BAB SATU
DI BAWAH BAYANG REMBULAN
3.1.1.1. Si Pemburu Orc
Seorang bocah laki-laki berlari terburu-buru sepanjang jalan-jalan sempit di Kota Rand. Dia membentur orang-orang dan menciprati mereka dengan air bercampur lumpur dari jalan-jalan becek yang terinjak olehnya. Di belakangnya, orang-orang memaki-makinya, bahkan ada yang memeriksa baju dan tunik masing-masing, jangan-jangan bocah itu telah mencopet dompet atau barang-barang berharga mereka.
Jalan-jalan di Kota Rand ini memang ramai sejak kota ini menjadi pusat ekonomi dan budaya di Kerajaan Lore. Berkat para pemburu dan guild pemburu, resiko serangan bandit dan monster berangsur-angsur berkurang, setidaknya menjadi lebih rendah dari kota-kota besar lainnya di Lore: Varestine, Wagnerport bahkan ibukota kerajaan, Alceste.
Para saudagar, pelancong dan rombongan karavan biasanya menyewa pemburu sebagai pengawal, kecuali mereka punya ilmu bela diri dan persenjataan yang tangguh, atau cukup mampu untuk mempekerjakan pengawal pribadi.
Si bocah mengacuhkan semua makian padanya dan terus berlari menyusuri beberapa blok hingga ia masuk ke sebuah kedai minum yang terlihat kumuh. Sebuah papan tanda dari kayu dengan ukiran kasar gambar domba jantan kekuningan dan tulisan Domba Emas tergantung di depannya.
Kedai Domba Emas adalah kedai minum termurah, terkumuh dan terjorok di Rand. Anggur, bir, ale dan mead di sana mengerikan dan bahkan tak layak minum, tapi tempat itu selalu penuh dengan orang-orang bertampang asing, kasar dan mencurigakan dengan segala aktivitas yang buruk, mencurigakan dan terselubung: judi, berkelahi, bersenang-senang dengan gadis-gadis kedai minum, dan ada pula yang berbisik-bisik. Pembicaraan rahasiapun dapat dilakukan dengan suara keras di sini, karena memang suasananya terlalu ribut. Yang pasti pembicaraan itu takkan terdengar oleh orang-orang di meja sebelah.
Si bocah lelaki itu melihat ke sekelilingnya dengan cemas. Kadang dia menjatuhkan diri ke lantai untuk menghindari benda-benda yang beterbangan seperti mug kayu, batu dan lain sebagainya yang – untungnya – tidak tajam.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya dia mengenali salah seorang tamu dan menghampiri sekelompok orang yang sedang berjudi di meja pojok. Orang-orang itu berteriak-teriak frustrasi atau berkata, ‘Sial, dia menang lagi!’ dan segala macam sumpah-serapah.
Salah satu dari mereka, seorang pria muda berambut perak berantakan adalah satu-satunya yang tidak berteriak-teriak. Dengan santainya dia mengulurkan tangan untuk mengumpulkan kepingan-kepingan crown (uang emas), florin (uang perak) dan zenny (uang perunggu) di meja dan menuang semuanya ke dalam dompetnya. Walaupun ternyata dialah pemenangnya, dia tidak tersenyum atau menunjukkan tanda-tanda kegembiraan. Dia hanya menatap sekelilingnya dengan hati-hati, mempersiapkan dirinya dan mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan hal itu terjadilah. Salah seorang penjudi, seorang pria buruk rupa, gendut, tidak bercukur dan berpakaian acak-acakan bangkit, menggebrak meja dan menjejakkan satu kakinya pada kursi, sambil membentak.
‘CURANG KAMU! Kamu pasti curang!’
Dua temannya yang juga kalah judi kebingungan sesaat, tapi mereka langsung mengerti maksud si gendut dan ikut berteriak-teriak mendukungnya.
‘Yang benar saja! Masa’ menang tujuh kali!? Mustahil itu!’
‘Pasti ada sesuatu di balik tangannya!’
‘Dia malah nggak senyum sama sekali! Pasti takut ketahuan, kan!’
‘Hajar saja dia!’
