[Battle of Realms 5 - Exiled Realms - ROUND 3]
VAJRA – SAYAP-SAYAP ARJUNA
Penulis: Andry Chang
Mulat mara Sang Harjuna sêmu kamanungsan
kasrêpan ri tingkahing musuh niran
padha kadang aywa taya wang wanèh
hana pwang anak ing yayah mwang ibu lèn uwanggéh paman
makadi narpa Salya Bhisma
sira sang dwijanggih guru
kasrêpan ri tingkahing musuh niran
padha kadang aywa taya wang wanèh
hana pwang anak ing yayah mwang ibu lèn uwanggéh paman
makadi narpa Salya Bhisma
sira sang dwijanggih guru
Ketika melihat barisan Kurawa, Arjuna merasa trenyuh
Sedih saat menyadari status musuh-musuhnya
Semua adalah saudara, bukanlah orang lain
Ada keponakan dari garis ayah dan ibu, atau terhitung paman
Seperti Prabu Salya, dan Resi Bhisma
Beliau adalah Sang Pandhita juga adalah guru
Suluk Pathêt Sanga Wantah – Lagu Pedalangan Jawa
= Bagian 1 =
ARJUNA WIBAWA
Tempat ini... sama sekali tak mirip Alforea.
Saat kedua kakinya mantap menjejak tanah padat, Raditya Damian yang akrab disapa Radith menoleh ke kiri-kanan. Tak ada Maid Eloise atau pemandu lain yang menyambutnya kali ini. Pemandangan yang ada hanya sebuah jalan setapak dengan pohon-pohon sakura yang baru berbunga yang berjajar di kiri-kanan jalan.
Tampak pula di sekitar Radith, para peserta Turnamen Antar Ranah Battle of Realms lain juga menoleh kesana-kemari, kasak-kusuk dengan nada seperti kebingungan. Lalu, Zhaahir, seorang peserta yang pernah bertarung melawan Radith alias Vajra di Padang Salju Los Soleil mencairkan suasana dengan mengajak semua peserta lain berjalan mengikuti jalan setapak.
Tanggapan terbaik Radith tentu dengan berjalan terus, sambil tersenyum simpul ke arah Zhaahir. Entah apakah si pangeran bertopeng itu masih ingat tentang pertarungan yang lalu, atau hanya mengingat itu menurut versinya sendiri saja.
Sambil mengamati keindahan bunga sakura, Radith mengamati para peserta lain dan mengenali beberapa di antara mereka. Ada para pendekar lain yang pernah bertarung dengan dirinya sebagai Vajra di Los Soleil, yaitu Lo Dmun Faylim dan Renggo Sina. Tampak pula Dyna Might, yang ia hadapi dalam Core Level Database Alforea. Ada pula para saudara seperjuangan Radith di Tim Lightbringers, Wildan Hariz dan si gendut kecil yang membuat senyum Radith merekah seperti sakura, yaitu Bun. Ternyata takdir telah mendatangkan mereka ke tempat ini pula.
Namun, tak tampak sosok-sosok yang pernah Radith temui baik di Server Alforea maupun di medan pertarungan yaitu Ernesto Boreas, Reviss Arspencer, dan anggota Lightbringers bernama Liona Lynn dalam rombongan peserta turnamen itu. Tak tampak pula pria tua yang sempat mewariskan ilmu Pencak Silat pada Radith, yaitu Kumirun. Itu berarti takdir telah menentukan mereka harus kembali ke ranah dan pencipta masing-masing.
Tiba-tiba Radith teringat sesuatu. Oh ya, aku harus menyampaikan pesan Tamon Rah! Sebelum Radith sempat mencari data tentang Bu Mawar dalam ponsel pintarnya dan mengenalinya di antara para peserta turnamen, muncullah seorang wanita yang mengenakan gaun tradisional yang disebut kimono. Wanita itu memberitahu semua peserta bahwa tempat ini adalah Amatsu, salah satu dari empat server utama di Planet Sol Shefra. Lalu wanita itu mengantar para peserta ke kota.
Setibanya di kota, sejauh mata Radith memandang, tampak bangunan-bangunan berarsitektur ala Jepang Kuno, bukan Eropa seperti di Kota Despera, Alforea. Khayalan Radith lantas melayang ke zaman di mana kaum Samurai saling berlaga, dan para Shogun berkuasa mutlak di Jepang di Bumi. Atau jangan-jangan Server Amatsu ini adalah Kekaisaran Shima, salah satu wilayah ekspansi digital dalam ranah game Everna Online?
Tidak, ini ranah lain lagi, bukan Everna. Hal itu dipertegas dengan keberadaan sebuah gedung yang sangat besar, mirip Koloseum di Roma atau Stadion Utama Senayan di Jakarta, Indonesia namun interior dan eksteriornya mirip istana ala Jepang Kuno yang disebut donjon. Setelah memasuki gedung bernama Budukan ini dan mengambil tempat duduk, Radith baru tahu jelas bahwa tempat ini dijadikan server dan lokasi lanjutan turnamen Battle of Realms lewat keterangan si manusia merah berwajah mirip ikan, Tarou. Lantas wanita berpakaian warna-warni layaknya ningrat di tribun kehormatan, mungkin adalah seorang ratu bernama Netori juga menarik perhatian Radith.
Satu hal yang pasti, Radith harus bertarung hari ini. Dan kali ini, pemuda berambut hijau dikepang ekor kuda itu merengkuh kalung berbentuk bintang emas di balik kaus hijaunya. Sejak Babak Penyisihan, ini pertama kalinya keringat dingin bercucuran dari dahi Radith. Dan ini bukan karena ia belum tahu lawan yang akan ia hadapi. Bukan pula karena Radith mungkin tak akan sempat mempelajari calon lawannya itu lewat database peserta turnamen dalam smartphone kristalnya.
Hampir seketika, suara sang pembawa acara, Tarou kembali berkumandang, "Para peserta diharap menemui panitia di dojo untuk instruksi lebih lanjut. Tak usah repot, kalian semua akan diteleportasikan ke sana... sekarang."
Mendadak, yang Radith lihat hanya seberkas cahaya putih. Lalu ia mendapati dirinya berada dalam ruangan berlantai kayu dan beralaskan karpet tatami. Tak salah lagi, inilah ruang latihan yang disebut dojo tadi. Berasal dari ranah Bumi modern, segala pernik ala Jepang ini tak asing lagi bagi si rambut hijau ini.
Seorang gadis cantik berkimono dan berambut biru laut layaknya tokoh anime, film kartun ala Jepang membungkuk ke arah Radith. "Selamat datang di Dojo Budukan, Vajra-san." Suara gadis itu lembut dan meninggi seperti gadis yang baru beranjak remaja. "Namaku Hatsu, dan aku pemandumu di Server Amatsu ini. Seperti yang diterangkan oleh Tuan Tarou-sama tadi, kau akan bertarung bersama monster mitramu melawan peserta lain bersama monsternya. Seperti babak-babak selanjutnya, kemenangan ditentukan dengan menghabisi lawan. Bedanya, kalian hanya perlu menghabisi salah satu lawan saja, entah si peserta atau monsternya. Tentu kalau menghabisi kedua-duanya sekaligus, itu bakal kelihatan sangat keren, 'kan?"
Hatsu tertawa cekikikan, ekspresi wajahnya berubah menjadi seperti orang yang suka menyiksa kekasihnya sebagai ungkapan rasa sayang yang obsesif. Namun, melihat mata Radith yang terbelalak, Hatsu langsung berdehem.
"Ehm, ya. Jadi, apa kau sudah punya monster sebagai mitramu? Kalau belum, silakan memilih satu monster atau makhluk gaib dari ranah asalmu, kami akan mendatangkannya ke server ini."
Radith berkata, "Ah, aku belum pu..."
Satu suara maskulin nan lembut menyela, "Biar aku yang jadi makhluk pendampingnya."
Saat Radith akan protes, tiba-tiba kalung bintang emas Vajra menyelusup keluar dari balik kausnya. Cahaya emas terpancar dari kalung itu ke lantai. Dari tatami itu keluarlah sesosok makhluk. Pertama muncul kepalanya yang menyerupai kepala burung rajawali dan mengenakan pelindung kepala berwarna emas. Lalu secara bertahap muncul pula tubuh dan tangan manusia, juga sepasang sayap dan kaki burung rajawali.
Si manusia-rajawali lantas berkata pada maid, "Aku adalah garuda, dan namaku Arjuna."
"Baik, biar saya catat. Silakan bersiap-siap. Bila portal gaib muncul, kalian masuklah ke sana dan mulai bertarung di arena. Semoga beruntung di turnamen ini." Tanpa banyak basa-basi lagi Hatsu berbalik, membuka pintu geser dan meninggalkan ruangan dojo.
