[BATTLE OF REALMS 5 - ROUND 4]
VAJRA – BIMA
SAKTI
Penulis: Andry
Chang
Umangsah ambêk
pêjah
cancut gumrégut
manjing
samudra tulya
dreng
wiraganya lêgawa
banyu sumaputing
wêntis
meleg ing
angganira
sumingêp anampêki
migég jangga
kang warih
katon naga
kumambang
gêngnya sawukir
anak
ngakak galak
kumêlap
Mendekat,
bersiap mati sirna
Tanpa ragu
masuki samudra
Tetap dengan
tekad membaja
Sikapnya pasrah
berserah
Betisnya
menyibak air samudra
Memercik ke
badannya
Memukul-mukul
hingga tersibakkan
Tercekat air
liur di tenggorokan
Tampak naga
mengambang
Badannya sebesar
bukit karang
Moncongnya
menganga lebar
Menebarkan
kebuasan
Ada-ada Bima Mlumpat, Bagian Satu – Lagu Pedalangan
Jawa
=
Bagian 1 =
BIMA SAKTI
“Tri
Mandala Vajra!”
Itulah kata
pertama yang diucapkan Raditya Damian saat ia keluar dari portal gaib dan kedua
kakinya mendarat mulus di tanah padat.
Hampir seketika,
Kalung Bintang Emas di depan dada Radith berpendar terik, memancarkan cahaya
emas yang membungkus seluruh tubuh pemuda berambut hijau itu. Detik berikutnya,
seperangkat zirah berwarna merah bersisi emas dan topeng separuh tersandang
sempurna. Sekali lagi, Radith tampil sebagai wujud tarung, bukan, dirinya yang
lain. Seorang pendekar super bernama VAJRA.
Gelang Gandiwa
rupanya telah berubah wujud menjadi sepasang pelindung lengan dan pelindung
kaki berwarna emas. Di luar dugaan, seperti halnya Zirah Antakusuma dan Topeng
Pancanaka, perangkat baru itu terasa amat ringan, sehingga Vajra tetap dapat
bergerak leluasa.
Terima
kasih, Guru Arjuna, batin
Vajra. Aku akan selalu mengingat ilmu dan
pesanmu.
Keadaan di
sekeliling membuat napas Vajra tercekat. Ternyata ia kembali ke arena semula,
di Koloseum Budukan di Server Amatsu. Bedanya, selain tak ada Pohon Hayat,
Kalpataru di sana, seluruh arena tampak porak-poranda. Dinding-dinding pembatas
yang jebol, ceruk-ceruk seperti bekas ledakan bom di sana-sini menebar kesan,
seakan tak ada lagi yang utuh di tempat ini.
Yang lebih
mengenaskan, tampak mayat-mayat para penonton yang jadi korban bergelimpangan
di tribun arena. Tarou, si pembawa acara tampak hangus legam di tempatnya
berdiri, menebar aroma seperti ikan gurame bakar. Bahkan Netori-sama, penguasa
Server Amatsu tergeletak tanpa nyawa di kursi kebesarannya di tribun
kehormatan. Bencana apa yang sedang terjadi di sini?
Jawabannya terletak
pada sesosok pria yang sedang melayang-layang di udara. Sosoknya serba hitam
dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, dan tampak berkilap diterpa cahaya
matahari.
Si sosok hitam
tampak sedang berdebat dengan beberapa peserta Turnamen Battle of Realms yang berdiri di arena. Ternyata jumlah peserta
yang bertahan telah menyusut menjadi tinggal dua belas orang, termasuk Vajra. Suara-suara
para peserta tak begitu jelas terdengar dari kejauhan. Sebaliknya, suara si
sosok hitamlah yang keras membahana.
Di antara
kata-kata yang sempat dicerna pendengaran Vajra, ada kata-kata yang paling
sering disebut si hitam, yaitu “Serahkan Kotak Laplace”. Benda apa itu? Semacam
relikui gaib? Vajra kini memang membawa smartphone
radar kristal hadiah dari misi di Los Soleil dan Pedang Api Keadilan dari Tamon
Rah, jelas tak satupun dari keduanya dekat dengan gambaran si hitam itu.
Seakan menemukan
jalan buntu, si sosok hitam mendengus kesal. “Aku tak punya banyak waktu untuk
meladeni kalian semua! Kalau kalian tak tahu apa-apa, berarti tak ada gunanya
kalian hidup!” Ia lantas mengayunkan kedua tangannya ke depan, seolah tengah
merapal mantra sihir.
Dalam sekejap
mata, seluruh arena berguncang hebat, tanah terbelah dan runtuh. Vajra bereaksi
secepat mungkin, meniti reruntuhan bebatuan. Sayang, lubang yang tercipta dari
gempa itu terlalu besar, sehingga Vajra jatuh bersama semua peserta lainnya ke
dalamnya.
==oOo==
Saat membuka
mata, Vajra menemukan dirinya tergeletak dalam semacam ruangan berdinding
beton. Ruangan itu tampak porak-poranda dan tergenang air setinggi mata kaki. Namun
sepertinya kerusakan itu timbul bukan karena gempa yang dibuat Si Hitam tukang
paksa tadi.
Vajra lantas
menegadah dan melihat sebuah lubang besar di langit-langit ruangan itu, tepat
di atas kepalanya. Pasti aku masuk
melalui lubang itu tadi, pikirnya. Dan,
dilihat dari reruntuhan yang bagaikan dinding di kedua sisinya, ruangan ini
pasti sebenarnya sebuah koridor.
Perlahan-lahan
Vajra bangkit berdiri, kepalanya masih terasa pening, rasa nyeri berdenyut di
beberapa titik di sekujur tubuhnya. Benturan-benturan selama jatuh tadilah yang
menimbulkan segala nyeri ini, bahkan Vajra sempat pingsan sebelum mendarat di
dalam sini. Mendadak ia menggigil. Meskipun tak sedingin Pegunungan Salju Los
Soleil, suhu yang relatif rendah dan udara yang lembab di sini pasti ikut
disebabkan oleh genangan air di lantai.
Tatapan Vajra
lantas terpusat pada tulisan hitam-besar yang sudah amat buram pada dinding
yang sudah retak-retak dan jebol di sana-sini. Dengan suara berbisik, ia
membaca tulisan itu, “Bio Laboratory
Second Floor, Enhancement Room.”
Saat hendak
keluar, tampak ambang pintu tertutup rapat oleh reruntuhan. Seberapa tebalkah
reruntuhan itu? Apakah dirinya sudah cukup kuat untuk membongkar jalan keluar?
Vajra merasa harus mempertanyakan semua itu, padahal semua jawaban sudah ada
dalam dirinya. Rupanya, pertarungannya dengan Caitlin Alsace baru-baru ini
telah menyadarkan Vajra agar selalu mawas diri, berpikir dulu sebelum
bertindak. Apa akal?
“Rupanya,
tiba giliranku menyampaikan ajaran pamungkas,” kata sebuah
suara berat yang terngiang dalam benak Vajra.
Vajra
jelas-jelas mengenalinya. “G-guru Bima? Apa
guru ingin membantuku secara langsung seperti Guru Arjuna yang menjadi garuda?”
“Siapa
bilang aku ingin membantumu? Aku hendak mengajarimu, beda lagi itu!”
Saat itu pula,
topeng merah separuh di wajah Vajra terlepas, lalu berubah wujud menjadi wayang
golek Bima. Hingga saat inipun pecahan roh Bima, ksatria terkuat Pandawa dalam
pusaka itu selalu bicara pada Vajra lewat telepati, hingga hanya Vajra saja
yang dapat mendengar perkataan gurunya yang paling galak itu.
Tanpa buang
waktu, Bima si wayang menyentuhkan telapak tangannya pada reruntuhan di ambang
pintu itu. “Gunakan tinju petir untuk
membongkar reruntuhan ini, lalu bersiagalah!”
“Apa
guru yakin? Guru ‘kan hanya menyentuhnya saja tadi.” Vajra mengerutkan
dahi.
“Murid
bodoh!” Bima
menjitak Vajra. “Kemampuanku telah
terasah ribuan tahun silam, dan terus terpelihara hingga saat ini! Awas kalau
kau meragukanku lagi!”
“Iya
deh, guru...” jawab
Vajra sambil mengerang dan mengelus kepalanya.
Lantas Vajra
menghentak, mengerahkan energi Tinju
Petir Brajamusti di kedua kepalan tangannya. Seperti bola besi pembongkar
bangunan, tinju-tinju dahsyat mengikis beton reruntuhan penghalang hingga
jebol, menciptakan ambang pintu keluar yang baru.
“Sekarang
bersiaplah! Aku melacak ada banyak sekali makhluk di tempat ini, dan mereka
semua tak bersahabat!” Bima mengatakannya sambil melayang, ikut keluar
bersama Vajra.
Pemandangan yang
terpampang berikutnya membuat mata Vajra terbelalak. “Astaga, percobaan biologis apa yang dilakukan di laboratorium semacam
itu?” Tanpa sadar ia merinding, tak ingin membayangkan kegiatan mengerikan
seperti adegan di film-film ala Hollywood itu.
Tampak hamparan peralatan canggih yang sudah rusak, jebol dan terguling, juga tabung-tabung besar di kejauhan. Anehnya, air berwarna hijau kental masih mengalir dari dalam tabung-tabung itu, menyatu dengan genangan air di seluruh lantai. Jangan-jangan semua tabung dalam ruangan ini baru pecah dan retak akibat gempa tadi. Apapun isi tabung-tabung itu, semua sudah keluar.
“Jangan
melamun, Vajra! Lihat baik-baik ke depan!”
Menanggapi
peringatan Bima, Vajra pasang kuda-kuda dan menajamkan penglihatannya.
Dari kejauhan,
tampak sosok-sosok yang kebanyakan menyerupai manusia, jumlahnya kira-kira
seratus. Mereka semua berjalan agak lambat dan terseok-seok tak tentu arah,
layaknya mayat hidup alias zombie. Tampaknya
makhluk-makhluk itu belum menyadari kehadiran Vajra di sana.
“Lihat,
guru! Ada pintu yang terbuka di ujung ruangan sana!” Vajra menunjuk
ke depan. “Tapi kita harus melewati
makhluk-makhluk itu dulu.”
“Kita
belum tahu pasti mereka itu mayat hidup atau bukan. Mendekatlah dengan
hati-hati!”
Vajra
mengangguk, lalu mulai melangkah.
Makin dekat, makin
jelaslah wujud sosok-sosok itu. Vajra mengenali beberapa di antara mereka. Ada
lawan-lawan Vajra di Los Soleil yaitu Zhaahir Khavaro, Lo Dmun Faylim, Reviss
Arspencer dan Ernesto Boreas. Tak ada Renggo Sina di sana, mungkin karena dia
adalah robot.
Ada sosok-sosok
yang rasanya, bagaikan deja vu dalam
ingatan, pernah berjuang bersama Vajra. Mereka adalah Haru Ambrosia, Tasya
Freyona, Torebash Mungira, Garrand Entrenchord dan Ragga Bang. Ada pula Dyna
Might dan Caitlin Alsace, rupanya mereka tak termasuk dua belas peserta yang dijebak
Si Hitam di tempat ini.
Yang paling
mengejutkan, ternyata di antara mereka ada pula para saudara seperjuangan Vajra
di Tim Lightbringers, yaitu Liona
Lynn, Wildan Hariz dan Bun. Rasa trenyuh melanda hati Vajra, mengingat tinggal
dirinya seorang yang mengusung semangat Para Pembawa Terang di alam ini.
Jelas sudah, sosok-sosok
itu adalah para peserta Battle of Realms
yang sudah gugur di babak-babak sebelumnya, atau tiruannya yang disebut
kloning. Anehnya, bentuk tubuh mereka semua itu tampak seperti orang cacat, beda
jauh dengan aslinya. Kesimpulan sementara Vajra, mungkin mereka adalah kloning
gagal yang menjadi zombie.
Atau
jangan-jangan... itukah nasib sesungguhnya yang menimpa para peserta yang telah
gugur?
