Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

05 June 2015

[BATTLE OF REALMS 5 - ROUND 1] VAJRA - SALJU DI CANDRADIMUKA

 
[ROUND 1 – TEAM F]
VAJRA – SALJU DI CANDRADIMUKA
Penulis: Andry Chang


= Bagian 1 =
FAJAR SANG VAJRA

Sekali lagi, Raditya "Vajra" Damian menemukan dirinya dalam kondisi terkapar di tanah. Namun ini bukan jalanan di depan Keraton Yogyakarta, bukan pula lereng bukit di depan menara kristal yang tumbang di Padang Shohr'n, Alforea.

Ini adalah halaman depan rumah Radith di pinggiran Kota Yogyakarta yang sunyi dan sepi. Tak seorangpun tampak menyaksikan  kegiatan ini. Selain semua orang tengah terlelap, rumah ini amat berjauhan jaraknya dengan rumah-rumah penduduk lain di sekitarnya. Jadi tak satupun insan mempedulikan suara-suara gaduh atau petir yang menyambar-nyambar di sana.

Ini adalah juga rumah seorang dukun merangkap dalang bernama Ki Rogohjiwo.

"Ayo! Latihan malam ini belum selesai! Bangkit, Radith!" seru wayang golek Bima yang melayang-layang di udara, siap menyerang. "Jangan bisanya main game online melulu!"

"Yah, ini mumpung Ki Rogohjiwo sudah beberapa bulan ke Jakarta," sahut wayang Arjuna, masih dengan suara lembutnya. "Tapi lihat, Radith sudah sangat kelelahan. Kalau kita tambah lagi porsi latihannya, nanti dia..."

Wayang Gatotkaca menyela, "... bakal tewas, cacat atau menderita luka dalam yang parah."

Mengangguk seolah mengiyakan Gatotkaca dan Arjuna, Radith bangkit dengan susah-payah sambil berkata, "Benar kata Arjuna dan Gatotkaca. Aku perlu istirahat. Besok ada kuliah pagi dan aku tak mau terlambat lagi..."

Bima malah menghardik, "TIDAK BISA! Dasar anak muda zaman sekarang, lembek sekali! Ingat, aku pernah membiarkan jabang bayiku, Tetuko dilarung ke dalam Kawah Candradimuka untuk digembleng. Hasilnya, ia menjadi Gatotkaca, Sang Satria Pringgodani, pendekar sakti berotot kawat, bertulang besi! Kalau Radith tak ditempa dengan cara yang sama, bagaimana nanti dia mampu membangkitkan dan mengemban kekuatan Vajra?!"

Suara berwibawa Gatotkaca menenangkan Bima. "Sabar, ayah. Radith bukan manusia super, titisan dewata atau semacamnya. Sedahsyat apapun latihan yang kujalani, aku saja butuh istirahat dan waktu untuk berkembang, apalagi Radith. Kita lanjutkan besok saja latihannya."

"Hmph, baiklah," ujar Bima, tak mau mendebat salah satu manusia tersakti di Arcapada pada masanya itu. "Karena lusa hari Minggu, besok malam kita akan latihan habis-habisan!"

Wayang Arjuna menggeleng saja, sudah amat paham sifat kakak dan keponakannya sesama Pandawa ini. Dengan suara lembut ia bicara pada muridnya, "Maaf karena kami terlalu keras padamu, Radith. Kau perlu tahu, gurumu Ki Rogohjiwo itu bukan orang baik-baik. Buktinya, kami menolak Rogohjiwo sebagai penyandang kekuatan Vajra karena dia ingin memanfaatkannya demi keuntungan pribadi semata. Firasatku berkata, suatu hari dia akan menagih balas budi padamu, dan kau akan terpaksa melawannya."

Radith membantah, "Ah, tak mungkin! Beliaulah yang telah membesarkanku, bahkan juga membiayai kuliahku. Mustahil Ki Rogohjiwo akan melakukan itu! Dia keluargaku! Dia...!"

Tiba-tiba, sebentuk tinju raksasa melesat deras ke arah tubuh Radith yang sama sekali tak siaga. Tak dinyana, Gangren, pocong-zombie jelmaan Ki Rogohjiwo seketika menyerang pemuda berambut hijau itu sebelum ia sempat menjelma menjadi Si Dalang Petir, VAJRA.

Radith menutup matanya, maut tak terhindarkan lagi.

==oOo==

Vajra membuka matanya. Wajah tampannya sontak pucat-pasi, keringat dinginnya bercucuran. Matanya terbelalak melihat suasana ruangan di sekitarnya. Ini jelas bukan rumahnya, melainkan sebuah bar dalam penginapan besar berlantai tiga yang interiornya serba terbuat dari kayu.

Dengan napas terengah-engah, seiring kembalinya akal sehatnya, Vajra mencoba menyusun kembali segala kenangan dan fakta yang terekam dalam benaknya. Menyerap makna dari mimpinya itu, dalam kaitannya dengan kenyataan yang ia jalani saat ini.

Kenyataan bahwa kini ia berada di negeri antah-berantah bernama Alforea.

Kenyataan bahwa ia mengikuti sebuah turnamen pendekar antar-ranah bertajuk Battle of Realms.

Kenyataan bahwa ia pernah menantang Tamon Rah, kuda kolosal dewata yang berkali-kali lipat lebih kuat daripada Gangren, langsung bertatap mata dengannya.

Dan kenyataan bahwa ia menyelesaikan misi dalam kondisi sekarat, namun kembali dalam kondisi sehat-walafiat, seolah tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya sebelum ini.

"Oi Wildan, Liona, lihat! Vajra sudah kembali pula, bun~!" Tiba-tiba seorang gnome bertopi biru mirip anak laki-laki kecil bertubuh tambun menghampiri Vajra, diikuti seorang pemuda langsing berambut pirang acak-acakan serta seorang gadis berwajah manis, berkulit gelap, berambut merah dan berjubah-tudung ungu.

Mengenali ketiganya, Vajra langsung menyambut, "Bun, Wildan, Liona, saudara-saudariku..."

"Haha, aku senang kau masih menganggapku begitu, Vajra," ujar Wildan Hariz si rambut acak-acakan, memasang "senyum dewa"-nya. "Tapi aku jadi penasaran, apakah kita bakal terus jadi 'keluarga' seperti ini di babak selanjutnya?"

Liona Lynn si rambut merah menyela, "Ya, lihat saja. Yang berkumpul di tempat ini tersisa kurang dari lima puluh orang saja. Entah apa yang terjadi pada mereka yang tak kembali..." Bun menelan ludah mendengarnya.

