin bakal saling berhadapan
sebagai lawan. Hanya saja, aku tak menduga itu akan terjadi secepat ini.”
Wajah Bun yang
kini jadi manis malah merengut. “Menyebalkan ya, takdir itu, bun~!”
Sambil main
mata, Dyna menegur, “Sudah selesai reuninya, duo tampan? Karena sejak awal kita
sudah diperhadapkan langsung seperti ini, bagaimana kalau kita mulai tarung ini
bersamaan? Isyaratnya dengan dentingan cinderamataku dari Lorong Hitam Despera
ini di lantai, tentunya.” Orang yang tak jelas gendernya itu menunjukkan sebuah
koin emas bergambar wajah cantik Sang Mahadewi Alforea, Tamon Ruu. Tentunya
gambar ini akan lebih menarik lagi bila menampilkan sekitar wilayah “dada
sejahtera”-nya.
“Tak masalah,”
ujar Vajra, kali ini bergaya seperti Gatotkaca, pahlawan super bergelar Satria
Pringgodani dengan kaki terentang dan kepalan tangannya teracung ke udara.
Bun juga tak mau
kalah. Si gnome yang kini lebih mirip manusia itu membungkuk dan membentuk
tanda “V” dengan dua jari di depan wajahnya sambil berujar, “Bun siap, bun~”
Dengan gerakan
lebih gemulai dari wanita, Dyna Might melemparkan koin emasnya. Bunga-bunga
yang bertebaran seakan mengikuti gerakan koin yang melambung, turun... dan
akhirnya jatuh berkelinting di lantai bening.
Ketiga pendekar
melesat maju hampir bersamaan.
Tak seperti
sebelumnya, citra bayangan Arjuna yang menarik Busur Sakti Gandiwa muncul di
balik punggung Vajra. Saat itu pula, Gelang Gandiwa di pergelangan tangan kanan
si dalang-pendekar berpendar, jari telunjuknya menembakkan berondongan larik
petir berwujud Panah Pasopati ke arah
si pendekar berjas putih.
Tak mau kalah,
Dyna membalas dengan berteriak, “Aggression!”
Itulah mantra pemicu Shock Shot, jurus
pembuka pendekar pengguna auraudio, prana
berunsur angin berbentuk suara ini. Dyna lantas bersenandung dengan suara
seperti suara wanita yang berat. Gelombang suara senandung itu ia tembakkan ke
arah Vajra.
Namun
panah-panah petir melesat lebih cepat dari kecepatan suara, juga lebih banyak.
Akibatnya, beberapa panah petir berhasil membuyarkan peluru-peluru gelombang
suara itu, dan tiga panah menghunjam tubuh Dyna tanpa ampun. Suara merdu Dyna
berganti jerit kesakitan. Untung prana pelindung Auraudio meredam prana petir sebatas melukai daging dan kulit saja.
Sehingga hanya health bar di atas
topi si penjaga pintu itu saja yang memendek dan masih berwarna hijau.
Di sisi lain,
Vajra memegangi dadanya yang terlindungi Zirah Antakusuma. Rupanya, satu
gelombang suara Dyna sempat menghantam dirinya. Garis hijau di health bar Vajra juga memendek, namun
masih lebih panjang dari punya Dyna.
Saat itu pula,
Bun yang sejak tadi mencari kesempatan menyerang merangsek maju sambil
berteriak, “Jangan remehkan Bun, bun~! SPARK!”
Tinju Bun
menghantam lantai, petir menjalari permukaan lantai pualam ke segala arah dan
menyengat kaki-kaki para lawannya. Dengan amat cepat petir merambati tubuh,
sehingga kedua petarung itu terpaku, bergeming di tempat.
Memanfaatkan
kesempatan emas, Bun menerjang ke arah Vajra sambil berteriak, “HUNGRY!” Dari gelagat gerakannya yang amat lincah
dengan efek tebaran bintang, si artificer
jelas berniat merebut zirah bintang si dalang dengan ilmu The Artifice’s Mind.
Tanpa terduga,
Vajra bergerak bebas! Tak hanya itu, dengan gerakan lebih cepat dari biasa, ia menyarangkan
serentetan pukulan dan tendangan dengan jurus-jurus pencak silat tanpa prana di
tubuh kecil Bun. Alhasil, si anak laki-laki itu tersuruk di lantai. Bagian
hijau health bar si gnome memendek
hingga kira-kira delapan puluh lima persen, sama dengan health bar Dyna.
Sebenarnya, Bun
memang berniat memacetkan pergerakan Vajra. Namun, selain kedua pengguna petir
itu saling kebal prana masing-masing, jauh di lubuk hati Bun, si dalang
berambut hijau itu masih tetap “kakak seperjuangan”-nya. Karena itulah Spark malah mempercepat gerakan dan
menambah prana si dalang petir. Sebagai balasannya, Vajra tak menggunakan
tenaga dalam saat balas menyerang Bun tadi.
“Wah, wah, dua
saudara saling menahan diri,” ujar Dyna yang baru pulih dari keterpakuan sambil
menghampiri Vajra dan Bun. “Bagaimana kalau kuserang saja kalian berdua
sekaligus? Attribution!” Itulah
mantra pemicu jurus kedua Dyna, Solid
Sound.
Dyna merangsek
maju. Kedua tangannya melambai-lambai seperti dirigen sedang memimpin sebuah orkestra.
Lambaian tangan itu mengarahkan suara-suara yang telah dibentuk menjadi
bayangan benda-benda padat seperti bom, pedang, tombak, gada dan
senjata-senjata lainnya. Semua senjata itu menerpa kedua sasaran persis
bersamaan dengan saat efek suara itu diucapkan.
Sosok Gatotkaca,
Satria Pringgodani berotot kawat, bertulang besi dan mengenakan Zirah
Antakusuma membayang di balik punggung Vajra, dan lambang bintang di zirah
pelindung dadanya berpendar keemasan. Si pahlawan super terus bergerak
kesana-kemari, menghindar dan menangkisi daya serangan Dyna dengan
gerakan-gerakan pencak silat yang dipadu dengan prana petir Tinju Brajamusti. Walau demikian, segelintir
ledakan, pukulan dan sayatan itu mengenai dan melukai tubuhnya. Akibatnya, sang
dalang sakti tersuruk dan bertekuk lutut.
Sedetik
kemudian, sosok Dyna tampak sangat dekat dengan Vajra. Katanya, “Ternyata kau
lebih lemah dari dugaanku, Vajra. Aku bosan bertarung denganmu, selamat
tinggal.”
Anehnya, Vajra
malah tersenyum di balik topeng separuhnya. “Terjebak kau,” desisnya.
Sebelum si “pria
cantik” menyerukan suara penanda kematian, si “dalang rupawan” mendaratkan
puluhan tinju petir secara vertikal di tubuh – dan terutama – wajah lawan.
Sosok bayangan Gatotkacapun bergerak persis beriringan dengan Vajra. Alhasil,
tubuh Dyna terlontar hingga membubung ke arah langit-langit perpustakaan. Dalam
posisi itu, si topi fedora tak memiliki pertahanan sama sekali.
“G-gawat!”
Kesadaran Dyna datang amat terlambat, tembakan sisa prana petir di kedua tangan
Vajra telak menghantam perutnya. Insan berjas putih itu muntah darah, dihimpit
tarikan gaya gravitasi dan dorongan petir sekaligus. Tubuhnya terlontar lebih
jauh lagi hingga membentur salah satu pilar penyangga balairung perpustakaan, lalu
meluruh ke lantai di bawahnya.
Detik
berikutnya, Vajra malah tak beranjak dari tempatnya berdiri. Bayangan Gatotkaca
seakan bicara lewat benaknya, “Tunggu apa
lagi? Ini kesempatanmu memastikan kemenangan... oh!”
Suara itu
terhenti, seakan baru menyadari kondisi Vajra sekarang ini. Walaupun health bar-nya masih hijau dan daya
kesehatan tubuhnya masih di atas separuh, rentetan ledakan dan serangan Dyna
tadi telah menorehkan luka-luka luar-dalam yang amat nyeri, melemahkan seluruh
tubuhnya. “Cepat, lakukan tapa
brata!” sergah suara Gatotkaca.
“Baik,
guru!” Vajra
lantas merapatkan kedua tangannya, berusaha memulihkan tenaga dan prananya
sambil berdiri dengan mata terbuka. Proses pemulihan dengan metode ini lebih
lamban daripada duduk bersila dengan mata tertutup, tapi setidaknya sang
pendekar petir bisa lebih siaga mengantisipasi setiap lawan yang bisa saja
menyerang dengan tiba-tiba.
Benar saja,
dengan refleks Vajra menoleh ke kiri dan melihat Bun sedang berlari tak tentu
arah. Gaya si anak lelaki itu persis atlit yang sedang melesat dalam lomba lari
seratus meter, namun ekspresi wajahnya seperti orang gila. Kondisi itu
ditegaskan dengan teriakan-teriakannya, “Bun lapar! Lapaaar, bun~!” Gawat,
belum setengah jam bertarung, dia sudah kelaparan? Jangan-jangan Bun kehabisan
energi setelah tubuhnya luka-luka didera jurus Dyna tadi. Health bar-nya juga mulai berwarna hijau kekuningan, lebih pendek
dari milik Vajra.