"Apa-apaan ini, Guru Arjuna?" Radith menatap tajam ke arah garuda itu, giginya gemertak. "Guru ingin aku bertarung tanpa Zirah Vajra?"
Arjuna si garuda hanya mengangguk mantap.
"Tanpa Vajra, aku pasti mati di luar sana! Inikah maksud kata-kata guru saat kita meninggalkan database Alforea, 'menempa diriku ke tingkat berikutnya'?"
"Persis. Itu karena selama ini kau telah melakukan kesalahan fatal, Radith."
Radith terkesiap. "Kesalahan fatal apa!?"
"Pertama, kau terlalu tergantung pada Zirah Vajra, padahal seharusnya kau harus meningkatkan kekuatanmu sendiri agar dapat menguasai pusaka itu, bukan sebaliknya. Aku tahu kau mampu melakukannya, Radith. Kau hanya perlu menyadari potensi dan kekuatanmu itu saja, dan inilah saat paling tepat untuk melakukannya."
"Hei, aku sudah cukup kuat, 'kan? Guru sudah lihat, aku sudah menaklukkan seorang dewi."
Arjuna menggeleng. "Justru itulah kesalahan keduamu, Radith. Ingat, kau mengalahkan Tamon Rah berkat tambahan energi dari Bun dan bantuan serangan pamungkas Dyna Might, tapi kau malah jadi tinggi hati dan besar kepala. Hati-hati, justru sikap itulah yang bakal membuatmu terbunuh di arena itu sebentar lagi."
"Jangan menyumpahiku, guru!" Di puncak amarahnya, tampak percikan-percikan petir menjalari bahu dan kedua tangan Radith. "Biar aku terus bertarung sebagai Vajra, dan akan kubuktikan bahwa kata-kata guru itu salah! Tri Mandala Vajra! Tri Mandala Vajra!"
Tak terjadi apa-apa. Jangankan Zirah Vajra, percikan sukma Bima dan Gatotkacapun tak muncul dalam bentuk wayang golek atau apapun, bungkam seribu bahasa.
"Bahkan Bima dan Gatotkacapun setuju dan membiarkanku mendidik murid keras kepala padahal kurang pengalaman dan kurang ilmu ini." Nada bicara Arjuna tetap datar. Emosinya tak terpancing, menunjukkan pengalamannya yang seluas samudera dibanding pengalaman muridnya yang hanya setetes embun itu. "Silakan pilih, Radith. Terus maju dan ikuti petunjukku, atau mundur dari turnamen ini dan kembali ke Bumi untuk jadi tumbal Ki Rogohjiwo."
==oOo==
Riuh-rendah sorak-sorai ratusan penonton di Koloseum Budukan justru membuat suasana jadi lebih tegang dan mencekam. Mendengar itu, Radith yang keluar dari portal gaib dan kini berjalan menyusuri lorong remang-remang bersama Arjuna Garuda terus memegangi dadanya. Jantungnya berdebar keras, seluruh tubuhnya gemetar dan langkah-langkahnya terasa amat berat.
Saat Radith melangkah ke dalam tanah padat arena, suara Tarou si pembawa acara kembali membahana, "Nah, inilah para petarung yang kita tunggu-tunggu. Vajra si Dalang Petir dan Caitlin Alsace, Harimau dari Ostrogoth!"
Semua mata tertuju pada para petarung di arena, dan suara-suara terkesiap bergema. Kebanyakan dari mereka menunjuk-nunjuk ke arah Radith yang tampil sebagai dirinya sendiri, bukan sosok pahlawan super bernama Vajra. Berusaha meredam tekanan dari para penonton itu, Radith mengalihkan perhatiannya pada lawan tandingnya.
Di ujung lain arena bundar dengan garis tengah kira-kira lima puluh meter ini, wanita yang disebut Caitlin itu mendekat dari kejauhan. Mengenakan zirah putih berkilap bagai keperakan, Caitlin mengibaskan rambut hitam sepanjang dagu yang menutupi separuh wajahnya, yang masih tampak cantik walau sedikit berhias bekas-bekas lukanya. Jelas sudah, lawan Radith kali ini adalah sosok yang amat berpengalaman dalam perang, berwibawa dan yang pasti, memiliki kekuatan yang tak dapat diremehkan.
Kembali Tarou berseru, "Berikut, inilah para mitra tarung mereka. Mendampingi Vajra, inilah Arjuna sang garuda, penguasa angkasa raya!"
Arjuna sengaja melayang tepat di belakang Radith, menebarkan tekanan nyata pada lawan dengan mengepakkan sepasang sayapnya yang membentang sepanjang kira-kira tiga kali tinggi tubuhnya. Tubuh gabungan satwa dan titisan dewata itu berpendar lembut, sarat kekuatan yang tak terukur besar dan batasnya.
"Dan sebagai pendamping Caitlin Alsace, mari kita sambut sang naga yang pernah menggetarkan dunia... Fafnir!"
Caitlin mengayunkan tangan kiri yang dipakainya mengibas rambutnya tadi ke satu sisi. Hampir seketika, tanah di belakangnya berguncang. Dari dalam tanah, secara gaib dan cukup perlahan muncullah sosok seperti kadal raksasa bersisik perak, tanpa sayap dengan tubuh sepanjang kira-kira delapan meter. Naga yang disebut Fafnir itu menegakkan lehernya yang jenjang seperti jerapah, hingga tampak setinggi kurang-lebih tiga setengah meter. Raungan Fafnir membahana, sambil ia mempertontonkan deretan taringnya yang amat runcing, mampu mengoyak benda apapun termasuk hampir segala macam logam.
Tanpa sadar Radith menoleh, mendelik marah pada Arjuna. Menghadapi lawan-lawan berzirah seperti ini, apalagi salah satunya monster raksasa, tak mengenakan pelindung sama sekali sama saja bunuh diri. Namun Arjuna tak bergeming. Mata elangnya menatap tajam pada Radith, mengingatkan muridnya itu pada pembicaraan mereka di dojo tadi.
Percuma mendebat sang guru, Radith kembali mengalihkan perhatiannya pada lawan. Caitlin lantas mengenakan helm yang sejak tadi dikepit dengan lengan kanan, tersembunyi di balik jubah separuh yang selalu ia kenakan layaknya bangsawan. Sekilas, penampilan Caitlin jadi seperti robot berwujud manusia alias android, sejenis dengan salah satu peserta lain yang pernah dihadapi Radith di Los Soleil, yakni Renggo Sina.
Dengan suara dibuat-buat, Tarou kembali "berkicau" dari depan tribun kehormatan, "Nah, inilah arena pertarungan mereka!"
Tepat di tengah arena, tampak sebatang pohon raksasa yang menjulang kira-kira setinggi lima puluh meter. Batangnya setebal kira-kira enam meter lebih, dengan garis tengah terjauh persebaran cabang-cabangnya mencapai hampir lima belas meter.
"Inilah Pohon Hayat," lanjut Tarou. "Dikenal dengan nama Kalpataru di negeri asal Vajra, Indonesia dan Yggdrasil di Midgard, ranah asal Caitlin. Vajra dan Caitlin, apa kalian sudah memahami segala peraturan dalam pertarungan ini?"
Caitlin menjawab singkat, "Ya." Sedangkan Radith tak menjawab. Ia hanya menatap sebal ke arah Tarou, seakan ingin berkata tak apalah ia terus dipanggil Vajra. Tapi bila si muka ikan itu mengganggu para peserta selama laga berlangsung dengan komentar-komentarnya, Radith akan mencincang si Tarou itu dan menjadikannya sushi, masakan ikan mentah khas Jepang.
Maka, tanpa menunggu lebih lama dan berasumsi tak ada pertanyaan dari kedua tim petarung, Tarou mengibaskan kipas bambu yang selalu dibawanya. "Baik, pertarungan antara Vajra dan Caitlin, mulai!"
Beda dari babak-babak sebelumnya, kali ini Radith tak langsung berlari ke arah lawan di ujung arena. Ia malah lari ke arah pohon raksasa sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah Caitlin, seolah hendak menembakkan Panah Pasopati. Gila! Panah petir saja macet, apalagi jurus-jurus lainnya! Mata Radith terbelalak, tak percaya dengan yang ia lihat.
"Tenangkan dirimu! Lari terus ke arah Kalpataru! Pusatkan pikiranmu, coba kerahkan tenaga dalam yang lebih banyak untuk setiap jurus Vajra!" seru suara batin Arjuna lewat telepati pada Radith. "Ingat, Vajra adalah kamu, bukan zirahmu!"
"Vajra adalah aku?!" Benak Radith terasa bagai tersengat arus listrik. Pasalnya, tak satupun gurunya pernah mengatakan hal itu padanya hingga saat ini. Ini sungguh bertentangan dengan fakta yang ia pahami selama ini. Bukankah Vajra adalah gada petir dewata tempaan Indra, raja dewa-dewa Veda? Senjata yang dipecah-pecah dan dipinjamkan pada para Ksatria Pandawa sebagai Busur Gandiwa, Kuku Pancanaka dan Zirah Antakusuma?