Vajra termenung sejenak sebelum akhirnya angkat bicara, "Yah, dalam 'keluarga'-ku di Bumi, aku dididik amat keras. Bahkan hampir setiap malam kulalui dalam keadaan luka-luka. Bahkan induk serigala mendidik anaknya dengan cara menerkam dan menggigitnya. Entah bagaimana dengan keluarga dan kehidupan kalian, kurasa kekuatan serta kemampuan kalian sekarang ini sudah cukup memadai untuk menanggung 'pelajaran teramat keras' dalam turnamen ini. Jadi jangan takut, berjuanglah terus. Yang pasti, aku akan terus mendukung kalian."

Mendengar kata-kata Vajra itu, Wildan dan Liona tertegun, sedangkan kedua mata Bun mulai berair. Kata "terima kasih" memang tak terucap di bibir mereka berempat, namun ekspresi cerah wajah-wajah mereka sarat akan syukur tak terhingga.

Wildan menyimpulkan, "Jadi yang harus kita lakukan adalah terus maju. Biarkan takdir yang menentukan apakah kita bakal terus berjuang di Alforea, di dunia asal kita masing-masing atau... musnah, gagal mencapai garis akhir pencarian kita."   

Keempat insan itu terdiam. Mereka memang telah "dihidupkan" untuk tujuan tertentu. Jadi, "dimatikan" dalam kondisi penasaran pastilah akan sangat mengerikan.

"Nah, tak usah terlalu dipikirkan, ya." Bun mencairkan suasana. "Ayo kita rayakan kelulusan ini dengan makan-makan di Kedai Alkima lagi, bun~!"

Radith merasa geli mendengarnya. Makan-makan lagi. Tapi tak apa, Nasi Gudeg Malioboro, Yogyakarta pasti bisa membangkitkan semangatnya lagi berkali-kali lipat.

Tiba-tiba, seorang gadis cantik berseragam maid berambut ungu panjang, sedikit berbeda dari pelayan-pelayan lainnya berdiri di atas semacam panggung, menghadap para peserta yang duduk rapi dalam ruangan bar ini. Perhatian Vajra dan semua peserta lainnya seketika tertuju padanya.

Tanpa banyak basa-basi, pelayan bernama Anastasia itu menjelaskan misi pada Ronde Pertama Battle of Realms ini. Layar-layar hologram bermunculan di udara, memperlihatkan beragam pemandangan yang merupakan lokasi-lokasi pertandingan. Lantas RNG-sama, sesosok makhluk cebol berpakaian seragam pelaut putih bergaris hijau dan memegang seekor kucing aneh juga ikut memberi penjelasan lebih rinci.

Intinya, misi kali ini adalah pertarungan antara enam pendekar di satu medan tertentu, yang mana detailnya akan dijelaskan oleh pemandu masing-masing peserta sebelum berangkat ke tempat pertarungan. Ada jeda waktu beberapa jam untuk beristirahat dan bersiap-siap sampai misi dimulai besok pagi, dan Vajra akan memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya.

"Yah, kelihatannya tak ada waktu buat perayaan ya, bun~" Bun menghela napas.

"Tak apa-apa. Begitu sempat, mampirlah ke Kedai Alkima sebelum berangkat ke tempat misi. Kita sarapan bersama-sama di sana, ya," kata Vajra sambil tersenyum kalem.  

"Baik, sampai nanti ya, Vajra!" ujar Liona sambil melangkah pergi. Senyumnya terasa hangat, namun Vajra tahu, "senyum dewi"-nya hanya diperuntukkan bagi Wildan seorang.

"Oya, kalau sempat aku ingin berlatih-tanding denganmu ya, Vajra. Sampai nanti!" Wildan melambaikan tangannya, seringainya jelas menunjukkan tantangan terbuka bagi si sesama pengguna petir ini. Vajra hanya mengangguk padanya, mengepalkan tangan tanda semangat.

Menatap ketiga "saudara satu tim"-nya yang makin jauh dari pandangan, tiba-tiba Vajra terkesiap. Mungkinkah suatu saat nanti ia terpaksa harus menaklukkan, bahkan membunuh siapapun dari mereka? Yang pasti, Vajra harus menjalani semua ini layaknya seorang pendekar.

Menyadari bahwa jalan seorang pendekar penuh berlumuran darah dan dosa.

==oOo==

Kembali di kamarnya di lantai tiga penginapan ini, Vajra mengamati penampilannya sendiri. Ia masih mengenakan kostum tarungnya, yaitu baju hijau lengan panjang, celana panjang merah dan zirah pelindung pergelangan tangan dan zirah sepatu bot berwarna keemasan. Topeng Pancanaka, Gelang Gandiwa dan Zirah Antakusuma tampak utuh pula, walau menyisakan gurat-guratan pengalaman dari ribuan pertarungan yang pernah diarungi pemiliknya.

Vajra lantas melepaskan jaket gaya beskap Yogya yang ia kenakan. Tampak beskap itu penuh sobekan akibat pertempuran yang lalu.Tanpa pikir panjang ia menyobek kedua bagian lengan itu, sehingga jaket itu kini menjadi rompi. Vajra lantas kembali mengenakannya, merasakan pergerakan lengannya jadi lebih leluasa daripada saat mengenakan jaket lengan panjang.

Setelah melakukan tapa brata untuk mengisi penuh prananya, Vajra tak lantas tidur. Dengan satu entakan, tubuh Vajra tampak seakan berkilat-kilat penuh prana. Ia menguji gerakannya dengan melancarkan beberapa tinju dan tendangan tanpa sasaran. Ya, rasanya memang sangat ringan, prananya kini mengalir lancar dan lebih "hemat" karena Zirah Vajra dalam kondisi sempurna. Untung kamar ini cukup luas, jadi Vajra tak perlu takut merusak benda apapun di sini.

Namun, Vajra masih merasakan sesuatu yang kurang. Setiap gerakan yang dilakukannya hanya pukulan dan tendangan tanpa banyak variasi. Bila lawan lebih piawai ilmu beladiri dan selalu bisa menghindar atau menangkis serangan Vajra, bukankah prana yang dikerahkan akan sia-sia?

Tiba-tiba sebuah suara terdengar. "Ah, baguslah. Rupanya kau masih terjaga, Vajra."

Vajra terkesiap dan berbalik. Rupanya sumber suara itu adalah seorang pria beruban panjang dan berjanggut putih, mengenakan jas putih panjang seperti pakaian laboratorium. Sudut alis mata kanan Vajra yang tak tertutup topeng separuh menajam. Sosok pria itu tampak buram. Pantas saja si rambut hijau tak bisa merasakan aura kehadirannya, karena wujudnya hanya berupa hologram. Rasanya Vajra pernah melihat pria ini sebelumnya, namun sosok serta namanya belum benar-benar melekat dalam ingatan pemuda ini.