Sekilas
terngiang di benak Vajra, peringatan Bun saat pertama kali mereka bertemu di
Despera. “Jangan sampai Bun kelaparan!
Kalau Bun kelaparan, Bun akan makan siapapun atau makhluk apapun yang
Bun serang, kawan ataupun lawan, tak peduli sekeras apapun tubuhnya, bun~!”
Sekilas berikutnya,
Bun sudah berlari dari kejauhan ke arah Vajra sambil berteriak-teriak, “Bun
cium wangi gudeg! Nasi Gudeg Yogya super lezaaat! Bun mau makan gudeg, bun~!”
“Sekali lagi,
maaf soal ini ya, Bun!” Lagi-lagi Vajra menggunakan jurus yang pernah ia
kerahkan untuk mengatasi “kegilaan akibat kelaparan” ini, yaitu Jaring Dalangsukma. Kesepuluh jarinya
terulur, menebarkan jaring petir seperti laba-laba menjerat mangsanya. Jaring
itu membelenggu Bun, namun saat jaring dihentakkan untuk melontarkan si gnome
super tampan ke arah Dyna, Bun malah mulai memakan jaring itu. Dalang yang
biasa menggerakkan wayang-wayangnya dengan jaring petir itu tercengang. Dalam
keadaan setengah gila, Bun mematahkan jurus yang pernah menaklukkan si gnome
gembul sendiri itu!
“Takkan
kubiarkan!” Butuh lebih dari sedetik hingga Vajra menemukan pemecahannya.
Sebelum jaringnya putus, ia menarik jaring petir itu kuat-kuat sambil bertumpu
pada dua kakinya.
Lalu, sambil
menghentak lantai, si pendekar topeng separuh melontarkan dirinya sendiri
seperti batu yang ditembakkan dari ketapel. Vajra mengangkat kedua kakinya
tinggi-tinggi, tubuhnya terus melayang dalam posisi menelentang, dan ia
menendang dahi dan wajah Bun dengan telak. Alhasil, tubuh si gnome langsing itu
kembali terpelanting, dua giginya bahkan tercabut dan terlempar keluar dari
mulutnya. Tubuh Bun menghantam lantai, ia terkapar tak bergerak lagi. Namun health bar di atas kepalanya masih
berwarna hijau, tanda gnome itu belum kalah.
Sebelum
kesadaran Bun pulih setiap saat, dengan sigap Vajra membalik tubuh kecil itu
dan membuka ransel yang selalu tersandang di punggung si tukang makan ini. Si
rambut hijau menarik napas lega, lantas mengambil roti sandwich isi daging ham dan selada.
Dengan amat cepat
dan mendadak, Bun bangkit dan berteriak, “LAPAAAR!”. Mulut si gnome menganga
dan wajahnya tampak amat keterlaluan beringasnya, namun yang digigitnya malah bagian
lengan bawah tangan kanan Vajra yang memegang sandwich. Gigitan anak kecil bertampang manis itu ternyata amat
tajam dan keras, membuat “si tergigit” berteriak kesakitan. Bagaimana kalau
sampai Bun mulai mengunyah?
Walau terlindung
prana, Vajra tak mau ambil resiko tangannya putus. Jadi si dalang berujar,
“Maaf lagi, Bun.” Tangan kirinya mengambil roti dari tangan kanan. Ia lantas
mengalirkan tenaga dalam hingga terpusat di tangan kanannya dan menghentakkan
prana itu. Gigitan Bun mengendur seketika, jadi secepat kilat Vajra menarik
tangan kanannya dan cepat-cepat menjejalkan roti lapis itu ke dalam mulut anak
langsing tapi tetap mudah lapar itu.
Bun mulai makan
roti lapis itu dengan rakus, dan Vajra menyurut mundur, namun dengan wajah
bingung bercampur rasa sesak di dada. Ia membatin, Aagh, aku bisa saja mengerahkan prana dan merobek mulut Bun,
menghabisinya dengan mudah. Tapi... mengapa tak kulakukan itu? Apa aku ini
terlalu lugu dan bodoh, terpengaruh semangat persaudaraan dalam diriku!?
Tiba-tiba Vajra
terkesiap. Dilihatnya Bun masih sibuk makan roti lapis kedua yang ia ambil dari
ranselnya. Perhatiannya lantas beralih pada Dyna yang masih terkapar di satu
sudut ruangan. Tampak samar-samar dari jauh, Health bar di atas tubuh insan berjas dan bercelana serba putih itu
setengah hijau, setengah hitam. Gila, besar
sekali daya kehidupan orang itu, padahal dia terkena telak Tinju Brajamusti berkekuatan penuh! Si Dyna Might ini
sungguh menarik...
Sebelum sempat
melakukan tindakan apapun, tiba-tiba ponsel kristal Vajra berbunyi. Ini amat
aneh, karena Vajra sendiri tak tahu berapa nomor ponsel terbarunya ini.
Teringat pesan gurunya agar tak berburuk sangka, ia lantas lari menjauh ke satu
sisi balairung dan menekan tombol berlambang gagang telepon hijau di layar
sentuh ponselnya.
Suara dari
ponsel itu merasuki benak Vajra bagai telepati batiniah. “Vajra, ini aku, Hewanurma! Aku hanya bisa menghubungi dirimu,
satu-satunya peserta yang memegang ponsel di tempat ini, jadi dengar baik-baik
kata-kataku ini! Ada gangguan dalam seluruh database Turnamen Battle of Realms dan
Alforea! Ini ulah peretas tingkat dewa, dan dia memperalat kalian, para peserta
turnamen untuk menyerang pusat data kami!”
Vajra
terperangah. “Maksudmu, kami ini...!?”
“Virus
komputer, ya! Tepatnya, virus komputer yang menyusupi tubuh kalian. Sebenarnya,
dalam server turnamen ini, wujud kalian adalah serangkaian data. Dan kau, Dyna
Might dan Bun sengaja disusupi virus terkuat dan memasuki pusat data maha
penting di Alforea ini!”
“Balairung Inti
Perpustakaan Alforea?!”
“Perpustakaan
Alforea sungguhan ada di Despera. Kami hanya meniru modelnya dalam Server
Alforea dengan tampilan video game resolusi tinggi, dan memfungsikannya sebagai
Core
Level Database.”
Vajra melihat
kulit lengannya sendiri. Walau masih nyeri dan berdarah akibat gigitan Bun
tadi, tampilannya juga senada seperti balairung ini – beresolusi tinggi, namun
masih setingkat di bawah tampilan alamiah yang dapat ditangkap mata. “J-jadi
maksudmu, data-data di sini persis dengan kenyataannya?” ujarnya, sambil terus
terperangah.
“Ya,
jadi siapapun yang merampasnya, dia akan mampu mengubah sejarah Alforea. Dan
bila sejarah berubah, keadaan kita di masa kini dan masa depan ikut berubah
pula... Seperti Pertempuran Shohr’n, contohnya.
Astaga, jadi
inikah sebabnya pahatan-pahatan di pilar-pilar itu dipenuhi citra Tamon Rah dan
si wanita berpedang, serta seratus satu peserta turnamen yang ikut berjuang di
sana?
Hewanurma
tiba-tiba mengubah pokok pembicaraan. “Intinya,
kau harus mengenyahkan virus itu dari tubuh kalian bertiga, dan yang lebih penting
lagi, cegah jangan sampai ‘buku-buku data’ dalam ruangan tingkat inti itu
hancur semua atau direbut si virus!”
“Bagaimana
caranya? Aku bukan ahli komputer.”
“Ini!”
Tiba-tiba
ponsel Vajra bergetar amat keras, dan sang dalang petir merasakan sebentuk
energi asing memasuki tubuhnya. Seiring dengan itu, sebentuk hawa gaib alias aura
berwarna hitam pekat keluar dari ubun-ubun dan membubung ke langit-langit. Suara
Hewanurma kembali terngiang, “Aku telah
memasukkan semacam kode antivirus dalam
tubuhmu, dan virus komputer dalam tubuhmu telah berhasil dipaksa keluar dengan
itu. Gunakan antivirus itu bersama pranamu untuk mengusir paksa virus di tubuh
Dyna dan Bun pula! Bila virus itu berhasil kalian musnahkan dan sebanyak
mungkin data terpenting di ruang inti terselamatkan, baru kami bisa
mengembalikan kalian bertiga beserta para peserta lainnya ke Despera!”
Si dalang petir
bagai tersambar petir pamungkasnya sendiri. Nada bicara Sang Administrator
Alforea itu jelas amat-sangat serius dan setengah putus asa. Mungkin Hewanurma
benar-benar ragu mempercayakan nasib seluruh peserta turnamen dan seluruh
Alforea di tangan pemuda labil kurang pengalaman itu.
“Baiklah, akan
kulaksanakan amanatmu ini, walau nyawaku taruhannya,” tanggap Vajra mantap.
“Ya,
tolonglah, Vajra. Hanya kaulah satu-satunya harapan...” Pembicaraan
Hewanurma terputus tiba-tiba, diakhiri dengan suara aneh seolah pemutusan itu
dilakukan dengan paksa dan sengaja. Layar ponsel kristal jadi gelap total,
bahkan dayanya mati sama sekali.
