V I
M A N A
Andry Chang
“Cepat lari, ibu,
Raka! Jangan sampai terlanda lahar atau menghirup asap beracun!” seruku.
Repotnya, aku
harus melambatkan lariku agar ibu dan adik laki-lakiku tak tertinggal.
Tentunya, kugandeng tangan mereka berdua agar setidaknya kecepatan lari mereka
tak terpaut jauh lebih lambat daripadaku.
Sesekali, aku
mendengar teriakan pilu di belakangku.
Sesekali, aku
menoleh ke belakang dan melihat satu-dua orang roboh dengan mulut berbusa atau
terjegal lumpur merah membara.
Walau mereka bukan
ibu atau adikku, wajahku meringis menahan pedihnya rasa hatiku.
Suara gelegar
kembali membahana. Itu letusan gunung api susulan.
Tiba-tiba
kurasakan tarikan di tangan kananku. Dengan sigap kulepaskan gandengan tangan
kiriku dengan Raka, lalu melambai sebagai isyarat agar ia terus berlari.
“Kau larilah terus, Thya!” seru ibuku dengan
napas terengah-engah. “Jangan sampai gara-gara ibu, kau dan Raka...!”
Tak sempat
berdebat lagi, kugendong saja ibu di punggungku dan kembali berlari.
“Jangan, Thya!
Turunkan ibu, nanti kau...!”
Aku takkan bisa
memaafkan diriku lagi bila gagal menyelamatkan ibu. Namun yang kutakutkan
adalah, jangan-jangan ibu benar. Napasku mulai terasa sesak dan kaki-kakiku
terasa makin gerah. Salah melangkah atau berhenti, dua nyawa akan langsung
melayang.
Tak ada pilihan,
kupaksakan diriku mengerahkan lebih banyak tenaga untuk berlari lebih cepat
lagi. Apapun tak kuperhatikan lagi.
Aku baru bisa
bernapas lega saat lahar dan kabut tak lagi menjangkau kami. Namun, itupun
setelah aku tersadar dari kelelahan yang jauh melampaui ambang batas manusiawi.
“Ah, syukurlah
kakak kembali pada kami.” Wajah Raka yang pucat kembali merona oleh semangat
baru. “Andai kakak tak bangun lagi selamanya, kami...”
Kusela dia dengan
suara yang masih lemah. “Kaulah yang akan menjaga ibu dan bertahan hidup. Pria
Negeri Dwipala pantang mengeluh, apalagi menitikkan air mata! Kulit kita memang
sawo matang, tapi darah kita tetap sama-sama merah dengan manusia paling
perkasa sekalipun!”
Raka hanya
tertunduk dan mengangguk. Walau mulai beranjak remaja, ia masih saja bersikap
bagai bocah. Agak beda dengan diriku, gadis yang hanya tiga tahun lebih tua
darinya. Aku harus jadi pengganti ayahku yang gugur dalam perang sebagai tulang
punggung keluargaku ini.
“Tapi bagaimana
kita akan melanjutkan hidup? Yang kita punya sekarang tinggal pakaian yang
tersandang di badan. Apa kita akan kembali lagi ke desa kita yang telah hancur
itu?” tanya ibu.
Aku menggeleng.
“Apa kita harus
pindah ke daerah lain di Dwipala yang jauh dari gunung api, jauh dari resiko
mendapat giliran kena bencana tahunan?”
“Daerah-daerah itu
sudah padat penduduk,” kataku. “Kalaupun kita membuka lahan baru, kita harus
membabat hutan dan menghadapi ancaman bencana-bencana lain, yaitu banjir dan
tanah longsor. Doa-doa dan korban bakaran kita untuk Dewi Air, Ranaya ternyata
tak cukup untuk meredam bencana kali ini, sehingga kitalah yang jadi korban
akibat dosa-dosa warga negeri kita!”
Raut frustrasi
Raka tergurat nyata di parasnya. “Lantas kita harus tinggal di mana?”
Aku terdiam cukup
lama. Lalu kujentikkan jariku. “Oh ya, aku baru ingat. Aku pernah mendengar
tentang Voltuscant, sebuah benua tepat di titik tengah dunia kita, Vyrath. Itu
adalah benua kecil yang seluruh wilayahnya adalah sebuah kota.”
Raka mendelik
bingung. “Vol-tus-cant?”
“Ya. Konon, berkat
teknologi teramat canggih yang diajarkan Dewa Petir, Ohmae, bencana khas
Voltuscant yaitu hujan halilintar selalu bisa diredam oleh penangkal-penangkal
petir yang bertebaran di setiap sudut. Tak ada jalan lain, hanya di
Voltuscantlah kita bisa hidup lebih tenang, bebas dari ancaman bencana.”
==oOo==
Mudah saja menebak
hasil akhir perbincangan kami setelah letusan gunung api di Dwipala itu.
Dengan menumpang
kapal pengungsi, aku, ibu dan Raka merantau ke Voltuscant.
Ternyata,
teknologi di Dwipala dan ketujuh benua lainnya di Dunia Vyrath masih sebatas
pedang dan panah dibanding pistol laser di Voltuscant.
Voltuscant sudah
maju terlalu jauh berabad-abad dari masanya. Apalah daya kami, pendatang dari
negeri kuda-gigit-besi ini untuk hidup layak di negeri ini?
Yang tersisa untuk
kami hanyalah kerja kasar. Ibu berkeliling menjajakan masakan tradisional khas
Dwipala, sementara aku dan Raka membantunya sambil belajar demi hidup yang
lebih layak.