"Namaku Hewanurma, dan aku adalah Administrator Alforea," ucap si pria hologram, seakan bisa membaca pikiran Vajra. "Selamat atas kelulusanmu di Babak Penyisihan Battle of Realms."

Vajra menyahut dengan nada dingin, "Tak usah basa-basi, dewa. Langsung saja." Ia menekankan kata "dewa", menyiratkan kesan penuh selidik.

"Ah-ha, aku takkan menyebut diriku sendiri demikian," dalih Hewanurma, lalu ia berdehem. "Nah, saat menyelesaikan misimu di Padang Shohr'n, apakah kau sempat melihat sosok mencurigakan di sekitar menara kristal kembar atau reruntuhan istana?"

Vajra berterus-terang. "Tidak. Aku tak melihat siapapun kecuali para anggota timku, Pasukan Alforea, para monster yang tersedot kembali ke dalam portal dan Tamon Rah yang kembali terpenjara." Ia membuka mulut ingin mengatakan ada sesuatu yang aneh dengan Tamon Rah sebelum menghilang, namun kata-kata itu dibiarkan menggantung di lidah.

"Hm, sudah kuduga." Wajah Hewanurma berubah muram. "Jawaban semua anggota Tim Lightbringers dan beberapa peserta lainnya hampir senada denganmu." Lalu bibirnya mengulas senyum tipis.  "Jadi, ini kabar baik dan kabar buruk."

"Jangan berbelit-belit. Apa maksudmu?"

"Kabar buruknya, musuh yang kita hadapi ini memang tak ada dalam 'kenyataan' di Shohr'n. Namun kabar baiknya, dia mungkin berada di Despera saat melakukan aksinya."

"Jadi, apakah 'musuh' itu seorang hacker alias peretas komputer?" Vajra menyimpulkan.

"Bisa jadi." Senyum Hewanurma makin mengembang. "Tapi, kurasa dia jauh lebih sakti daripada peretas dari duniamu, Planet Bumi Zaman Modern, yang teknologinya masih jauh di bawah Alforea ini." Walau bernada agak angkuh, namun kata-kata Sang "Dewa Teknologi" ini sarat fakta yang tak bisa dibantah.

Maka, Vajrapun menanggapinya langsung ke sasaran. "Jadi, apa peranku dalam 'misi' ini?"

"Mudah saja. Jalani saja terus babak demi babak dalam Turnamen Battle of Realms ini. Biar aku dan timku yang akan melacak musuh. Berusahalah terus sekuat tenagamu. Siapa tahu, suatu saat kau akan berhadapan dengan musuh yang sesungguhnya." Saat mengucapkan tiga kata terakhir itu, senyum Hewanurma jadi sangat lebar, hingga tampak seakan rahang bawahnya copot, terpisah dari rahang atasnya.

Vajra mendelik waspada. Lantas ia bicara, "Baiklah. Kalau tujuan misi ini adalah untuk melindungi serta menjaga kelestarian Alforea, aku akan membantumu, Hewanurma. Tapi, kalau sampai kau berkhianat seperti guruku, Ki Rogohjiwo, berharap sajalah kau ini hacker kelas teri di Bumi, bukan 'dewa' di Alforea." Prana Vajra kembali berkilatan di tubuhnya, menegaskan ia tak pernah main-main dengan ancamannya.

"Heh, kata-kata besar dari orang yang lari, mengasingkan diri dari ancaman gurunya yang adalah manusia biasa," sindir Hewanurma. "Tapi tak apa, siapa tahu kau memang lebih suka membantu dan melindungi teman, seperti yang kaucantumkan dalam profilmu saat kau mendaftar dulu. Dan tenang saja, aku tak terlalu berminat menjadi teman atau musuhmu. Nah, aku permisi dulu. Banyak sekali hal yang harus aku dan Tamon Ruu tangani, sehingga kami tak muncul saat pengumuman Babak Pertama tadi. Semoga cahaya inspirasi terus menerangimu."

Sebelum Vajra sempat protes, citra holografis Hewanurma sirna seketika.

Vajra tak tahu apa arti semboyan terakhir tadi. Mungkin "inspirasi" yang dimaksud Hewanurma terkait dengan "takdir" atau "kemampuan benak untuk mengambil keputusan dan menguak takdir". Apapun itu, kini Vajra tahu misinya di Alforea ini tak hanya untuk menempa diri saja.

==oOo==

Keluar dari penginapan dan membawa ponsel pintarnya, Vajra berjalan menyusuri lorong-lorong dan jalan-jalan Kota Despera menjelang fajar.

Setibanya di Kedai Alkima, Vajra tak melihat Bun dan para anggota Lightbringers lainnya di sana. Sebabnya mungkin karena mereka masih tidur, sedang sibuk sendiri-sendiri melakukan persiapan terakhir atau semacamnya.

Vajra menghela napas, lalu duduk di kursi kosong terdekat. Mungkin sepiring nasi gudeg bisa mengobati rasa lapar dan kesepiannya saat ini. Kedai Alkima sungguh ajaib, semua menu makanan dari pelbagai ranah dan dunia dapat ia pesan di sini.

Tiba-tiba tatapan Vajra tertuju pada seorang pria tua yang tengah melamun sendirian di pojokan kedai. Seragam coklat-coklat yang dikenakan pria itu jelas dikenalinya, dia pasti seorang veteran Tentara Nasional Indonesia. Yang paling mengherankan, wajahnya penuh keriput dan postur tubuhnya amat ringkih.

Sesekali, pria tua itu kentut dengan suara amat keras. Bau "gas buangan"-nya menebar kemana-mana, membuat para tamu kedai lainnya menjepit hidung dan duduk makin menjauh.

Jujur saja, Vajra juga mengernyit dan menahan napas, namun jari-jarinya langsung menari di layar sentuh ponsel tabletnya. Benar saja, Vajra tercengang melihat foto pria yang menjuluki diri sendiri "Si Kentut Tua" itu terpampang bersama biodatanya dalam database peserta turnamen. Apalagi beliau masih ada di Alforea. Bukankah itu berarti... pria uzur itu termasuk para petarung yang lulus Babak Penyisihan Battle of Realms?

Didorong rasa ingin tahu yang memuncak, Vajra lantas menghampiri sang veteran tua. "Permisi Kong Kumirun, boleh saya bicara dengan engkong?" sapanya sopan.

Namun si kakek tetap melamun, pandangannya tetap terarah ke jendela.

"MAAF, INI KONG KUMIRUN?" Vajra berseru keras, membuat Kumirun terlonjak.

"Aduh, kumis Jampang gondrong! Dasar anak mude kurang ajar! Ngomong keras-keras, sengaje suruh gue mate jantungan, ye!? Ta' slepet, modar lu!" Kumirun mencoba pasang kuda-kuda, namun gerakannya amat kaku dan lamban.