==oOo==
Perhatian Vajra
seketika teralihkan ke suara-suara pertarungan di kejauhan. Dengan gaya yang
tak berlebihan seperti sebelumnya, sang dalang menyimpan kembali ponselnya,
lalu mendekat dengan hati-hati. Ia mencoba menelaah situasinya terlebih dahulu,
sesuai ajaran para gurunya.
Rupanya Dyna yang
sebenarnya sudah sadar sejak tadi pura-pura pingsan. Mengira itu kesempatan
menang, Bun yang polos mencoba menyarangkan pukulan pamungkas dengan aliran
petir langsung dari jurus Spark. Namun
Dyna bangkit dan memerangkapnya dalam jebakan.
Sekali lagi,
Dyna mengerahkan jurus Attribution. Walau
pergerakannya tampak tak terlalu lincah, bayangan-bayangan senjata yang
tercipta dari efek suara hasil kekuatan pikiran Dyna sekali lagi meledak,
menyayat dan menghantam tubuh mungil Bun.
“Jurus yang sama
takkan mempan kedua kalinya, bun~!” Sambil mengatakannya, dengan cekatan Bun
menutup sepasang telinga lancipnya rapat-rapat dengan selendang yang terikat
seperti dasi di lehernya. Hasilnya, tak satupun “senjata suara” Dyna menimbulkan
kerusakan fisik yang nyata di tubuh gnome cerdik ini.
Sadar pengerahan
prananya sia-sia, Dyna berhenti bersuara dan melompat mundur. Ia juga sadar
Vajra yang baru mendekat itu mungkin bakal nekad mencuri serang, namun gerak-gerik
pemuda yang parasnya tak berubah setelah virusnya hilang itu tak berlebihan,
malah gelagatnya ingin melerai pertarungan ini.
“Tahan, Dyna dan
Bun! Ada hal luar biasa penting yang harus kusampaikan!” seru Vajra.
Dyna mendelik
dengan wajah merengut sebal. “Jangan bertele-tele, Vajra! Langsung saja
sampaikan, dan kita tuntaskan pertarungan ini secepatnya!”
Vajra lantas
memilih kata-kata yang singkat, jelas dan padat untuk menyampaikan pesan
Hewanurma tentang virus dan cara mengenyahkannya agar dapat keluar dari inti database ini.
“Jadi
maksudmu... tubuh kita ini telah kerasukan virus komputer, lalu disusupkan ke
dalam database?” sergah Dyna. “Dan
pertarungan di perpustakaan ini hanya tipuan belaka, agar kita menghancurkan
data-data terpenting Alforea di sini?”
“Benar, data
tentang sejarah masa lalu, berita masa kini dan visi masa depan Alforea,” kata
Vajra. “Juga data paling penting sehubungan dengan turnamen ini dan...
eksistensi kita sebagai peserta! Bila buku-buku di dinding hancur, data ikut
terhapus. Dan bila semua data hancur, kita yang masih di dalam sini juga akan
ikut musnah!”
“Kalau begitu...
kita bertiga harus melindungi tempat ini ya, bun~?” Suara Bun bergetar,
tubuhnyapun gemetar.
“Ya,” jawab
Vajra. “Jadi apapun yang kita lakukan, jangan sampai buku-buku di dinding itu
rusak atau direbut si virus!”
Ekspresi heran
Dyna berubah dingin. “Oh, jadi itu sebabnya kita bertiga bergaya aneh-aneh dan
berubah menjadi terlalu tampan atau cantik seperti di game-game ultra high definition generasi terbaru?
Itu pengaruh si virus terkuat?”
“Oi, sekali lagi
bilang Bun langsing, Bun serang kau, bun~!” Bun menghardik Dyna.
“Yap,” tanggap
Vajra. Gayanya telah berubah biasa-biasa saja, dan kulitnya kembali jadi kulit
alami manusia. “Hewanurma telah memasukkan antivirus dalam tubuh dan auraku,
jadi aku kini bebas virus. Ayo, biar kubantu mengeluarkan virus dari tubuh
kalian berdua!”
Bun bertepuk
tangan dan melompat-lompat di tempat. “Hore, Bun bisa jadi gendut lagi, bun~!”
Sebaliknya, Dyna
hanya terpaku dan tertunduk saja di tempat. Lalu bibit bak delima merekahnya
berujar, “Hmph. Jangan harap aku terjebak taktikmu lagi, Vajra.”
Vajra
mengerutkan dahi. “Apa maksudmu, Dyna?”
Si cantik
berpenampilan maskulin itu mengibaskan poni rambut ungunya, suaranyapun
dibuat-buat seperti lakon melodrama. “Aku, Dyna Might sengaja mengajukan diri
untuk mengikuti turnamen pendekar antar-ranah ini. Aku di sini untuk menang,
jadi juara dan mendapatkan hadiah yang paling kuinginkan.”
Bun menyela,
“Hadiah apa itu, bun~?”
“Ra-ha-si-yaah!”
jawab Dyna dengan nada centil. Lalu suaranya kembali maskulin. “Yang pasti, itu
jauuuh lebih hebat daripada segala harapan siapapun juga!”
“Oke, aku takkan
tanya lebih jauh tentang hadiahnya. Yang lebih penting, apa kau akan meraih
‘hadiah turnamen’ itu dengan menghalalkan segala cara?” sergah Vajra.
Jawaban Dyna
singkat saja, “Ya.”
“Terserah apa
kau berminat untuk tahu atau tidak. Keberadaanku di sini adalah kesempatan
untuk menempa jiwa-ragaku agar menjadi pendekar tangguh, tulus hati dan
bijaksana. Namun kunjungan Hewanurma menambahkan satu misi baru untukku, yaitu
membantu melindungi segala yang baik dan nyata di Dunia Alforea ini. Apakah
Hewanurma telah mengunjungi kalian berdua pula?”
Bun mengangguk
dan mengacungkan ibu jarinya. “Ya. Bun mau bantu Vajra, bun~”
“Hewanurma telah
mengunjungiku secara holografis, tapi apa peduliku dengan Alforea? Aku di sini
untuk menang dan jadi juara, hanya itulah yang paling berarti bagiku,” tandas
Dyna, kali ini tanpa gaya apapun. Ekspresi wajahnya mendadak hilang, tatapannya
kosong seperti kerasukan.
“Jadi apa maumu
sekarang?” Vajra langsung siaga, pasang kuda-kuda pencak silat.
“Kalaupun harus
menghancurkan seluruh ruangan ini dan seluruh eksistensi kita semua, akan kuhabisi
kalian berdua dulu dengan serangan pamungkasku ini. Shout Sphere – Augmentation!”
Saat mantra
terucap, sebuah bola yang terus berpusar seperti badai tornado sebesar bola
tenis muncul di depan kedua telapak tangan Dyna yang teracung lurus. Efek visual
berlebihan berupa bunga-bunga ungu ikut berpusar bersama bola itu.
“Jangan harap!”
Sambil berseru garang, Vajra menghantamkan tinju petir ke arah Dyna. Namun
tinju itu dimentalkan oleh prana pelindung yang rupanya jadi amat kuat saat
lawan mengerahkan pamungkas ini. Si dalang petir mundur, dahinya berkerut tanda
sedang berpikir keras.
Dyna bahkan
menambah tenaga psikis, membuat bola badai itu berangsur-angsur membesar. Walau
kini jadi sebesar bola basket, tekanan udara yang ditimbulkannya amat dahsyat
dan menyesakkan.
“Biar Bun saja!
NEXUS MEREDITH, BUUUUNNNNN~!” Bun merapal mantra sambil berteriak
sekeras-kerasnya selama sepuluh detik. Selama itu pula, Vajra yang mendengarnya
terpana seketika.
Namun, bola
badai Dyna malah jadi sebesar enam bola basket ditumpuk jadi satu dalam bentuk
gumpalan. Si perapal bola tersenyum. Jeritan Bun itu tak mampu menembus prana
angin-suara pelindung Dyna, dan malah terserap ke dalam bola badai. Tapi Dyna
tak langsung meledakkan bola itu. Mungkinkah ia benar-benar berniat
menghancurkan balairung ini beserta kedua lawannya dengan ledakan maha dahsyat?
Gawat, ternyata si virus terkuat dan terganas telah sepenuhnya menguasai benak
Dyna!
Melihat itu, Bun
menepuk dahi, menyesali kebodohannya. Di sebelah Bun, tampak seorang wanita
cantik muncul dari semacam portal cahaya sihir. Anehnya, wanita itu mengenakan
pakaian putih yang amat ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang sangat indah dan
menutupi paha hingga hampir seluruh dada. Lengkap dengan bando telinga kelinci
menghiasi rambut seputih kapasnya, penampilannya bagai model majalah khusus
dewasa.
Melihat wanita
itu, Bun ternganga. “Lho, k-kamu ini M-Meredith, bun~?”
“Tentu caja!” Gaya
bicara Meredith lebih genit daripada Dyna. “Memangnya aku ini cia... Astaga,
kok cepupu Bunny Bun jadi lebih kecil dan kuruc begini, mom~?!”
“Kecil dan
kurus? Aaaghh!” Bun mengerang frustrasi, lalu mendadak perhatiannya terpusat
kembali. “Oya Edith, tolong redam bola suara itu dong, bun~!” Ia menunjuk ke
bola Dyna.