‘Geledah dia! Paksa dia mengembalikan uang kita!’
Si pria berambut perak menegadahkan wajahnya. Wajahnya tampan, walaupun terkesan penuh kesedihan dan kemurungan, seakan menanggung beban mental yang amat berat. Namun sikapnya yang tenang, serius dan selalu berhati-hati memberi kesan bahwa dia adalah seseorang yang telah mengalami banyak penderitaan, tragedi dan punya trauma yang mendalam. Dia selalu mengenakan baju pelindung dari kulit di depan baju sehari-harinya, dan selalu siap dengan kiliji (pedang bilah melengkung, sejenis katana) tergantung dengan rapi dalam sarungnya, di balik jubah dan tudung biru kusamnya. Si bocah langsung mengenali si rambut perak dengan sempurna, dan baru akan memanggilnya. Tapi si pria berambut perak menyadari kehadiran bocah itu dan memberi isyarat padanya agar berdiam diri dan menjauh saja.
‘Hey, nggak mau bicara, ya!? Apa sih rahasia kamu, hah?’
‘Mungkin kamu mau bicara setelah kami mengacak-acak wajah manismu itu!’
‘Oh, atau kamu lapar? Mau makan? Rasakan INI!!’
Salah seorang dari mereka, si pria botak, melesatkan tinjunya ke arah mulut si pria berambut perak, tapi lawannya dengan mudahnya mengayun kepala ke samping dengan gerak refleks yang amat cepat, dan serangan tadi luput sama sekali. Si rambut perak menegakkan kepalanya lagi, bersiap untuk serangan selanjutnya.
Pikir si pria berambut perak, walaupun aku bicara, cecunguk-cecunguh bodoh ini takkan mau mendengarnya. Mereka hanya ingin merampas uang yang kumenangkan. Yah, inilah saatnya menunjukkan siapa aku sebenarnya, karena Pear sudah terlanjur di sini.
Untuk mencegah jati dirinya terungkap terlalu banyak, si pria berambut perak menghindari sebagian besar serangan tinju, pisau dan kursi kayu. Dan akhirnya ia menyerang balik, menangkap tinju si botak dan menendang rahangnya, melontarkannya ke belakang sampai jatuh membentur tembok dan pingsan. Si gendut dan orang ketiga, pria bermata sebelah dengan bekas luka yang memanjang melintasi bagian wajah sebelah kanan dan mata kanannya terperangah melihat unjuk kekuatan ini. Tapi mereka mengira itu hanya serangan untung-untungan, jadi mereka menyerang si rambut perak bersamaan.
Serangan si mata satu meleset, namun si gendut berhasil menyarangkan tinjunya di bahu si rambut perak saat menghindari dari si mata satu. Walaupun kesakitan, raut wajah si rambut perak tidak berubah sama sekali. Dia malah berjongkok dan menyapu kaki si gendut, membuatnya jatuh berguling-guling di lantai.
Si mata satu langsung kabur ketakutan.
Si gendut berusaha bangun walaupun dia kesal dengan sikap pengecut temannya. Tetapi si rambut perak tak mau buang-buang waktu lagi. Dia langsung mencabut kilijinya dan menodongkannya langsung ke arah tenggorokan si gendut. Akhirnya si gendut bicara.
‘Keluar kau sekarang. Aku hanya membunuh monster dan penjahat, kecuali kalian termasuk salah satu di antara mereka.’
Si gendut bicara dengan nada memelas, ‘Ah, kau pemburu?’
Seorang tamu rumah minum menyela.
‘Kamu pendatang baru di sini, ya? Dia ini pemburu yang hebat, tahu.’
Si bocah laki-laki bernama Pear itu angkat bicara. ‘Pak Orcbane?’
Si rambut perak menjawab, ‘Sssh, sudah kubilang berulang kali, panggil aku Robert saja.’
‘Wah, nama “Orcbane” lebih mudah diingat, kak Robert, kan sering sekali disebut di guild.’
‘Aduh, Pear, identitasku jadi terbuka, deh.’
Robert si pemburu orc bicara pada si gendut dengan nada mengancam.