Vajra mengangkat telapak tangannya. "Kenalkan, saya Ra... eh, Vajra dari Yogyakarta. Maaf, saya kira pendengaran engkong sudah lemah..."

"Lemah gimane? Biar bangkotan gini, gue pernah ikut gerilye, tau! Waktu mude dulu, gue jagoan Pencak Silat, jurus-jurus Macan Betawi gue gak ade tandingannye! Tiap kali tarung nih ye, sekali gue beri, hait, hait, hait, orang bisa mate!" Suara batuk mengiringi hampir setiap kalimat yang dilontarkan suara serak sang kakek sakti ini.

"Hmm, dari yang saya baca, engkong masih bisa membangkitkan kekuatan itu selama kurang-lebih sepuluh menit. Dan dari sepak-terjang engkong hingga lolos Babak Penyisihan, kekuatan Kembali Muda itu pastilah mendekati maha kuasa."

"Aah, lu ngelebihin aje. Anggeplah gue lagi beruntung aje, gitu." Kata-kata Vajra tadi berhasil menghangatkan hati kakek-sudah-tua dan giginya-tinggal-dua ini.

Sambil Vajra makan nasi gudeg dan Kumirun makan bubur gudeg, mereka saling berbagi sebab-musabab perpindahan dua orang dari satu ranah itu ke Alforea, serta usaha mereka sejauh ini untuk mencapai tujuan masing-masing.

Kumirun jelas berniat mencari adiknya, Munirun yang beliau pikir tersesat di Alforea. Ia menjalankan misi hanya berdua dengan seorang dukun bernama Ki Kusuma. Kusuma tewas di tengah misi, dan itu memicu bangkitnya kekuatan dewata dalam diri Kumirun yang tak pernah ia dapatkan lewat doa sebelumnya. Sendirian, ia menyelesaikan misinya dalam kurun waktu kurang dari lima belas menit.

Kondisi Kumirun yang serba lemah dikompensasikan dengan kekuatan yang maha digdaya, membuat Vajra berdecak kagum. Bagi Vajra, melawan pendekar ini dalam kondisi sama-sama prima bakal sangat... menarik.

"Nah, kate lu tadi, lu kayaknye kurang di urusan silat-silatan, ye?" tanya Kumirun tiba-tiba.

"Iya, kong," jawab Vajra. Lalu ia bercerita tentang jurus-jurusnya yang sering macet tanpa sebab. Selain perbaikan pusaka-pusakanya, mungkin dasar ilmu beladiri seperti Pencak Silat atau yang lain bisa sangat membantu si pahlawan super mengatasi kelemahannya ini.

"Kalo gitu, gimane kalo kite bikin pertukeran aje?"

"Apa maksud engkong?" Vajra mendelik.

"Lu bantu kuatin badan gue pake lu punye tenage dalem, dan gue ajarin lu Pencak Silat."

Ini semua terdengar terlalu mudah dan muluk. Bagaimana bisa, Kumirun yang baru kenal dengan Vajra bersedia mengajarkan ilmunya dengan bayaran asupan prana? Apakah ini rasa percaya dan kedekatan kekeluargaan yang sama seperti yang Vajra rasakan pada Tim Lightbringers? Atau keakraban antara dua insan sepulau, masing-masing dari Jakarta dan dari Yogyakarta, yang lahir dari ungkapan "pahlawan kenal pahlawan"?       

"Serius, kong?"

"Dua rius malah. Cepetan jawab, sebelon pikun gue kumat!"

"Baiklah, saya setuju!" Vajra mengulurkan tangannya seperti hendak bersalaman.

Kumirunpun mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Vajra. Tiba-tiba seberkas cahaya terpancar dari dua tangan yang terpaut itu, amat menyilaukan hingga seakan membungkus kedua pendekar ini. Ternyata Vajralah yang lebih dahulu mengambil inisiatif dengan menyalurkan tenaga dalamnya pada si pria tua.

Kini, Vajra dan Kumirun seakan berada dalam medan cahaya berupa ruangan serba putih ini. Yang lebih ajaib, tubuh ringkih Kumirun kini berubah wujud menjadi sesosok pria tinggi-besar bertelanjang dada, dengan otot-otot bertonjolan bagai binaragawan. Wajah kurusnyapun berubah menjadi wajah pria berkumis hitam-tebal, sorot matanya berapi-api.

Inilah sosok "dewa" yang pernah menjadi momok di mata pasukan penjajah Belanda dan Jepang. Bahkan tentara Jepang yang pernah bertempur melawan Kumirun Muda menganggapnya titisan Fudo Myo-o, entitas dewata yang melambangkan kemurkaan. Karena Fudo adalah salah satu pemilik dan penyandang Pedang Vajra, wujud asal pusaka-pusaka Vajra, jelas ada benang penghubung antara kedua pendekar ini yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Seiring prana yang mengalir dari Vajra ke Kumirun, Vajra merasakan seakan-akan segala pengetahuan dan pengalaman dari puluhan tahun latihan dan pertarungan, segala jurus dan variasi gerakan Kumirun membuncah bagai bendungan bobol, meresap dan terekam dalam benak dan seluruh keberadaannya. Kini Vajra menguasai dasar ilmu beladiri yaitu Pencak Silat, menyempurnakan Tinju Brajamusti andalannya dengan gerakan-gerakan penuh variasi tak terduga, juga mencegah jurus itu macet di tengah jalan.

Kira-kira dua menit kemudian, cahaya terik berangsur memudar. Segala pemandangan putih-bersih berganti menjadi pelbagai perabot dan suasana Kedai Alkima yang kini tampak agak lengang. Kumirun Muda kini kembali menjadi sosok ringkih Si Kentut Tua. Bedanya kini beliau tersenyum semangat, seolah telah menjadi sepuluh tahun lebih muda.

Saat Vajra membuka mulut untuk mengucapkan terima kasih pada "guru baru"-nya ini, tiba-tiba seberkas cahaya lagi-lagi menyelimuti tubuhnya dan tubuh Kumirun. Saat cahaya itu hilang, Vajra mendapati dirinya dalam kubah hitam yang serba remang-remang. Tak salah lagi, inilah tempat pemberangkatan misi dekat istana Kota Despera.

Di hadapan Vajra, seorang gadis pelayan bertampang seragam bernama Eloise berdiri di sebelah layar monitor hologram. Tampak citra rekaman video sebuah dataran tinggi bersalju, yang sebenarnya adalah sebuah kaldera yang amat luas, dikelilingi dinding gunung berapi yang sudah berabad-abad mati.