Aku sadar, berjualan
makanan saja akan menumpulkan ilmu tenaga dalam dan kecepatan yang telah kuasah
lewat perguruan silat di Dwipala. Jadi, kapanpun ada kesempatan selepas kerja
dan belajar, aku selalu menyisihkan, kalau perlu mencuri waktu untuk berlatih
lari dan ilmu beladiri.
Kurasa kebanyakan
orang lain berpikiran sama denganku. Orang-orang yang sudah tak tahan lagi
didera bencana di keenam benua lain di Vyrath lebih memilih memadati
distrik-distrik pinggiran yang kumuh. Akibatnya, rumah-rumah dibangun
bertumpuk-tumpuk dan amat padat, disangga tiang-tiang pancang baja dan
menjulang hingga menutupi langit.
Nah, itulah caraku
berlatih, yaitu dengan mendaki tumpukan-tumpukan rumah itu sampai ke puncak.
Jadi, perasaanku baru lega saat aku menatap lagit berbintang atau matahari
terbit di puncak ‘rak baja raksasa’ yang ternyata adalah menara penangkal petir
ini.
Tak hanya itu, aku
selalu melayangkan pandangan ke hutan gedung pencakar langit di Distrik Pusat
di kejauhan. Setiap kali itu pula, aku jadi makin ingin tahu ada apa di Distrik
Pusat itu, walaupun kami dari distrik-distrik pinggiran jelas-jelas dilarang
masuk ke sana.
Hasrat yang jadi
terlalu kuat itu akhirnya mendorongku untuk mencoba menyusup ke distrik pusat.
Namun, tentu saja penjagaan yang amat ketat dengan dukungan sistem keamanan dan
persenjataan canggih memupus niatku itu seketika. Keluargaku jelas jauh lebih
penting daripada ‘rencana wisata gila’-ku itu.
Suatu hari, dalam
perjalanan pulang setelah daganganku habis terjual, aku mendengar suara-suara
teriakan dari sebuah gang buntu. Tanpa pikir panjang aku bergegas ke gang itu
dan melihat seorang pria muda yang tengah dikeroyok oleh sedikitnya lima orang
pria.
Pria itu tampak
memar-memar dan berdarah-darah. Siapapun yang melihat itu pasti menduga ini
aksi perampokan dan si pria malang adalah korbannya, lalu lari mencari selamat.
Bedanya, hanya aku
yang cukup berani maju. Tanpa peringatan, aku melesat bagai bayangan dan
memberondong salah seorang pengeroyok dengan tendangan dan pukulan. Ditambah
satu hantaman telak di tengkuk, si perampok kubuat terkapar dan bergeming di
tanah.
Tentu saja keempat
penjahat lainnya sontak menoleh ke arahku. Si pemimpin berseru, “Beraninya kau
ikut campur, gadis kecil! Kalian berdua, beri dia pelajaran selagi kami
mengurus yang satu itu!”
Tak perlu diajari
lagi, aku lantas berkelit kesana-kemari bagai belut. Gada dan tinju kedua
lawanku itu hanya menerpa udara. Melihat pertahanan mereka terbuka lebar, aku
melompat sambil menendang kepala lawan pertama. Lalu aku mendarat dan
mendaratkan tendangan kedua di perut si lawan kedua.
“Kurang ajar!”
Kedua penjahat yang terkena serangan itu jadi kalap. Salah satu dari mereka
bahkan meninju perutku saat posisi berdiriku belum seimbang betul.
Giliran diriku
yang terpental dan roboh. Aku cepat-cepat bangkit, namun kali ini aku hanya
berdiri siaga. Para lawan ini bukan bandit-bandit kampung yang biasa jadi
sasaran latihanku.
Para ‘penjahat’
kali ini malah terkesan jauh lebih berdisiplin, serangan emreka tampak rapi
bagai sedang berbaris. Kini, kelima insan itu mendadak mundur teratur dan
kembali membentuk barisan formasi tempur.
Aku terkesiap.
Ternyata mereka bukan penjahat, melainkan prajurit yang menyamar.
Si komandan regu
tampak babak-belur. Ia berseru, “Makan kapsulnya!”
Dengan sigap dan
segera, kelima prajurit itu mengeluarkan masing-masing sebuah kapsul, lalu
langsung menelannya sebelum siapapun bisa mencegah mereka. Mereka lalu
berteriak kesakitan.
Semua mata mereka
membesar, hidung menyusut. Wajah mereka jadi memanjang akibat rahang yang
membesar. Mulut merekapun berubah amat lebar. Saat menyeringai, tampak deretan
taring pengganti gigi. Tangan-tangan merekapun berubah menjadi
tentakel-tentakel yang jadi sepanjang cambuk, melecut kesana-kemari menebar ancaman.
Si pria berambut
pirang itu meneriakkan peringatan, “Awas! Mereka itu nef’ragh! Jangan lawan
mereka dari jarak dekat!”
“Nef-apa?” Aku
mendelik, tak pernah mendengar tentang makhluk itu sebelumnya. Apa itu semacam
monster dari dunia lain?
Tak sempat lagi
bicara apapun, aku berkelit dari lecutan tentakel salah satu nef’ragh itu.
Namun tentakel nef’ragh kedua menghantam perutku, membuatku terpelanting dan
membentur dinding.
Semua nef’ragh beralih
menyerang si pria pirang dulu yang adalah sasaran utama. Namun pria itu malah
menyeringai. Giliran pistol lasernya menyalak, memuntahkan larik-larik sinar
tajam yang menerpa kelima lawan.