Lagipula, perhatian Radith saat ini lebih terpusat pada Pohon Hayat Kalpataru, serta Caitlin yang mendekat bersama sosok Fafnir yang meraksasa. Ia tahu, dirinyalah yang bakal diincar tim lawan. Sekali lagi Radith sungguh merasa tak berdaya, seperti saat Ki Rogohjiwo menumbangkan dirinya kala itu.
Lagi-lagi nyawa Radith bagai telur di ujung tanduk.
= Bagian 2 =
SANG PENGGEMPUR YGGDRASIL
Menatap pohon raksasa di tengah arena tarung di Koloseum Budukan, Caitlin Alsace menggemeletakkan gigi di balik helm tempurnya. Matanya menyorot nyalang bagai harimau terluka, seakan ia tiba di tempat yang paling ingin ia hancurkan di seantero semesta.
Pohon Hayat dikenal dengan nama Yggdrasil di Midgard, ranah asal Caitlin. Parahnya, Yggdrasil di zaman asal Caitlin adalah nama markas utama Asgard, negeri ras unggul yang sedeng berperang dengan Midgard. Dan Asgard telah membuat Caitlin kehilangan ayah tercinta, juga banyak saudara, rekan dan sahabat dari Klan Alsace.
Namun, pengalaman Caitlin yang amat matang di medan perang serta wataknya yang cukup dewasa berhasil meredam luapan bara emosinya tadi. Ia lantas bicara lewat alat komunikasi dalam helmnya, "Kaulihat itu, Grey? Kata pembawa acara, pohon itu adalah versi miniatur dari Yggdrasil yang asli, Pohon Hayat sejati yang seharusnya menaungi Asgard, dan Midgard pula!"
Suara pria bernama Grey menyahut lewat earpiece Caitlin, "Astaga, itu benar-benar Yggdrasil, Cat! Hebat! Dengar, aku punya ide. Markas Besar Yggdrasil di Asgard sangat mungkin dibangun berdasarkan struktur Pohon Hayat yang asli. Ini kesempatan emas kita untuk mempelajari miniatur Yggdrasil ini, membuka jalan menuju kemenangan akhir atas Asgard... dan tentunya atas musuh utama kita bersama, Vincent Gunnhildr!"
"Itu ide bagus, Grey," tanggap Caitlin. "Tapi kita mungkin akan sangat kesulitan melakukannya, karena aku juga harus mengalahkan para lawanku dalam pertarungan kali ini."
"Tenang, Cat. Begini saja, kau berusahalah bertarung sambil menjelajahi Yggdrasil. Aku akan merekam dan memindai semua yang kaulihat lewat kamera di helmmu, lalu membandingkannya dengan skema dari naskah-naskah kuno dalam database kita, juga data-data yang telah didapatkan para mata-mata kita dengan bayaran nyawa. Nah, menangkan babak ini, Cat! Dengan demikian kita akan makin banyak mendapatkan kunci untuk menaklukkan Gunnhildr!"
Caitlin tertawa renyah. "Itulah yang selalu kulakukan, Grey. Aku kemari untuk menang dan mempersembahkan kemenangan sejati bagi Midgard. Doakan aku ya?"
"Semoga Odin, penguasa sejati Asgard selalu memberkatimu."
Sambungan komunikasi Grey terputus, ditandai satu bunyi isyarat. Caitlin hanya berkata, "Ya!" untuk menjawab pertanyaan terakhir Tarou, dan memutuskan mengamati Vajra dan Arjuna dari kejauhan. Ada setitik rasa gentar mengusik kalbu si wanita berzirah ini. Pasalnya, pemuda berambut hijau itu dikenal sebagai pendekar pengguna petir dan, menurut desas-desus di kalangan peserta turnamen, sangat tangguh. Apalagi Vajra dibantu Garuda Arjuna, makhluk penerbang yang konon memiliki kesaktian yang melegenda.
Untunglah di dojo tadi Caitlin memilih Fafnir, naga sakti yang amat legendaris di ranahnya, Midgard sebagai mitra tarungnya. Paham betul kekutan dan kelemahan "monster mitra"-nya ini, dengan penuh percaya diri Caitlin melangkah maju sambil mengulurkan tangan kanannya yang berujung laras semacam meriam atau senapan berkaliber besar saat Tarou memulai pertarungan.
Namun, mata Caitlin tiba-tiba mendelik keheranan. Tampak Vajra menunjuk-nunjuk ke arahnya, namun tak ada apapun yang meluncur dari jarinya itu. Caitlin membatin, Vajra tak mengenakan topeng separuh dan zirah saktinya, apa yang terjadi padanya? Jangan-jangan...?!
Sebagai seorang ahli strategi, Caitlin tak lantas terpancing dan menyerang Vajra dengan agresif. Ia memilih berjaga-jaga dari segala kemungkinan tipuan dengan melambatkan langkah dan menoleh ke arah rekannya di belakangnya.
Caitlin terkesiap. Ternyata Fafnir sedang bertarung dengan Arjuna, yang menyerang naga itu secepat angin dari udara. Arjuna nyaris tanpa henti menembakkan panah-panah berunsur angin dari kedua jari telunjuknya. Semua Panah Pasopati itu tepat mengenai tubuh besar Fafnir. Namun empat perlima daya serangan prana angin yang setara dengan sihir itu berhasil diredam sisik-sisik keperakan Fafnir. Hingga sisa daya yang merasuki tubuh si naga terasa tak lebih dari tusukan jarum saja.
Fafnir tentu menyerang balik. Walau naga itu berjalan amat lamban, serangan lehernya yang mampu diulur hingga empat meter ke pelbagai arah cukup cepat untuk memaksa Arjuna menghindar kesana-kemari. Pertarungan keduanya jadi bagai katak hendak memerangkap nyamuk dan nyamuk hendak menggigit katak.
Bagus, Fafnir. Kini aku bisa berkonsentrasi pada Vajra, batin Caitlin sambil terus berlari menuju Yggdrasil.
Memperkuat dugaan Caitlin, Vajra lari ke balik batang Yggdrasil. Caitlin berbalik untuk menyergap lawan di sisi lain pohon. Namun Vajra malah muncul dari sisi semula dan mengacungkan telunjuknya lagi. Lagi-lagi tak ada lesatan panah petir dari sana.
Refleks, Caitlin berbalik dan mengarahkan laras mini railgun pada telapak tangan kanan mekanisnya pada si penembak. Namun sekali lagi Vajra seakan lenyap begitu saja. Caitlin lantas mengerahkan energi ekstra dari zirahnya dengan Power Drive. Ia berlari lebih cepat dari sebelumnya, memutari pohon. Anehnya, Vajra tetap tak kelihatan.
Suara Grey kembali terdengar. "Wah, ini aneh. Menurut data peserta turnamen, Vajra adalah tipe penyerang murni. Biasanya dia berhadap-hadapan langsung dengan lawan dalam tiap pertarungan, mengadu jurus dan kekuatan. Tapi kali ini dia lari menjauh, sembunyi dan menembak dengan diam-diam."
Caitlin mengarahkan pendangannya ke sekeliling dan ke atas pohon. "Bisa jadi Vajra sedang mencoba mengukur kekuatanku dengan jurus-jurus tipuan. Oh ya, kulihat tadi Vajra tak mengenakan zirahnya. Jangan-jangan...!"
"Cat, awas!" Peringatan Grey tepat waktu. Caitlin berkelit ke satu sisi, panah petir Vajra berdesir dan menancap di tanah dan buyar. Rupanya Vajra telah memanjat pohon dan menembak Caitlin dari atas. "Huh, aku paling benci penembak gelap. Beri dia pelajaran, Cat!"
"Baik, aku akan memanjat. Laksanakan tugasmu saja ya, Grey."
Menggunakan sisa energi dari Power Drive zirah mekanis Black Tiger tadi, Caitlin melompat tinggi-tinggi, lalu memanjat batang Yggdrasil secepat dan selincah harimau.
Tiba di percabangan tingkat pertama, Caitlin langsung melompat dari cabang ke cabang pohon yang amat tebal dan kokoh, berusaha menempatkan Vajra dalam jarak tembaknya.
Hampir seketika, Vajra malah tampak menghampiri Caitlin, menyambutnya dengan berondongan panah petir.
Caitlin tersenyum di balik helmnya sambil berseru, "Bagus! Sambut balasanku!"
Mini railgun Caitlin menyalak, memuntahkan berondongan peluru hingga menghabiskan satu magasinnya. Namun lawan tampak bergerak lebih lincah daripada Caitlin, layaknya kera saja. Walau begitu, setidaknya dua peluru menyerempet tubuh Vajra. Itu cukup membuat Vajra terpental dan terjatuh dari cabang pohon.