“Tak macalah! Light Doll, Form Sino, mom~!” Sambil
merapal mantra, Meredith mengulurkan tangannya ke atas dan menggoyang pinggul
montoknya. Seberkas cahaya seketika menyelimuti seluruh tubuh wanita itu.
Cahaya itu lantas buyar, menampilkan Meredith yang mengenakan kostum singa yang
beda warna namun gayanya sensual, senada dengan kostum kelinci tadi.
“Wah, bagus,
Bun!” puji Vajra. Lalu ia berbisik, “Ayo Edith, Bun! Kita gunakan kekuatan Dyna
untuk mengusir virus di tubuh kalian semua!” Ia lantas berlari menghampiri
sasarannya.
Bun yang
menyusul bersama Meredith bertanya, “Caranya, bun~?”
“Tetap di
sampingku, Bun! Ikuti aba-abaku!”
Dyna yang
melihat gelagat ketiga lawannya berseru, “Terlalu lambat! Musnahlah kalian semua!”
Ia menghentakkan tangannya yang terulur, memicu ledakan bola gelombang suara.
Di saat
bersamaan, Vajra ikut berseru, “Sekarang, Edith!”
Tanpa menunggu
aba-aba tadi, Edith meraung keras-keras bagai singa betina. Gelombang suara
Sino yang dilipatgandakan dayanya dengan mana alias energi sihir cahaya berhasil
membungkus dan meredam bola suara raksasa Dyna selama lima detik, membuatnya
tak jadi meledak.
Vajra lantas
menghentakkan kesepuluh jari tangannya, kembali menebar Jaring Dalangsukma. Giliran jaring petir itu yang membungkus bola
suara, lalu menjaganya agar tetap terapung di udara, di atas kepala pemuda
berambut hijau itu.
Secepat kilat,
Vajra menempelkan telapak tangan kanannya di punggung Dyna. Rupanya si rambut
ungu itu dalam keadaan amat lemah setelah mengerahkan pamungkasnya, namun
tatapan matanya masih tetap kosong. Secara bersamaan, sang dalang mengulurkan
telapak tangan kirinya dan berseru, “Sambut tanganku, Bun!”
Tak perlu pikir
panjang, Bun menempelkan telapak tangannya pada tangan Vajra. Sedangkan Meredith
kembali meraung untuk meredam daya bola suara lagi selama lima detik, dan itu
akan ia ulangi berkali-kali tiap jeda kira-kira sepuluh detik.
Sambil
menghentakkan prana petirnya sendiri, Vajra mengalirkan prananya yang
mengandung antivirus dari Hewanurma ke tubuh Dyna dan Bun yang masih
terinfeksi. Dayanya ditambah dengan energi “pinjaman” dari bola suara Dyna yang
dialirkan lewat jaring-jaring petir dan telapak tangan Vajra, dan “takaran”-nya
diatur jangan terlalu besar, agar tak menghilangkan nyawa para “pasien”-nya.
Vajra bisa saja “main
kotor” dengan memompakan banyak prana sekaligus ke tubuh kedua lawannya, namun
ia tak melakukannya. Karena selain bertentangan dengan ajaran para gurunya, firasat
Vajra berkata Dyna dan Bun lebih baik dijadikan teman daripada musuh. Jadi,
kalaupun mereka harus saling mengalahkan, bahkan saling bunuh, semua itu harus
dilakukan secara ksatria. Nanti saja acara berakrab-akrab rianya, bila mereka
bertemu lagi di Kedai Alkima di Despera.
Kira-kira dua menit
kemudian, usaha Vajra mulai menampakkan hasilnya. Prana yang ia alirkan berhasil
mendesak virus digital dalam tubuh Dyna dan Bun, sehingga keluar dalam wujud
asap hitam dari ubun-ubun kedua pendekar itu. Di menit ketiga, akhirnya seluruh
virus menguap hingga tak bersisa.
Buktinya, kulit
bertekstur ultra-high definition pixels
Dyna dan Bun kembali terlihat seperti kulit alami. Wajah super cantik Dyna
berubah jadi agak maskulin, lebih mirip wajah pria ketimbang wanita. Lebih
drastis lagi, tubuh langsing Bun berubah seketika menjadi lebih pendek dan
cenderung membulat seperti sediakala.
Meredith yang
entitasnya terkait dengan energi gaib Bun juga berubah wujud dari wanita cantik
nan seksi menjadi gnome langsing dengan wajah bulat seperti bayi perempuan, dua
gigi seri paling tengah di bagian atas rongga mulutnya jadi amat besar seperti gigi-gigi
kelinci.
“Horee! Bun
gendut lagi! Horee, bun~!” Bun melonjak-lonjak kegirangan.
“Edith juga
kembali ke cemula, puji Dewi Regina! Daah, Bunny Bun, mom~!” Tubuh Meredith
lenyap seketika, karena batas waktu kemunculan nexus-nya selama lima menit telah habis.
Sedangkan Dyna
terpuruk lemas di lantai, kehabisan prana auraudio.
Namun Vajra
belum bisa bernapas lega. Bola Pusaran
Suara Dyna masih terbungkus jaring petir dan bisa meledak setiap saat.
“Menyingkir, Bun!” Sang dalang-pendekar lantas melompat tinggi-tinggi dan
menangkap “bola maut” itu. Si gnome menyingkir segera, mulutnya tak kuasa
berkata-kata saat ia menyadari aksi nekad rekannya itu.
Seperti pemain
bola basket, Vajra membawa lari bola suara sambil memperkecil ukurannya dengan
tekanan jaring prananya. Lalu, dengan gerakan gaya slam dunk, melompat dan terjun seperti akan melesakkan bola basket
ke dalam keranjang, Vajra menghantamkan bola itu di tepat di tengah panggung
pualam di titik pusat balairung bundar.
Teriring satu
dentuman keras, energi bola suara yang sudah dimampatkan itu menghancurkan dan
melubangi lantai, membuat satu ceruk besar sedalam kira-kira dua meter. Namun,
imbas benturan bola dengan lantai itu membuat tubuh Vajra terpelanting. Ia
terjerembab dengan keras di lantai dan mengerang, menahan nyeri.
Garis hitam
tampak jauh lebih panjang daripada garis kuning pada health bar Vajra. Ingin ia bangkit, namun tubuhnya seakan menolak
untuk bergerak. Vajra coba memaksa diri bangkit, tapi dia malah muntah darah
dan terpuruk lagi. Satu pikiran terbit dalam benak sang dalang sakti. Virus digital sudah berhasil diusir, amanat
Hewanurma telah kupenuhi. Tapi, haruskah perjuanganku berakhir di sini?
==oOo==
Akhirnya,
tinggal Bun saja yang masih berdiri di arena. Bila ia mau, si gnome yang
kembali jadi gendut itu bisa menghabiskan health
bar kedua lawannya dengan pisau dapur. Namun, Bun tak kunjung mengambil
senjata itu dari dalam ranselnya. Sebabnya? Usaha Vajra mengusir virus dari
tubuh Bun membuat si kerdil kini lantas terduduk lemas, kehabisan tenaga pula.
Mungkin ini
waktu yang tepat untuk istirahat sejenak, sebelum Bun, Vajra dan Dyna saling
serang lagi, mempertaruhkan seluruh nyawa yang tersisa pada health bar mereka.
Kenyataannya,
takdir sama sekali tak memberi mereka waktu untuk bernapas lega sekalipun.
Saat Vajra
menegadah ke langit-langit, dilihatnya sekelumit asap hitam itu masih
melayang-layang di sana. Tak hanya itu, asap hitam itu lantas menggumpal dan
turun seperti helikopter hendak mendarat. Gumpalan itu terus bertambah padat,
lalu membentuk sosok seperti manusia saat melayang dekat lantai.
Tak lama
kemudian, asap padat itu mulai menampilkan bentuk kepala, tubuh, tangan dan
kaki yang terpasang sempurna pada satu manusia wanita utuh. Muncul pula rambut
berombak panjang sebahu, warnanya berangsur-angsur berubah dari hitam menjadi
merah darah.
Lalu, kulitnya
berubah warna menjadi seputih susu. Sosok wanita itu mengenakan pakaian
berwarna merah bagai api menyala-nyala, dipadu-padan dengan motif-motif
berwarna hitam seperti pada kain batik. Sepasang kakinya yang bersepatu bot
merah tak menjejak tanah, tubuh semampainya melayang beberapa jengkal di atas ceruk
tengah lantai balairung perpustakaan itu. Ditilik lebih seksama, lekuk-lekuk
tubuh wanita itu amat menggoda iman, sama persis dengan tubuh Meredith versi
model majalah khusus dewasa tadi.
Sebuah health bar muncul dan melayang tepat di
atas kepala wanita itu. Warna garis hayat itu bukan biru yang menandakan wanita
itu makhluk separuh dewa. Bukan pula putih untuk makhluk setara dewa. Itu hijau,
penanda dia adalah makhluk alamiah berwujud manusia.
Bagai patung
dipahat, wajah wanita itu lantas terbentuk dan memancarkan kecantikan tiada
tara. Namun, sorot mata merahnya menyiratkan bara kekejaman dan murka yang tak
dapat dipadamkan air sepenuh samudera sekalipun. Sebilah pedang dengan bilah berapi
tergenggam di tangan kanannya, siap menghabisi para pendekar yang kini tampak
tak berdaya semudah merebut mainan dari tiga orang bayi.