Sedikitnya tiga
nef’ragh tumbang seketika. Satu berdiri di tempat dengan tubuh berdarah-darah
yang adalah lendir hijau. Nef’ragh kelima yang paling kuat, yang adalah si
pemimpin regu masih terus merangsek maju dengan ganasnya. Satu tembakan lagi di
bahu tak menghentikannya dan si pria pirang sudah masuk jarak serangan
tentakel.
Aku yang baru
pulih melompat dan menendang kepala nef’ragh itu keras-keras. Namun si monster
hanya terdorong ke samping, lalu berdiri tegak lagi. Secara naluriah ia membuka
rahangnya lebar-lebar, hendak menggigitku dengan deretan taringnya yang
mengerikan.
“Baguslah kau
ganas seperti hewan.” Si pria pirang tiba-tiba muncul dan menempelkan ujung
laras pistolnya di pelipis si nef’ragh, lalu menembak. Teriring raungan pilu,
nef’ragh itu terkapar dengan otak berantakan.
Nef’ragh yang
terpaku tadi berbalik hendak lari terdorong naluri. Namun selarik sinar laser
menghentikan langkahnya untuk selamanya.
“Heh, salah
sendiri. Karena mereka berubah wujud, aku jadi tak menahan diri lagi untuk
menggunakan pistolku,” kata si pemuda sambil menyarungkan kembali senjata
andalannya itu. Ia lalu menghadapkan wajah tampannya padaku sambil tersenyum
penuh pesona, membuat pipiku merona. “Oh ya, terima kasih ya. Berkat
pertolonganmu, musuh jadi mengungkapkan wujud mereka yang sebenarnya.”
Aku terperangah.
“A-apa...? Jadi wujud manusia mereka itu hanya samaran saja?”
“Gawatnya begitu.
Kalau mereka itu manusia biasa dan tak main keroyokan, mungkin aku bisa
mengalahkan mereka tanpa pistol. Oh ya, namaku Laz. Boleh aku tahu namamu?”
“T-Thya,” jawabku.
Untung namaku pendek jadi kedengarannya tak terlalu gagap. “A-apa kau ini...
dari Distrik Pusat? Memang, kami dari Distrik Pinggir dilarang memiliki atau
menggunakan senjata canggih, tapi bukan tak mungkin ada dari kami yang...”
“Menggunakannya
secara ilegal, ya,” sela Laz. “Tapi kebetulan aku memang warga Pusat.”
“Lho, mengapa kau
malah ke daerah ini?”
“Ceritanya panjang
dan aku...” Laz tiba-tiba jatuh berlutut. Rupanya luka-luka yang ia dapat saat
dikeroyok tadi mulai terasa lagi.
Melihat itu, aku
cepat-cepat memapah Laz. “Lanjutkan di rumahku saja,” kataku.
Laz hanya membalas
dengan senyum dan tatapan lemah. Namun itu saja sudah cukup membuat hatiku
berbunga-bunga.
==oOo==
Dengan sigap, ibu dan Raka merawat luka-lukaku
dan Laz. Mata mereka tak henti-hentinya menatap was-was pada pria yang beda ras
dengan kami itu.
Entah karena segan
atau percaya padaku, kata-kata protes ataupun teguran hanya mendekam di balik
jeruji pola pikir keduanya.
Hebatnya, khasiat
jamu Dwipala racikan ibu sungguh manjur. Keesokan paginya, aku dan Laz bangun
dengan wajah merona dan luka-luka memar kami berangsur-angsur pulih.
Sambil kami semua
menikmati sarapan sederhana nan penuh cita rasa, kubuka perbincangan dengan
Laz. “Nah, tolong jelaskan pada kami siapa dirimu dan mengapa orang Distrik
Pusat sepertimu ada di daerah pinggiran ini.”
Laz berdehem. “Oh
ya, sebelumnya terima kasih sudah memulihkan luka-lukaku. Namaku Laz Bolstrom
dan aku adalah salah satu orang yang terpilih untuk Vimana.”
“Vimana? Apa itu?”
tanya Raka.
“Vimana adalah
sebuah wahana raksasa yang dapat mengarungi antariksa.”
Giliran ibu
bertanya, “Apa itu antariksa? Apa tempat itu ada di luar... Vyrath, dunia
kita?”
Laz mengangguk.
Aku, ibu dan Raka
ternganga. Mimpipun kami takkan bisa membayangkan perkembangan teknologi di
Voltuscant bisa sampai sejauh itu.
Namun aku jelas
harus menanyakan satu hal vital, “Mengapa meninggalkan Vyrath?”
Laz tercekat,
seolah baru kelepasan bicara. Namun karena sudah telanjur, ia menghela napas
dan balik bertanya, “Apa alasan kalian merantau ke Voltuscant?”
Tanpa ragu
kuceritakan pada Laz tentang bencana di Dwipala dan alasanku memilih hijrah ke
Voltuscant dibanding ke daerah-daerah atau benua-benua lainnya.
“Alasanmu sama
saja dengan alasan kebanyakan orang, termasuk aku,” tanggap Laz. “Aku, ayah dan
ibuku adalah pengungsi dari Benua Aztache. Kami kehilangan kakakku serta segala
harta benda dalam bencana khas, yaitu badai tornado. Namun aku diberkahi
kejeniusan, sehingga hanya aku sendiri yang diizinkan tinggal di Distrik
Pusat.”
“Lalu, apa yang
terjadi?” tanya ibu.
“Dua minggu yang
lalu, aku mendapat kabar bahwa aku terpilih untuk ikut sebagai awak Wahana
Vimana. Tentunya aku ingin memboyong keluargaku pula, tapi itu pasti dilarang.
Aku berniat menyelundupkan mereka ke dalam wahana, jadi aku nekad ke distrik
ini. Sayang, aku baru memastikan ayah-ibuku telah berpulang akibat wabah
penyakit. Saat hendak kembali ke Pusat, aku dikeroyok lima prajurit nef’ragh
itu.”