Sambil terus
mendekat, benak Vajra sejenak terbuai kenangan bersama para peserta itu. Entah apakah kalian ini kloning atau bukan,
aku pasti akan menyelamatkan kalian. Mungkin di tempat ini ada obat penawar atau
semacamnya.
Tiba-tiba, seakan
dikomando seseorang, semua kloning itu menoleh serempak ke arah Vajra. Vajra
terlonjak, bahkan wayang Bimapun tersentak.
“Mereka
bukan zombie! Lari!” teriak
Bima.
Vajra berbalik
dan lari ke arah berlawanan. Benar saja, dengan cepat para kloning berbalik dan
mengejarnya. Agar tak tersusul, Vajra memusatkan prana pada kedua kakinya,
melesat secepat kilat dengan jurus Langkah
Petir Wisanggeni. Di belakang Vajra, ada sosok-sosok di antara gerombolan
kloning gagal itu yang menyusul dengan amat cepat.
Maka, Vajra mengandalkan
intuisi yang terlatih sejak Pertempuran Padang Shohr’n di Alforea. Ia berbalik
cepat, kesepuluh jarinya menebar Jaring
Petir Dalangsukma ke air yang tergenang di seantero lantai ruangan itu.
Seketika, hampir semua orang di sana tersengat arus listrik bertegangan tinggi.
Mereka menggelepar sejenak, lalu tumbang.
Belum sempat
Vajra bernapas lega, dua kloning yang sempat terhenti sejenak kembali menyerbu
maju. Pantas saja, mereka adalah Bun dan Wildan, para pengguna petir yang malah
menyerap serangan Vajra tadi.
Yang terparah,
Wildan meraung seperti orang gila, bergerak secepat petir dan melompat
tinggi-tinggi. Lalu ia membacokkan sepasang sabit berantainya tepat ke arah
Vajra yang masih berdiri terpaku di lantai laboratorium.
Sepasang mata
hijau Vajra terbelalak. Maut tak terhindarkan lagi.
=
Bagian 2 =
SANG PEMIMPI
Bagi Eophi
Rasaya, segala petualangan yang ia jalani, bahkan seluruh hidupnya sendiri
bagaikan bunga-bunga sakura mimpi yang bertebaran. Elok nan wangi, menghiasi pohon
kesadarannya yang bagaikan tidur, dan tidurnya yang bagaikan tersadar.
Jadi, seburuk
apapun situasi yang ia hadapi, Eophi yang berpenampilan seperti anak laki-laki berambut
hijau yang baru beranjak remaja itu hampir selalu menanggapinya dengan sikap
seperti tanpa minat, cenderung mengantuk dan bosan.
Padahal,
sesungguhnya semua kejadian dan pengalaman itu terpahat bagai kaligrafi dalam
ingatannya. Itu membuat Eophi jadi lebih kuat, lebih bijaksana dan malah lebih
dewasa daripada tampilan fisik dan sikapnya. Tak seorangpun tahu berapa usia
Eophi yang sesungguhnya, dan Eophipun sendiri terkesan tak peduli. Toh
penampilan kanak-kanaknya itu tak pernah berubah sedikitpun hingga saat ini.
Tak terlalu
bersemangat, tak terlalu riang, tak terlalu murung, juga tak terlalu santai.
Semua disikapinya dengan mengantuk.
Tak terkecuali
pula situasi yang dihadapi Eophi saat ini. Bersama kesebelas peserta Battle of Realms lainnya yang lolos dari
babak yang lalu, ia dijatuhkan ke dalam situs rahasia yang ternyata adalah
Laboratorium Biologi ini.
Menilik keadaan
sekitar yang juga porak-poranda dan menebak konteks tulisan samar-samar di
dinding-dinding rusak, jelas ini adalah koridor di Laboratorium Biologi Tingkat
Dua, Bagian Perbaikan dan Pengembangan.
“Oi, Phi! Lihat,
becek sekali di sini! Awas, jangan sampai menjatuhkanku, ya!” rutuk Light,
guling putih hidup yang hampir selalu dipeluk Eophi.
Milk si bantal
kepala putih menanggapinya, “Kamu ini, baru becek sedikit saja... Takut kotor? Tenang
saja, tarian Hel pasti bisa membersihkan kita hingga seperti baru! Lihat
diriku! Sudah empat petualangan kita jalani, aku tetap putih bersih, tak ada
noda setitikpun! Jelas aku paling mahir menjaga kebersihan daripada kalian
semua, hahaha!” Ia terus melayang di udara, melekuk-lekukkan sosoknya seperti
binaragawan.
“Sudahlah,
kalian berdua!” kata White si kasur putih yang melayang paling atas, menutupi
langit-langit. “Daripada meributkan kebersihan, lebih baik kita perhatikan
sekeliling kita baik-baik dan mencari jalan keluar dari tempat ini, ya ‘kan,
Phi?”
“He-eh.” Eophi
mengangguk, mata mengantuknya terus terarah ke depan sambil ia berjalan.
Sebaliknya,
Cloud si selimut putih yang tersandang bagai jubah pelindung bagi Eophi berujar
dengan suara bergetar, “T-tapi... tempat ini menyeramkan sekali, sepertinya
sudah lama ditinggalkan karena terkena bencana atau semacamnya. Aih, semoga
kita bisa cepat keluar agar bisa menemui Minerva lagi, kuharap dia baik-baik
saja di luar sana.”
Sedangkan Hel,
bayi naga merah yang selalu bertengger di punggung majikannya, Eophi
mengibas-ngibaskan sayapnya dengan semangat. Baginya dan bagi Eophi, perjalanan
keluar dari tempat ini pasti akan menjadi petualangan tersendiri.
Beberapa lama
kemudian, Milk yang melayang paling depan berseru, “Lihat! Ada pintu terbuka!”
Tanpa menunggu teman-temannya, ia langsung masuk lewat pintu itu.
“Hei, tunggu!”
seru Light. “Aduh, si Milk itu...!” Ia menyenggol dada Eophi.
Eophi terkesiap,
lantas bergegas bersama para anggota timnya menyusul si bantal kepala.
Di balik pintu
itu, berserakan pula peralatan super canggih yang sudah rusak dan hancur semua.
Tabung-tabung besar yang baru saja pecah juga tampak dalam deretan-deretan yang
lebih teratur.
Kelima makhluk
dalam satu tim itu kembali bergabung dan terpaku. Di kejauhan pula, tampak
sosok-sosok kloning para peserta Battle
of Realms yang telah gugur. Penampilan mereka semua rusak dan cacat, dan
gerak-gerik mereka seperti zombie tak berakal.
White lantas berseru,
“Lihat! Ada teman-teman kita sesama peserta di antara mereka!”
Milk bagai
melihat hantu. “I-itu ada Adhi, Aushakii, Kii, dan yang seperti siluman kelinci
itu... Clara Mermaida! D-dan itu... Bukankah itu... Tan Ying Go, lawan kita di
babak sebelumnya?”
Cloud panik
seketika. “G-gawat! Bukankah dia seharusnya bersama Minerva? Bagaimana ini?!
Ayo kita tanya si Ying Go...!”
Baru sekarang
Eophi angkat bicara, “Tunggu, Cloud. Lihat, bentuk tubuh mereka semua aneh dan
cacat seperti zombie dan siluman. Belum tentu mereka itu para peserta asli.
Bisa jadi mereka adalah kloning, makhluk-makhluk kembaran yang dibuat dalam
tabung-tabung itu.”
Light berseru,
“Ya, bisa jadi! Tapi bisakah kita berlima melawan mereka semua? Harap saja
mereka memang zombie, tapi bagaimana kalau bukan?”
“Kalau begitu,
kita keluar dan menyusuri koridor lagi saja,” usul Eophi, sambil dengan malas
berbalik ke belakangnya. “Makin cepat kita menemukan jalan keluar, makin cepat
pula kita bisa melindungi Minerva. Ayo, teman-teman.”
“A-awas!” seru
Cloud tiba-tiba. “Para kloning itu menyerang kita!”
“Perisai dan
gada,” ujar Eophi sambil mulai berlari. Memahami kata-kata itu, Milk dan Light
mengeraskan tubuh mereka, membentuk perisai bantal kepala dan gada bantal
guling yang tergenggam erat di kedua tangan Eophi.
“Perang
bantal.” Pada
instruksi Eophi selanjutnya, Milk si perisai bantal kepala makin mengeras dan
berpendar dengan kekuatan cahaya.
Tepat saat itu
pula, dua kloning berhasil mendekat dan mencoba mendaratkan serangan pada
Eophi. Serangan panah dari kloning pertama bernama Falcon berhasil ditangkal
perisai bantal dengan mudah. Lalu hantaman ponsel kloning Veronica Tiselina
ditahan dengan perisai bantal pula. Tak berhenti di sana, Eophi mendaratkan
pukulan keras masing-masing di kepala kedua lawannya itu, sehingga mereka
terpental sambil mengerang pilu.
Hel si bayi naga
merah terbang menjauh, lalu melayang siaga. Cloud si jubah pelindung
mengeraskan dan melunakkan diri berkali-kali untuk menangkal serangan dari lWhite
si kasur sengaja mengeraskan dirinya di udara dan jatuh, mencipratkan air
bercampur lendir di lantai sekaligus menimpa beberapa kloning lagi.
“Maaf ya,
teman-teman.” Rupanya White masih mengira kloning-kloning itu para pendekar
asli.
Eophi dan
teman-temannya lantas berjuang mati-matian, mencoba lolos dari kepungan para
kloning. Walau makin banyak kloning yang berhasil dilumpuhkan, kepungan mereka
malah makin rapat, sehingga Eophi malah terdesak sampai di dekat dinding. Para
pengepung malah menghalangi jalan ke pintu, tak ada lagi celah bagi Eophi untuk
lari, kecuali...
“Phi, naiki
aku!” seru White yang mulai membubung lagi. Namun gerakan si kasur itu makin
lambat, karena banyak sekali air yang merembes ke dalam tubuh kain-kapuknya.
Eophi
cepat-cepat menaiki White, namun para kloning rupanya ikut naik pula untuk
menyerang Eophi. Jadi Eophi mengayunkan gada dan perisainya, menghantam
kloning-kloning gagal itu hingga jatuh ke lantai yang tergenang.
White terus
membubung, tapi tak bisa cukup cepat dan cukup tinggi.
Para kloning
menggapai-gapai sambil meraung-raung.
Cepat atau
lambat si kasur akan kehabisan tenaga. Jadi Eophi terpaksa harus mengerahkan ilmu-ilmu
pamungkasnya yang hanya bisa dipakai sekali saja. Jika Eophi bisa tidur atau
istirahat total, baru ia bisa menggunakan pamungkas lagi. Namun, seperti biasa,
kesempatan Eophi untuk tidur atau pulih total hanya ada saat melayang dalam
portal gaib antar dimensi.
Di waktu
bersamaan, Eophi melihat kilatan petir dan mendengar gelegar guntur. Detik itu
pula, listrik bertegangan tinggi terhantar oleh genangan air, menyambar para
kloning yang berdiri di lantai. Para makhluk aneh itu lantas meraung dan
kejang-kejang, dan akhirnya roboh tanpa daya.
Ini sungguh
bantuan yang tak terduga. Atau mungkinkah di antara para kloningan gagal itu
ada kloning pengguna petir yang bodoh, nekad menghantam teman-temannya sendiri?
Baru lebih dari
semenit kemudian Eophi turun dari kasurnya, menjejak genangan air yang tak lagi
bermuatan listrik. Ia lantas memeluk kasur itu sambil berkata lembut, “Makasih,
White.”
“Sama-sama.”
White tetap melayang di tempatnya, sementara Hel terbang ke bawah White sambil
menari-nari, memanasi kasur itu agar tak berat lagi karena air.
Para bantal
masih mengeras, Eophi melangkah maju dengan amat waspada, jangan-jangan ada
kloning yang bangkit dan menyerang lagi.
Lalu Eophi
mendengar suara seorang pria dari kejauhan. “Halo, kelihatannya kamu bukan
kloning. Kau tak apa-apa, ‘kan?”
Eophi tak lantas
menjawab. Ia hanya menoleh ke arah suara itu. Tampak seorang pemuda berambut
hijau berjalan menghampirinya. Penampilannya agak mirip Eophi, bedanya pemuda
itu lebih tinggi, berambut lebih panjang dan mengenakan zirah, rompi beskap dan
topeng separuh.