Si pendekar
pedang wanita lantas mengerutkan dahinya dan berdecak kesal. Pasalnya, Vajra, Dyna
entah memaksa diri atau sudah pulih tenaganya, bangkit dan berdiri setengah
membungkuk, menghadap ke arahnya dengan tubuh berdarah-darah. Bun juga ikut
berdiri. Suara wanita itu cukup merdu, tapi terdengar seperti suara gadis
remaja. “Wah, wah, ternyata kalian bertiga berhasil mengusirku ya, walau dengan
bantuan si Klan Nurma itu.”
Tak sengaja
Vajra melihat pilar yang membelakangi wanita itu. Dengan darah yang masih
menggenang di mulutnya ia berseru, “S-siapa kau!? Apa hubunganmu dengan Tamon
Rah?”
Bun menoleh, dan
Dyna mendelik heran ke arah Vajra. Si pendekar berjas putih yang kini
berhiaskan bercak-bercak darah dari wajahnya sendiri itu protes, “Kenapa kau
menyebut-nyebut Tamon Rah, Vajra?”
Vajra menunjuk
ke arah salah satu pilar putih. Figur wanita yang terpahat di sana ciri-cirinya
sama persis dengan sosok yang tengah mereka hadapi ini. Melihat itu, Dyna
ternganga dan Bun yang agak rabun hanya terpaku, jantungnya berdebar-debar.
Sosok yang ia “lihat” dengan Seismic
Sense-nya ini memancarkan prana yang amat brutal, panas dan berapi-api.
Gadis yang
rambutnya berkibar-kibar bagai kobaran api itu tertawa renyah. “Tentu saja ada
hubungannya, karena akulah Tamon Rah!”
Tamon Rah, Dewa
Kemurkaan Alforea ternyata adalah seorang wanita.
“Bukankah kau hores raksasa yang sudah kembali
tersegel di Bulan Alkima, bun~!?” tanya Bun.
“Hores?
Oh,
itu. Wujud kuda raksasaku dan tubuh kasarku memang sudah tersegel kembali. Tapi
coba pikir, untuk apa mereka repot-repot meretas sejarah masa laluku sesaat
sebelum aku dipenjara Kakak Ruu? Lalu menampilkan diriku sebagai kuda terbang
raksasa gila di Shohr’n, padahal aku belum pernah bertempur di sana?” Ternyata
Tamon Rah adalah adik Tamon Ruu.
“’Mereka’?
Siapakah para peretas itu?” Vajra mencoba-coba mengorek informasi.
“A-a-ah!” Tamon
Rah menggoyangkan jari telunjuknya yang teracung. “Apa kau pikir aku akan
membuka identitas ‘mereka’ padamu? Dasar naif. Begini saja, daripada kalian
terus menyinggung kecerdasanku, aku punya cara yang lebih baik.
Coba-paksa-aku-bicara.” Gaya goyangan telunjuk Rah berubah, itu jelas isyarat
tantangan terang-terangan.
Dyna berseru, “Aggression!” dan maju bersama Vajra.
Sambil terus berlari mengelilingi balairung, keduanya menembaki Tamon Rah
dengan rentetan panah petir dan gelombang suara.
“Cih, mainan
anak-anak!” Dengan kecepatan melebihi sambaran halilintar, sang dewi berambut
merah mengayunkan dan memutar-mutar pedang apinya. Gilanya, tak terhitung panah
dan gelombang yang telah ia tangkis dengan mudah.
Menyadari jurus
pertamanya sia-sia, Vajra berseru pada Dyna, “Serangan jarak dekat!” Bagai
harimau menerkam mangsa, si dalang petir meloncat lebih dahulu ke arah Rah.
Kedua tinjunya tampak berpendar, sarat prana petir Brajamusti.
Mendelik seolah
bosan, si rambut merah cepat menebaskan pedangnya. Namun si sasaran, Vajra
malah menjejak sisi pipih bilah pedang itu dengan sepatunya yang terlindung
prana, dan bersalto balik. Rah menebas ke bawah, namun Dyna telah lalu
menghampirinya.
Sambil
menebas-nebas dengan lengannya, Dyna berseru, “Cras, cras, cras, cras!”
terus-menerus. Refleks, sang dewi kembali mengayunkan pedangnya untuk
menangkis, namun si pendekar bertopi fedora sudah kembali mundur. Giliran Vajra
memberondong tubuh dan wajah Rah dengan puluhan tinju petirnya. Wanita itu
terkena telak dan terpukul mundur. Untuk pertama kalinya – entah sejak kapan –
darah merembes dari sisi bibirnya.
Ketiga pendekar
mengambil kesimpulan seketika, wujud Tamon Rah ini bukan dewi dan bisa dilukai
layaknya manusia. Namun diukur dari aksinya sejak awal, wanita pendekar itu
adalah manusia super atau hampir bisa disebut manusia setengah dewa.
“Menyebalkaan!”
Setitik darah saja yang keluar cukup membuat si rambut merah merangsek dengan
pedangnya ke arah Vajra. Intuisi mendorong Vajra untuk mundur dulu ke dekat
Bun.
Dalam jarak
serang, Bun memukul tanah dengan telapak tangannya dan berseru, “SPARK!” Arus petir segera menjalari
lantai ke segala arah bagai gelombang kejut. Vajra dan Dyna yang kini dianggap
teman mendapat asupan kekuatan sehingga mereka dapat bergerak dua kali lipat
lebih cepat. Tamon Rah yang kakinya tak menjejak tanah tak terkena gelombang
ini sama sekali.
“Aggression!”
Kali
ini Dyna kembali menembakkan rentetan gelombang suara penghancur sambil
bergerak dan berlari lebih lincah lagi. Rah menangkis sambil menghindar, namun
panah-panah petir Vajra menerjang dari arah lain lagi. Berkat pergerakan yang
lebih cepat, dua panah Vajra dan satu gelombang suara Dyna berhasil menghantam
tubuh Rah. Namun hunjamannya diredam prana pelindung berunsur api yang melapisi
tiap jengkal raga sang dewi.
“Sudah kubilang,
percuma sa… urrgh!” Tiba-tiba Tamon Rah merengkuh perutnya bersamaan dengan
suara “BUM!” Dyna. Rupanya salah satu panah Vajra menembus cukup dalam, dan
Dyna memanfaatkannya dengan menambahkan “ledakan dari suara” tepat di panah
itu. Kombinasi dua daya penghancur itu membuat Rah menderita luka dalam.
Efek bara api
berkobar di mata si pendekar berambut merah. Sebelum Vajra sempat menggerakkan
otot-ototnya, Rah sudah melesat bagai tak kasat mata, menebaskan pedangnya
berkali-kali, lalu menghentikan langkahnya di balik punggung si pewaris pusaka
dewata itu. Vajra terpaku sedetik, lalu terpelanting ke belakang dengan pakaian
dan jaket beskap coklatnya terkoyak-koyak. Darah memercik dari luka-lukanya,
lalu jatuh bagai hujan rintik-rintik di lantai.
“Tarian
Bara Murka Dewata, Tahap Satu,” ujar Tamon Rah, berjalan menjauh tanpa
menoleh. “Anggaplah ini kehormatan bagimu mencicipi salah satu andalanku.
Mungkin kau memang sangat kuat, Vajra, namun itu tak ada apa-apanya dibanding
segenggam kuasa dewata milikku. Selamat tinggal, pendekar yang – katanya – mengemban
amanat pahlawan!”
Vajra terkapar
menelentang di atas genangan darahnya sendiri, garis hayat pada health bar-nya amat pendek, berwarna
merah dan berkedip-kedip. Darah merah kehitaman menggenang di mulutnya, napasnya
mulai sesak. Rasa nyeri di sekujur tubuh Vajra tak tertahankan lagi. Inilah rasa
sekarat yang sudah beberapa kali ia alami. Saat bentrok pertama dengan
Gangren-Rogohjiwo, di Padang Shohr’n, dan sebelum ini, di Los Soleil.
Tapi
kali ini aku pasti mati, batin Vajra, mata hijaunya menatap lurus ke
langit-langit kaca. Maafkan aku, para guru
dari Pandawa, semoga kalian menemukan pewaris baru yang lebih pantas, lebih
kuat dan lebih bijaksana dariku. Ia lantas menutup mata, melepas segala
asa.
Suara Arjuna
yang lembut terngiang, “Tidak. Hanya kau,
Raditya Damian yang pantas menjadi pewaris Vajra, Buka matamu dan bangkitlah!”
T-tapi
Tamon Rah itu manusia penyandang kekuatan dewata, seperti kalian!
“Dan
tetap saja dia adalah manusia, ‘kan?” sambung Gatotkaca. “Dia darah dan daging. Walau ia hidup abadi secara alami, Rah masih
bisa dibunuh, bukan?”
Dibunuh
dengan apa? Kekuatan dewata?
“Tak
perlu. Cukup satu jurus saja…” Gatotkaca memberikan solusinya. “Naga
Pancanaka.”
“Topeng
Pancanaka masih cacat. Tanpa itu, aku tak bisa mengerahkan pamungkas.”