Aku mengangguk,
lalu kembali berujar, “Pertanyaanku tadi belum kaujawab, Laz. Mengapa kalian
hendak meninggalkan Vyrath dengan Wahana Vimana?”
Laz menatap lurus
ke arahku. “Perlu kalian tahu, dunia kita, Vyrath akan segera berakhir.”
“M-maksudmu...
kiamat?” Wajahku pucat-pasi seketika.
“Ya. Imam Agung
N’beru yang menubuatkannya berdasarkan wahyu dari Ohmae. Sejak awal tercipta,
Vyrath adalah planet yang tidak stabil. Bencana khas datang silih-berganti di
tujuh benua, di tujuh musim dalam setahun.”
Oh ya, pantas saja
musim-musim yang kukenal dinamai berdasarkan bencana-bencana khas itu. Musim
api, banjir, gempa, badai, halilintar, kegelapan dan cahaya.
Aku menyela,
“Namun adanya kehidupan di sini membuat Sang Sumber Maha Pencipta memelihara
Vyrath. Ia bahkan mengangkat Tujuh Dewa Agung untuk menjaga kestabilannya.”
“Benar, Thya. Tapi
akan datang satu hari di mana ketujuh bencana itu akan terjadi bersamaan di
seluruh dunia, sehingga planet ini meledak dan hancur berkeping-keping. Dan
hari itu akan datang sebentar lagi, tepatnya... lusa.”
Kami bertiga terlalu
terpaku untuk berkata-kata.
Baru akhirnya aku
buka mulut. “B-bagaimana bisa... aku tak tahu itu...?”
Rakapun berujar,
“Tidakkah seharusnya dunia kita baik-baik saja dalam penjagaan ketujuh dewa? Kalaupun
ada nubuat tentang kiamat, tidakkah seharusnya seluruh dunia tahu tentang itu?”
“Teknologi yang
sudah dikembangkan sampai saat ini dan bercampur dengan sihir hanya mampu
menghasilkan satu wahana, Vimana. Kapasitasnya dua ribu penumpang beserta
awaknya,” kata Laz. “Aku baru tahu tentang rahasia besar itu setelah wahana itu
rampung dan aku terpilih.”
“Jadi Voltuscant
terpaksa merahasiakan tentang kiamat ini. Mereka hanya memilih dua ribu insan
terbaik untuk diselamatkan dari kiamat, sekaligus mencari dunia baru untuk
tempat tinggal.” Itu kesimpulan dariku.
“Dua ribu yang
terbaik, bukan yang berhati baik,” sergah ibuku dengan ketus.
“Sayangnya
begitu,” kata Laz. “Bahkan penyembah dewa paling taatpun belum tentu terpilih.”
Rasa muak pada
Vimana membuat perutku terasa mulas.
Aku lantas bangkit
dan berdiri membelakangi ibu, Raka dan Laz.
Tanpa menoleh
apalagi berbalik, kuungkapkan keputusanku. “Aku ingin kita semua menyusup ke
Distrik Pusat dan jadi penumpang gelap Vimana.”
Giliran Laz
terperangah. “Tapi, Vimana takkan dapat menampung...”
“Oh, maksudku
hanya aku, kau, ibu dan Raka saja. Kelebihan dua-tiga orang takkan membuat
Vimana tak bisa mengudara, ‘kan?”
Laz hanya
mengangkat bahu. Mau bilang apa, ia memang hutang nyawa padaku.
==oOo==
Di hari yang
sama...
Hanya mentari yang
sudah tegak-lurus di atas kepala saja yang tak terhalang oleh tembok raksasa
setinggi lima puluh meter dan terbentang sejauh mata memandang.
Jangan tertipu
oleh suasana serba sepi di perbatasan antara Distrik Pusat dan distrik-distrik
pinggiran ini. Di balik lubang-lubang jendela sempit sepanjang tembok kelabu
kusam itu ada senjata-senjata canggih yang mampu menembak penyusup di jarak
satu kilometer.
Namun kali ini
hatiku tak lantas ciut di dekat ‘penjaga tangguh’ itu. Mengenakan pakaian
terbaik, dengan wajah-wajah tegang kami berhadapan muka dengan para prajurit
jaga.
“Tak usah takut.
Mustahil nef’ragh dijadikan prajurit jaga biasa,” kata Laz. Hanya ialah yang
berwajah tak tegang dan gerak-geriknya masih cukup luwes dan santai di kelompok
ini.
Salah seorang
penjaga menegur, “Tahan! Tunjukkan tato kalian!”
Secara bergiliran
Laz, aku, ibu dan Raka menghadapkan dahi masing-masing pada perangkat pemindai.
Berpendarlah pola sinar yang identik di dahi kami masing-masing, bentuknya
seperti huruf V yang tampak seperti sepasang sayap.
Rupanya Laz si
jenius telah mempersiapkan segalanya, termasuk perangkat pembuat tato dahi.
Untunglah alat sebesar ikat kepala itu tak rusak dalam pertarungan kemarin.
“Baiklah, silakan
melintas,” ujar si petugas itu.
Kami berempat
melenggang ke sisi lain tembok.
Namun jantungku
terus berdegup. Pasalnya, aku teringat peringatan dari Laz sebelum kami
berangkat. “Hati-hati. Jangan lega dulu setelah melewati penjaga perbatasan. Bisa
jadi ada prajurit yang mengenaliku saat menyusup ke distrik pinggiran. Begitu
ada peringatan, kalian harus lari untuk menghindari hujan tembakan.”