Walau keheranan,
Eophi lagi-lagi malah pasang tampang mengantuk dan hanya mengangguk.
Hanya si bantal
guling berperangai kasar, Light yang menegur, “Jangan mendekat, bung. Terserah
kau mau anggap kami kloning atau bukan, jangan-jangan kau yang kloning.”
Cloud menimpali,
“I-iya! Serangan petir tadi itu perbuatanmu, ‘kan?”
Giliran Milk
bicara, “Harusnya kau lihat-lihat dulu dong, apa ada yang bukan kloning di
ruangan ini atau tidak! Jangan main asal serang saja!”
“Hahaha, maaf,
maaf,” kata si topeng separuh sambil mengusap-usap kepalanya. “Dasar kurang
pengalaman, seharusnya aku lebih teliti. Kenalkan, namaku Vajra.”
“Ah, rupanya kau
Vajra yang bertarung di core database Alforea
waktu itu, ‘kan?” kata White, wajah di permukaan kasur itu tersenyum lebar. “Aku
White, ini Milk si bantal kepala, Light si bantal guling, Cloud si selimut
putih, Hel si bayi naga merah, dan si bocah pengantuk ini adalah Eophi Rasaya.”
Vajra tersenyum
ramah, “Salam kenal. Aku tak melihat kalian tadi, karena ruangan ini amat luas.
Aku janji, lain kali aku akan lebih teliti lagi...”
Tiba-tiba Hel
yang mulai bernyanyi saat namanya disebut tadi menukik dari udara dan menyambar
Vajra. Walau serangan bayi naga ini tak lebih kuat dari cakaran kucing, itu
cukup membuat Vajra mengaduh.
“Hentikan,
Hel! Dia teman kita!”
Sambil menegur lewat telepati, Eophi memelototi naga kesayangannya. Hel sempat
menghentikan serangannya sejenak, namun ia menyerang Vajra lagi.
“Olang
ini mucuh, Phi! Bunuh dia! Dia mucuh!” Hel meneriakkan isi pikirannya,
bersikeras agar Eophi bertindak. Namun sang majikan hanya bergeming.
“Kau
sudah sering salah mengenali musuh, Hel. Kau ini masih bayi, tentu kau tak
paham situasinya. Saat ini kita sedang terjebak, bukan dalam suasana kompetisi.
Saat ini kita butuh teman, butuh sebanyak mungkin bantuan yang bisa kita
dapatkan. Kebetulan di sini ada Vajra, pendekar tipe serang, sementara kita
tipe bertahan. Kau lihat ‘kan, tadi dia melumpuhkan semua kloning itu dengan
satu jurus saja? Kalau Vajra musuh, ia pasti akan membiarkan semua kloning itu
menghabisi kita!”
“Hel
yakin! Dia mucuh, Hel halus...!” Sebelum si naga merah buta menyerang
lagi, Milk sudah bertindak dengan memukulnya dengan ujung yang sengaja
dikeraskan di udara. Alhasil, Hel pingsan, jatuh dan White si kasur terbang
menampungnya.
“Maaf, Vajra.
Hel memang masih bayi,” ujar Eophi sambil memeluk gulingnya. “Kau tadi datang
dari mana?”
Vajra menunjuk
ke arah pintu tempat Eophi datang tadi. “Dari sana.” Lalu ia menunjuk ke arah
berseberangan. “Kurasa tadi aku melihat ada pintu terbuka di sana. Ayo Eophi,
siapa tahu kita bakal menemukan jalan keluar dari tempat ini.” Ia lantas
berbalik dan berjalan lurus ke depan.
Eophi dan para
sahabatnya mengikuti Vajra dari belakang. Tak ada rasa curiga sedikitpun
tergurat di raut wajahnya, hanya kantuk.
=
Bagian 3 =
YANG TERPILIH
DAN YANG TERJAGA
Mangganjur
lakuning angin
guntur agraning
arga
gora gurnita
kagiri-giri
horêg bumi
prakêmpita
padhola
mangambak-ambak
udan dêrês wor
lan lésus
sindhung riwut
magênturan
situ-situ banda
layu
Menindih gerak
lajunya angin
Puncak gunungpun
runtuh
Suara guruh
menggelegar menakutkan
Bumi berguncang
seperti gempa
Debu bertebaran,
berterbangan
Hujan deras
bercampur angin topan
Prahara tak
henti-hentinya
Tanggul dan
bendungan hancur
Ada-ada Bima Mlumpat, Bagian Dua – Lagu Pedalangan
Jawa
Saat berusia
delapan tahun, Raditya “Radith” Damian jarang pulang terlambat. Mungkin karena
tak banyak main-main dengan teman sepulang sekolah, ia cenderung ingin
cepat-cepat tiba di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah, belajar dan
memainkan game konsolnya.
Melangkah ke
ambang pintu rumahnya di Yogyakarta, tiba-tiba Radith mendengar suara-suara
langkah kaki dan suara-suara pria dari dalam. Takut disangka kurang ajar, ia
cepat-cepat sembunyi di sisi lain rumah.
Didorong rasa
ingin tahu layaknya anak-anak, Radith mengintip ke arah pintu depan rumah. Sesaat
kemudian, tampak ayah Radith, seorang pria berambut hijau keluar bersama
seorang pria kurus yang mengenakan pakaian beskap, topi blangkon dan celana
serba hitam.
“Sudah kubilang
Ki, pusaka-pusaka itu tidak bertuah atau mengandung kekuatan gaib apapun.
Sekarang silakan kau pulang, dan jangan pernah datang ke rumahku lagi.” Dari
nada bicara sang ayah yang ketus, rupanya tengah terjadi perdebatan antara
kedua pria dewasa itu.
“Begini saja,
Heru. Kamu sebut saja harganya, berapapun itu, aku pasti bayar,” ujar si pria
kurus. Ia lantas mengeluarkan buku cek dan pena dari tasnya, tanda ia amat
serius.
“Lagipula, apa
gunanya wayang-wayang golek itu untukmu, Ki Rogohjiwo? Kau dalang wayang kulit,
dan wayang golek berasal dari Jawa Barat, bukan Yogyakarta. Hanya karena
wayang-wayang Arjuna, Bima dan Gatotkaca itu menurutmu bertuah, bukan berarti
aku lantas bisa menjual pusaka warisan Keluarga Damian turun-temurun ini padamu
begitu saja!”
“Kau tak
mengerti, pusaka-pusaka itu sungguh punya arti dan nilai tersendiri bagi kami,
penyandang nama Ki Rogohjiwo! Nama yang dianugerahkan oleh Sultan Yogyakarta
dan diwariskan oleh guru pada muridnya turun-temurun!”
“Dan
wayang-wayang pusaka inipun sungguh bernilai bagi kami, tak ternilai uang
berapapun!” Amarah Heru Damian telah menggantung di ubun-ubun, hanya
kedewasaanlah yang meredamnya agar tak berkobar, menyulut insiden. “Jadi,
kumohon dengan sangat, pergilah dan jangan ganggu kami lagi! Atau apa kami
perlu menghubungi yang berwajib?”
Akhirnya Ki
Rogohjiwo mengangkat satu tangannya. “Baik, baik, kuhargai pemikiranmu itu,
Heru. Sepertinya kau memang jauh lebih menghargai pusaka-pusakamu daripada
pertemanan kita. Aku janji, demi nama baikku sebagai dalang merangkap dukun,
aku takkan pernah mengganggu keluargamu lagi... Heru Damian.”
Setelah
mengatakannya, Rogohjiwo berbalik untuk pergi. Namun, saat berbalik, tatapan si
dalang-dukun terpaku pada Radith.
Ditatap tajam
seperti itu, Radith menyurut mundur. Baru saat Rogohjiwo sudah tak terlihat
lagi, Radith berani menjulurkan wajahnya, mengintip. Tampak sang ayah menghela
napas, lalu bergegas masuk rumah.
Takut sang ayah
mengunci pintu, Radith cepat-cepat masuk. Heru terkesiap, putranya ternyata
sudah tiba di ruang depan rumah dengan cekatan... terlalu cekatan.
“R-Radith?!”
Sang ayah gelagapan. “Sejak kapan kau tiba di rumah...?”
Radith
berbohong, “Baru saja.”
Heru ternganga
sesaat. Mustahil Radith bisa lari secepat bayangan, apalagi dengan kekuatan
fisiknya yang setara anak usia delapan tahun rata-rata. Sama sekali tak
istimewa.
“Ikut ayah,
Rad.” Heru Damian berbalik dan memasuki ruang kerjanya, diikuti Radith.
Tampak tiga buah
wayang golek berjajar tegak dan rapi di meja kerja. Diamati dengan seksamapun,
wayang-wayang itu tampaknya biasa saja, tak beda dengan desain tradisional
untuk ketiga tokoh pewayangan dari Kitab Mahabharata itu.
Radith yang
polos namun cerdas sama sekali tak menyinggung tentang Ki Rogohjiwo. Sebaliknya
ia bertanya, “Wayang-wayang ini milik ayah? Siapa saja nama mereka?”
“Oh, yang
berwajah putih ini Arjuna. Yang di tengah, yang di bajunya ada lambang bintang
emas itu Gatotkaca. Dan yang di kanan itu, yang tampangnya paling keras dan
gahar adalah Bima. Mereka ini satu famili, lho, sama-sama dalam Keluarga
Pandawa.”
“Seperti kita?”
“Ya. Andai ayah
jadi Bima, berarti kamu jadi anak Bima, Gatotkaca. Dan Joko, pamanmu yang di
Solo jadi paman Gatotkaca, yaitu Arjuna. Mengerti ‘kan?”
“Woah, hebaat!
Aku jadi Gatotkaca, Satria Pringgodani! Berotot kawat, bertulang besi!”
Radith terlalu
kegirangan, berlagak bagai Gatotkaca dalam wayang orang. Sayang, tanpa sengaja
ia menyenggol wayang Bima hingga terjatuh dari meja. Langsung saja anak itu
bereaksi dengan mengulurkan tangannya, hendak menangkap pusaka tak ternilai itu
agar jangan sampai rusak.
Tiba-tiba, petir
menyambar dari jari-jari tangan Radith. Walau bentuknya seperti benang
berkilat-kilat, jaring petir itu berhasil menahan wayang Bima di udara, tak
sampai menyentuh lantai. Tak berhenti di sana, Radith mengangkat tangannya.
Wayang Bima ikut terangkat, terus membubung kembali ke atas meja.
Sang ayah hanya
ternganga melihat aksi Radith itu.
Radith yang
bermaksud merapikan posisi wayang Bima mengulurkan satu tangan lagi. Jaring
petirpun menyambar dari jari-jari tangan kedua itu, masing-masing mengenai
wayang Arjuna dan wayang Gatotkaca. Ketiganya lantas melayang-layang di atas meja,
beterbangan bagai burung-burung yang baru lepas dari sangkar.
Wayang-wayang
itu bergerak-gerak bagaikan... hidup!
“R-Radith...!
Bagaimana kau bisa...? Astaga...!” Heru kehabisan kata-kata.
Komentar sang
ayah membuat Radith tersentak, konsentrasinya buyar seketika. Namun
wayang-wayang yang seakan masih terisi energi itu tak jatuh. Mereka melayang
turun perlahan-lahan, lalu mendarat dan bertengger rapi pada balok
berlubang-lubang penyangga wayang di meja.
Radith sendiri
pucat-pasi. “A-ayaah...! Apa yang tadi... kulakukan?”
“Ayah juga tak
mengerti, nak. Kau menggerakkan wayang-wayang itu seperti dalang... tapi dengan
kekuatan petir dari jarak jauh! A-ayah tak tahu, selama ini ternyata kau
memiliki kekuatan gaib!”
“Radith juga
baru tahu tadi, ayah! Tolong, apa yang harus kulakukan sekarang?”
Sekilas dalam
benaknya, Radith membayangkan dirinya akan diseret ke sebuah sekolah rahasia
khusus anak-anak berkemampuan istimewa. Atau lebih parah lagi, ia akan
dijadikan bahan percobaan dalam laboratorium biologi rahasia seperti dalam
film-film yang pernah ditontonnya.