‘Nah, mau apa kau sekarang? Masih ingin merampok uangku?’
‘UangMU? Kau pasti curang, aku tahu itu!’
‘Aku tidak curang.’
‘Lantas bagaimana kau bisa menang tujuh kali dan hanya kalah dua kali?’
‘Itu tadi permainan lempar dadu, bukan? Mungkin kau harus melatih daya konsentrasimu dulu. Fokuskan penglihatan dan pikiranmu pada pergerakan dadu. Yah, tentu saja kau harus berlatih amat keras, karena pelatihan macam itu pernah kualami saat jadi tentara pengintai di perang Lore-Arcadia.’
‘Sial! Ternyata kau mantan tentara! Lantas, mengapa kau kalau dua kali?’
‘Lho, itu jelas kan? Aku sengaja membiarkan kalian menang supaya kalian tidak curiga dengan daya konsentrasiku dan tidak mau berjudi denganku lagi. Aku harus mencari uang saku, tahu, karena sedang tak ada orc untuk diburu...’
Tiba-tiba Pear ingat sesuatu dan menyela.
‘Maaf, Kak Orcbane, tapi sekarang ada.’
‘Namaku Robert, Pear. Robert.’
‘Ya, ya... Robert... Robert...’
‘Eh, tunggu. Kau bilang tadi ada misi memburu orc di guild?’
‘Ya, kak.’
‘Kalau begitu, ayo kita ke sana! Ini, Gumbold, untuk makanan, ale dan ganti ruginya.’
Robert melemparkan beberapa florin dan zenny ke meja Gumbold si pemilik kedai-penginapan dan sekeping crown pada si gendut.
‘Ini untukmu. Jangan taruh di hati, bung. Traktirlah teman-temanmu juga.’
Si gendut tidak mempercayai pendengarannya. Dia masih terduduk di lantai dengan melongo saat dia melihat Robert dan Pear bergegas keluar dari Kedai Minum-Penginapan Domba Emas.
DI BAWAH BAYANG REMBULAN
‘Jangan menilai monster dari ukuran dan kebuasannya,
tetapi nilailah dari
kerusakan yang ditimbulkannya.’
Sage si Hati Api
Pendiri Guild Fireheart
Kaisar Pertama Imperium Arcadia
3.1.1.1. Si Pemburu Orc
Seorang bocah laki-laki berlari terburu-buru sepanjang jalan-jalan sempit di Kota Rand. Dia membentur orang-orang dan menciprati mereka dengan air bercampur lumpur dari jalan-jalan becek yang terinjak olehnya. Di belakangnya, orang-orang memaki-makinya, bahkan ada yang memeriksa baju dan tunik masing-masing, jangan-jangan bocah itu telah mencopet dompet atau barang-barang berharga mereka.
Jalan-jalan di Kota Rand ini memang ramai sejak kota ini menjadi pusat ekonomi dan budaya di Kerajaan Lore. Berkat para pemburu dan guild pemburu, resiko serangan bandit dan monster berangsur-angsur berkurang, setidaknya menjadi lebih rendah dari kota-kota besar lainnya di Lore: Varestine, Wagnerport bahkan ibukota kerajaan, Alceste.
Para saudagar, pelancong dan rombongan karavan biasanya menyewa pemburu sebagai pengawal, kecuali mereka punya ilmu bela diri dan persenjataan yang tangguh, atau cukup mampu untuk mempekerjakan pengawal pribadi.
Si bocah mengacuhkan semua makian padanya dan terus berlari menyusuri beberapa blok hingga ia masuk ke sebuah kedai minum yang terlihat kumuh. Sebuah papan tanda dari kayu dengan ukiran kasar gambar domba jantan kekuningan dan tulisan Domba Emas tergantung di depannya.
Kedai Domba Emas adalah kedai minum termurah, terkumuh dan terjorok di Rand. Anggur, bir, ale dan mead di sana mengerikan dan bahkan tak layak minum, tapi tempat itu selalu penuh dengan orang-orang bertampang asing, kasar dan mencurigakan dengan segala aktivitas yang buruk, mencurigakan dan terselubung: judi, berkelahi, bersenang-senang dengan gadis-gadis kedai minum, dan ada pula yang berbisik-bisik. Pembicaraan rahasiapun dapat dilakukan dengan suara keras di sini, karena memang suasananya terlalu ribut. Yang pasti pembicaraan itu takkan terdengar oleh orang-orang di meja sebelah.