Benar kata Laz.
Saat kami baru mencapai kira-kira dua ratus meter, suara lonceng tanda bahaya
membahana. Maka, kami mulai berlari dan meriam di tembokpun mulai ditembakkan.
Satu tembakan
meriam menghantam tanah dekat kakiku, namun imbasnya membuatku jatuh tersuruk
di tanah. Aku cepat-cepat bangkit lagi sambil meringis menahan nyeri.
Anehnya, tak ada
awan, angin dan hujan, dari langit petir menyambar tepat mengenai tubuhku. Aku
kejang-kejang dan berteriak kesakitan, sementara daya petir itu menjalari
seluruh tubuhku.
“Thya!” Ibu dan
Raka berteriak nyaris bersamaan. Raka hendak menghampiriku, tapi Laz pasang
badan menghalanginya.
“Demi Dewi Ranaya,
tidaak...!” Ibu yang sudah putus asa hendak tetap ada di samping diriku yang
sedang sekarat ini, namun Raka dan Laz menariknya hingga ikut berlari bersama
mereka. Namun itu jelas kesalahan besar. Tiga orang bersamaan di satu posisi
dan bergerak lamban pasti bakal jadi sasaran empuk rentetan tembakan laser.
Seolah membenarkan
ketakutanku, selarik besar cahaya melesat dari tembok dan tepat mengarah ke
Raka, Laz dan ibu. Entah naluri atau sebentuk kekuatan misterius menggerakkan
semua kaki dan tubuhku hingga melesat bagai dan secepat halilintar sungguhan. Dengan
refleks pula aku berbalik dan pasang badan, tanganku terulur lurus tepat ke
arah larik laser besar itu.
Aku tercengang.
Dengan satu entakan tenaga dalamku, larik laser itu terhenti seketika di udara.
Tak hanya aku
saja, mereka yang beserta denganku lebih tercengang lagi.
Tak ada waktu lagi
untuk mencari tahu apa yang terjadi pada diriku ini. Sedikitnya tiga larik
laser lainnya menerpa ke arahku dan secara refleks kutahan pula. Rasa nyeri di
kedua tanganku seolah memberi peringatan bahwa aku tak bisa terus menahan semua
itu terlalu lama. Akalku terbit, mungkin aku bisa membelokkan tembakan-tembakan
itu ke tanah atau ke...
Kucoba dengan
mengibaskan tanganku sekuat tenaga. Ajaib, keempat larik laser itu terpental
balik tepat ke arah tempat larik-larik itu ditembakkan. Tiga ledakan dahsyat di
tembok perbatasan membuatku menyadari sesuatu. Ohmae bukan hendak membunuhku,
melainkan merestui niat kami berempat dengan menganugerahiku kesaktian dewata
yang serupa dengannya. Itu adalah prana untuk menghambat energi listrik, laser
atau semacamnya, bahkan memantulkannya kembali.
“Ayo, Thya! Kita
harus terus lari!” seru Laz.
Kali ini akurasi
tembakan dari meriam-meriam laser lain yang tidak hancur berkurang. Sebab yang
pasti adalah jarak para sasaran itu makin jauh, nyaris melewati ambang batas
jarak tembakan efektif meriam yaitu satu kilometer. Tembakan-tembakan lambung
yang menyusul setelahnya makin mudah kami hindari. Aku sendiri menangkis dan
mementalkan dua-tiga tembakan lagi.
Seperti halnya
saat menyelamatkan diri dari letusan gunung api di Dwipala dulu, aku baru bisa
bernapas lega saat kami telah mencapai daerah yang penuh pepohonan dan bangunan.
Dengan demikian, kami terlindung dari tembakan meriam laser dan bisa
bersembunyi dari kejaran pasukan penjaga perbatasan.
Sebagai warga
Distrik Pinggiran, penampilan kami jadi terkesan lusuh di Distrik Pusat ini.
Apalagi luka-luka baru kami pasti bakal memancing kecurigaan warga. Maka Laz
membelikan kami pakaian yang pantas di toko pertama yang kami temukan.
Kami keluar dari
sana dengan penampilan seperti warga terhormat. Hanya aku saja yang memilih pakaian
ketat yang mengikuti lekuk-lekuk tubuhku supaya bisa bergerak bebas.
“Kau sungguh
cantik dengan pakaian itu, Thya. Tapi kurasa aku lebih suka pakaian tradisional
yang kaukenakan saat pertemuan pertama kita kemarin.” Pengakuan Laz itu tak
ayal membuat wajahku memerah bagai tomat. Aku cepat-cepat berpaling dari Laz
agar ia tak melihatnya.
Aku baru menoleh
kembali pada Laz saat ia mengayunkan tangannya dan berkata, “Ayo, kita harus
cepat menyusup ke lokasi peluncuran Vimana sebelum terlambat.”
==oOo==
Suara debar
jantungku seakan lebih keras daripada langkah kakiku kini.
Teknologi
Voltuscant yang dikembangkan terburu-buru dan bercampur sihir menyisakan banyak
kelemahan pada sistem keamanan di lokasi peluncuran wahana.
Karena itulah, Laz
yang jenius berhasil menemukan jalan masuk rahasia dan mengakali alat pemindai
di pintu. Lalu kami masuk tanpa terdeteksi sama sekali.
Namun, tetap saja
kami harus berhati-hati dengan para penjaga. Karena kami sudah berada dekat
dengan tempat peluncuran Vimana dan penampilan kami rapi-jali, para penjaga itu
mengira kami adalah calon-calon penumpang Vimana yang terpilih.