"Los Soleil, Penjara Salju Abadi. Inilah tempat misimu kali ini, Vajra. Kau akan menghadapi lima petarung lainnya." Berikutnya, tampak figur lima pendekar dari kepala hingga dada. Yang menyebalkan, mereka semua laki-laki. "Lo Dmun Faylim. Renggo Sina. Pangeran Zhaahir Khavaro Ketiga, Ernesto Boreas dan Reviss Arspencer." Melihat ekspresi kelimanya, Vajra segera menyadari mereka semua memiliki kekuatan yang sama sekali tak bisa diremehkan.

Eloise melanjutkan, "Alam Los Soleil amat ganas. Selain hawa dingin menusuk tulang, badai salju selalu berhembus, menghalangi pandangan dan menyulitkan pergerakan. Hanya ada pemandangan serba putih ke manapun mata memandang. Berhati-hatilah dengan monster-monster berwujud rusa hitam besar yang akan menyerang siapapun yang mereka lihat."

Eloise lantas menyerahkan sebuah perangkat seperti smartphone berlayar kristal pada Vajra.  "Setiap peserta membawa ini, radar yang bisa dipakai untuk mendeteksi lawan di tengah badai salju yang ganas. Radar ini hanya dapat mendeteksi sejauh seratus meter dari lokasi pengguna, dan dapat digunakan berkali-kali. Nah, seorang peserta dianggap menang apabila berhasil menyingkirkan kelima peserta lainnya, baik dengan cara membunuh, membuat mereka menyerah ataupun membuat mereka kehilangan kesadaran. Apabila seorang peserta berhasil merebut semua radar milik peserta lain dengan cara apapun, maka dia dianggap menang dan akan dikirim kembali ke Despera. Apa kau sudah memahami detil misi ini?"

Vajra mengangguk. Mulutnya lantas terbuka untuk menanyakan sesuatu.

Eloise yang nampaknya sudah menebak pertanyaan Vajra kembali bicara, "Apa kau perlu meminjam mantel bulu atau semacamnya untuk menahan udara dingin?" Walau Vajra mampu menggunakan prana pelindung untuk menahan dingin, pendekar asal negeri tropis yang minim pengalaman tarung ini tentu menerima tawaran itu dan mengenakan mantel yang mirip jaket beskapnya. Karena radar smartphone Vajra juga memuat informasi tentang para peserta lainnya dan catatan detil misi, ia menitipkan smartphone miliknya pada Eloise.

"Baik, semua peserta akan dipindahkan bersamaan ke lokasi misi. Siap?"

Vajra mengangguk. "Silakan, Eloise. Aku akan kembali mengambil ponselku nanti."



= Bagian 2 =
DUA TOPENG

Sebelum menjadi Satria Pringgodani, Gatotkaca dilatih siang-malam dalam Candradimuka, kawah gunung berapi dewata yang konon bara panasnya mampu menghanguskan dewa.

Menyusuri salju tebal, Vajra agak sulit melangkahkan kakinya. Walau mengenakan baju tebal dan memancarkan prana pelindung untuk menghangatkan tubuh, Vajra tetap bagai mendekam dalam lemari es. Rasa ngilu yang merasuki setiap ruas tulang di tubuhnya membuatnya mengira-ngira, mungkinkah dulu Tetuko menderita lebih parah dari dirinya?

Mata Vajra terus menyorot tajam, penuh tekad bulat. Badai salju di Los Soleil ini belum seberapa dibandingkan Kawah Candradimuka sejati. Si pendekar bertopeng separuh itu harus merampungkan misi ini, supaya setidaknya ia maju selangkah menyusul kesaktian Gatotkaca.

Ponsel radar terus tergenggam di tangan Vajra, mata hijaunya tak hentinya beralih dari radar ke medan sekelilingnya. Jarak penglihatan yang terbatas justru memberinya kesempatan berlatih melacak keberadaan seseorang – atau sesuatu – dengan prananya.
   
Sempat beberapa kali Vajra hampir terperosok ke dalam lubang di bawah salju yang labil itu. Untunglah sepatu bot yang ia kenakan dan gerakan refleks yang lincah hasil gemblengan "trio wayang" selalu mengembalikan si pahlawan super ke pijakan yang mantap.

Tiba-tiba layar radar menunjukkan sebuah titik merah yang bergerak amat cepat ke arah  titik hijau dengan teks "VAJRA" tertera di sampingnya. Dengan sigap Vajra menyimpan radar dalam kantung di bagian dalam rompi beskapnya, seraya bergumam, "Akhirnya, sedikit olahraga untuk menghangatkan tubuh."

Benar saja, dari samping Vajra muncul sesosok rusa hitam bertubuh sebesar unta, suaranya lebih mirip raungan serigala daripada lenguhan rusa. Monster itu berderap cepat, menyeruduk dengan tanduk bercabangnya yang berbentuk hampir seperti sepasang cakar tangan manusia.

Bagai seorang pendekar adu banteng yang disebut matador, Vajra berputar sambil bertumpu pada satu kakinya, lalu mendoncang depan. Dengan cekatan pula ia menghantam sisi tubuh si rusa dengan satu tinju yang sarat petir bertegangan tinggi. Alhasil, monster itu terdorong, oleng dan hampir melayang.

Gilanya, rusa hitam itu meliukkan lehernya yang panjang, tanduk raksasanya menyeruduk tepat di tubuh Vajra. Tak ayal si manusia mengaduh, darah pertama tersembur dari mulutnya.

"Cih!" Terpaksa Vajra mengerahkan prana ke sepasang sepatu botnya, lalu mulai lari melintasi salju. Si rusa hitam besar menggeram, memperlihatkan sederetan taring di moncong serigalanya dan mengejar si "pendekar pengecut" sambil menyeruduk sekuat tenaga.

Saat si rusa berhasil memperkecil jarak dan desir serudukannya lebih terasa daripada badai, tiba-tiba Vajra bersalto amat tinggi, melewati tanduk dan leher monster yang merunduk itu. Lantas Vajra mendarat di punggung rusa dengan posisi seperti menunggang kuda. Sebelum siluman rusa-banteng-serigala itu sempat meronta bagai kuda binal, Vajra beringsut maju. Tangan kirinya meraih tanduk raksasa, dan tubuhnya meliuk ke samping "tunggangan"-nya.

Secepat kilat, jari tangan kanan Vajra teracung. Gelang Gandiwa berpendar, Vajra menembakkan Panah Pasopati bagai berondongan senapan mesin tepat ke dalam lubang telinga si rusa hitam. Teriring raungan keras, si monster buas jatuh berdebam, menebar salju ke segala penjuru. Vajra melompat tepat waktu dari tubuh rusa dan mendarat mulus di tanah.

Tak ada waktu menikmati hasil "olahraga"-nya, Vajra ambil langkah seribu. Bau anyir darah dari bangkai rusa pasti akan menarik perhatian rekan-rekannya yang sangat mungkin sudah jadi kanibal, pemakan daging sesama jenisnya. Dan si manusia tak mau jadi kudapan mereka.