Heru Damian
berpikir sejenak. Lalu ia terkesiap dan berkata, “Jangan-jangan...
wayang-wayang pusaka keluarga kita itu benar-benar bertuah dan mengandung roh
gaib. Dan mereka telah memilihmu sebagai pewaris sejati, Radith!”
“Be...
benarkah?” Radith menatap kedua tangannya dengan ngeri. “T-tapi Radith masih
ingin sekolah... main dengan teman-teman, main game... Radith nggak mau ke
sekolah anak aneh!”
“Tak ada yang
akan mengirimmu ke manapun, nak.” Sang ayah tersenyum untuk menguatkan hati
putranya. “Tapi kita harus merahasiakan kekuatan gaibmu dan menyembunyikan
wayang-wayang pusaka itu di ruang bawah tanah. Kau tahu ‘kan, ayah tak punya
ilmu gaib. Jangan pernah gunakan kekuatanmu itu di manapun dan kapanpun juga.
Setidaknya sampai ayah menemukan cara agar kau dapat mengendalikan kekuatan
petir dan sampai ayah yakin Ki Rogohjiwo takkan pernah mengganggu kita lagi.”
“Ki Rogohjiwo
yang ingin membeli wayang-wayang pusaka kita?”
“Heh, rupanya
kau menguping tadi ya?” Heru menjewer telinga Radith.
“Aduh-duh!
Ampun, ayah!”
Heru melepas
jewerannya. “Ya sudah, toh kau tak sengaja, ‘kan?”
Radith malah
bertanya, “Tapi kenapa ayah tak jual saja wayang-wayang itu pada Ki Rogohjiwo?
Bukankah kita akan dapat banyak uang?”
Heru berusaha
menjelaskan duduk perkaranya dengan sabar, memilah-milah kata-katanya agar
Radith yang masih amat belia itu mengerti. “Begini, nak. Ki Rogohjiwo mengira
wayang-wayang pusaka kita itu bertuah, jadi tadi ia mengerahkan ilmu gaib perdukunan
pada mereka. Tapi pusaka-pusaka itu hanya bergeming. Si dukun kesal, tapi dia
tetap bersikeras membeli pusaka-pusaka itu. Kenyataannya kau tahu sendiri tadi
‘kan?”
“Tapi mengapa Ki
Rogohjiwo begitu menginginkan pusaka-pusaka itu, padahal mereka sama sekali tak
berguna untuknya?”
“Sebenarnya, Ki
Rogohjiwo itu sama seperti kebanyakan orang, termasuk kita juga. Sebagai
manusia, sudah sewajarnya kita menginginkan sesuatu yang lebih. Lebih dihargai,
lebih dicintai, lebih kaya, lebih hebat, lebih terkenal, dan masih banyak lagi.
Kita tak pernah benar-benar puas dengan apa yang kita miliki saat ini.”
“Jadi, kalau
kita tak bisa mendapatkan yang kita inginkan itu, apa kita harus bersikap
seperti Ki Rogohjiwo?”
“Tentu tidak,
nak. Seharusnya kita bisa menunda, bahkan menghentikan keinginan muluk kita
itu. Tapi ayah takut Ki Rogohjiwo akan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan pusaka kita.”
“Gawat, kalau
begitu Ki Rogohjiwo sudah menjadi musuh kita!”
“Tidak, dia
masih tetap teman ayah. Suatu hari ayah pasti bisa menyadarkannya.”
“Dia musuh
terbesar kita sekarang!” Radith bersikeras, firasatnya sungguh terasa tak enak.
“Bukan, Radith.”
Sang ayah membelai rambut putranya itu. “Ingatlah pesan ayah ini baik-baik.
Musuh terbesar dalam hidup kita adalah diri kita sendiri, diri kita yang
berlawanan dengan keadaan kita saat ini. Parahnya, justru keadaan yang
berlawanan itulah yang paling kita inginkan.”
“Radith nggak
ngerti.” Wajahnya merengut.
“Hahaha,
pokoknya ingat sajalah itu dulu baik-baik. Suatu saat nanti, bila kau sangat
ingin jadi orang yang lebih hebat daripada dirimu sendiri, ingat-ingatlah pesan
ayah ini.”
“Baik ayah, tapi
bagaimana cara mengatasi musuh dalam diriku itu?”
“Selalulah
mensyukuri apapun yang sudah ada dalam dirimu, dan teruslah belajar dan menempa
diri. Bila kau berhadapan dengan ‘musuh bebuyutan’-mu itu kelak, berdoalah pada
Yang Maha Kuasa dan temui ayah, nak. Ayah akan membimbingmu untuk mengalahkan
dia.”
“Baiklah, ayah,”
jawab Radith sambil tersenyum polos.
Namun, tak lama
kemudian rumah Radith terbakar habis. Dan ayah Radith, Heru Damian takkan
pernah bisa memenuhi janjinya itu. Ki Rogohjiwo, wali Radith setelah bencana
itu tak bisa dijadikan teladan. Pada siapa Radith harus berpaling saat ia
menghadapi si musuh terbesar kelak?
Tahun demi tahun
berlalu, dan Radith sadar ia tak sendirian. Ia punya tiga guru sejati yang
selalu membimbing dan memandunya selama ini. Nama mereka adalah Gatotkaca,
Arjuna dan Bima.
==oOo==
Kembali ke masa kini, di Laboratorium Rahasia...
Seperti halnya Radith pernah mencegah wayang Bima jatuh dan
rusak, kali ini giliran wayang Bima yang menyelamatkan nyawa Vajra, Si Dalang
Petir.
Saat sabit kembar kloning Wildan turun hendak membacok Vajra,
bagai peluru wayang Bima melesat, pasang badan menahan kedua bilah tajam itu. Untunglah
sang wayang telah lebih dahulu melindungi diri dengan energi petir, dan
serangan si kloning gagal tak sekuat aslinya. Jadi Bima tetap utuh di tempat
dan malah Wildan yang terpelanting.
“Terima kasih, guru! Heaa!” Tak menyia-nyiakan kesempatan,
Vajra menghentakkan energi Tinju Petir
Brajamusti sehingga petir tampak berkilatan di kedua telapak tangannya.
Ditambah kekuatan jurus percepatan gerakan tadi, tinju Vajra
memberondong Wildan tanpa ampun. Tubuh cacat si kloning gagal jadi makin tak
karuan, ia terkapar di genangan air, didera petirnya sendiri berlipat ganda dan
takkan pernah bangkit lagi.
Bun jadi kloning terakhir yang masih berdiri di ruangan itu. Namun
naluri yang berlawanan dengan sifat Bun yang asli, ditambah situasi tak
menguntungkan dan nasib kloning Wildan yang mengenaskan membuat si gnome
berbalik dan melarikan diri.
Malangnya, langkah Bun dihentikan oleh sehelai selimut putih
yang telah dikeraskan, membentuk bor yang berpusar cepat dan menghunjam,
menembus tubuhnya. Akhirnya si gnome kloning menyusul semua rekannya yang lain,
air di lantai merah seketika oleh darahnya.
Vajra dan Bima terkesiap melihat adegan barusan. Perhatian
mereka lantas terpusat pada seorang anak laki-laki yang berdiri tegap dengan
kaki terentang, dengan gagahnya mencabut selimut bor yang kini tersepuh merah itu dari tubuh
korbannya. Kepala anak berambut hijau, sama dengan rambut Vajra itu tertunduk,
lalu menegadah. Kedua mata berbola hijaunya tampak membulat, tanda anak itu
sedang amat terjaga, bukan mengantuk.
“Terima kasih untuk bantuanmu tadi, dik. Aku Vajra, dan wayang
ini guruku, Bima. Siapa namamu?” tanya Vajra, tak mendekat sedikitpun.
“Phi. Eophi Rasaya.” Suaranya nyaring, penuh semangat. “Dan
mereka ini teman-temanku, Milk, Cloud, White, Light dan si bayi naga, Hel.” Ia
menunjuk ke bantal kepala, selimut, kasur dan bantal guling melayangnya secara
berurutan. “Oh ya, tadi aku tak bermaksud membantumu, lho.”
“Apa maksudmu?” sergah Bima.
“Tadi aku menghukum kloning pengecut yang melarikan diri,
melanggar perintahku untuk membunuhmu,” kata Eophi dengan riang. “Dasar payah, namanya
juga kloning gagal. Sebanyak apapun jumlahnya, tetap saja mereka rontok dengan
satu-dua jurus saja.”
Vajra lantas pasang kuda-kuda siaga. “Lantas, kamu itu apa?
Eophi yang asli atau kloning yang sukses?” Vajra belum pernah bertemu Eophi
sebelumnya, dan ia belum menemukan data tentang karakteristik dan kepribadian
lawannya itu dalam database yang
terpampang di layar smartphone
kristalnya.
“Lho, apa bedanya? Bukankah kalian para peserta Battle of Realms sudah banyak saling
bunuh, baik dalam pertandingan ataupun bukan?” celetuk White si kasur dengan
kasar.
Vajra mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi sepanjang ingatanku, aku
belum pernah membunuh seorang pesertapun.” Dia benar. Memang ada satu di Los
Soleil yang tewas, Ernesto Boreas, tapi itupun Zhaahir Khavaro yang
menghabisinya setelah Vajra menghantamnya lebih dulu. Semua itu telah jadi
sejarah, dan tak seorangpun insan, kloning atau bukan yang bisa mendebatnya.
“Sudahlah, Vajra, tak ada gunanya berdebat dengannya,” sahut
wayang Bima. “Kloning atau bukan, siapapun yang hendak membunuhmu harus
kaubalas dengan perlawanan keras.”
“Baik, guru. Ayo kita mulai permainannya,” kata Vajra. Namun
ia tak lantas menyerang.
“Asyik, asyik! Ayo teman-teman, kita main-main dengan Kak
Vajra!” Eophi langsung mengeraskan peralatan-peralatan tidurnya sebagai
senjata.
Hel, si bayi naga merah yang tidak buta menyerang wayang Bima
dengan agresif. Keduanya lantas terlibat pertarungan dogfight alias kejar-kejaran, saling tembak dan saling sambar di
udara, dekat langit-langit ruang laboratorium.
Berniat menjajaki kekuatan lawan, Vajra menembaki Eophi dengan
Panah Petir Pasopati. Mulai sekarang,
panah-panah petir itu bisa ditembakkan dari batu mirah yang tersemat di zirah
pelindung pada kedua tangannya.
Kebanyakan panah itu berhasil ditangkis perisai bantal kepala,
gada bantal guling dan jubah selimut Eophi yang sarat prana cahaya. Sisanya
meleset, tak satupun menancap di tubuh Eophi.
Tak kehabisan akal, Vajra kembali mengaktifkan efek percepatan
gerakan lewat Langkah Petir Wisanggeni. Ia
melompat tinggi-tinggi, lalu menembak dengan luar biasa cepat dari udara,
mengguyur lawan dengan hujan panah petir.
Giliran White si kasur mengeraskan tubuhnya, membentuk benteng
yang menaungi Eophi. Panah-panah petir menancap di hampir seluruh permukaan
kasur keras itu.
Vajra mendarat dengan amat elok di atas sebuah perangkat
rusak. Mengamati hasil serangannya itu, diam-diam ia berdecak antara kagum dan
kecewa. Firasatnya berkata, Eophi yang ini adalah kloning. Namun Eophi aslipun
benar-benar petarung tipe bertahan yang tangguh, tak heran ia sanggup bertahan
hidup sampai saat ini. Eophi sama sekali tak bisa diremehkan, untunglah Vajra
tak tertipu oleh tampang dan sikap ceria, kekanak-kanakan dan kejam si anak
berambut hijau itu.
Sesaat kemudian, tubuh White si kasur malah melembut.
Panah-panah petir yang masih berpendar di permukaannya berledakan dan
menghanguskannya. White jatuh terjerembab, mencipratkan air ke mana-mana. Kini
ia tak ubahnya kasur rusak tak bernyawa.