Terdengarlah suara
berkumandang ke seluruh fasilitas itu. “Peluncuran Vimana, tiga puluh menit
lagi.” Debar jantungku jadi makin keras.
Dekat pintu menuju
hangar, Laz berbisik pada kami, “Nah, di titik inilah bahaya dimulai. Bila ada
prajurit nef’ragh yang mengenaliku di dalam sana, kita harus cepat lari!”
Aku mengangguk dan
berjalan di belakang rombongan.
Hangar merangkap
tempat peluncuran Vimana adalah sebuah ruangan beratap kubah yang lebih luas
daripada lapangan atau ruang tertutup apapun yang pernah kulihat. Tentunya yang
paling menarik perhatianku adalah sebuah benda bundar bagai piring terbang di
kejauhan, yang kuyakini adalah wahana raksasa, Vimana. Andai kulihat dari jarak
lebih dekat, aku pasti akan mengira wahana ruang angkasa itu adalah sebuah
istana, bahkan kota terbang.
Itulah tujuan
kami, satu-satunya wahana keselamatan kami.
Seruan seorang
prajurit jaga berkumandang di belakangku, “Hei, tunggu! Itu Laz si buronan!
Tangkap dia dan kelompoknya!”
Bahkan ibu yang
larinya paling lamban di antara kami berempatpun mampu setidaknya tak
tertinggal di belakang rombongan. Mungkin karena beliau telah cukup ‘terlatih’
setelah beberapa kali melarikan diri atau murni karena ketakutan.
“Berhenti kalian!
Menyerahlah!” seru para penjaga yang melihat kami, tapi tentu saja kami tak
menggubris peringatan itu. Jadi, yang menyalak selanjutnya adalah pistol-pistol
laser.
Saatnya
kutunjukkan kebolehanku. Dengan langkah-langkah secepat halilintar, kudekati
penjaga terdekat. Dengan satu sikutan di dagu, kulumpuhkan pria itu dan kurebut
pistolnya.
Selarik sinar
laser nyaris menembus tubuhku. Kubalas tembakan itu dengan bidikan yang lebih
cepat dan akurat, membuat ledakan di sebuah perangkat sehingga prajurit di
sampingnya terpental.
Hujan laser
memaksaku terus berlari kesana-kemari. Parahnya, yang paling tak kuperhatikan
adalah prajurit di depan jalur perjalananku yang telah mengacungkan pistolnya
hendak menembak. Lazpun sedang sibuk menembaki prajurit-prajurit lain sehingga
tak memperhatikan itu pula.
Mengerahkan
segenap keberaniannya, tiba-tiba Raka menyeruak maju untuk melindungi ibu. Si
prajurit yang ternyata sedang membidik Laz itu tak menduga serangan yang datang
dari samping itu, hingga satu tinju keras menghantam pipinya. Rasa sakit tak
tertahankan di telapak tangan Raka terbayar oleh satu pistol yang berhasil ia
rampas.
Walau belum pernah
menggunakan senjata itu, Raka ternyata cukup paham untuk membidik dengan satu
tangan lurus memegang pistol dan disangga dengan tangan satunya lagi agar
bidikan tak melenceng. Setidaknya satu dari lima tembakannya cukup terarah ke
sasaran.
Menyaksikan itu
semua, kuacungkan jempol ke arah Raka dan dibalas dengan senyum bangga si
remaja pria itu. Kembali aku berkelit dari beberapa tembakan lagi dan membalas
dengan berondongan yang akurat. Setidaknya tiga prajurit tumbang akibat aksiku
saja.
Baru saja
kusadari, kini wujud keperakan berkilap Vimana nyaris sepenuhnya menutupi pandangan
mataku. Kecuali ada ruang kosong di bagian bawah wahana itu yang adalah sebuah
lubang yang amat besar dan amat dalam.
Vimana sendiri
disangga di atas empat tiang amat raksasa dan amat tebal. Sekarang, tinggal
satu tangga yang masih terjulur turun. Entah sudah berapa menit kami berlari
dan bertarung hingga tiba di anjungan keberangkatan ini. Setiap saat tangga itu
bakal ditarik ke dalam wahana. Terpaksa kami harus berkelit dan menembak para
prajurit penjaga anjungan itu untuk memastikan tak ada musuh lagi yang dapat
menghalangi kami memasuki wahana.
Tiba-tiba sesuatu
membuatku berteriak, “Tangganya mulai ditarik! Raka, bawa ibu naik ke wahana!
Aku dan Laz akan melindungi kalian di sini, lalu menyusul!”
Raka hendak
protes, namun ia lantas menaikkan ibu di tangga miring itu. Raka sendiri
setengah melompat dan baru berhasil menjejakkan kaki di anak tangga paling
bawah.
Giliran aku yang
melompat lebih tinggi dan berhasil menjejak dan merengkuh anak dan pegangan
tangga.
Giliran Laz tiba,
tapi anehnya ia malah berbalik ke arah yang berlawanan dengan tangga. Melihat
itu, aku ikut berbalik dan berseru, “Laz, cepat naik!”
Namun Laz tak
menjawab. Ia malah mengacungkan pistol ke depan.
Sekilas kulihat
pula ke arah yang dihadapi Laz. Benar saja, sepasukan besar prajurit Distrik
Pusat Voltuscant berbondong-bondong tiba di anjungan keberangkatan dan
mengepungnya.
Mengapa harus
sebanyak itu? Apakah mereka sebenarnya mengincar diriku karena kekuatan Ohmae
yang baru kudapat ini? Lantas Laz pasang badan agar aku bisa memasuki Vimana?
Mendadak, hujan
sinar laser kembali menerpa. Ibu dan Raka terhindar dari berondongan itu karena
mereka sudah berada di ambang pintu Vimana.