Setelah menganggap dirinya lari cukup jauh, Vajra menghentikan langkahnya. Lantas ia memegangi perutnya dengan wajah meringis. Vajra salah langkah, seharusnya ia terus lari seperti pengecut, adu cepat dengan rusa hitam daripada mendapat rugi berupa luka dalam.

Daripada menyesali keputusannya, Vajra memilih maju terus. Saat merogoh ke dalam saku beskap-di-balik-mantelnya, tiba-tiba suara tepukan tangan membuatnya menoleh. Lambang bintang emas Zirah Antakusuma berpendar, tanda prana siap dikerahkan.

Tepat di hadapan Vajra, seorang pria bertubuh jangkung berjalan menghampirinya. Kepalanya dibebat turban dan tudung putih seperti bangsawan dari Jazirah Arab. Seluruh tubuhnya tertutup pakaian putih bercorak bulan dan bintang emas. serta mantel bulu menggantikan pakaian lapis luarnya. Yang paling menarik, seluruh wajah pria itu tertutup sebentuk topeng perunggu. Walau penampilannya ini lebih mirip Baldwin Keempat, Raja Yerusalem di masa Perang Salib, Vajra seketika mengenali pendekar ini sebagai...

"Perkenalkan, aku Zhaahir Khavaro Ketiga, Putra Mahkota Kekaisaran Khavaro. Aksimu menunggang rusa siluman tadi cukup memukau, membuat tanganku gatal ingin menjajal kekuatan Vajra, si Penantang Tamon Rah."

Entah Zhaahir hanya bersikap sopan atau sedang menyindir. Meneguhkan hatinya agar emosinya tak terpancing, Vajra memancarkan prana petir di tubuhnya, pasang kuda-kuda sambil menyilangkan tinju dan telapak tangannya. "Maaf Pangeran, aku lebih berminat merebut radar kristal di tanganmu itu daripada adu nyawa. Aku mau saja melayanimu bertarung. Masalahnya, bila aku terlalu serius, aku takkan tega melihat istrimu, Eri menangisi tubuhmu yang kaku."

"Hahaha, kita lihat saja apa kau lebih piawai bersilat daripada bersilat lidah!" Si tudung putih lantas merentangkan kedua tangannya ke udara dan merapal, "Datanglah, Kavaleri Pejuang!"

Dengan sihir, Zhaahir mendatangkan perlengkapan prajurit kavaleri Kekaisaran Khavaro. Ia melompat tinggi, lalu mendarat di punggung seekor kuda hitam bernama Qorrum. Sebentuk baju zirah rantai tersandang di tubuhnya, tepatnya di balik mantel.

Senjata-senjata seperti tombak, perisai, pedang, busur dan kantung penuh anak panah tersarung rapi pada sanggurdi kuda dan tubuh Zhaahir, di posisi-posisi yang mudah dijangkau penggunanya. Tombak yang tersandang di punggung Zhaahir berbendera hitam, dengan aksara putih yang adalah lambang Kekaisaran Khavaro. Semua perlengkapan ini. ditambah prana api yang terkandung dalam tubuh membuat Si Pangeran Bertopeng tampak amat gagah dan memancarkan kharisma layaknya Sultan Salah ad-Din, pemimpin besar Dinasti Ayyubid dalam Perang Salib.

Tentu saja Vajra memancarkan kharisma yang setara pula, lewat prananya. Namun tiba-tiba, ia mengaduh sambil memegangi perutnya. Si topeng separuh belum sempat memulihkan diri dengan prananya, nyeri menyengat dari luka dalam akibat serudukan rusa hitam kembali terasa.

"Hei, ada apa, Vajra? Apa kau terluka hingga merasa takkan mampu mengimbangiku?" Zhaahir kembali melancarkan silat lidahnya sambil mengambil busur dan anak panah. "Maaf, tapi aku takkan membiarkanmu melarikan diri. Hadapi panahku dengan jantan."

Sebaliknya, Vajra malah tersenyum dan menyeka darah di mulutnya. "Rupanya kau belum mengenalku, Zhaahir, jadi tanyakan saja itu pada Tamon Rah. Sambut!" Sambil mengatakannya, Vajra maju menyongsong lawan. Jari telunjuk kanannya teracung lurus, menembakkan serentetan panah petir.

Qorrum mulai berlari, menjaga jarak dari lawan, sementara penunggangnya melesatkan panah-panah berapi ke arah Vajra. Rupanya tak satupun panah api Zhaahir mengenai Vajra yang terus bergerak lincah kesana-kemari dengan prananya. Lari kudanyapun tertahan salju tebal, membuat Zhaahir harus merebah atau menangkisi panah-panah petir yang mengincar kuda dan penunggangnya itu.

Satu anak panah prana Vajra membentur zirah besi Zhaahir. Walau terlindung aura api sehingga tak sampai menembus ke dalam tubuhnya, efek sambaran petir yang menjalar pada zirah membuat si topeng perunggu mengaduh, pertahanannya terkuak.

Melihat kesempatan ini, Vajra menghentikan tembakan, memperkecil jarak dengan lawan sambil kembali menghimpun prana. Melihat gelagat lawan, Zhaahir menyimpan busur, menghunus tombak berbendera dan menusukkannya sekuat tenaga. Serangan si topeng perunggu mudah terbaca, si topeng separuh melompat tinggi dan menyarangkan tendangan sarat prana petir Brajamusti tepat di topeng lawan. Akibatnya, Zhaahir terpental dan jatuh dari kudanya.

Vajra mendarat pula di salju, namun ia bertekuk lutut dan kembali memegangi perutnya. Tempat luka dalam tadi malah berdarah. Rupanya tadi Zhaahir sengaja mengumpankan dirinya agar dapat dengan diam-diam dan amat cepat menusukkan tombak bilah membaranya ke tubuh lawan, saat pertahanan prananya terbuka. Dengan sigap Vajra memungut segenggam salju. Lalu ia menekan salju itu di perutnya sambil menyalurkan prana, tujuannya untuk menghentikan pendarahan dan menyembuhkan luka sekadarnya.

Terlindungi topengnya, rupanya Zhaahir tak sampai pingsan terhantam jurus andalan Vajra tadi. Masih terhuyung-huyung dan memegangi kepalanya yang pening, ia berjalan menghampiri lawannya. "Rupanya kau terpuruk juga, Vajra. Baiklah, masih ada empat peserta lain di sini, dan aku sedang tak berminat memboroskan seluruh prana pada dirimu seorang. Karena itu, dengan  wewenang dari Surat Izin Dari Kaisar ini, aku minta kau , Vajra menyerahkan radarmu padaku!"