Namun, imbas tembakan mini railgun tadi membuat Caitlin ikut terpental. Bedanya, tubuh lapis baja Caitlin membentur batang Yggdrasil dan jatuh terduduk di cabang besar pohon itu.
Caitlin mengerang kesakitan dan berusaha berdiri, namun roboh lagi. Rupanya, selain dampak daya imbas tadi, empat anak panah Vajra yang mengandung energi petir bertegangan tinggi telak menyengat zirah Caitlin. Akibatnya Caitlin tak bisa bergerak, menggunakan persenjataan dan mengerahkan tenaga ekstra dari zirahnya selama beberapa menit.
Sambil terus meringis menahan sakit, Caitlin membatin, Ugh, ceroboh sekali aku ini. Vajra mungkin terluka parah akibat seranganku tadi. Tapi aku tak menduga panah-panah petirnya mampu membuatku kehilangan kesempatan untuk menghabisinya! Bodohnya aku, terjebak tipuan pendekar kemarin sore itu! Awas kau, Vajra! Akan kubalas kerugian ini seribu kali lipat!
= Bagian 3 =
ASA DI KALPATARU
Hascarya Parta wêkasan muwah ékatana
yèka wisanggêni maya
Sang Hyang I Supradipta
yèka wisanggêni maya
Sang Hyang I Supradipta
Arjuna, Sang Parta amat menyukai pemberian panah
Yaitu Wisanggeni utama
Dari Sang Hyang I Supradipta yang bercahaya luar biasa
Suluk Pathêt Sanga Jugag – Lagu Pedalangan Jawa
Arjuna terkesiap. Sebuah firasat amat buruk tiba-tiba merasuki benaknya.
Melayang di udara sambil mengibaskan sepasang sayapnya, Ksatria Pandawa dalam wujud garuda itu menoleh sekilas ke arah Pohon Hayat, Kalpataru. Ingin rasanya melesat secepat badai ke sana, namun sesuatu yang amat besar menahannya. Dan "sesuatu" itu bernama Fafnir.
Memanfaatkan kelengahan sesaat Arjuna, Fafnir sang naga mengulurkan lehernya untuk menggigit sang garuda di udara. Namun refleks yang telah amat terlatih membuat Arjuna berhasil menghindar. Rahang Fafnir yang menganga mengatup keras hanya dua jengkal dari kaki dan sayap Arjuna. Andai deretan taring yang mampu mengoyak tank baja itu menghunjam tubuh si garuda yang hanya terlindung prana, habislah sudah perjuangan Arjuna dan Vajra.
"Aduh, nyaris saja tadi! Radith, jawablah Radith! Bagaimana keadaanmu? Apa kau terluka? Jawablah!" Di "jarak aman" ini, Arjuna memancarkan telepatinya secara berkesinambungan. Perasaan ini mungkin tak separah saat putra Arjuna, Abimanyu gugur dalam Perang Baratayudha di Padang Kurusetra. Namun rasa hati Arjuna seakan sama tertusuk-tusuk, seperti pelbagai macam senjata yang menancap di raga belia Abimanyu.
Sadar serangannya gagal, Fafnir meraung, memekakkan telinga. Ia lantas mengangkat kedua kaki depannya dan mengulurkan kepalanya, hendak meraih lawan yang melayang di luar jarak jangkauan normalnya, yaitu maksimal empat meter.
Lagi-lagi, di luar dugaan Arjuna terbang menghindar. Bedanya, kali ini satu jari kaki burung garudanya digigit Fafnir hingga putus. Arjuna memekik kesakitan, suaranya bagai teriakan burung rajawali. Ia terbang lebih jauh lagi, mendekati langit-langit tribun penonton.
Tak bisa tidak, aku harus melumpuhkan kadal raksasa ini dulu! Arjuna berkata dalam hati. Lagipula Tarou belum menghentikan laga, jadi masih ada harapan!
Dengan tekad bulat Arjuna menukik, menembaki Fafnir dengan panah-panah badai. Semua panah itu tepat mengenai sasaran, sesuai reputasi Arjuna sebagai pemanah paling legendaris dalam Epos Mahabharata dan Arjuna Wiwaha. Namun, lagi-lagi semuanya diredam, ditangkal sisik-sisik perak Fafnir, hingga Arjuna berdecak frustrasi.
Gawatnya, Fafnir lagi-lagi mengambil kesempatan. Kali ini, naga itu menyemburkan asap ungu dari moncongnya, yang menyebar ke area seluas sepuluh meter. Karena Fafnir sedang berada dekat ujung percabangan Pohon Kalpataru, sebagian asap ungu itu menyentuh cabang pohon, membuat seluruh kayunya melapuk dan semua daun yang terkena meranggas. Jelas sudah, asap ungu itu adalah kabut beracun.
Arjuna mengepakkan sayapnya dan membubung ke udara. Saat ia melihat kabut beracun itu mencapai Kalpataru, ia berhenti membubung. "Takkan kubiarkan kabut itu mencapai Radith!" seru suara batinnya.
Secepat kilat Arjuna berbalik dan melayang di tempat. Ia kembali mengepakkan sayapnya lebih cepat, menghembuskan angin badai yang seketika membuyarkan kabut beracun.
Bagai pepatah "sambil menyelam minum air", kibasan sayap-sayap Arjuna juga mengirimkan Panah Pasopati sebagai hujan anak panah yang menerpa tubuh atas Fafnir, mencari titik kelemahan yang bisa ditembus.
Sebaliknya, Fafnir hanya meraung dengan suara rendah dan panjang, seolah menertawakan lawannya. Arjuna mendengus. Satu hal yang pasti, kalaupun ada titik pertahanan Fafnir yang cukup lemah untuk ditembus, letaknya bukan di bagian atas tubuhnya.
Maka, Arjuna terpaksa mengirim satu pesan telepati lagi kepada rekannya. "Maaf, Radith. Sepertinya kau harus berjuang sendirian dulu. Ingatlah! Untuk setiap jurus Vajra, kerahkan lebih banyak prana dari biasanya! Dan Vajra adalah kau, bukan zirahmu!"
==oOo==
Kata-kata petunjuk Arjuna kembali terngiang amat jelas dalam benak Radith, teriring rasa nyeri teramat-sangat yang mendera kepalanya. Namun itu saja cukup sebagai asupan semangat. Radith lantas berusaha bangkit dari posisi awalnya, yaitu terkapar dalam keadaan tertelungkup di tanah, di bawah Pohon Kalpataru.
Radith sama sekali tak habis pikir, Arjuna, guru yang selama ini selalu membelanya, memberi batasan pada gemblengan Gatotkaca dan Bima yang seakan tak kenal batas itu, kini bagai induk burung yang mengajarkan cara terbang dengan mendorong anaknya jatuh dari sarangnya di pohon yang tinggi.
Walaupun Radith telah berhasil mengerahkan Panah Pasopati secara mandiri, kondisinya kini mirip anak burung yang jatuh di tanah padat. Ditambah luka-luka sambaran peluru mini railgun Caitlin di pundak dan perutnya tadi, wajah tampan Radith kini tampak pucat sepucat-pucatnya.
Namun, daripada diam menunggu mati, Radith memilih memaksa diri duduk bersila. Ia berusaha memulihkan luka-lukanya sendiri dengan tenaga dalam lewat proses yang disebut tapa brata, kemampuan paling dasar yang wajib dimiliki setiap pendekar ilmu beladiri sepertinya.
Kira-kira dua menit kemudian, terdengarlah suara desir peluru. Radith bereaksi secepat kilat dengan berguling ke depan. Peluru itu lantas menghunjam tanah persis di samping tubuh Radith, namun gesekan udara yang ditimbulkan peluru besar berkaliber lima puluh itu sempat menggores pahanya hingga berdarah, membuatnya terpekik kesakitan.
Sadar lawan telah dekat dan menyerang, Radith bangkit dengan tertatih-tatih, berusaha berdiri tegak-siaga. Ia lantas menegadah dan melihat Caitlin, yang bersandar di batang tebal Pohon Hayat yang menahan daya dorongan akibat menembakkan "meriam" kaliber lima puluh tadi.
"Itu balasan untuk tembakan sembunyi-sembunyimu tadi, Vajra!" seru Caitlin. "Berikutnya, aku akan membalas tipuan pura-pura tak bisa mengerahkan jurusmu tadi!" Sambil mengatakannya, ia melompat dari cabang pohon itu langsung ke arah lawan seperti harimau menerkam mangsanya.