Namun, salah satu
larik tembakan itu menyerempet pinggangku. Keseimbanganku sirna, sehingga aku
terjatuh dari tangga.
“Thya! Kakak!”
Terdengar suara teriakan histeris ibu dan Raka.
Lebih parahnya,
aku terjun bebas ke dalam lubang raksasa tak berdasar di bawah sana.
Ajaibnya, aku
malah masih cukup sadar dan cukup bertenaga, sehingga tanganku sempat memegang
semacam gagang besi di tepian lubang itu. Lebih ajaib lagi, lukaku tak terasa
terlalu nyeri dan tak banyak berdarah. Maka, kukerahkan tenagaku memanjat
jaringan besi di dinding lubang raksasa itu sampai di lantai anjungan, tempat
yang aman.
Belum sempat aku
menghela napas lega, pemandangan di depanku membuatku terkesiap. Tampak Laz
sedang bergerak secepat kilat sama sepertiku, menghindari tembakan dan balas
menembak. Setidaknya dua dari lima tembakannya tepat ke sasaran. Satu per satu,
para prajurit terkapar di tempat. Tak kusangka Laz lebih lincah daripadaku.
Aksinya menghadapi pasukan besar itu sendirian bagaikan... dewa.
Saat itu pula
kudengar seruan lantang. “Hentikan tembakan!”
Satu perintah itu
membuat hujan tembakan berhenti nyaris seketika.
Lazpun berhenti
berlari, napasnya kini memburu.
Perhatianku
seketika tersita oleh seorang wanita berkulit hitam yang maju ke depan barisan
prajurit, lalu berdiri dengan penuh gaya. Ia mengenakan gaun panjang serba
putih. Lekuk dan kerutan di wajahnya meyiratkan kematangan usia, namun justru
tubuhnya tampak tegap dan cukup berotot bagai hasil binaraga.
Laz tersenyum
sinis pada wanita itu. “Wah, wah, Imam Agung N’beru sendiri menemui aku yang
bukan siapa-siapa ini. Sungguh suatu kehormatan.”
“Justru
sebaliknya,” kata N’beru dengan suara dibuat-buat. “Aku sengaja ke anjungan ini
untuk menemuimu, wahai titisan dewata.”
Dua kata terakhir itu
membuat detak jantungku seolah terhenti. Mataku menyorot ke arah Laz, menuntut
penjelasan.
Seolah ingin
membungkam N’beru, Laz melesatkan beberapa tembakan dalam setarikan napas.
N’beru menahan larik-larik laser itu dengan lapisan energi pelindung tubuhnya.
“Kau tak pernah
mau belajar.” N’beru membusungkan dada. “Kuberi kau kesempatan hidup dengan
menjadi ‘tawanan’ di Vimana, tapi kau malah melarikan diri ke Distrik Pinggiran
dan kembali kemari dengan membawa tiga penumpang gelap saja. Apa sebenarnya
maksudmu, hah?”
“Sejak awal aku hanya ingin menghadapimu saja,
pengkhianat!” bentak Laz. “Untunglah Thya menolongku saat aku dikeroyok
nef’ragh. Jadi aku menawarinya kesempatan untuk menumpang Vimana sebagai
imbalannya.”
“Tapi, coba kau lihat.
Gadis itu tak ikut menumpang Vimana dan malah ada di dekatmu. Sekarang, kalian
berdua akan mati sia-sia di tempat ini.”
“Kurasa tidak,”
kata Laz. “Lihat perutmu.”
Si pendeta wanita
mengerutkan dahi, lalu melihat dan meraba perutnya sendiri. Dari sekian banyak
tembakan Laz, ternyata satu larik laser menembus medan pelindung dan menghunjam
perut N’beru. Ironis sekali, sekarat karena satu tembakan tepat di titik lemah
saja.
Mesin Vimana mulai
meraung.
“Menyebalkan!”
rutuk N’beru. “Terpaksa kami menunjukkan jati diri yang sebenarnya! Semua
nef’ragh, berubah wujud!”
Hampir serempak,
sejumlah prajurit menelan kapsul khusus. Wujud manusia mereka berubah menjadi
makhluk bertaring banyak dan bertentakel besar-besar.
Aku terkesiap,
ternyata sebagian kecil dari seluruh pasukan ini adalah nef’ragh yang bisa
beralihrupa menjadi manusia.
N’beru berseru,
“Habisi semua yang bukan nef’ragh dan lindungi aku!”
Paham betul
perintah N’beru, para nef’ragh menyerang aku, Laz dan para prajurit lain.
Meskipun berjumlah lebih banyak, para prajurit manusia kewalahan menghadapi
kebuasan nef’ragh-nef’ragh yang masing-masing bertubuh sebesar beruang itu.
Aku mulai berlari
ke arah pertarungan. Setiap tembakan kupicu dengan hati-hati, jangan sampai
mengenai prajurit asli. Hanya satu sasaranku, yaitu N’beru.
Anjungan mulai
bergetar, tanda ‘pemanasan’ mesin Vimana hampir rampung.
N’beru lantas
bergerak-gerak tak wajar seperti kesurupan. Wujudnya berubah dan meraksasa.
Wujud akhirnya adalah nef’ragh yang empat kali lebih besar daripada semua
sesamanya. Bedanya, ia memiliki enam tentakel yang lebih besar dan panjang dan
bagian bawah tubuhnya yang jadi seperti tubuh ular naga.
Teringat olehku
kata-kata Laz. Itu pasti ratu nef’ragh yang bernama Nef’erti.