Sulit bergerak menghindar, mau tak mau Vajra membaca surat gulungan berpendar putih nan cerah yang diulurkan Zhaahir itu. Suara-suara penuh wibawa terngiang dalam benaknya,  memompakan sugesti tanpa henti.

Mengerang kesakitan, Vajra mencengkeram kepalanya. Lantas, tanpa disadarinya, satu tangannya meraih ke dalam kantung beskapnya dan mengeluarkan radar kristal berbentuk smartphone itu. Lantas, dengan seluruh tubuh gemetaran ia berlutut maju, mengulurkan tangan untuk menyerahkan "kunci kemenangan misi" itu pada lawannya.

"Ya, bagus! Coba kalau kaulakukan sejak tadi, kau tak perlu rugi seperti ini, bukan?" Satu tangan Zhaahir tetap mengacungkan "surat ajaib", sambil tangan kedua meraih radar Vajra. Namun, saat hendak menariknya, radar itu tetap tergenggam kuat di tangan pemiliknya. "Lho, mengapa begini?" sergahnya.

Sebelum Zhaahir mengempos prana api untuk merebut radar, tiba-tiba Tinju Brajamusti Vajra kembali menghantam topeng si pangeran. Zhaahir kembali terpelanting dan tersuruk di salju.

Karena tinju tadi tak terlalu keras, Zhaahir cepat-cepat bangkit dan berseru, "Aku tak percaya ini! Bagaimana kau bisa melepaskan diri dari pengaruh wibawa gaib kaisar?!"

Radar Vajra kembali tersimpan dalam beskapnya. Setengah membungkuk, dengan mata tetap terarah ke depan Vajra menjawab, "Itu karena aku mengemban mandat dari Bima, Arjuna, Gatotkaca, Fudo Myo-o, Indra dan insan-insan dewata lainnya yang adalah pencipta, pemilik dan pewaris Vajra. Wibawa satu orang kaisar saja takkan bisa menandingi mereka semua!" Prana petir Vajra kembali menyambar-nyambar, menegaskan kata-katanya.

"Gila, kau... kau ini dewa!" Zhaahir tanpa sadar menyurut mundur. Surat Izin Dari Kaisar lenyap, diam-diam Zhaahir menghimpun prana api dan memusatkannya pada kedua tinjunya.

"Salah. Aku tetap manusia biasa, dan kekuatanku hanya bagai setitik embun dibandingkan dengan kekuatan dewata yang seluas samudera. Tapi kalau kau menggunakan cara tak jantan itu lagi saat melawanku, kupastikan kau akan menderita lebih parah dari tertimpa murka dewata." Vajra menghimpun prana petir dan menyeruak."Ayo, sambut aku dengan kekuatan sejatimu!"

Dengan prana petir di kaki, Vajra melompat tinggi-tinggi dari salju dan terjun bagai hujan meteor, menghantamkan tinju petirnya ke arah tubuh lawan. Sulit menghindar karena kakinya terhambat salju, Zhaahir terpaksa menyambut dengan tinjunya yang bermuatan prana api terkuat yang bisa ia himpun.

Dua jurus sederhana bertumbukan di udara, menebar dentuman yang memekakkan telinga. Imbasnya, kedua petarung terpelanting jauh. Zhaahir tersuruk hingga hampir terkubur dalam tumpukan salju. Sedangkan Vajra melayang seperti layangan putus di udara.

Entah karena kebetulan atau pengaruh benturan antar prana tadi, tiba-tiba badai salju berhembus lebih kencang dari biasanya. Gilanya, badai ini teramat kuat, tubuh Vajra yang berbobot enam puluh enam kilogram ditambah bobot pusaka-pusakanya diterbangkan lebih jauh lagi, hingga terpuruk keras di jarak lebih dari seratus meter dari tempat bentrokannya dengan Zhaahir tadi. Untunglah salju tebal menahan tubuh Vajra, hingga luka-lukanya tak tambah banyak.

Namun, tiba-tiba Vajra memuntahkan darah segar, pertanda luka dalamnya jadi parah lagi. Mau tak mau ia melakukan tapa brata di tempat, menghimpun prana dan energi kehidupan. Ia harus memulihkan tenaga dalam dan menyembuhkan luka, kalau masih ingin nyawanya selamat.

Beberapa menit kemudian, rona merah kembali menghiasi wajah pemuda berambut hijau ini. Secepat mungkin ia berdiri, lalu berjalan ke arah yang diduganya menuju tempat bentrokannya dengan Zhaahir tadi.

Saat melihat radarnya, tak tampak nama Zhaahir di layar kristal, padahal Vajra telah berjalan lama. Sang pendekar bertopeng merah berdecak kesal. Mungkin Zhaahir sudah bangkit lagi dan melarikan diri dengan kudanya. Atau mungkin saja dia sudah tewas dan langsung dipindahkan ke Despera dengan teleportasi. Kalau yang terjadi adalah kemungkinan kedua, berarti pilihan untuk menang dalam misi ini tinggal membunuh atau membuat pingsan lawan, sungguh menyebalkan.

Dan yang paling menyesakkan hati, melanjutkan misi dengan tangan kosong setelah menguras banyak prana, banyak waktu dan menderita luka dalam hanya mengandung satu arti.

Hasil sementara, Vajra di bawah angin.

==oOo==

Di sisi lain Los Soleil, seorang remaja laki-laki berambut putih, berkacamata tebal dan mengenakan baju jubah bulu tebal sepinggang sedang bergerak lincah nan akrobatis, bersiap menyambut serangan lawannya. Namanya adalah Lo Dmun Faylim, atau biasa dipanggil Lodun.

Tiba-tiba Lodun membungkuk, menyentuhkan tangannya di salju dan berseru, "Apertis!" Sebuah lubang sedalam dua setengah meter dari permukaan tanah tergali seketika. Saat itu pula, sesosok pria jangkung bermantel hitam jatuh terperosok ke dalamnya.

"Haha, terjebak kau! Solvo!" Lodun merapal sihir kedua, membuat lubang jebakan tertutup tanah seketika, dilapisi pula dengan salju tebal. Lawannya tadi pasti sudah terkubur hidup-hidup, Lodun tinggal menunggu sampai si lawan tewas kehabisan udara sebelum "memancing keluar" radar lawan sebagai bukti kemenangannya.

"Salah. Kaulah yang telah terjebak." Suara seorang pria terdengar persis setelah kata "Solvo" terucap. Terkejut, Lodun menegadah, namun siku lawan menimpanya dari atas. Sedetik kemudian, pria itu telah menodongkan pistol tepat di depan mata Lodun yang terbelalak.

"Serahkan radarmu, atau kuledakkan otakmu." Nada bicara pria itu datar, mengiringi tatapan sepasang mata hijaunya yang setajam belati. Bibir yang tertekuk ke bawah dari wajah tirus dan tulang pipinya yang menonjol menegaskan wataknya sebagai orang yang selalu menepati setiap kata – termasuk ancaman – yang terucap di bibirnya.