Radith tak sempat protes bahwa dirinya tak sedang menjadi pahlawan super bernama Vajra, dan ia takkan mau mengaku bahwa ia sedang kesulitan mengerahkan jurus-jurusnya tanpa Zirah Vajra. Ia hanya berkelit ke samping dengan amat lincah dan gerakan yang atletis hasil latihan-latihan fisik bersama para wayang gurunya, ditambah dasar ilmu beladiri Pencak Silat warisan Kumirun, peserta paling senior di turnamen ini. Kali ini, segala kemampuan Radith itu ditandingkan dengan Caitlin yang menguasai ilmu beladiri khas Midgard, yaitu Hrodgeir.
Benar saja, terkaman Caitlin yang luput disusulkan seketika dengan satu tendangan tepat ke arah Radith. Refleks, Radith membalas dengan tendangan pula. Kedua kaki beradu, namun kaki Radithlah yang terpental. Jelas sekali, kekuatan fisik Radith yang setara pria biasa tak setanding dengan ilmu Caitlin yang lebih terpusat pada kekuatan dibanding kecepatan, dengan kekuatan yang bersumber dari Zirah Harimau Hitamnya.
Seperti harimau tumbuh sayap dan terbang di atas angin, Caitlin melesatkan tinju demi tinju berkekuatan penuh. Mati-matian Radith berkelit, melangkah dengan indahnya layaknya tarian maestro Pencak Silat. Namun satu tinju Caitlin yang berdesir cepat tak sempat ia hindari. Terpaksa Radith menangkis dengan kedua pergelangan tangannya, dan imbas pukulan itu membuatnya terdorong mundur. Caitlin tentu tak menyia-nyiakan kesempatan, ia menyarangkan satu tendangan dahsyat di tubuh Radith. Seperti layangan putus, Radith terlontar hingga membentur batang Kalpataru dan muntah darah.
Berdiri limbung dan bersandar di batang pohon, Radith hanya bisa melihat Caitlin menggelengkan kepala berhelmnya sambil berjalan perlahan ke arahnya. "Sayang sekali," ujar Caitlin. "Semula kukira kau sungguh kuat, Vajra. Entah apapun yang terjadi padamu, kurasa kau sungguh kurang beruntung kali ini. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja dan biarkan aku menyelesaikan urusanku di Yggdrasil ini."
Radith mengerutkan dahi, tanda kurang memahami maksud Caitlin dengan "urusan"-nya itu. "Maaf saja, bu robot," sindirnya. "Karena mengundurkan diri berarti kembali ke duniaku untuk mati, kurasa lebih baik aku mati di sini. Dan aku tak sudi menyerahkan nyawaku dengan mudahnya, jadi kali ini aku terpaksa menghalalkan segala cara."
Sambil bicara, diam-diam Radith mengerahkan prana ke sepuluh jari tangannya dan ujung-ujung kedua kakinya. Lalu ia berbalik dan memanjat Pohon Kalpataru dengan amat cepat, mencengkeram batang besar itu dengan jari-jari dan kedua kakinya. Ini adalah sebuah variasi dari jurus Jaring Dalangsukma, satu-satunya kemampuan asli Radith yang sejak semula dapat dikerahkan tanpa berubah wujud menjadi Vajra.
Caitlin terkesiap. Ia berniat menembakkan mini railgun atau meriamnya lagi, namun Radith terlalu cepat. Lagipula Caitlin tak mau rugi, mengerahkan energi dengan sia-sia. "Dasar pengecut! Kukejar kau dan takkan kuberi ampun!" Wanita berzirah itu lantas lari, lalu mulai memanjat pohon raksasa itu lagi, lagi-lagi mengerahkan energi Power Drive dari zirahnya.
Sadar dan malu karena dirinya kalah tenaga dari lawan, Radith terus memanjat sampai tingkat percabangan kelima dari atas tanah. Aneh sekali, setiap tingkatnya berjarak kira-kira lima meter. Jadi, persis di titik tengah ketinggian Pohon Kalpataru ini, jarak antara Radith dengan Caitlin sudah cukup jauh, jadi cukup waktu untuk "belajar" mengerahkan jurus berikutnya secara mandiri, agar bisa membalikkan keadaan yang merugikan Radith ini.
Bangkitlah, Tinju Brajamusti! Radith membatin. Sekali lagi ia mencoba memusatkan pikirannya sambil mengerahkan tenaga dalam lebih banyak, lebih besar daripada biasanya. Segala nyeri dari luka-luka Radith amat mengganggu konsentrasi. Apalagi suara gemersik cabang, ranting dan dedaunan makin keras, pertanda lawan sudah makin dekat.
Terlambat, Caitlin sudah tiba di percabangan tempat Radith berada. "Sudah kubilang percuma saja lari, Vajra. Pohon ini pasti akan jadi kuburanmu!" Yakin penuh pasti menang, agar lawan tak sempat melarikan diri lagi, Caitlin menghentakkan energi zirah yang lebih besar lagi, yaitu Power Drive Maximum. Seluruh tubuh Caitlin tampak berpendaran putih, siap melesatkan tenaga penghancur nan dahsyat.
Bersamaan dengan Caitlin, di ujung asanya, di luar kebiasaannya, Radith menghentakkan tangan, kaki dan seluruh tubuhnya. Inilah kesempatan terakhirnya untuk meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya. Alhasil, kilatan petir kini menyambar-nyambar dari kedua tinju dan telapak kakinya. Akhirnya Radith memahami batas prana yang harus dipancarkan untuk mengerahkan Tinju Brajamusti tanpa Zirah Vajra. Latihan bertahun-tahun untuk menguasai jurus ini seperti pendekar pada umumnya dipersingkat hingga beberapa menit saja.
Caitlin tampak mundur selangkah melihat pancaran energi Radith itu. Lalu, ia menghentak, menyerbu maju. Caitlin yakin serangan jarak dekatnya pasti mampu menghabisi Radith, apalagi didukung pijakan sempit cabang Kalpataru yang jelas segaris ini.
Tak mau kehilangan momentum, Radith juga maju menyerbu. Tepat saat keduanya memasuki jarak serang, tiba-tiba Radith melompat sambil bersalto di udara. Salah menjejak, ia bakal jatuh kira-kira dua puluh lima meter ke tanah, dan luka yang bakal ia dapat bakal jauh lebih fatal daripada jatuh dari tingkat satu Kalpataru.
Caitlin melakukan pukulan uppercut dengan tangan kiri udara, namun tanpa diduga Radith malah menendang tinju Caitlin itu. Radith lantas bersalto balik dan mendaratkan satu tendangan telak di helm Caitlin. Hantaman itu jadi lebih kuat dengan tambahan tenaga petir, sehingga helm Caitlin terlepas dari kepala wanita itu, terus melayang ke tanah di bawah.
Kembali tampak wajah cantik Caitlin, dengan rambut hitam yang nyaris menutupi mata kanannya. Namun, selain parut-parut bekas luka, Caitlin mengerutkan dahi, pasang ekspresi penuh kebencian pada lawannya. Radith salah langkah, ia tak menyangka kehilangan helm saja bisa membuat wanita itu murka.
"Helmku! Dasar perusak rencana!" Caitlin lantas memberondong Radith lagi. Kali ini rentetan pukulannya lebih bertenaga, membongkar pertahanan dua lengan lawan. Satu tinju mendarat telak di wajah Radith, dan satu sikutan menghunjam dadanya. Radith memuntahkan darah lagi.
Tak rela dipecundangi, Radith balas menyarangkan kombinasi tinju, telapak dan tendangan berputar bermuatan petir bertegangan tinggi masing-masing di wajah, dada dan pangkal lengan kanan Caitlin.
Caitlin terdorong mundur, namun langsung maju lagi. Kali ini dengan nekad wanita itu menerjang maju laksana roket. Sebelum Radith sempat bereaksi, tubuhnya terhantam keras oleh seluruh bobot tubuh dan zirah ditambah daya terjangan lawan dan kembali membentur batang Kalpataru. Alhasil Radith roboh lagi dengan posisi tengkurap.
Kabar baiknya, Caitlinpun roboh. Macetnya persenjataan zirahnya akibat panah petir Radith tadi membuat Caitlin memeras otak. Jadi sebelum zirahnya macet lagi imbas terpaan Tinju Brajamusti, Caitlin menggunakan sisa daya maksimum terakhirnya dengan menerjang Radith seperti harimau hitam menerkam mangsa.
Radith memaksa diri kembali berdiri, namun Caitlin masih terkapar di batang besar Yggdrasil. Haruskah Radith mengambil kesempatan dengan menghabisi lawan yang sudah tak berdaya?
Jawaban untuk pertanyaan Radith itu datang amat mendadak. Seluruh Pohon Kalpataru, apalagi percabangan-percabangannya berguncang keras. Pijakan Radith goyah, ia bergoyang ke kiri-kanan sambil berusaha menyeimbangkan diri sendiri di jalur sempit dan mudah goyah ini.