Suara batin Bima
menghardik keras, “Lantas kenapa kalau
tanpa Zirah Vajra? Sudah kami katakan berkali-kali, jangan tergantung pada
kesaktian zirah dewata! Kaulah yang harus menguasai kekuatan zirah itu dengan
utuh dan sempurna! Kalau perlu, kerahkanlah semua jurusmu tanpa bantuan benda,
senjata atau alat apapun, itu baru namanya pendekar sejati!”
“Selama
masih ada napas dalam tubuh, pewaris Vajra pantang menyerah!” seru Gatotkaca.
Arjuna berseru
pula, namun dengan nada agak memelas, “Bangkit,
Vajra. Bangkit! Kerahkan prana pamungkas dari segala pamungkas! Cepat, mumpung
Dyna dan Bun sedang mengulur waktu, membuat si Tamon Rah itu kewalahan dan tak
sempat menghabisimu tadi! Jangan mati dulu, Vajra! VAJRA!”
Hening. Tak ada
jawaban. Mungkin Vajra telah benar-benar menyerah dan ajal telah menjemputnya.
Mungkin… sebenarnya si pahlawan super sedang mencoba menghimpun prana,
sedikit-demi-sedikit. Wajahnya mulai berkedut-kedut di balik topeng separuhnya,
lalu dahinya mengerut. Ya. Aku masih akan
mengukir sejarah di Indonesia. Aku telah membaktikan kekuatanku pada kebaikan,
seperti tekadku saat pertama kali kudapatkan “bakat” ini.
Sejenak,
kenangan Vajra melayang kembali ke masa kecilnya sebagai Radith dulu. Rambutnya
lumayan pendek, dan ia suka poninya yang menutupi hingga separuh mata kiri. Suatu
hari, rumah Radith di Yogyakarta terbakar hebat akibat hubungan pendek arus
listrik alias korsleting. Penyebab korsleting itu tak ia ketahui, namun itu
terjadi di tengah malam, saat Radith dan kedua orangtuanya sedang tidur nyenyak.
Radith, orang
pertama yang terbangun di tengah kobaran api itu cepat-cepat mengguyur dirinya
sendiri dengan air dan keluar kamar dengan menerobos api. Tindakan yang cerdik menurut
anak laki-laki berusia delapan tahun itu. Radith lari ke kamar yang paling
dekat dengan kamarnya, menggedor-gedor pintu sambil berseru, “Ayah, ibu, bangun! Ada kebakaran! Bangun
ayah, ibu!”
Tak ada jawaban
dari dalam, jadi Radith mencoba membuka pintu. Pintu kamar ternyata tak
dikunci, dan ia masuk. Di dalam, si anak berambut hijau itu menjerit. Kedua
orangtua Radith tergeletak dengan lengan terkulai di atas genangan air di
lantai. Ada percikan-percikan seperti arus listrik di permukaan air itu. Si bocah
yang tak tahu arti gejala itu berniat menyelamatkan ayah-ibunya dan melangkah
tanpa alas kaki, menginjak genangan air. Tanpa ampun, seluruh tubuhnya
tersetrum. Itulah rasa hampir mati pertama kali yang dialami Radith seumur
hidupnya.
Saat musibah
berlalu, satuan pemadam kebakaran menemukan Radith ternyata masih hidup di
tengah genangan air. Padahal aliran listrik yang terhantar air terus merasuki
tubuh ketiga korban tanpa henti, bahkan menewaskan kedua orangtua Radith. Karena
Radith tak punya sanak-saudara dekat, seorang dukun yang mengaku dirinya teman
Keluarga Damian menawarkan diri merawat dan membesarkan anak sebatang kara itu.
Nama asli sang dukun jarang disebut, dan namanya setelah terkenal adalah Ki
Rogohjiwo. Akibat kali pertama sekarat itulah, Radith malah memiliki kekuatan
berupa tenaga dalam berelemen petir.
Kembali pada
Vajra yang baru tersadar dari lamunannya dan membuka mata. Sebentuk prana petir
yang nyaman merasuki tubuhnya bagai dikenai alat pacu jantung. Pelakunya
tentunya Bun, yang sedang mengerahkan ilmu Art
of Artifice, memperbaiki dan untuk sementara memperkuat daya gaib Topeng
Pancanaka. Karena si gnome menggunakan prana petir untuk melakukan aksinya,
energi untuk perbaikan itu ikut terserap dalam tubuh Vajra, sedikit memperbaiki
kondisi tubuhnya. Tandanya, garis merah pada health bar sang dalang kini sedikit lebih panjang dan tak berkedip
lagi.
“Ah, syukurlah
kau sudah sadar, bun~” ujar Bun lirih saat proses perbaikan rampung.
Vajra mendelik
heran. “Lho… Kok kamu... merawatku? Mana Dyna?”
“Dyna sedang
menyibukkan Tamon Rah dengan pedang apinya yang tadi berhasil kurebut. Dengan
jurus baru yang ia teriakkan, ‘Acceleration!’
Ia bisa bergerak dengan kecepatan suara dan menebasi prana pelindung amat
tebal sang dewi. Kurasa kini dia mampu mengatasi Rah, jadi Bun bisa merawat Vajra, bun~”
Mendengar itu
semua, Vajra tersenyum lega. “Terima kasih, Bun. Kau memang adikku yang baik.
Sebentar lagi ya, biar aku berusaha bangkit dan membantu Dyna.”
“Yaay!” sorak
Bun girang. “Ini, biar Bun percepat Vajra pulih dengan Spark…”
Si gnome tak melanjutkan
kata-katanya. Vajra coba menajamkan matanya, tampak sebilah besi berkobar
menembus hingga mencuat di dada Bun. Pelakunya ternyata adalah Tamon Rah yang
ternyata berhasil merebut kembali pedangnya dari Dyna.
“Makhluk ceroboh
yang terlalu lembut hati, lebih baik mati!” Dengan tatapan nyalang, wanita
berambut panjang merah itu mencabut kembali pedangnya.
“Bun!” Vajra
hampir menjerit histeris.
“Maju terus…
Vajra, bun~!” Teriring kata-kata terakhirnya, Bun roboh terkapar di lantai. Health Bar-nya yang seluruhnya berwarna hitam
kini benar-benar kosong. Tubuh gnome kecil itu terurai seketika menjadi pendaran
kode-kode biner komputer. Lalu rentetan kode itu membubung, menyelusup ke dalam
salah satu buku yang bertengger di rak dinding balairung perpustakaan itu.
“Tamon Rah!
Dasar dewi tak berhati!” umpat Vajra, suaranya serak, sarat duka, tercekat
darah dalam mulutnya sendiri. “Bahkan Bun yang tak berniat membunuhmupun tak
kauampuni!”
“Salahkan saja
Hewanurma, mengirim pendekar selembek dia untuk menghalangiku,” dalih Rah.
“Bun sama sekali
tak lemah! Malah sebenarnya dia lebih kuat daripada aku, Dyna, bahkan hampir
semua peserta turnamen lainnya!”
“Apa buktinya?”
“Bun telah
membangkitkan dan memperkuat diriku! Dia juga merebut pedangmu untuk membantu
Dyna! Nurani murni mencegah Bun langsung
memakanku saat aku digigitnya, mendorongku untuk tak mengambil kesempatan dalam
kesempitan! Itulah yang membuat Bun menjadi sekutu berharga tak terhingga!”
Penjelasan Vajra
itu ditanggapi dingin bagai angin lalu oleh si rambut berkibar. “Jangan
mengada-ada! Bun itu sangat lemah, pantas saja dipilih si pengkhianat Klan
Nurma itu sebagai tumbal! Kalau kau memang berduka, Vajra, biar kucabut nyawamu
supaya kau bertemu lagi dengan ‘adik’-mu itu di neraka!”
Berteriak
nyalang bagai wanita pejuang, Tamon Rah mengangkat pedangnya tinggi-tinggi,
siap membelah tubuh Vajra jadi dua.
Ingin Vajra
balas menyerang pertahanan Rah yang terbuka lebar karena gerakan yang amat
meremehkan lawan itu. Namun tubuhnya tak dapat digerakkan.
Dalam detik itu
pula, sebentuk Bola Badai Suara sebesar
bola voli telak menghantam dada Tamon Rah. Rupanya, Dyna Mightlah yang
memanfaatkan kelengahan sesaat si wanita seperempat dewi itu.
Kekuatan bola
suara raksasa telah dimampatkan dan dikonsentrasikan hingga ukurannya jauh
lebih kecil. Dan itu cukup untuk memukul Tamon Rah mundur beberapa meter,
memperpendek garis hijau pada health bar-nya
hingga berubah warna jadi kuning.
Dyna berdecak kesal.
“Ah, ternyata variasi Shout Sphere tak
cukup untuk menumbangkan Rah! Acceleration!”
Denga sisa prana auraudio-nya, Dyna
mengerahkan jurus Sonic Step,
berpindah tempat dengan kecepatan suara selama tiga detik, menjauhi si musuh
digdaya.
“Dasar manusia-manusia
menyebalkaaan!” Tamon Rah buang ludah campur darah ke sampingnya, sambil
merengkuh luka dalam di dada kiri-atasnya. Lalu ia berlari maju, merangsek ke
arah Dyna yang masih berdiri tegak. “Mati sajalah kau, Dyna Might!”
Di sisi lain,
Vajra berusaha bangkit berdiri. Asupan prana petir dari Bun dan yang telah ia
himpun sejak tadi sedang menunggu untuk diledakkan. Takkan kusia-siakan pengorbananmu ini, Bun! Pikiran itu makin
menguatkan tekadnya.