Penyebab keanehan White itu terpampang seketika. Tampak Eophi
kini berdiri limbung dengan tubuh luka-luka, masih menggenggam
bantal-bantalnya. Anehnya, bukan berduka kehilangan salah satu sahabatnya,
Eophi masih menyunggingkan senyum. Bedanya, kali ini senyum Eophi melebar dan
matanya melotot, tak ubahnya seorang psikopat.
“Kelihatannya kita tak bisa lama mainnya, teman-teman,” ujar
Eophi. “Ayo, saatnya jadi badut.”
Cloud si selimut seketika bergelung dan membentuk sebuah bola
sirkus. Tubuh Eophi dan bolanya lantas terbungkus rapat cahaya menyilaukan.
Saat cahaya itu buyar, penampilan Eophi Rasaya berubah total. Ia mengenakan
kostum, riasan dan topi badut berpola polka
dot warna-warni, dan berdiri di atas sebuah bola sirkus yang berwarna-warni
pula.
Tak memberi kesempatan lawan bernapas, Vajra melompat dari
pijakannya. Ia lantas memutar tubuhnya dan menghantamkan tinju petir ke arah
Eophi.
“Bodoh. Boing!” Saat
itu pula, Eophi melambung dari bolanya yang berfungsi sebagai pegas. Tinju
Vajra mengenai wajahnya, tapi ia malah balas menghantamkan kedua bantalnya yang
telah berubah jadi sepasang gada juggling
pin raksasa di sisi-sisi tubuh Vajra, bagai menepuk nyamuk.
Kedua petarung berambut hijau itu terpental. Eophi mendarat di
bolanya yang berubah bentuk menjadi seperti sofa, lalu memegangi wajahnya yang
kesakitan. Rupanya dua giginya telah tanggal akibat tinju petir yang telak
tadi.
Sebaliknya, Vajra terpelanting tinggi dan membentur tabung
kloning yang pecah. Bekas pecahan kaca tebal itu menggores perut samping Vajra
sampai berdarah, jadi tambahan pada kerusakan gara-gara terpukul gada kembar
tadi. Vajra jatuh terkapar di lantai becek, rasa sakit yang ia derita kini
sungguh tak terkira. Andai Vajra bukan pendekar dengan energi pelindung tubuh yang
mumpuni, ia pasti sudah tewas sekarang.
Aku tak boleh tewas di
sini! batinnya.
Baru saja Vajra berusaha bangkit, Eophi sudah melesat lagi di
atas bola sirkusnya yang menggelinding. Lantas Eophi kembali memanfaatkan
kelenturan bolanya dan melompat tinggi-tinggi ke udara.
Lantas, Eophi si badut terjun, menghantamkan kedua gada juggling-nya ke bawah sambil berseru,
“Da-dah, Kak Vajra!”
Terdesak, terpaksa Vajra menekuk kedua lengannya yang sarat
petir, berusaha menangkis. Hebatnya, Eophi cepat-cepat mengubah jurus dengan
bersalto dan menjejak lengan Vajra. Ia bersalto lagi bagai badut akrobat sirkus,
lalu menghunjamkan kedua gadanya tepat di dada Vajra yang terlindung zirah
merah berlambang bintang emas.
Vajra terdorong, tubuhnya membentur tabung dan peralatan
sekaligus. Ia muntah darah dan terkapar tak berdaya, tapi tak pingsan.
“Sekali lagi!” Lagi-lagi Eophi menyerang dengan bola sirkus
dan sepasang gadanya. Ia menghantamkan gada itu ke tempat Vajra terkapar, namun
yang terkena hanyalah air bercampur lendir hijau dan darah. “A-apa!?” Eophi tak
percaya penglihatannya.
Rupanya Eophi lupa atau tak tahu salah satu hukum alami
pertarungan, yaitu seorang pendekar takkan terpedaya oleh jurus yang sama untuk
kedua kalinya. Dalam kasus ini, ketiga kalinya.
Dan kini, Vajra akan memastikan Eophi menerima akibat ketidaktahuannya
itu. Sempat berguling di air untuk menghindar, Vajra yang telah ditempa oleh
Arjuna di babak sebelumnya jadi lebih cepat pulih. Masih dalam posisi
berbaring, ia menembakkan selarik petir seperti sinar laser dari kedua
lengannya yang terulur lurus dan kedua telapak tangannya menyatu.
Tembakan Meriam Petir
Brajamusti menembus bola sirkus Eophi sampai berlubang, dan juga menyambar
tubuh si badut kecil. Sambil berteriak kesakitan, Eophi melayang tak
terkendali, jatuh di atas peralatan dan meluruh ke lantai di dekat Vajra. Kini
rasa sakit serasa mati yang baru dialami Vajra juga dialami Eophi.
Dengan susah-payah, Vajra bangkit berdiri. Namun mendadak,
Eophi juga berdiri! Gila, stamina anak laki-laki itu lebih kuat daripada
aslinya, bahkan melebihi stamina Vajra!
Eophi masih tersenyum ala psikopat, walau kata-katanya
berlawanan, “Kau telah membunuh White dan Cloud! Takkan kuampuni kau, Vajraa!”
Di puncak amarahnya, Eophi menghentakkan energi cahaya
pamungkasnya. Cahaya dari tubuh Eophi itu mengembang amat cepat dan meledak,
membentuk sesosok kura-kura putih raksasa.
Vajra yang berada dalam jangkauan ledakan itu terhantam dan
terdorong tanpa ampun, makin banyak darah tersembur dari mulutnya.
Dalam keadaan hampir mati itu, akal Vajra terbit. Kebetulan
tepat di hadapannya ada tabung kloning besar. Mengerahkan kekuatan seadanya,
Vajra bergerak bagai bayangan ke balik tabung itu. Daya ledakan dari kura-kura
raksasa terus melanda, namun lebih dahulu diredam tabung kloning. Tabung memang
makin pecah dan terkikis, namun tak sampai hancur.
Setelah pancaran cahaya reda, Vajra berjalan terseok-seok dari
balik tabung. Tampak olehnya sesosok kura-kura putih raksasa bergeming di
tengah-tengah ruang laboratorium itu, bagai medan gaib yang mutlak melindungi
Eophi di dalamnya.
Menaksir kekuatan pancaran energinya, perlu kekuatan dewata
untuk memecahkan tempurung kura-kura itu. Vajra tak tahu berapa lama si
kura-kura akan berdiri di sana. Namun bila medan pelindung itu buyar, stamina
dan energi kehidupan Eophi akan pulih lagi, dan kemungkinan Vajra untuk menang
akan jauh lebih tipis lagi. Apa akal?
Sambil memeras otak, Vajra menatap ke genangan air dan lantai
di bawah kura-kura itu. Tiba-tiba ilham menghampirinya. Sambil melakukan ritual
tapa brata dengan berdiri dan
merapatkan dua tangan di depan dada, Vajra menghimpun prana petir yang
tersimpan dalam tubuhnya.
Saat kedua mata Vajra berkilat-kilat, ia menghentakkan kedua
tangannya lurus-lurus. Jurus andalannya, Naga
Pancanaka terpancar dalam bentuk ular naga petir raksasa. Anehnya, tembakan
itu malah mengarah lurus ke lantai, tepat di depan si kura-kura raksasa. Daya
gempur naga petir yang berkesinambungan terus-menerus berpusar bagai bor,
melubangi lantai lab. Lalu Vajra menggerakkan kedua tangannya, mengendalikan arus
serangan ke arah yang ia inginkan.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara guntur menggelegar
dari dalam tempurung kura-kura raksasa itu. Lalu suara itu bagai bersambutan
dengan teriakan pilu Eophi dari dalam tempurung. Dari suara-suara itu, dapat
diasumsikan naga petir Vajra dipantulkan oleh dinding kubah tempurung,
menyambar Eophi, dipantulkan permukaan lantai dan dihantarkan genangan air dan menyambar Eophi lagi. Kejadiannya
amat cepat, tak terhitung berapa kali siklus ini terjadi. Entah itu nasib buruk
atau memang titik kelemahan pada pertahanan absolutnya terbaca, yang pasti Eophi
kini tengah mencicipi neraka atau kiamat dunia.
Saat tak terdengar lagi teriakan Eophi, Vajra baru menghentikan
serangannya. Kura-kura raksasa itu lantas pecah sebelum waktunya, dan buyar
menjadi partikel-partikel cahaya. Yang tertinggal adalah sosok tubuh Eophi yang
tampak menghitam, hangus, hancur dan terendam air dari kejauhan, bersama
sepasang gada dari kedua bantalnya, Milk dan Light yang juga hancur.
Selain Vajra masih terlalu lelah dan lemas setelah mengerahkan
jurus terakhir tadi, bau anyir dan hangus dari tubuh Eophi mengurungkan niat Vajra
untuk mendekat dan memastikan keadaan lawannya. Jadi, dengan sisa tenaganya
Vajra memanjat salah satu perangkat rusak, lalu duduk bersila dan melakukan tapa brata di sana.
Sementara itu, terdengarlah raungan pilu lainnya. Mengetahui
majikannya telah tewas, Hel si bayi naga merah jadi lengah. Bima memanfaatkan
kesempatan dengan menusuk leher naga itu dengan pegangan besi yang berujung
runcing, pengganti kaki wayang. Ditambah energi petir yang tersimpan dalam tubuh
Bima, jantung si naga yang diterpa daya petir berlebih terhenti seketika. Hel
terjun bebas, bergabung dengan teman-temannya dalam keabadian.
Melihat semua itu, Vajra meneruskan tapa brata-nya sambil merenung. Apa
yang membuat kloning Eophi dan kloning-kloning gagal itu ingin membunuhku?
Apakah karena kegilaan akibat mendekam terlalu lama dalam tabung kloning? Ataukah
karena mereka dikendalikan oleh seseorang? Mungkinkah orang itu Si
Hitam? Atau ada alasan yang lain lagi, suatu misteri besar yang sama sekali tak
kuketahui? Misteri yang akan menentukan nasib dan kelangsungan hidup semua umat
dalam semua server di Sol Shefra, di ranah terasing ini?
Atau mungkin...
penciptaan para kloning itu berkaitan amat erat dengan diadakannya turnamen Battle
of Realms ini? Jangan-jangan para peserta
dijadikan kloning dalam rangka pembentukan sebuah pasukan yang terdiri dari
pendekar-pendekar sakti mandraguna dari pelbagai ranah! Lantas para peserta
yang gugur dikembalikan ke ranah asalnya, tak sadar bahwa mereka telah dikloning!
Pantas saja, ini adalah
sebuah usaha untuk menggugurkan semua peserta, bahkan para finalis pula! Kalau
perlu, juara Battle of Realms harus
kloning yang akan mengajukan permintaan sesuai kehendak penciptanya! Kalau aku
benar, berarti ini benar-benar konspirasi tingkat tinggi, dan aku harus
berjuang bersama para pendekar lain untuk menghentikannya! Baiklah, aku akan
mulai dengan mengajak Eophi Rasaya yang asli.
Saat Bima mendekat, Vajra bergumam, “Semoga Eophi yang
terkapar di bawah sana itu kloning. Kalau tidak, kurasa perjuangan kita untuk
keluar dari tempat jahanam ini akan lebih mustahil.”
=
Bagian 4 =
HADAPILAH
IBLISMU SENDIRI
Sementara itu, Eophi Rasaya si pengantuk sedang mengikuti
“Vajra” menyusuri koridor di Bio
Laboratory Second Floor, Enhancement Room ini.
Tubuh Eophi menggigil sampai giginya gemertak, bisa jadi udara
dingin dan lembab akibat kerusakan parah dan genangan air di seluruh lantai
inilah penyebabnya. Untunglah ada Cloud si selimut putih dan kedua bantal,
Light dan Milk. Berjubahkan selimut dan memeluk dua bantal, rasa hangat
berangsur-angsur merasuki tubuhnya.
Sampai detik ini, Vajra yang mengenakan topeng separuh tak
sekalipun menyerang Eophi ataupun bertingkah mencurigakan. Eophi tak habis
pikir, mungkinkah dia Vajra yang asli, bukan kloning seperti yang Eophi hadapi
tadi?