Radith lantas berbalik, berusaha keras untuk berjalan tertatih-tatih ke ujung cabang Kalpataru, ingin tahu apa yang terjadi di bawah. Mungkin panitia sengaja menambahkan gempa supaya pertarungan ini tak sampai berlarut-larut sehingga para penonton bosan.
Mendadak, cabang yang dipijak Radith mulai miring. Wah! Apa ini? Inikah imbas gempa itu? Gawat! Aku harus keluar dari pohon ini sebelum keadaan jadi lebih parah!
Seketika itu pula tampak Arjuna si garuda melayang di luar rerimbunan Pohon Hayat. "Radith! Fafnir mengamuk seperti gila! Dia ingin menumbangkan Kalpataru dengan menggali akarnya dan mendorong batangnya! Aku tak bisa menghentikannya! Cepat keluar dan lompat ke arahku! Aku akan menangkapmu!" seru Arjuna.
Radith malah bicara langsung, "Tapi bagaimana, guru? Aku tak bisa bergerak cepat. Lagipula kita tak bisa meninggalkan Caitlin di sini!"
"Heh, malah sok ksatria di saat seperti ini!" hardik Arjuna. "Ini, kuberikan mantra ajian jurus baru untukmu! Rapal dalam hati sambil mengerahkan energi setara Panah Pasopati, lalu lari dan lompat keluar dari pohon itu!"
Informasi baru itu deras merasuki benak Radith. Tanpa suara dari mulutnya, benak Radith langsung merapal mantra, Langkah Petir Wisanggeni!
Tak ada efek khusus yang timbul dari jurus ini. Seketika, tubuh, kedua tangan dan kedua kaki Radith terasa seringan bulu unggas.
Saat Radith baru akan berpikir meraih Caitlin, mendadak sebuah peluru kaliber besar berdesir ke arah punggungnya. Dengan refleks luar biasa cepat Radith memiringkan tubuhnya ke satu sisi. Alhasil, peluru itu hanya sedikit menyerempet kulit lengannya dan terus melesat, terarah pada si sasaran kedua... Arjuna!
Menyadari hal itu seketika, Radith mengabaikan rasa nyeri yang baru diterimanya dan berteriak, "Guru Arjuna, menghindar!" Ia berlari jauh lebih cepat dari saat ia menjadi Vajra, seakan berusaha mengejar dan menghalau peluru itu. Tiba di ujung cabang pohon, Radith meloncat.
Arjuna berkelit ke satu sisi, namun terlambat. Peluru Caitlin sudah terlebih dahulu menerjang satu sayapnya. Tak bisa terbang tanpa sepasang sayap utuh, Arjuna hanya bisa jatuh menghunjam tanah di bawahnya.
Tanpa pikir panjang, Radith menabrak dan memeluk tubuh gurunya. Lalu Radith terus terjun bebas dan mendarat dengan dua kakinya di tanah. Tubuh Arjuna di pelukannya terlepas dan jatuh, dan Radith sendiripun ikut roboh. Walau kedua kaki Radith serasa patah setelah jatuh dari ketinggian dua puluh lima meter, setidaknya ia telah menghindarkan Arjuna dari resiko amat parah hingga fatal akibat jatuh dari tempat tinggi dan menghunjam tanah.
"T-terima kasih, Radith. Kau telah menyelamatkanku," ujar Arjuna tulus. Lalu ia mengerang dengan suara seperti burung patah sayap, mirip dengan kondisinya sekarang dengan pangkal sayap kiri terluka parah dan nyaris patah.
"Sama-sama, guru," jawab Radith sambil meringis kesakitan dalam posisi meringkuk. "Masalahnya sekarang, walaupun Caitlin masih terjebak di atas sana, Fafnir pasti bakal menyerang kita sewaktu-waktu. Ada usul?"
"Kecuali kau berharap Pohon Hayat tumbang dan menewaskan Caitlin, sebaiknya kita memulihkan diri dan berpikir keras sekarang. Kurasa aku punya akal untuk menumbangkan Fafnir, tapi ini tak akan mudah. Tak mudah sama sekali."
= Bagian 4 =
PERTARUHAN
Caitlin Alsace mendengus kesal.
Walau tak jadi "menembak dua lawan dengan satu peluru", aku yakin salah satu dari mereka terkena telak. Mustahil Vajra dan Arjuna selamat setelah jatuh dari ketinggian ini. Tapi mengapa si Tarou itu tak menghentikan pertarungan? Apa jangan-jangan mereka belum kalah? Sial, sebentar lagi pohon ini pasti bakal tumbang gara-gara amukan Fafnir. Dasar hewan buas, tindakannya sulit ditebak dan diarahkan! Sudahlah, yang penting aku harus keluar dari sini!
Terpaksa Caitlin melakukan pertaruhan. Ia mengaktifkan Overdrive, yaitu pengerahan tenaga melampaui kapasitas maksimum Zirah Harimau Hitamnya. Dalam waktu sepuluh detik saja, Caitlin harus keluar dari Yggdrasil. Kalau tidak, ia akan terkena imbas pengerahan daya tadi, ditambah daya hantam jatuhan pohon raksasa yang mustahil ditanggung raga manusia biasa, dengan atau tanpa mengenakan zirah. Jadi, dengan kecepatan berlipat ganda, ia melompat dari cabang pohon yang sudah sangat miring dan meniti batang pohon yang terus rebah.
Mati-matian Caitlin berlari ke pangkal Yggdrasil, berusaha memperkecil jarak jatuhnya. Saat satu cabang pohon setebal dua meter menghalangi jalannya, Caitlin melompat ke samping. Mendapat akal, ia menembakkan magasin terakhir mini railgun-nya ke arah hamparan cabang, ranting dan daun di bawahnya. Ia menggunakan daya imbas balik tembakan dan sisa tenaga ekstranya untuk membubung sejenak, lalu kembali jatuh.
Perhitungan Caitlin tepat. Yggdrasil lebih dulu jatuh berdebam di tanah, baru tubuhnya yang menyusul sedetik kemudian. Daya jatuh Caitlin itu juga diredam rerimbunan cabang dan daun sampai ia membentur tanah. Dengan demikian, kerusakan pada zirah dan luka pada tubuh Caitlin jadi tak terlalu parah dan tak sampai fatal.
Maka, Caitlin hanya bisa terkapar sejenak beralas cabang, ranting-ranting dan dedaunan. Imbas pengerahan Overdrive tadi membuatnya sama sekali tak bisa bergerak, apalagi menggunakan senjatanya untuk sementara waktu. Ia hanya bisa membatin, Harap saja Fafnir mengikuti nalurinya dan membuat Vajra dan Arjuna kerepotan. Pasti ironis bila aku diserang dalam keadaan seperti ini, bukan?
==oOo==
Sementara itu, Radith dan Arjuna sedang melakukan pertaruhan yang lain lagi.
Seperti dugaan semula, Fafnir yang telah berhasil menumbangkan Pohon Kalpataru menoleh dan mencari-cari apakah semua yang di sana telah tewas, tak peduli lawan atau kawan. Namun, tetap saja tak ada suara apapun dari Tarou, jadi naga itu hanya bisa meraung jengkel. Ia hanya mengikuti naluri hewaninya untuk membunuh dan menghancurkan, tak bisa memikirkan apa Caitlin bakal didiskualifikasi karena ikut tewas bersama tim lawan.
Berbekal pemahaman itu, seperti seorang pemburu Radith kini menguntit Fafnir si naga raksasa dari satu sisi tubuh si sasaran, sementara Arjuna dari sisi lain yang berseberangan dengan Radith.
Diam-diam, seperti petunjuk Arjuna, Radith menghimpun lebih banyak tenaga dalam daripada yang selama ini ia lakukan. Ia berniat mengerahkan satu jurus yang belum pernah ia rapal tanpa mengenakan Zirah Vajra sebelumnya.
Tampak Fafnir berjalan amat perlahan, mendekat ke tempat persembunyian Radith di balik gelondongan kayu raksasa yang semula adalah batang puncak Kalpataru. Kepalanya terjulur ke kiri-kanan bagai kadal mencari mangsa. Saat Radith menganggap posisi Fafnir cukup dekat, ia menoleh pada Arjuna yang balas mengangguk padanya.
Sekarang atau tidak sama sekali. Dengan gerakan amat lincah Radith melompat ke atas batang Kalpataru. Lalu ia mengulurkan kedua telapak tangannya yang disatukan, menembakkan petir besar berbentuk ular naga. Naga Pancanaka lantas menghantam tepat di depan tubuh Fafnir, mendera naga itu dengan rentetan hantaman kekuatan halilintar setara sihir yang terpusat di satu titik, mampu melubangi tank baja dengan mudah.