Namun, saat
sampai di posisi berlutut, tatapan Vajra beralih ke jeritan Dyna yang baru ia
dengar. Itu bukan efek suara untuk jurus, tapi murni jerit kesakitan. Tampak
Tamon Rah sedang menebaskan pedangnya berkali-kali ke tubuh langsing Dyna, lalu
melesat dan menghentikan langkahnya dua meter di balik punggung lawannya.
Bedanya dengan jurus yang menyerang Vajra tadi, puluhan berkas prana bagaikan
bilah belati berapi menancap di sekujur tubuh Dyna.
Tanpa menoleh,
Tamon Rah menjentikkan jarinya. Bilah-bilah api itu berledakan seperti dinamit,
teriring jeritan pilu Dyna Might. Dengan pakaian dan tubuh hangus dan bagian
dalam tubuhnya hancur-lebur, si penjaga pintu di Klab Malam State of Smile itu berkata lirih,
“Setidaknya... aku mengakhiri tarung ini... dengan gegap-gempita... dengan topi
masih di kepala...” Health bar di
atas topi fedora itu sudah hitam semua pertanda hampa, sesuai dengan warna
favorit Dyna yang sesungguhnya.
“DYNA!” teriak
Vajra. Namun sudah amat terlambat kini, tubuh insan penggila kebersihan itu
terurai cepat menjadi pendaran kode-kode biner nol dan satu berwarna putih.
Seperti halnya Bun, “roh data” Dyna Might membubung dan menyusup pula ke dalam
buku perpustakaan.
Sambil kembali
menghimpun prana api, Tamon Rah, sang dewi dalam raga manusia itu berjalan amat
perlahan ke arah si lawan terakhir, melenggak-lenggokkan pinggul gadis
remajanya. “Itu tadi Tarian Bara Murka
Dewata, Tahap Dua. Nah, Vajra, biar kaucicipi rasanya jurus tahap tiga
pamungkasku, agar kau menyadari perbedaan kekuatan kita yang sejauh langit dan
bumi sebelum berangkat ke akhirat bersama Bun dan Dyna.”
Masa bodoh.
Vajra tak mau berbasa-basi lagi pada iblis bengis ini. Pemuda itu menghentakkan
kedua tangan dan kakinya sambil kembali berdiri tegak, pancaran prana petirnya
bahkan membuat rambut hijau panjangnya yang kini terurai berkibar-kibar, seakan
tersapu badai. Mata kuning pada topeng merah separuh yang dikenakan Vajra
berkilat-kilat. Di saat yang sama, entah itu efek dari sisa virus dalam
tubuhnya atau bukan, bayangan sosok manusia perkasa bernama Bima, ksatria
terkuat Klan Pandawa muncul di balik punggung Vajra.
“Pamer kekuatan
sebelum mati? Gaya sekali, untuk seekor semut kecil!” Tamon Rah lantas berjalan
lebih cepat, mengibaskan pedang berapinya ke satu sisi.
Dengan satu
entakan, bayangan Bima meninju lurus dengan tangan kiri yang menggenggam salah
satu senjata andalannya, Kuku Pancanaka. Secara bersamaan, Vajra juga
menghentakkan kedua telapak tangannya lurus ke depan. Dari kedua telapak yang
saling bersentuhan itu melesatlah semburan petir besar yang ujungnya berbentuk
kepala naga. Itulah gerakan pembuka jurus pamungkas Vajra untuk duel, Naga Pancanaka.
Naga petir
melesat secepat kilat, langsung mengancam tubuh Tamon Rah. Namun pendekar
pedang itu dengan amat lincah mengubah dan mempercepat arah larinya, berusaha
menebas dari sisi samping tubuh lawan.
Diserang seperti
itu, Vajra tak hilang akal. Sejak tadi ia berlari pula kesana-kemari,
mengendalikan arah terbang naga petir itu dan terus mencecar Rah. Selama hampir
semenit, kedua petarung bagai kejar-kejaran, namun Vajra tetap berkonsentrasi
penuh dan berhati-hati agar jangan sampai serangannya merusak “buku-buku data”
di dinding.
Masalahnya,
gelagat Vajra itu justru dimanfaatkan lawan. Saat mendekati dinding, Tamon Rah
sengaja melompat tinggi-tinggi. Refleks, sang dalang menggerakkan “naga”-nya
yang bagaikan wayang ke atas. Namun tanpa diduga, kaki Rah menjejak dinding
perpustakaan dan bertolak, tubuh lenturnya bersalto tinggi-tinggi ke belakang.
Refleks, Vajra
berkelit ke samping sambil mengayunkan kedua tangannya. Naga petir berbelok
tajam, namun tubuh panjang bagai ular raksasanya sempat menyerempet dinding,
merusak beberapa buku di sana. Saat Vajra mencoba mengendalikan lagi naga itu
ke sasarannya, tiba-tiba Tamon Rah sudah muncul di hadapannya. Sialnya, wanita
itu sudah masuk jarak serang pedang.
Maka terjadilah.
Tanpa ampun, Tamon Rah menebas-nebaskan pedangnya. Efek jurus Tarian Bara Murka Dewata, Tahap Tiga ini
adalah larik-larik bagai bilah-bilah golok api raksasa yang langsung melukai
dan membakar tubuh sasarannya. Vajra terpaksa menarik kembali naga petir ke
sisinya, namun beberapa tebasan sudah lebih dahulu mendarat di tubuhnya.
“Haha,
pamungkasku lebih unggul darimu! Selamat jalan, Vajra si Dalang Petir!” Sebagai
gerakan penutup, Rah menusukkan bilah pedangnya lurus-lurus, berharap membobol
Zirah Antakusuma dan menembus jantung lawannya. Lalu ia akan meledakkan prana
api pada bilah pedang itu, menghancurkan raga dan menegaskan kekalahan total
dan mutlak Vajra. Namun, mata merah si rambut merah terbelalak mendadak, bilah
membaranya hanya menusuk udara.
Rupanya Vajra
sengaja melompat tinggi-tinggi secara vertikal, dibantu daya dorong dari naga
petirnya. Saat Tamon Rah menoleh ke atas, tubuh Vajra yang kini terbungkus
prana dan seakan menyatu dengan Naga
Pancanaka terjun lurus, bagai naga raksasa hendak melahap mangsanya.
Naga petir
menghantam tubuh Rah hingga membuat ceruk baru di lantai pualam itu. Pedang di
tangan si pendekar wanita terlepas, tubuhnya terkapar dan kejang-kejang.
Sebelum lawan
sempat membalas, Vajra berteriak, “Rasakan, Tamon Rah! Ini untuk semua orang
yang telah kaubunuh!” Hantaman pertama tinju petir, variasi jurus Naga Pancanaka menghunjam perut Rah.
Wanita itu mengerang, mencicipi derita semua korbannya.
“Ini untuk
Dyna!” Tinju kedua seakan melesak di dada kiri-atas wanita itu, membuka kembali
luka lama yang ditorehkan Dyna hingga Rah muntah darah.
“Dan ini untuk
BUN!” Bagai mengayun palu, Vajra menghantamkan kedua tinju terakhirnya
bersamaan, tepat di wajah wanita cantik itu.
Raga kasar Tamon
Rah kini luluh-lantak, napasnya terputus. Darah mulai menggenangi ceruk
tempatnya berpulang ini.
Saat melihat health bar yang seluruhnya hitam, tanpa
sedikitpun titik merah di atas wajah remuk wanita berambut merah itu, Vajra
baru menyurut mundur dan menjaga jarak. Pasalnya, health bar-nya sendiri sudah merah seujung kuku dan berkedip-kedip.
Ia lantas jatuh bertekuk lutut, darah segar menyembur dari mulutnya.
Sesaat kemudian,
Vajra terperanjat melihat Tamon Rah sudah berada tepat di hadapannya. Vajra
ingin menyerang lagi, namun seluruh tubuhnya sudah lemas, kehabisan daya dan
prana.
“Terima kasih,
Vajra. Kau telah menyelamatkanku dari ‘penjara’ ini,” ujar Tamon Rah. Heran,
kali ini suaranya lebih lembut dari suara Tamon Ruu. Yang lebih mengejutkan
lagi, ekspresi wajah wanita itu terkesan lembut dan tulus, memancarkan citra
kecantikan yang melebihi grafis ultra
high definition paling halus sekalipun. Ia masih mengenakan pakaian tempur
merah tadi, namun seluruh sosoknya tampak buram, cenderung transparan.
“A-apa
maksudmu?” Wajah Vajra terlalu pucat untuk mengekspresikan kebingungannya.
“Para peretas
itu telah memperbudak diriku lewat kenangan masa laluku yang tersimpan rapat
dalam database ini Alforea ini,” kata
Rah. “Mereka memaksaku melakukan banyak pembunuhan, dari prajurit Alforea, para
peserta turnamen, bahkan juga anak-anak tak berdosa.”
Suara Vajra
makin lemah. “B-bukankah kau memang... Dewi Kemurkaan?”
“Ya, memang
itulah peranku sebagai penguasa segala api di Alforea. Tapi aku selalu
tebang-pilih, bersikap seadil-adilnya sebelum mengayunkan Pedang Api Keadilan
itu.” Tamon Rah menunjuk ke pedang yang tergeletak di lantai, bilah merahnya
tak berkobar lagi.