Si bocah lelaki itu melihat ke sekelilingnya dengan cemas. Kadang dia menjatuhkan diri ke lantai untuk menghindari benda-benda yang beterbangan seperti mug kayu, batu dan lain sebagainya yang – untungnya – tidak tajam.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya dia mengenali salah seorang tamu dan menghampiri sekelompok orang yang sedang berjudi di meja pojok. Orang-orang itu berteriak-teriak frustrasi atau berkata, ‘Sial, dia menang lagi!’ dan segala macam sumpah-serapah.
Salah satu dari mereka, seorang pria muda berambut perak berantakan adalah satu-satunya yang tidak berteriak-teriak. Dengan santainya dia mengulurkan tangan untuk mengumpulkan kepingan-kepingan crown (uang emas), florin (uang perak) dan zenny (uang perunggu) di meja dan menuang semuanya ke dalam dompetnya. Walaupun ternyata dialah pemenangnya, dia tidak tersenyum atau menunjukkan tanda-tanda kegembiraan. Dia hanya menatap sekelilingnya dengan hati-hati, mempersiapkan dirinya dan mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan hal itu terjadilah. Salah seorang penjudi, seorang pria buruk rupa, gendut, tidak bercukur dan berpakaian acak-acakan bangkit, menggebrak meja dan menjejakkan satu kakinya pada kursi, sambil membentak.
‘CURANG KAMU! Kamu pasti curang!’
Dua temannya yang juga kalah judi kebingungan sesaat, tapi mereka langsung mengerti maksud si gendut dan ikut berteriak-teriak mendukungnya.
‘Yang benar saja! Masa’ menang tujuh kali!? Mustahil itu!’
‘Pasti ada sesuatu di balik tangannya!’
‘Dia malah nggak senyum sama sekali! Pasti takut ketahuan, kan!’
‘Hajar saja dia!’
‘Geledah dia! Paksa dia mengembalikan uang kita!’
Si pria berambut perak menegadahkan wajahnya. Wajahnya tampan, walaupun terkesan penuh kesedihan dan kemurungan, seakan menanggung beban mental yang amat berat. Namun sikapnya yang tenang, serius dan selalu berhati-hati memberi kesan bahwa dia adalah seseorang yang telah mengalami banyak penderitaan, tragedi dan punya trauma yang mendalam. Dia selalu mengenakan baju pelindung dari kulit di depan baju sehari-harinya, dan selalu siap dengan kiliji (pedang bilah melengkung, sejenis katana) tergantung dengan rapi dalam sarungnya, di balik jubah dan tudung biru kusamnya. Si bocah langsung mengenali si rambut perak dengan sempurna, dan baru akan memanggilnya. Tapi si pria berambut perak menyadari kehadiran bocah itu dan memberi isyarat padanya agar berdiam diri dan menjauh saja.
‘Hey, nggak mau bicara, ya!? Apa sih rahasia kamu, hah?’
‘Mungkin kamu mau bicara setelah kami mengacak-acak wajah manismu itu!’
‘Oh, atau kamu lapar? Mau makan? Rasakan INI!!’
Salah seorang dari mereka, si pria botak, melesatkan tinjunya ke arah mulut si pria berambut perak, tapi lawannya dengan mudahnya mengayun kepala ke samping dengan gerak refleks yang amat cepat, dan serangan tadi luput sama sekali. Si rambut perak menegakkan kepalanya lagi, bersiap untuk serangan selanjutnya.
Pikir si pria berambut perak, walaupun aku bicara, cecunguk-cecunguh bodoh ini takkan mau mendengarnya. Mereka hanya ingin merampas uang yang kumenangkan. Yah, inilah saatnya menunjukkan siapa aku sebenarnya, karena Pear sudah terlanjur di sini.