“Ayo, Eophi. Kurasa jalan keluar dari lantai ini ada di
ruangan ini.” Tanpa menoleh ke arah Eophi, Vajra berjalan melewati ambang pintu.
Eophi tak segera menyusul. Ia menoleh dulu ke arah Hel yang
masih terbaring pingsan di atas White si kasur terbang, baru kembali berjalan.
Dahinya berkerut. Bagaimana kalau Hel
benar?
Suasana di dalam ruangan bundar ini membuat mata Eophi terbuka
penuh sejenak. Sisa-sisa reruntuhan dan peralatan campur-aduk, bertumpukan di
sana-sini. Bedanya, di tempat ini tak ada tabung-tabung besar penampung
kloning. Mungkin ini semacam ruang serbaguna untuk pelbagai fungsi, termasuk penghubung
dengan bagian-bagian Laboratorium Biologi lainnya.
Fungsi penghubung itu makin dimungkinkan dengan adanya pilar
bundar besar berpintu seperti lift di tengah-tengah ruangan. Eophi merasa
pernah melihat alat itu sebelumnya di Server Alforea. Benar saja, itu adalah
teleporter, alat untuk memindahkan sejumlah makhluk atau benda lewat portal
gaib antar dimensi alias portal gaib teleportasi.
“Err, Vajra, lihat! Kurasa kita telah menemukan teleporter,
alat untuk membawa kita keluar dari laboratorium ini! Ayo kita coba! Harap saja
masih berfungsi!”
Sambil mengatakannya, Milk si bantal kepala yang jenius tapi
besar kepala itu melayang dari pelukan Eophi, lalu mendekati panel kendali
teleporter. Ia segera menekan-nekan beberapa tombol di sana, namun tak terjadi
apa-apa. “Aduh, kurasa alat ini sudah rusak,” katanya.
Tiba-tiba, tepat di depan pintu teleporter itu muncullah sosok
pria serba hitam berwujud bayangan holografis. “Wah, wah, ternyata kalian
berhasil tiba di sini, ya. Bagus, bagus sekali!”
Eophi jelas mengenali si hitam. “Kau! Orang yang telah menghancurkan
koloseum!”
“Tepat sekali. Kau bisa mengingat itu, jadi kurasa kau bukan
tipe idiot... Eophi Rasaya.”
“Dari mana kau bisa tahu namaku?” sergah Eophi, ekspresi
wajahnya dan matanya yang tampak kembali mengantuk menyembunyikan rasa
herannya.
“Aku adalah dewa maha tahu, jadi kau tak perlu menanyakan
itu.” Si Hitam tertawa dibuat-buat. “Langsung saja, agar permainan ini jadi
lebih seru, biar kusampaikan aturan dariku. Dari semua makhluk yang ada di lantai
ini, hanya satu saja yang diizinkan pergi dari sini lewat teleporter.”
Vajra yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan itu terlonjak.
“Kalau begitu, aku jadi yang pertama!” Ia bergegas hendak memasuki portal itu,
namun terpental oleh daya yang terpancar dari hologram hitam itu.
“Hei, apa-apaan kau!?” Vajra protes sambil menggeleng,
memulihkan pusingnya. “Kau curang!”
“Kau yang bodoh! Dengarkan aku dulu sampai selesai!” bentak Si
Hitam. “Biar kuperjelas, kalian harus membunuh semua makhluk, baik peserta
maupun kloning sukses di lantai ini, atau memastikan mereka terbunuh
dulu, baru kuizinkan menggunakan teleporter ini!”
Keringat dingin Eophi bercucuran. Rupanya Eophi baru sadar
bahwa ia tak terjebak dalam reruntuhan ini karena kebetulan. Semua ini adalah
jebakan berganda yang mengerikan, hasil rekayasa Si Hitam. “Jadi aku harus
membunuh Vajra?” tanyanya.
“Tepatnya, kau harus membunuh Vajra, kloning Vajra dan kloning
dirimu sendiri atau memastikan mereka mati!” jawab Si Hitam.
Sebaliknya, Vajra menatap Eophi dengan sorot mata sarat hawa
membunuh.
“Nah, silakan bertarung. Aku akan menunggu hasil akhirnya di
sini. Ingat, aku tak bisa menyalakan teleporter rusak ini terlalu lama, lho!”
Citra Si Hitam lenyap seketika sebelum ada yang protes. Portal gaib dalam
tabung teleporter itu terbuka lebar, menantang siapapun untuk memasukinya.
Vajra berdiri di tempat dan tak mencoba lagi, takut terpental
dan rugi sendiri lagi.
“Tunggu!” Eophi bergerak maju dengan niat bernegosiasi dengan
Si Hitam. Namun panah-panah petir Vajra menyambutnya.
Untunglah para peralatan tidur Eophi telah mengeraskan diri
sejak tadi, sehingga Eophi berhasil menangkis panah-panah itu dengan selimut
dan kedua bantalnya.
Saat berondongan panah reda, Eophi bergerak maju untuk
melancarkan serangan balasan. Namun Vajra telah lebih dahulu melesat,
menghantamkan tinju petirnya tepat di wajah Eophi. Tubuh kecil-ramping Eophi
melayang, lalu ditahan permukaan empuk si kasur terbang, White.
Dianugerahi stamina luar biasa besar, Eophi pulih amat cepat
dan bangkit berdiri. Namun Vajra langsung menyambutnya lagi dengan rentetan Tinju Brajamusti yang bertubi-tubi.
Terpaksa Eophi bertahan mati-matian, menangkis tiap pukulan dengan perisai dan
gada bantalnya. Hantaman-hantaman Vajra malah makin menggila, seakan tak ada
habisnya.
“Sadarlah, Vajra! Kita bisa mencari jalan keluar dari sini
tanpa harus dimanipulasi Si Hitam itu!” teriak Eophi sambil terus menangkis.
“Tidak! Kau harus kubunuh dulu!” Mungkin Vajra yang asli juga
punya darah muda dan bisa gelap mata, namun Vajra yang dihadapi Eophi ini amat
agresif dan ganas. Hantaman-hantaman Vajra itu lantas secara tak langsung
berimbas pada tubuh lawan, membuat darah mengalir dari sudut mulut Eophi.
Akhirnya kesabaran Eophi habis sudah. “Cloud!” Dalam hitungan
detik, si jubah selimut melepaskan diri dari Eophi, lalu memilin dan
mengeraskan tubuhnya menjadi lembing bermuatan energi cahaya. Lembing terbang
dan tepat menghunjam dada atas Vajra, membuat si dalang petir terlempar ke
belakang.
“Heh, boleh juga serangan balikmu itu. Ternyata aku telah
meremehkanmu, ya,” ujar Vajra. Ia lantas menangkap lembing yang ternyata hanya
membentur zirah pelindung dadanya itu, lalu mengalirkan listrik bertegangan
tinggi. Tubuh Cloud melemah, hangus dan melembut, luruh ke genangan air di
lantai.
“C-Cloud!” Eophi dilanda duka sesaat melihat kepergian salah
satu sahabatnya itu. Namun, beda dengan kloningnya, emosinya tak lantas tersulut.
Sambil memusatkan pikiran, Eophi mengayunkan gada bantal
gulingnya pada Vajra dengan energi cahaya yang terpusat serta gerakan yang
teratur dan terarah. Konsentrasi Vajra sempat terpecah saat menghabisi Cloud
tadi, sehingga ia jadi bulan-bulanan pukulan-pukulan lawan yang amat dahsyat.
Agar tak terkena serangan balik lawan, Eophi menghentikan
serangannya dan bergerak mundur, menjaga jarak. Vajra hanya berdiri limbung dan
tertunduk di tempat, tubuhnya tampak berasap.
“Rupanya aku memang harus mengerahkan jurus pamungkas untuk
menghabisimu,” ujar Vajra dengan nada geram. Permata di bagian mata topeng
separuhnya berkilau, dari kedua tangannya yang terulur melesatlah Naga Petir Pancanaka.
Naga petir terbang menyusuri air, menghantarkan petir ke arah
Eophi. Dengan cerdik Eophi melompat tinggi, menaiki White si kasur terbang. Keduanya
membubung dan terbang menjauh, namun si naga terus mengejar mereka seperti
peluru kendali pelacak panas.
White terus bermanuver, menghindari si naga. Saat berbelok, ia
dan Eophi tak melihat naga petir itu di mana-mana. Ternyata naga petir
menyerang si kasur dari bawah, sehingga keduanya terpelanting dan jatuh
menabrak lantai dan benda-benda di sana.
Giliran Eophi yang tergeletak di atas sebuah server
super-komputer yang jebol, tubuhnya kejang-kejang akibat tersambar petir. Namun
kondisi White lebih parah lagi, tubuhnya berlubang besar dan kasur itu terkapar
di genangan air, takkan bisa bergerak lagi.
Ingin rasanya Eophi menangis, namun Hel, si bayi naga yang
sejak tadi pingsan di atas kasur rupanya sudah pulih kembali dan terbang
menghampirinya. Gaya terbangnya seperti sedang menari, efeknya adalah pendaran
cahaya muncul di tubuh Eophi, yaitu daya penyembuh yang perlahan-lahan
memulihkan luka dan kesehatan tuannya itu.
Walau demikian, wajah Eophi lantas memucat, seolah tengah
melihat pemandangan mengerikan. Tampak Vajra berjalan ke arahnya dengan dua
tangan terentang, menghimpun energi petir lagi.
Pulih atau tidak, rasanya sulit bagi Eophi Rasaya menghindar
lagi dari jurus Vajra, apapun itu.
“Nah, selamat tinggal, Eophi Rasaya. Akulah yang akan keluar
dari Laboratorium Biologi ini, setelah lama sekali terkungkung dalam tabung
hijau.” Akhirnya Vajra mengakui statusnya sebagai kloning. Apakah kenyataan ini
adalah hadiah terakhir darinya bagi Eophi yang sebentar lagi bakal pindah
dunia?
Tepat saat Vajra mengulurkan kedua tangannya untuk menembak,
sebuah tendangan petir nan dahsyat menghantam tepat di pipinya. Tanpa ampun
kloning Vajra terpelanting amat jauh, lalu tersuruk di lantai dekat dinding
ruangan bundar.
“Jangan lupa, masih ada aku.”
Eophi yang masih lemas menoleh ke sumber suara. Rupanya yang
menendang si kloning adalah seorang pemuda berambut hijau panjang yang sedang
tak mengenakan topengnya.
Dialah Vajra yang asli.
==oOo==
“Kau tak apa-apa, Eophi?” tanya Vajra sambil menghampiri
Eophi.
Eophi yang cepat pulih berkat tarian Hel bangun dan duduk,
wajahnya kembali tampak mengantuk. Ia mengangguk sambil tersenyum lemah, masih
sedikit kejang akibat serangan pamungkas tadi.
Vajra sendiri juga masih tampak pucat. Walau luka-lukanya tak
berdarah lagi, sesekali rasa nyeri sakan menusuk-nusuknya, rasanya bagai sedang
berbaring di ranjang berpaku-paku.
Wayang Bima melayang turun, lalu duduk seperti bertengger di
pundak anak didiknya itu. “Waspada,
Vajra! Kembaranmu itu bangkit!” seru suara batinnya.
Vajra menengok dan menatap ke arah kloningnya tadi terkapar.
Bima benar, kloning Vajra yang masih mengenakan Topeng Pancanaka telah bangkit
berdiri. Tatapan kedua pendekar kembar itu beradu, namun tak seorangpun dari
mereka menggerakkan satu ototpun. Seperti kebiasaan pendekar silat pada
umumnya, mereka tengah menjajaki kondisi dan mengukur kekuatan lawan
masing-masing.
Beberapa saat kemudian, kloning Vajra tertawa. “Rupanya kau
tadi habis dijadikan bulan-bulanan, ya. Apakah oleh kloning-kloning gagal itu?”
Vajra asli menggeleng. “Kloning Eophi,” jawabnya.
“Oh, pantas saja. Berarti di antara para kloning, hanya yang
sukses yang mampu merepotkan kita, ya.” Si kloning berkacak pinggang. “Lihat,
kloning Eophi saja mampu membuatmu hampir sekarat, tapi aku hampir saja
mengalahkan Eophi asli... kalau saja kau tak ikut campur!”