Tanpa peringatan,
keenam tentakel Nef’erti melecut membabi-buta, menewaskan kawan dan lawan. Ia
lantas menyeruak, menyasar Laz.
Kutembakkan pistol
laser ‘berbaterai’ kristal gaib ke arah Nef’erti. Saat dayanya habis, kupungut
dua pistol lain di lantai anjungan dan menembak lagi. Gilanya, semua tembakan
itu jadi seperti penggaruk gatal saja bagi si ratu nef’ragh.
Saat bergabung
dengan Laz, ia melihat raut frustrasiku dan berseru, “Bidik matanya! Bila ia
menembakkan energi, lawan dengan daya penghambat petir milikmu!”
Aku mengangguk dan
kami berpencar. Nef’erti menoleh ke kanan-kiri, lalu menerjang ke arahku.
Berkat gerakan amat lincah, aku berhasil berkelit dari rahang raksasa yang
hendak melumatku. Namun punggungku tertempel di salah satu tentakel raksasanya,
tubuhku tak bisa digerakkan sama sekali.
Sang ratu monster
lantas mengangkatku sampai dekat ke mulutnya yang menganga lebar.
Refleks,
kuentakkan tenaga dalamku, meronta untuk setidaknya lepas dari tentakel ini.
Kabar baiknya, hanya satu tanganku yang memegang pistol saja yang berhasil
kugerakkan.
Seketika itu pula
aku menembak tepat di mata Nef’erti yang sebesar semangka itu. Meraung
kesakitan luar biasa, sang ratu nef’ragh meronta dan gerakannya jadi kacau.
Tubuhku tak lagi
menempel di tentakel, aku jatuh. Tak habis akal, aku menjejak dan meluncur di
tubuh ular Nef’erti, lalu mendarat mulus di lantai anjungan.
Tampak pilar-pilar
api menyorot deras dari keempat mesin Vimana, terus ke dalam lubang raksasa di
belakang Nef’erti. Amat perlahan, Vimana mulai terangkat ke udara.
Raungan kesakitan Nef’erti
berubah menjadi raungan murka. Ia lantas membuka mulut raksasanya dan
menyemburkan selarik sinar ke arahku untuk membuatku luluh-lantak.
Mustahil
menghindar, kukerahkan seluruh tenagaku untuk menahan larik sinar raksasa itu,
sama seperti saat aku menahan serangan meriam laser di dinding perbatasan. Kali
ini, tak ayal aku berteriak kesakitan. Setiap jengkal kulitku bagai sedang
terkikis, rasanya seperti sedang disayat-sayat hingga ke daging dan tulang.
“Biar kubantu!”
Dengan sigap, Laz menempatkan dirinya di sampingku dan ikut mengulurkan dua
tangannya. Ternyata iapun memiliki kekuatan penghambat petir, sangat mungkin
ialah si ‘titisan dewa’ yang dimaksud N’beru. Yang pasti, tubuhku tak terlalu
nyeri lagi. Daya sinar penghancur Nef’erti telah ditahan dengan sempurna, lalu
kami ‘simpan’ di medan energi kami.
“Sekarang,
pantulkan!” Dipicu aba-aba Laz, kami mengentakkan energi bersama. Sontak larik
sinar penghancur Nef’erti dipantulkan kembali, melesat dan tepat menghantam
tubuh sang ratu.
Terkejut, serangan
sinar Nef’erti terhenti, namun serangan kami tetap terus menerpanya. Walau
terlindung lapisan energi yang amat tebal, tubuh raksasa si nef’ragh terdorong
cepat ke belakang.
Menyadari bahaya,
Nef’erti mencoba meronta, namun satu entakan terakhir dari kami berdua membuat
ledakan dahsyat di tubuhnya. Daya ledakan itu melontarkan Nef’erti melewati
ambang lubang raksasa, lalu tubuhnya seakan terbenam dalam pilar-pilar api yang
terpancar dari Vimana. Satu raungan panjang nan pilu menandai akhir nasib biang
penjajah dunia itu.
Niat membuat lawan
luluh-lantak malah berbalik dan terjadi pada diri sendiri.
Setelah itu,
apapun tak kupedulikan lagi, kecuali Vimana.
Sambil ambil
langkah seribu menjauhi panasnya anjungan peluncuran wahana, sesekali aku
menoleh ke langit. Raka, ibu... semoga mereka selamat dan ikut menemukan dunia
baru.
Hatiku gundah tak
terperi. Sempat aku berpikir, apa gunanya aku melawan nef’ragh kalau toh mereka
akan ikut musnah bersama kami dan dunia ini?
==oOo==
Hari demi hari
telah berlalu sejak keberangkatan Vimana.
Namun aku masih
tetap berdiri di sini, di dunia yang sama ini.
Mungkin untuk
menebus sakit hatiku diperdaya kaum monster dan dewa, kujalani tugas baruku.
Menyebarkan kabar
bahwa Ohmaepun jangan sampai lalai disembah.
Jangan sampai
titisannya, Laz tak berdaya lagi menghadapi para penipu digdaya.
Sehingga ia
terpaksa menipuku dengan menutupi jati dirinya.
Bersama-sama, kini
aku dan Laz harus menipu lebih banyak orang lagi.
Sesungguhnya,
dunia manapun bisa saja berakhir setiap saat tanpa terduga.
Namun kebohongan
inilah yang mungkin bisa membuat Dunia Vyrath lestari lebih lama.
Sumber gambar: Flying Saucer
https://www.theherald.com.au/story/5052537/how-a-flying-saucer-landed-at-lambton/
Informasi lebih lanjut mengenai Dunia Vyrath dapat disimak lewat label "vyrath" di blog ini.
No comments:
Post a Comment