Gilanya, delapan puluh persen daya serangan pamungkas Radith itu juga berhasil diredam sisik-sisik perak dan kulit keras keperakan yang melapisi leher hingga bagian bawah tubuh Fafnir. Energi naga petir yang masuk cukup kuat memukul si naga perak mundur selangkah.
Namun itu hanya membuat Fafnir murka. Naga itu lantas menghentakkan kaki-kaki depannya dan berdiri dengan dua kaki belakang dalam posisi hampir tegak-lurus, berniat mencerai-beraikan tubuh Radith dengan cakar-cakar dan taring-taring pengoyak bajanya.
Justru Arjuna memanfaatkan posisi dan kesempatan itu dengan menghujani tubuh depan Fafnir dengan rentetan Panah Pasopati dari satu sayap dan dua jari telunjuknya. Sebelum Fafnir bereaksi dengan menjatuhkan diri ke depan, Radith menghantamkan naga petirnya lagi secara horisontal dari tubuh hingga kepala Fafnir bagai pukulan uppercut. Tanpa ampun, si naga terdorong dan jatuh ke belakang.
Radith terlonjak girang. "Bagus, serangan gabungan kita berhasil menjatuhkannya, guru!"
Namun Arjuna tetap bersikap was-was. "Tapi apakah itu cukup untuk membuat Fafnir tak sadarkan diri, bahkan membunuhnya?"
Jawaban Arjuna datang seketika. Tampak Fafnir menggeliat dan menghentak-hentak di tanah. Kekuatannya masih besar, tanda naga itu akan bangkit setiap saat. Sungguh mengerikan.
"Biar kuhabisi saja!" Radith nekad maju.
Belum sempat Radith mengerahkan tenaga lagi, tiba-tiba selarik gelombang kejut menerpa dirinya dan Arjuna. Gelombang kejut itu dilepas Caitlin Alsace dari Gravity Drive, salah satu komponen persenjataan lengan kanannya dari jarak sepuluh meter. Akibatnya Radith dan Arjuna terpental kira-kira lima belas meter jauhnya ke arah berbeda-beda.
Tubuh Radith tersuruk di tepian arena, hampir membentur dinding. Baju dan rompi atasnya hancur total, sobek-sobek dan menyerpih sepenuhnya akibat serangan tadi. Namun ia tetap muntah darah, karena luka-luka sebelumnya terbuka lagi dan makin parah akibat gelombang kejut. Pandangan matanya melamur, tanda kesadaran hampir meninggalkan dirinya.
Samar-samar Radith melihat Caitlin berjalan tertatih-tatih menghampiri dirinya, mungkin ingin sekali lagi masuk jarak tembak untuk menghabisi lawan. Dari darah yang melumuri bibir dan dagunya, sebenarnya kondisi Caitlin tak jauh beda dari Radith. Namun sulit menentukan parah-tidaknya, mungkin karena semangat sebagai seorang prajurit veteran masih menopang Caitlin.
"Harus kuakui, kekuatanmu sungguh mencengangkan, Vajra. Aku benar-benar menikmati pertarungan denganmu dan Arjuna ini. Tapi maaf, aku harus memastikan di antara kita berdua, kaulah yang tumbang." Anehnya, Caitlin malah berdiri saja di tempat, tangan kanannya yang lebih besar dari tangan kirinya itu bertekuk-siku. Mungkin energi yang kembali dihimpunnya untuk mengerahkan jurus belum cukup. Mungkin pula Caitlin sengaja menantang Radith alias Vajra untuk adu kekuatan pamungkas.
Apapun itu, dengan cekatan Radith memaksa dirinya bangkit dan berdiri lagi. Seluruh tubuhnya sudah berdarah-darah, hanya pandangan matanyalah yang kembali jernih. "Tidak kalau aku bisa memastikan kebalikannya," ujarnya.
Radith sadar tenaga dalamnya sudah menipis, karena itulah pemaksaan diri untuk mengerahkan jurus pamungkas Naga Pancanaka sama saja dengan bunuh diri. Namun Radith tak bergeming sedikitpun. Energi petir yang tersisa di tubuhnya berkilat-kilat, entah jurus apa yang akan ia kerahkan dalam gebrakan akhir ini.
Zirah Caitlin berpendaran putih, tanda pengerahan energi yang melebihi kapasitas zirahnya, Overdrive. "Selamat tinggal, Vajra!" Penuh percaya diri, Caitlin berlari secepat angin, siap menghantamkan lengan kanannya dengan entah jurus apa pada lawannya.
Sebaliknya, Radith melesat sedetik lebih lambat dari lawannya. Namun lagi-lagi ia mengerahkan jurus barunya, Langkah Petir Wisanggeni. Radith melesat secepat kilat dan mengayunkan tinjunya, seakan hendak menyambut uluran tapak maut Caitlin dengan ajian Tinju Brajamusti.
Tanpa sadar Caitlin tersenyum, berpikir dirinya bakal unggul dari Radith. Seberkas cahaya muncul dari dalam laras lengan mekanisnya, tanda ia akan mengirim gelombang kejut bukan ke tanah, tapi langsung memporak-porandakan raga Radith.
Tiba-tiba Radith melompat, senyum Caitlin sirna. Sebelum Caitlin sadar dirinya telah tertipu, Radith bersalto melewati kepala wanita itu, lalu menendang keras-keras punggung Caitlin dengan petir berkekuatan penuh. Tubuh Caitlin terlontar maju seperti peluru meriam, wajahnya pucat pasi seketika.
Telapak tangan mekanis Caitlin mengerahkan gelombang kejut saat ia berada dalam jarak kira-kira enam meter dari satu-satunya benda padat di sana, yaitu dinding arena tarung di tribun penonton koloseum. Gelombang kejut sontak menghantam dinding yang bobotnya berton-ton itu. Yang jadi masalah, daya imbas dari dinding itulah yang menghantam balik Caitlin, menghancurkan Zirah Harimau Hitam serta senjata lengan mekanis berkeping-keping.
Darah hitam tersembur dari mulut Caitlin seiring tubuhnya yang tumbang di tanah. Anehnya, wanita itu masih bernapas walau tinggal satu-satu. Asumsi awal, mungkin pengalaman "hancur" berkali-kali selama mengikuti turnamen Battle of Realms ini, ditambah bertahun-tahun pengalaman tempur sebagai tentara telah menempa tubuh Caitlin hingga tak langsung hancur bersama zirahnya. Namun, walaupun terhindar dari kematian dan kelumpuhan, perlu waktu berhari-hari dengan perawatan medis yang intensif agar Caitlin dapat bergerak lagi.
Jadi tubuh Caitlin hanya tergeletak dan kejang-kejang.
Menyadari sepenuhnya gelagat ini, Radith hendak melesat untuk mengakhiri nasib Caitlin. Mendadak, terdengarlah suara seperti jeritan burung rajawali yang berkepanjangan. "Guru Arjuna!" Sambil memanggil sang guru lewat hubungan batiniahnya, Radith malah melesat pergi dengan sisa kekuatan jurusnya ke arah sumber suara. Sementara Caitlin hanya bisa menatap kosong, terlalu lemah untuk menunjukkan ekspresi heran di wajahnya yang berdarah-darah.
Cukup dekat dengan sumber suara, Radith melihat Arjuna yang sedang berdiri tegak. Kedua tangan Arjuna terulur ke atas, menahan dua kaki-cakar depan Fafnir sekuat tenaga. Parahnya, rahang Fafnir terjulur ke bawah, menggigit bahu Arjuna. Mati-matian Arjuna mengerahkan seluruh energi pelindung dirinya, bertahan selama mungkin dari deretan taring Fafnir yang mampu merobek baja. Namun darah merah tetap membanjir, membasahi punggung sang garuda.
Menyadari kehadiran Radith di dekatnya, Arjuna tak protes dan justru berseru, "Radith! Lihat, ada lubang hitam kecil di tengah dada atas Fafnir! Mungkin itu titik kelemahannya! Cepat hunjamkan sesuatu ke dalamnya!"
Dengan sigap Radith kembali melesat ke posisi antara Arjuna dan Fafnir. Lalu ia mengerahkan setitik prana yang tersisa lewat jari telunjuknya, menembakkan selarik panah petir ke dalam lubang sebesar bekas tusukan pedang yang dimaksud gurunya itu. Tanpa ampun panah melesat dalam raga sang naga dan menghunjam jantungnya.
Fafnir sontak melepas gigitannya pada bahu Arjuna, raungan kematiannya bergema memenuhi udara. Bisa jadi ini adalah ulangan dari kejadian di zaman dahulu kala, saat Fafnir dan seorang pahlawan legendaris berkekuatan laksana dewa bernama Sigurd terlibat dalam pertempuran panjang.