“Mau bagaimana lagi, lawan pamungkasmu memang aku.”
“Haha, masih percaya diri walau nyaris sekarat. Kurasa itulah
kesamaan di antara kita. Bedanya, aku punya banyak tipuan, selalu berdusta dan
selalu haus akan kekuatan. Bukankah kau ingin punya sifat dan kehebatan seperti
diriku ini, Vajra? Bukankah kau ingin menjadi aku?”
Tiba-tiba suara batin Bima terngiang di benak Vajra. “Musuh terbesar dalam hidup kita adalah diri
kita sendiri, diri kita yang berlawanan dengan keadaan kita saat ini. Parahnya,
justru keadaan yang berlawanan itulah yang paling kita inginkan.” Astaga, bukankah
ini pesan Heru Damian, ayah Radith? Ternyata memang Bima selama ini mewakili
ayahnya, mendidiknya dengan keras namun penuh kasih sayang.
“Bagaimana, Vajra? Kata-kataku ini benar, ‘kan?” tantang
kloning Vajra.
Vajra malah menatap si kloning dengan tersenyum tulus. “Kau
benar dalam satu hal, bung. Sejak awal mula aku mengikuti turnamen Battle of Realms ini, hanya satu yang
kupikirkan, yaitu menempa diri agar menjadi lebih kuat. Agar dapat bertahan
hidup, bahkan mengalahkan dan menyadarkan Ki Rogohjiwo, seperti pesan ayah.”
Tampaknya ia sedang berusaha membuat kloningnya sendiri insyaf.
“Namun, setelah melewati babak demi babak turnamen ini, juga
krisis demi krisis, tanpa sadar aku jadi tinggi hati dan haus akan kekuatan
yang lebih besar, dan lebih besar lagi,” lanjutnya. “Apalagi setelah aku
mengalahkan seorang dewi, Tamon Rah, yang ternyata hanya virus dewa dalam database yang kekuatannya tak jauh
melampaui pendekar biasa. Untunglah Guru Arjuna memberi pelajaran keras padaku,
mengingatkanku pada diriku yang sejati.”
“Apa itu?”
“Diriku yang sejati adalah aku yang sekarang ini. Yang
kuinginkan dan yang tak ada pada diriku kini, itu sama sekali bukan aku.”
Kloning Vajra mendengus kesal. “Jadi intinya, kau tak mau jadi
diriku, ‘kan? Simpan saja khotbah panjang-lebarmu itu,
Vajra-yang-menganggap-dirinya- sejati! Akulah Vajra sejati, pendekar sakti
mandraguna dengan kekuatan mendekati taraf dewata! Jangan harap aku akan
merendahkan derajatku dengan menjadi seperti dirimu.”
Vajra menghela napas. “Yah, setidaknya aku sudah berusaha
menyadarkanmu. Mulai kini, biar jurus-jurus kita saja yang bicara.”
“Mari kita adu Meriam
Petir Brajamusti untuk menentukan siapa di antara kita adalah Vajra
sejati!” seru Vajra hasil kloning dengan lantang.
“Setuju!” Vajra lantas pasang kuda-kuda, menghimpun dan
memampatkan energi petir pada sepasang telapak tangannya yang saling menempel.
Inilah variasi jurus Tinju Petir
Brajamusti untuk tembakan jarak jauh. Si kloning lantas mengikutinya dengan
gerakan yang persis sama.
Teriring seruan membahana, kedua Vajra menembak bersamaan.
Kedua larik petir bertumbukan, menimbulkan dentuman keras. Lalu kedua larik itu
saling dorong-mendorong, seperti dua orang yang sedang bermain tarik tambang.
Di sudut pandang Vajra, titik tumbukan petir yang menyebar
persis di tengah jarak antara kedua petarung itu tampak maju-mundur. Sesekali
ia memompakan tenaga dalam lebih banyak pada larik tembakannya, hingga titik
tumbukan makin dekat ke si kloning. Sebaliknya, si kloningpun tak mau kalah, balas
menekan dengan tenaga lebih besar. Saat itu terjadi, Vajra sengaja menyurutkan
pancaran petir untuk menghemat tenaga. Ia ingin menekan lagi, tapi titik
tumbukan yang sudah lebih dekat ke Vajra tak kunjung berbalik ke arah lawan.
Dalam kondisi di atas angin, kloning Vajra melakukan tekanan
mental. “Lihat! Sudah terbukti yang paling kuatlah yang menang! Akuilah aku
Vajra sejati yang kauinginkan, lalu matilah!”
Sindiran itu justru membuat Vajra bereaksi berlawanan. Ia
malah bicara dengan tenang, “Salah. Kau sama saja dengan Ki Rogohjiwo, dan
Zirah Vajramu itu hanya tiruan kelas dua belaka! Sukma para Pandawa yang
mendiami Pusaka Vajra sejati pasti menolakmu! Lihat saja!”
Bima ikut membantu Vajra. “Aku, Gatotkaca dan Arjuna pasti
takkan memilihmu, Vajra palsu! Bertobatlah selagi sempat, dan ikutlah bersama
kami keluar dari laboratorium jahanam ini!”
“Ehh, justru itulah masalahnya!” Eophi berteriak malas. “Ini
adalah jebakan Si Hitam yang menghancurkan Arena Budukan! Teleporter,
satu-satunya sarana untuk keluar dari sini rusak, dan Si Hitam mengutak-atik
itu seenaknya! Ia bahkan mengajukan syarat, seorang peserta harus memastikan peserta
lain, kloning dirinya sendiri dan kloning si peserta lain itu tewas, baru dia
diizinkan menggunakan teleporter itu! Coba dengar dulu, aku punya rencana...!”
Vajra asli, Vajra kloning dan Bima berteriak bersamaan ke arah
Eophi, “Jangan ikut campur!”
Menanggapi reaksi itu, Eophi malah ketiduran.
Vajra kloning justru memanfaatkan “gangguan” dari Eophi itu
dengan menghentakkan prananya sebagai tekanan pamungkas. Vajra asli terdesak
hebat. Darah tersembur dari mulutnya, pertanda luka-luka dalamnya kambuh lagi.
Hampir pasti menang, si kloning tertawa seperti maniak.
“Akuilah, Vajra sejati adalah aku! Aku, aku, aku, aku, aku!”
“Lagi-lagi kau salah. Sejak diciptakan, senjata pusaka Vajra
selalu digunakan untuk melindungi yang lemah dan membatasi yang kuat, tak
pernah demi kejayaan dan kebanggaan diri sendiri!” Vajra asli balik menyerang
dengan kata-kata. “Tanpa semangat itu, jangan harap jadi pewaris Vajra, apalagi
Vajra sejati!”
Saat mengatakan itu, Vajra menghentakkan sisa energi petir
yang telah ditabung dan dihematnya hasil taktik “tarik-ulur”-nya tadi. Titik
tumbukan dua larik petir dengan amat cepat berbalik ke arah si kloning, dan
tembakan Vajra telak mengenai dada dan perut si kloning itu.
Alhasil, si Vajra kloning terpelanting ke belakang. Pelindung
dada tiruannya pecah, jelas sudah siapa menang, siapa kalah.
Ironisnya, walaupun kalah zirah, Vajra kloning memiliki stamina
yang lebih unggul dari Vajra asli. Saat Vajra mendekat untuk memastikan nasib
lawannya, si kembaran malah bangkit kembali dan berdiri di tempat sambil
tertunduk dalam-dalam. Mungkinkah ia telah jadi zombie, seperti halnya para
kloningan gagal tadi?
Masih tertunduk, kloning Vajra bicara seperti orang gila.
“Hehehe... hahaha... Rupanya aku kalah, ya? Pemikiranku, segala yang telah
kubangun dalam jiwaku... kalah total?!”
Vajra menjaga jarak sambil menjawab, “Belum. Masih ada
harapan, asal kau mengubah diri dan belajar untuk jadi orang yang lebih baik,
tak hanya lebih kuat semata.”
“Hihihi... Apa kau tak lihat? Hanya kebanggaan dan harga
dirilah milikku satu-satunya di dunia ini. Kini kebanggaanku telah musnah, dan
sudah terlambat bagiku, seorang kloning yang tak pernah mencicipi hidup
seutuhnya, untuk mulai dari awal lagi.”
“Belum terlambat,” Bima menimpali. “Aku, Arjuna dan Gatot akan
membimbingmu pula. Kau akan jadi kakak kembar Radith, dan kalian akan
bahu-membahu sebagai saudara.”
Vajra kloning malah menghardik, “Tidakkah kalian mengerti? Aku
adalah Doppelgänger, roh peniru dalam
tubuh kloning! Seluruh sifatku pasti berlawanan dengan kembaranku! Aku dan
kembaranku mustahil hidup bersama di satu alam. Bilamana sampai bertemu, kami
akan saling menghancurkan, persis dengan situasi ini! Ini sudah kodratku, dan
aku tak bisa mengubahnya kecuali aku menjadi dewa! Untuk jadi dewa, aku butuh
kekuatan! Dan untuk mendapatkan kekuatan itu, aku harus membunuh Vajra asli dan
menyerap seluruh kekuatannya!”
Vajra, Bima dan Eophi terhenyak. Rupanya pertumpahan darah antara
Vajra dan kloningnya takkan bisa dicegah lagi, dengan atau tanpa rekayasa Si
Hitam.
Vajra kloning bicara lagi, “Hohoho... huhuhu... Oh ya! Aku
masih punya modal terakhir! Asal kalian tahu saja, aku punya banyak
teman di sini! Bantu aku, teman-teman kloning semua!”
Suara gemuruh langkah kaki terdengar. Dari pintu-pintu ruang
bundar itu masuklah kloning-kloning gagal. Jumlah mereka tak terhitung, semua
mengambil posisi mengepung Vajra, Eophi dan Bima dekat teleporter di tengah
ruangan.
“Bagus, teman-teman!” Dari gelagat pergerakan tangannya, Vajra
kloning tampak hendak menghimpun energi lagi. “Sekarang, habisi mereka semua!” Para
kloning gagal yang hanya bisa mematuhi perintah dari kloning-kloning sukses maju
serempak.
“Awas, Vajra kloning akan mengerahkan jurus pamungkas terkuat,
Bumi Berguncang, Langit Gempar!” seru
Bima. “Aku akan menyatu dengan Zirah Vajra! Cegah dia!” Seketika, wayang Bima
menghilang, sebentuk topeng separuh muncul dan terpasang di wajah Vajra.
Saat itu, Vajra sedang sibuk bertarung dengan para kloning,
sedangkan Eophi bertarung dengan posisi berpunggungan dengannya. Satu-persatu
kloning mereka bunuh dan lumpuhkan, namun para kloningpun juga melukai dan
mendera kedua pendekar ini.
Vajra berseru pada Eophi, “Aku harus mengimbangi dan menangkal
jurus pamungkas Vajra kloning! Bisakah kau mengulur waktu bagiku dan menahan pasukan
kloning?”
“Aih!” Eophi tahu, ia harus mengambil tindakan ekstrim
sekarang. “Pegang pundakku, Vajra! Jangan lepaskan, apapun yang terjadi!”
Vajra langsung meraih pundak Eophi. Saat berikutnya, Eophi
menghentakkan energi cahaya pamungkas yang sebenarnya ia simpan untuk
menghadapi Vajra asli. Tapi bila Vajra kloning tak dihentikan, hampir pasti
Eophi tewas karena serangannya. Jadi mau tak mau, Eophi mengerahkan
pamungkasnya sekarang.
Mendadak, seekor kura-kura putih raksasa muncul di
tengah-tengah ruangan bundar. Pancaran energi saat kemunculannya itu amat
dahsyat menghantam pasukan kloning pengepung. Beberapa dari mereka terpental,
beberapa luka parah dan lebih banyak lagi yang tewas.
Hanya ada Vajra dan Eophi dalam lindungan kubah tempurung
kura-kura raksasa itu, benteng terkuat yang mampu menangkal serangan apapun.
Bedanya dengan Eophi kloning, lantai tergenang air dalam tempurung itu juga
dilapisi energi cahaya pamungkas, sehingga kebal pula terhadap serangan dari
bawah tanah.