Rupanya itulah
jati diri Rah yang sebenarnya. Percaya atau tidak, kalaupun ia berbohong, roh
Rah takkan bisa melukai Vajra.
“Siapakah...
yang telah... memperbudakmu? Siapa... mereka?” tanya Vajra.
“Ah, ya,
pertanyaan yang tadi itu,” ujar Rah. “Aku tak ingat nama-nama mereka, bahkan
penampilan mereka. Mereka telah menghapus informasi itu saat menjadikanku cybervirus. Tapi aku masih ingat, salah
seorang dari mereka sering menyebut-nyebut ‘Pengkhianat Klan Nurma’ dengan nada
bermusuhan. Kurasa itu ditujukan pada Hewanurma, Administrator Alforea.”
“Ah, begitu
rupanya.... Terima kasih... untuk petunjukmu ini... Tamon Rah,” kata Vajra.
“Pergilah... dalam damai.”
Tamon Rah
mengulum senyumnya yang terindah dan tercerah. “Sebagai tanda terima kasihku,
terimalah pedangku yang telah disucikan ini. Semoga ini dapat membantumu dalam
misimu membela Alforea.”
Sebelum Vajra
sempat buka suara, Pedang Api Keadilan telah terurai menjadi kode-kode biner
putih dan merasuk ke dalam lambang bintang emas Zirah Antakusuma.
“Oh ya, satu hal
lagi,” ujar roh Rah. “Bila kau bertemu seorang peserta turnamen bernama Bu
Mawar, tolong sampaikan bahwa aku tak pernah bermaksud membunuh anak didiknya,
sekaligus permintaan maafku. Lagipula, semua anak SD Sukatarung yang terbunuh
sudah dihidupkan kembali dan dikembalikan ke tempat asal mereka.”
“Baik, aku akan
menyampaikan pesanmu itu. Dan aku akan membalaskan penderitaanmu pada para
peretas itu.”
Rah menghela
napas lega, segala ganjalan di hatinya terlepas sudah. “Dengan ini, aku akan
menjalani pengasinganku di Bulan Alkima dengan tenteram. Semoga keberuntungan
tetap menyertaimu, Sang Vajra.” Tamon Rah mendekat, lalu mengecup bibir Vajra
dengan lembut dan perlahan.
Dengan perlahan
pula, raga kasar dan roh Tamon Rah terurai menjadi cahaya kode-kode biner
putih, lalu membubung dan keluar lewat langit-langit kaca balairung perpustakaan.
Baru saja Vajra
menyaksikan Tamon Rah lenyap, satu sosok lain muncul sebagai citra bayangan
holografis di hadapannya. Dialah pria yang pernah mendatangi si dalang petir
dengan cara yang sama. Hewanurma, Sang Administrator Alforea.
Pria berjanggut
putih, berambut putih panjang dan mengenakan jas panjang dan kemeja serba putih
itu tak lantas menyambut Vajra. Setelah melayangkan pandangan ke sekelilingnya,
barulah ia bicara. “Wah, ada beberapa data terpenting yang rusak dan terhapus
akibat pertarungan tadi. Tapi untunglah virus ‘dewa’ itu tak sampai menyebar.
Kerja yang bagus, Vajra.”
Vajra mendelik
lemah. Apa yang terjadi dengan kata “terima kasih”? Setidaknya ia sempat
mendengarnya dari roh Tamon Rah tadi.
Hewanurma baru
bereaksi saat tahu Vajra diam saja. Ia menghampiri si dalang petarung, melihat
kondisinya dan baru mengangguk. “Atas nama panitia Battle of Realms, aku berterima kasih padamu, Vajra. Berkat
perjuanganmu, turnamen ini bisa dilanjutkan lagi.”
Vajra
menggeleng. Dengan napas satu-satu, ia berjuang amat keras untuk bicara. “Bukan
hanya aku... tapi juga... Bun... dan Dyna. Tanpa bantuan... mereka... mustahil
kami... bisa membasmi... virus dewa itu....”
“Ah ya, aku akan
menyambut mereka bila mereka juga berhasil lolos nanti. Tapi! Aku tak suka
sikapmu pada si dewi kuda binal itu.”
“Bisa apa lagi
aku... dalam kondisi seperti ini?” Vajra juga tak punya daya lagi untuk
berdebat dengan Hewanurma. Tatapan matanya memelas, seolah memohon agar
dikeluarkan dari tempat ini sebelum mati. “Lagipula.... namanya Tamon Rah.
Walau ia musuh... setidaknya kita bisa... menunjukkan sedikit... rasa hormat.”
Ia lantas menyampaikan petunjuk Rah tadi tentang para peretas database Alforea.
Hewanurma
mendengus. “Huh, apa boleh buat. Sudah kuperingatkan kau, Vajra. Kenali musuh
yang sesungguhnya.”
“Ya... aku masih
ingat itu.”
“Bagus.”
Hewanurma menunjuk ke lantai tempat Vajra masih berlutut seolah-olah sedang
menyembahnya. Sebuah portal gaib berupa lubang hitam terbentuk di sana, dan
tubuh Vajra seakan tenggelam ke dalam portal yang seperti kolam cairan hitam
itu.
==oOo==
“Wah, ternyata
benar kondisi tiap peserta dipulihkan sepenuhnya dalam portal gaib,” kata
Radith sambil melayang bebas melalui jalur penghubung antar ranah ini.
Tak mengenakan
zirah dan identitas Vajra, kini Radith berbincang-bincang dengan ketiga wayang
golek yang melayang bersamanya, saling terhubung dengan jaringan benang petir.
“Benar juga,”
ujar Wayang Gatotkaca. “Kau ‘kan pingsan saat kembali dari Shohr’n, jadi kita
baru memahami ini sekarang.”
“Ngomong-ngomong,
penampilanku dalam pertarungan tadi keren total ‘kan?” Wayang Arjuna merujuk
pada citra bayangannya dalam pertarungan di perpustakaan tadi.
“Ngg... Ya,
keren, keren!” Sebenarnya Radith tak tahu itu karena Arjuna muncul di belakangnya.
Tapi jawaban lain pasti bakal membuat guru yang wujud manusianya setampan dewa
itu merajuk.
Wayang Bima
angkat bicara, “Nah Radith, terus terang tindak-tandukmu tadi membuatku
bertanya-tanya. Karena kau telah dilibatkan dalam konflik di Ranah Alforea ini,
pada siapakah kau akan berpihak? Hewanurma, Tamon Ruu, Tamon Rah atau kelompok
peretas misterius?”
Radith tercenung
sejenak, lalu berkata, “Jujur, aku tak tahu apakah portal ini berujung di
Alforea atau di Yogya. Namun, sesuai ajaran paman-paman Pandawa sekalian, di
manapun bumi yang kupijak nanti, di sanalah langitnya kujunjung. Di sanalah aku
akan terus berjuang, membela bumi itu hingga titik darah penghabisan.”
Kekuatan
yang didapat atau disempurnakan oleh Vajra:
Naga
Pancanaka: Di
Ronde Kedua ini, Jurus Naga Pancanaka sudah
dapat dikerahkan dengan sempurna. Jurus ini sudah dikuasai penuh lewat
pengalaman tarung dan dorongan untuk menguasai penuh kekuatan Perangkat Zirah
Vajra, bukan Vajra yang mengendalikan Radith. Terutama dengan bantuan Bun yang
mengerahkan ilmu Art of Artifice: Buff – Augment
untuk memperbaiki Topeng Pancanaka. Selain gerakan tangan, gerakan tubuh
yang terbungkus prana juga bisa mengendalikan jurus ini, sehingga Vajra bisa
berlari secepat sambaran petir dan melompat amat tinggi, seolah-olah
terbang.
Batasan:
Pengerahan dan pengendalian jurus dengan ayunan tangan dan gerakan tubuh menghabiskan
banyak prana. Juga perlu waktu kira-kira sepuluh detik – tergantung kondisi
tubuh – untuk menghimpun prana tingkat pamungkas sebagai syarat utama
pengerahan jurus ini.
Daftar
Istilah dan Referensi:
Prana:
Prana
adalah nama lain dari tenaga dalam, chi atau chakra. Sumbernya adalah energi
hayati yang terkandung dalam setiap makhluk hidup yang disebut aura, juga
energi kehidupan dari setiap unsur alam sekitar yang disebut mana. Mana diserap
oleh tubuh dan bersama aura diolah menjadi prana. Lalu prana disimpan dalam
aura untuk nantinya dikeluarkan lagi dalam bentuk serangan penghancur, daya
pemulih luka, energi pengganti asupan makanan dan lain sebagainya.
Pandawa
Lima: Para
pahlawan dan protagonis utama dalam Epos Mahabharata karya Walmiki. Mereka
adalah para putra Pandu, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Gatotkaca termasuk dalam Klan Pandawa generasi kedua.
Wayang
Orang: Tak
seperti wayang kulit dan wayang golek, wayang orang adalah manusia-manusia
sungguhan yang memerankan pelbagai tokoh dalam pentas sendratari (sandiwara dan
tarian). Mungkin Radith akan beralih profesi sebagai sutradara wayang orang
setelah BoR ini.