Untuk mencegah jati dirinya terungkap terlalu banyak, si pria berambut perak menghindari sebagian besar serangan tinju, pisau dan kursi kayu. Dan akhirnya ia menyerang balik, menangkap tinju si botak dan menendang rahangnya, melontarkannya ke belakang sampai jatuh membentur tembok dan pingsan. Si gendut dan orang ketiga, pria bermata sebelah dengan bekas luka yang memanjang melintasi bagian wajah sebelah kanan dan mata kanannya terperangah melihat unjuk kekuatan ini. Tapi mereka mengira itu hanya serangan untung-untungan, jadi mereka menyerang si rambut perak bersamaan.
Serangan si mata satu meleset, namun si gendut berhasil menyarangkan tinjunya di bahu si rambut perak saat menghindari dari si mata satu. Walaupun kesakitan, raut wajah si rambut perak tidak berubah sama sekali. Dia malah berjongkok dan menyapu kaki si gendut, membuatnya jatuh berguling-guling di lantai.
Si mata satu langsung kabur ketakutan.
Si gendut berusaha bangun walaupun dia kesal dengan sikap pengecut temannya. Tetapi si rambut perak tak mau buang-buang waktu lagi. Dia langsung mencabut kilijinya dan menodongkannya langsung ke arah tenggorokan si gendut. Akhirnya si gendut bicara.
‘Keluar kau sekarang. Aku hanya membunuh monster dan penjahat, kecuali kalian termasuk salah satu di antara mereka.’
Si gendut bicara dengan nada memelas, ‘Ah, kau pemburu?’
Seorang tamu rumah minum menyela.
‘Kamu pendatang baru di sini, ya? Dia ini pemburu yang hebat, tahu.’
Si bocah laki-laki bernama Pear itu angkat bicara. ‘Pak Orcbane?’
Si rambut perak menjawab, ‘Sssh, sudah kubilang berulang kali, panggil aku Robert saja.’
‘Wah, nama “Orcbane” lebih mudah diingat, kak Robert, kan sering sekali disebut di guild.’
‘Aduh, Pear, identitasku jadi terbuka, deh.’
Robert si pemburu orc bicara pada si gendut dengan nada mengancam.
‘Nah, mau apa kau sekarang? Masih ingin merampok uangku?’
‘UangMU? Kau pasti curang, aku tahu itu!’
‘Aku tidak curang.’
‘Lantas bagaimana kau bisa menang tujuh kali dan hanya kalah dua kali?’
‘Itu tadi permainan lempar dadu, bukan? Mungkin kau harus melatih daya konsentrasimu dulu. Fokuskan penglihatan dan pikiranmu pada pergerakan dadu. Yah, tentu saja kau harus berlatih amat keras, karena pelatihan macam itu pernah kualami saat jadi tentara pengintai di perang Lore-Arcadia.’
‘Sial! Ternyata kau mantan tentara! Lantas, mengapa kau kalau dua kali?’
‘Lho, itu jelas kan? Aku sengaja membiarkan kalian menang supaya kalian tidak curiga dengan daya konsentrasiku dan tidak mau berjudi denganku lagi. Aku harus mencari uang saku, tahu, karena sedang tak ada orc untuk diburu...’
Tiba-tiba Pear ingat sesuatu dan menyela.
‘Maaf, Kak Orcbane, tapi sekarang ada.’
‘Namaku Robert, Pear. Robert.’
‘Ya, ya... Robert... Robert...’
‘Eh, tunggu. Kau bilang tadi ada misi memburu orc di guild?’
‘Ya, kak.’
‘Kalau begitu, ayo kita ke sana! Ini, Gumbold, untuk makanan, ale dan ganti ruginya.’
Robert melemparkan beberapa florin dan zenny ke meja Gumbold si pemilik kedai-penginapan dan sekeping crown pada si gendut.
‘Ini untukmu. Jangan taruh di hati, bung. Traktirlah teman-temanmu juga.’
Si gendut tidak mempercayai pendengarannya. Dia masih terduduk di lantai dengan melongo saat dia melihat Robert dan Pear bergegas keluar dari Kedai Minum-Penginapan Domba Emas.
No comments:
Post a Comment