“Cepat kerahkan energi! Waktu kita hanya kurang dari tiga
menit saja!” Eophi memperingatkan.
Sebelum peringatan itu datang, Vajra telah mulai menghimpun
prana petir. Sebagian energi itu diserap dan diubah dari energi tempurung
kura-kura Eophi yang berunsur cahaya. Karena energi Vajra menipis akibat adu
jurus tadi dan ia baru pertama kali memaksa diri mengerahkan pamungkas Bumi Berguncang, Langit Gempar, perlu
waktu lama agar kebutuhan energi yang amat banyak untuk pengerahan jurus ini terpenuhi.
Di sisi lain, Eophi hanya bisa berdiri, merentangkan kedua tangannya
dan terus mengerahkan energi pertahanan untuk memperkuat benteng. Giginya
gemeletak. Gempuran pada kura-kura raksasa terus datang bertubi-tubi, ia harus
terus memompakan energi agar tempurung pelindung tak pecah berkeping-keping
sebelum batas waktu sihirnnya tiba.
Tiba-tiba, Vajra merasakan arus petir yang luar biasa besar
merasuki tubuhnya. Pasti Vajra kloning telah melepas jurus pamungkasnya,
bertekad untuk memecah tempurung dan menghabisi para lawan di dalamnya. Saat
itu pula, Vajra mendapat satu gagasan. “Pertahankan tempurungmu, Eophi! Biar
kuserap gempuran petir si kloning, lalu kukembalikan padanya!”
“Apa!?” Sebelum Eophi sempat protes, ia jatuh berlutut seakan tertekan
ke bawah. Tempurung di atas dan di bawahnya melesak ke dalam, hampir pecah.
Terpaksa ia menghentakkan energi cahaya lagi, berusaha terus menjaga keutuhan
benteng energinya. “Kupercayakan serangan balasan padamu, Vajra!” serunya.
Beberapa saat kemudian, tekanan petir pada tempurung reda.
Hampir bersamaan dengan itu, kura-kura raksasa Eophi telah mencapai batas waktu
kemunculannya dan pecah berkeping-keping. Tahu perhitungannya tepat, Eophi
berseru, “Balas, Vajra... Urgh!”
Vajra terkesiap melihat Eophi berdiri terpaku memunggunginya.
Lebih terkejut lagi saat melihat sebentuk telapak tangan sarat energi petir
menembus tubuh Eophi bagai hunjaman golok.
Walau masih memegang gada bantal guling dan perisai bantal
kepala, serangan mendadak itu telah membuat Eophi tak sempat menangkis atau
menghindar. Keputusannya membantu Vajra asli menghadapi serbuan Vajra kloning
dan para kloning gagal tadi ternyata harus ia bayar mahal.
“Kau memang sasaran pertamaku, Eophi,” kata si pelaku
pembunuhan, Vajra kloning. “Aku sengaja menggunakan jurus ‘pamungkas-pamungkasan’
Naga Pancanaka tadi, lalu mengubahnya
menjadi variasi Tinju Brajamusti.
Sekarang, tinggal menghabisi Vajra...!”
Namun, pergerakan Vajra kloning dicekal oleh Eophi sekarat
yang memeluknya dengan kuncian erat. Bahkan tangannya yang menembus tubuh Eophi
tak dapat ditarik keluar.
“Dasar pengganggu kecil menyebalkan! Lepaskan aku! Matilah
kau! Mati!” Vajra kloning menghantamkan telapak tangannya yang bebas dan sarat
energi petir bagai palu godam, mendera tubuh dan kepala si pencekal.
Di ujung asanya, Eophi berteriak nyaring, “Tunggu apa lagi,
Vajra? SERANG!”
Vajra yang tengah dikepung rapat dan diserang dari segala arah
justru baru saja siap. Ia lantas menghentakkan energi pamungkasnya, lalu melompat
lolos dari kepungan dan melayang di udara. Kedua tangannya menunjuk ke atas dan
bawah, posisi tubuhnya berdiri dengan dua kaki rapat. Itulah gerakan awal
pengerahan jurus pamungkas, Bumi
Berguncang, Langit Gempar.
Air yang menggenang di pelupuk mata Vajra tak tertahan lagi.
“Terima kasih, Eophi!” serunya.
Yang selanjutnya terjadi sungguh bagai gambaran kiamat. Petir
menyambar dari langit-langit dan lantai sambut-menyambut, terus-menerus. Walau
tak sebesar pancaran petir Naga
Pancanaka, daya rusak yang lebih dahsyat dari listrik bertegangan tertinggi
yang pernah ada di dunia, menyambar para kloning hingga tubuh mereka hangus,
jebol atau penuh lubang-lubang memar.
Tanpa ampun, sambaran petir berkekuatan nyaris dewata itu juga
berkali-kali menghantam tubuh sekarat Eophi hingga rusak total, tak dapat
disembuhkan lagi dengan ilmu dewa sekalipun.
Vajra kloning yang tercekal dan tak bisa bergerak hanya bisa
berteriak pilu. Energi petir yang terus-menerus merasukinya jadi amat-sangat
berlebihan, tak mampu diserap, ditampung dan dicerna tubuh kloningnya yang
fana. “Jahanam kalian, Eophi dan Vajraaa! Kutunggu kalian berdua di neraka!”
teriaknya serak dan nyalang.
Tubuh Vajra kloning meledak, melontarkan Eophi, Milk dan Light
jauh-jauh. Tubuh Milk dan Light hancur tanpa ampun, nyawa merekapun melayang.
Akhirnya rentetan petir pamungkas Vajra reda, menyisakan
tubuh-tubuh yang terkapar tanpa daya, yang bahkan hampir semuanya tak bernyawa
di lantai yang tergenang air. Tak satupun dari mereka yang bergerak untuk
bangkit, bahkan menggerakkan ujung jari sedikitpun.
Setelah ledakan itu, Vajra kloning terurai seketika menjadi
partikel-partikel cahaya. Anehnya, partikel-partikel itu malah merasuki setiap
relung raga Vajra asli, mengembalikan energi kehidupan dan meningkatkan
kekuatan fisik dan prana kembarannya yang ternyata sejati itu.
Mendapat hasil dan asupan besar itu, yang pertama Vajra
lakukan justru menghampiri Eophi. Napas pria bersosok bagai anak pra-remaja itu
sudah satu-satu. Vajra berusaha keras memulihkan tubuh Eophi dengan prananya,
namun tak lama kemudian ia tertunduk sambil menggelengkan kepala. Luka-luka di
tubuh Eophi terlalu parah, nyawanya tak terselamatkan lagi.
Bahkan Hel, naga mungil yang baru muncul dari persembunyiannya
menari-nari lagi untuk menyembuhkan Eophi. Namun akhirnya ia ganti bernyanyi
lirih dan pilu, sarat duka-nestapa.
“Eophi, cungguh malang
nasibmu...! Andai tadi celangan ci kloning tadi kena di Pajla, mungkin kau
takkan pellu melegang nyawa!” Vajra terkesiap, ia bisa mendengar suara
batin si naga cadel!
“Mungkin saja tidak,
Hel. Hanya saja, firasatku mengatakan aku ingin membantu Vajra,
bahu-membahu sebagai saudara
seperjuangan dengannya,” jawab Eophi, mengerahkan telepati dengan sisa
tenaga terakhirnya. “Tapi sayang aku
harus terhenti di sini. Vajra, kau kini bisa mendengar suara batin Hel, ‘kan?”
Vajra mengangguk. “Ya.”
“Baguslah. Hel, tolong
kau ikut dan membantu Vajra mulai sekarang. Dan Vajra, terimalah Hel sebagai
pengganti diriku. Walaupun cadel, buta dan sulit diatur, si cilik itu bisa amat
membantumu sebagai pendukung dan penyembuh yang dapat diandalkan. Apa kau
bersedia?”
“Eophi, kau adalah
pahlawan sejati. Tentu saja segala bantuanmu kusambut dengan senang hati,” jawab
Vajra.
“Aku... pahlawan? Haha,
senangnya. Pengakuan itulah yang ingin kudengar selama berabad-abad hidupku
sebagai Myrd. Ah, akhirnya kini aku bisa tidur sepuas-puasnya. Tak pernah aku
semengantuk ini... rasanya... lelah sekali.”
Eophi menutup mata di pangkuan Vajra, wajahnya tampak
tersenyum damai seakan tengah bermimpi amat indah. Sekilas, ia terkesan sedang
tidur amat nyenyak, ditemani perlengkapan tidurnya yang setia, yaitu Milk,
Light, Cloud dan White. Lalu tubuh Eophi terurai menjadi partikel-partikel
cahaya yang terus membubung hingga menembus langit-langit, lenyap tuntas.
Vajra bangkit berdiri dan menunduk, tanda duka dan
penghormatan terakhir. Air matanya tak terbendung lagi, hatinya hancur luluh.
Eophi yang ingin ia ajak dalam gerakan perlawanannya sebagai saudara
seperjuangan, seperti halnya Tim Lightbringers
malah harus kembali ke ranahnya dan penciptanya sendiri.
Lalu, suara roh Bima kembali terngiang, “Jangan patah semangat, Vajra. Kau telah mengalahkan
keinginan-keinginan terbesarmu, mengalahkan iblis dalam dirimu sendiri. Sudah
cukuplah ajaranku untukmu, selanjutnya aku, Arjuna dan Gatotkaca hanya akan
membantumu saja hingga tiba masanya beristirahat nanti.”
“Terima kasih Guru Bima,
karena telah mewakili ayahku dan jadi guruku yang baik. Akan kuingat terus
pesan-pesan yang kausampaikan ini seumur hidupku,” ujar batin Vajra.
“Baiklah, waktunya
untukku pula untuk istirahat sebentar. Majulah terus, Vajra! Terbanglah tinggi,
gapailah langit di atas langit. Namun jangan lupa mendarat kembali di bumi.” Suara
batin Bima tak terngiang lagi.
Vajra lantas berjalan menuju portal gaib bersama Hel si bayi
naga merah, sahabat barunya. “Ayo, Hel.
Ada banyak sekali tugas yang harus kita tuntaskan di luar sana.”
“Ya, Vajra.” Hel
kini tak buta lagi, suaranyapun tak cadel lagi. Seperti halnya tuan barunya
ini, rupanya bayi naga itu telah beranjak dewasa.
Tak ada komentar apapun dari Si Hitam. Vajra melangkah ke
dalam portal gaib itu, bersiap untuk pertarungan selanjutnya, menguak misteri
terbesar Sol Shefra... atau ikut beristirahat pula.
Doppelgänger:
Ada dua versi Doppelgänger. Yang satu adalah roh gaib yang memiliki jasmani
makhluk fana-alami, dan versi kedua adalah versi supranatural, makhluk gaib
yang dapat berubah menjadi roh dan makhluk fana. Kedua versi itu adalah
kembaran, dengan sifat yang bertolak-belakang dengan manusia atau makhluk
apapun yang ditirunya. Bila perbedaan sifat antara kedua kembaran itu terlalu
ekstrim, si Doppelgänger cenderung berusaha untuk bertemu dan membunuh
kembarannya.
VAJRA
– ROUND 4 UPGRADE
Bumi
Berguncang, Langit Gempar (Unlocked Skill, Jurus Pamungkas)
Hujan petir dari langit serta erupsi petir dari bumi
mengepung banyak sasaran. Kekuatannya hanya optimal saat prana mencapai puncak,
ditandai dengan berpendarnya ketiga pusaka bersamaan. Jurus ini sudah dapat
digunakan di Ronde Keempat karena Vajra sudah mampu mengerahkan jurus secara
mandiri, tak bergantung pada zirahnya sejak akhir Ronde Ketiga.
Kelemahan Jurus:
-
Bila Vajra mengerahkan sihir ini, ia akan dalam
keadaan lemah. Vajra tak akan bisa mengerahkan prana alias tenaga dalam selama
sedikitnya 10 detik.
-
Bila energi untuk pengerahan jurus ini dihimpun dalam
ruangan tertutup, daya rusak yang dihasilkan tak sebesar di ruangan terbuka,
terekspos langsung ke langit dan tanah.
No comments:
Post a Comment