Dalam kondisi hampir sekarat, Sigurd akhirnya berhasil menghunjamkan pedangnya, Gram menembus jantung Fafnir, membunuh naga digdaya itu seketika. Darah dari moncong Fafnir yang mengandung kekuatan laksana dewa membasahi kepala dan tubuh Sigurd yang bertelanjang dada... kecuali sehelai daun yang jatuh menutupi punggung sang pahlawan. Bertahun-tahun kemudian, Sigurd menemui nasib yang mirip dengan Fafnir, jantungnya dihunjam oleh salah seorang sekutunya tepat di tempat daun jatuh di punggungnya itu.
Kali ini, tubuh Radith yang bertelanjang dada dan kalung bintangnyalah yang basah kuyup, berlumuran darah sakti Fafnir. Entah apakah darah naga itu masih berkhasiat membuat tubuh Radith kebal bahkan pada senjata dewata pula atau tidak. Yang pasti, denyut jantung Fafnir akhirnya berhenti. Tubuh raksasa sang naga berangsur terurai menjadi partikel-partikel cahaya, lalu sama sekali lenyap bagai uap ditelan udara.
Beberapa saat kemudian, suara dibuat-buat Tarou, sang wasit merangkap pembawa acara berkumandang, "Fafnir, rekan Caitlin Alsace telah tumbang. Pemenang pertarungan ini adalah Vajra dan Arjuna. Selamat untuk kalian berdua!"
Sorak-sorai para penonton membahana. Radith menunduk sopan sambil mengatupkan kedua tangannya sebagai apresiasi pada para penonton, juga tanda terima kasih pada Tarou karena tak berkomentar sama sekali selama pertarungan berlangsung.
Lalu pandangan mata Radith tertuju pada Caitlin yang masih terkapar di kejauhan. Caitlin membalas tatapan Radith dengan memaksakan senyum getir. Di saat bersamaan, tubuhnyapun terurai pula menjadi partikel-partikel cahaya. Walau bukan pemenang, setidaknya Caitlin Alsace tak sampai merasakan pahitnya detik-detik kematian.
Lantas, Radith merasakan bahunya ditepuk dari belakang. Ia menoleh ke sosok tinggi-besar Garuda Arjuna yang tertunduk dengan pundak berdarah-darah dan satu sayap nyaris patah.
"Itu tadi luar biasa, Radith," ujar Arjuna. "Kau tak hanya berhasil mengerahkan jurus-jurus Vajra tanpa mengenakan Zirah Vajra. Kau justru terus memperhatikan dan berusaha menghormati lawanmu, bahkan saat ia kalah. Teruskan sikap rendah hati dan tekad kuatmu itu, Radith. Itu sungguh menunjukkan bahwa kau lebih cocok menjadi pahlawan, bukan penjahat suruhan Ki Rogohjiwo. Mulai saat ini, tak perlu protes bila seseorang memanggilmu Vajra saat kau tak mengenakan zirahmu. Itu karena sejatinya kau adalah Vajra. Vajra adalah kau, bukan zirah maupun senjatamu."
"Ya, aku adalah Vajra," jawab Vajra alias Radith sambil mengangguk mantap. "Ini bukan sesuatu yang perlu dibanggakan, melainkan sebuah tanggung jawab besar yang harus kuemban dengan rendah hati. Terima kasih atas ajaranmu, Guru Arjuna. Maafkan sikap kasarku tadi, ya."
"Sama-sama, maaf bila aku terlalu kasar dan keras padamu. Aku sungguh berharap kau akan menemukan takdir yang lebih cerah daripada putraku, Abimanyu. Ayo kita berangkat... Vajra."
"Mari, guru."
Radith lantas memapah gurunya yang bertubuh lebih tinggi darinya dan berjalan ke arah portal gaib yang muncul beberapa langkah di hadapan mereka berdua. Walaupun tertatih-tatih dan kehilangan banyak darah, Radith dan Arjuna melangkah pasti menuju portal gaib antar dimensi.
==oOo==
Sekali lagi, saat melayang dalam portal antar dimensi ini Radith menyadari dirinya telah kembali dalam kondisi sehat-walafiat. Sama sekali tak ada rasa nyeri akibat luka-luka parah dari pertarungan yang baru saja ia menangkan tadi.
Namun Radith tak melihat Garuda Arjuna yang seharusnya melayang bersamanya dalam portal ini. Ia hanya menggenggam kausnya dan Kalung Bintang Vajra di baliknya. Ada rasa hangat nan gaib terpancar dari kalung itu, menghangatkan hati Radith pula.
Setidaknya, kini Radith bisa dengan tenang menghadapi apapun dan siapapun yang bakal menantinya di balik portal itu. Termasuk pula apa yang akan ia pilih untuk makan malam nanti.
Gudeg atau sushi.
Keterangan Syair Lagu Pedalangan:
Dikisahkan saat barisan Pandawa dan barisan Kurawa berhadap-hadapan di Padang Kurusetra.
Melihatnya, perasaan Arjuna menjadi bimbang dan trenyuh. Ia menyadari bahwa yang akan dihadapinya masih terhitung saudara, paman, keponakan, sepupu, sahabat, juga sang guru.
Batara Kresna lalu memberi wejangan tentang sejatinya hidup.
Wejangan itulah yang kemudian dikenal sebagai Bhagawadgita.
Dikisahkan saat barisan Pandawa dan barisan Kurawa berhadap-hadapan di Padang Kurusetra.
Melihatnya, perasaan Arjuna menjadi bimbang dan trenyuh. Ia menyadari bahwa yang akan dihadapinya masih terhitung saudara, paman, keponakan, sepupu, sahabat, juga sang guru.
Batara Kresna lalu memberi wejangan tentang sejatinya hidup.
Wejangan itulah yang kemudian dikenal sebagai Bhagawadgita.
Referensi tentang senjata dewata Vajra: http://en.wikipedia.org/wiki/Vajra
Referensi tentang Dewa Indra dan asal-usul Vajra: http://fantasindo.blogspot.com/2014/11/mitospedia-veda-indra-raja-kahyangan
Referensi tentang Abimanyu, Putra Arjuna: http://id.wikipedia.org/wiki/Abimanyu
Referensi tentang Yggdrasil: http://fireheart-vadis.blogspot.com/2007/02/yggdrasil
Referensi tentang Fafnir dan Sigurd: http://fireheart-vadis.blogspot.com/2007/04/fafnir
ROUND 3 – MONSTER BATTLE
Nama Mitra Vajra: Arjuna
Spesies: Garuda
Makhluk bertubuh dan bertangan manusia dan berkepala, berkaki dan bersayap burung rajawali.
Tingginya 1,945 cm, dengan berat 81,7 kilogram.
Mengenakan hiasan kepala-tubuh emas seperti layaknya Arjuna dalam wujud manusia.
Kekuatan: Elemen Angin
1. Panah Pasopati: Menembakkan panah-panah prana angin dari tangannya. Banyak panah bisa ditembakkan sekaligus dengan bantuan kibasan sayapnya.
2. Garuda Arjuna bisa terbang secepat angin.
Kelemahan:
1. Bila serangan kuat berhasil menghantam dan menjatuhkan Arjuna saat terbang, apalagi mematahkan sayapnya, gaya gravitasi akan memperparah lukanya. (Kelemahan Fatal)
2. Seperti wujud manusianya, Garuda Arjuna bukan petarung jarak dekat. Bila dipaksa bertarung jarak dekat, ia akan cenderung bertahan dengan prana dan sayap-sayapnya. Serangan jarak dekatnya sangat standar/urakan, seperti gaya tarung Vajra sebelum menguasai Pencak Silat.
3. Serangan berelemen tanah paling efektif menembus pertahanan dan melukai Arjuna.
4. Tambahan dari plot device, kemunculan Arjuna sebagai garuda di R3 membuat Radith tak bisa mengenakan zirahnya dan berubah menjadi Vajra. Karena itulah, Radith harus berjuang mengerahkan prana dan jurus-jurusnya secara mandiri agar mampu mengimbangi para lawannya.
ROUND 3 – VAJRA UPGRADE
Langkah Petir Wisanggeni (Skill Pasif)
Dengan memusatkan prana di tangan dan kaki, Vajra dapat berlari secepat kilat dan melompat sangat tinggi. Kecepatannya setara atau lebih cepat dari lesatan peluru kaliber lima puluh. Efeknya berlangsung selama maksimal tiga menit, dan cooldown tiga menit sebelum dapat merapalnya lagi. Saat efek skill pasif ini berlangsung, Vajra dapat menggabungkannya dengan jurus-jurus dan skill-skill lain, membuat segala gerakan jurusnya jadi jauh lebih cepat.
Kelemahan: Vajra perlu lebih banyak mengerahkan jurus ini agar terbiasa mengatur jarak lompatan dan timing untuk lari dan berhenti. Tanpa itu, jurus ini bisa saja berakibat buruk bagi pemakainya di medan-medan atau situasi-situasi tertentu.
No comments:
Post a Comment