"B-baik! Ini, ambillah!" Tanpa berpikir terlalu panjang, Lodun mengeluarkan radar kristal dari kantung celana tebalnya, lalu mengulurkannya sambil menggerutu, "Andai aku bisa bergerak lebih cepat di lautan salju ini..."

"Percuma," tegas pria berambut coklat, ikal dan pendek itu sambil menimang-nimang radar kristal bukti kemenangan di tangannya. "Secepat apapun pergerakanmu, kau takkan bisa menandingi kecepatanku, Si Pelompat Gaib, Reviss Arspencer."


= Bagian 3 =
EMPAT MATA HIJAU

Setelah memulihkan diri semampunya seperti kebanyakan pendekar sakti, Vajra kembali melangkah menyusuri hamparan salju, menembus badai abadi.

Hampir setengah jam berlalu sejak tertundanya pertarungan Vajra dengan Zhaahir tadi, pemuda berambut hijau itu belum melacak satupun lawan dengan radarnya. Mungkin sudah terjadi beberapa pertarungan, dan jumlah peserta di Los Soleil ini sudah menipis.

Untunglah tak ada satupun monster rusa berwajah serigala dan bertubuh banteng menyergap Vajra. Kalau tidak, ia akan lebih kerepotan menghadapi peserta-peserta lainnya, khususnya tipe penyusup seperti Ernesto Boreas dan Reviss Arspencer. Ya, satu-satunya kegiatan bermanfaat untuk mewarnai suasana serba monoton ini adalah mempelajari lebih jauh tentang kemampuan dan kelemahan para calon lawan Vajra di medan "Candradimuka Putih" ini.

Setelah beberapa menit berjalan ke arah timur, radar Vajra menangkap dua buah titik berwarna merah dan kuning. Titik merah itu tampak bergerak cepat mengejar titik kuning, tapi bukan ke arah Vajra. Kalau titik kuning itu bukan monster, lantas apa? Tak ada keterangan tentang itu pada menu di radar. Didorong firasat ini, tanpa pikir panjang Vajra kembali memancarkan prananya dan melesat secepat kilat.

Seperti dugaannya, Vajra melihat seekor rusa hitam siluman tengah mengejar sesosok makhluk yang mirip manusia besi. Makin dekat, tampak jelas ia adalah sebuah robot yang menyerupai manusia yang umumnya disebut android. Seketika, Vajra teringat pada salah satu peserta yang ciri-cirinya persis dengan robot ini di database radar, dan namanya adalah Renggo Sina.

Anehnya, Renggo tampak sendirian saja dan hanya berlari seperti ketakutan, tak melawan monster itu sama sekali. Bukankah mitranya, Sang Operator harus memandunya kini?

Satu gagasan yang baru terbit mendorong Vajra berlari terus. Di jarak kurang dari lima puluh meter dari sang robot, kesepuluh jarinya menebarkan sepuluh jaring petir. Tiap ujung Jaring Dalangsukma merasuk dalam kepala, kedua tangan, kedua kaki dan tubuh Renggo, membuat robot itu terkesiap namun masih terus berlari.

"Renggo! Tiru diriku, biarkan aku mengendalikanmu untuk melawannya!" seru Vajra.

Si robot sebesar manusia setinggi hampir dua meter itu tak kuasa menolak, karena ia sudah sepenuhnya berada dalam kendali Vajra. Kepalanya yang seperti helm dengan mata visor berbentuk huruf V seketika berubah bentuk menjadi berambut panjang dikepang ekor kuda seperti rambut Vajra. Bedanya, bagian kiri kepalanya yang rusak tak bisa meniru bentuk topeng separuh Vajra. Permukaan tubuh Renggo yang tertutup pelat besi abu-abu berubah bentuk hingga menyerupai Zirah Antakusuma, dan di lengan kirinya muncul sebentuk benda mirip Gelang Gandiwa.

Sambil terus berlari pula, Vajra berseru, "Gunakan kemampuan peniruanmu, Renggo! Tembak monster itu dengan Meriam Brajamusti!"

Suara robotik-mekanis Renggo bergema. "Mengerti!" Sedetik kemudian, ia menghentikan langkahnya, lalu berputar dengan amat lincah dengan bertumpu pada satu kaki seperti kebiasaan Vajra. Si monster rusa-banteng-serigala berderap makin dekat, tanduk bercabangnya siap menghantam tubuh si manusia logam.

Renggo Sina menyilangkan kedua tinjunya dekat ulu hati, lalu mengulurkannya lurus-lurus. Selarik petir besar menyambar, melewati celah di antara sepasang tanduk si rusa dan tepat mengenai kepala monster itu. Daya petir penghancur mengalir terus-menerus dan berpusar bagai bor, hingga akhirnya melubangi sasarannya. Alhasil, rusa siluman itu terpelanting seakan bersalto ke belakang, dan mendarat sambil menebar salju bercampur darah ke segala arah. Satu lagi makanan untuk sesama rusa kanibal lainnya tersaji sudah.

"Bagus, Renggo!" seru Vajra. "Ayo, kita harus lari jauh-jauh dari sini sebelum rusa-rusa siluman lain berdatangan!"

"Baik!" Masih berkepala mirip Vajra, Renggo Sina kembali berlari mengikuti penolongnya ini.

==oOo==

Setelah yakin cukup jauh dari siapapun dan monster apapun, barulah Vajra dan Renggo menghentikan langkah mereka.

Sekali lagi Vajra menghimpun energi alami untuk mengisi kembali persediaan prana. Kali ini ia melakukannya sambil berdiri dan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, karena prana yang ia kerahkan untuk menolong Renggo tadi tak banyak – menurut ukuran pemiliknya.

"Kalau kau mau menyerangku sekarang, silakan," ujar Vajra pada robot yang berdiri mematung di depannya ini.

Anehnya, Renggo tetap bergeming, padahal bentuk kepala dan zirahnya masih mirip Vajra. Mengingat ia mampu menghabisi monster rusa dengan satu tembakan saja, petarung ini jelas bakal melakukan perlawanan sengit andai ia berniat merebut radar sang dalang.

Bahkan setelah Vajra selesai ber-tapa brata, Renggo masih tetap berdiri di tempat. Mungkinkah tanpa Sang Operator, ia jadi benda tanpa akal budi mandiri seperti julukannya, "Si Hampa"?

Di sisi lain, Vajra bisa saja menghancurkan salah satu peserta dan pesaingnya ini dengan kemampuan dan prananya. Namun ia tak melakukannya, meremehkan lawan bukanlah kebiasaannya. Sebaliknya, Vajra malah membuka pembicaraan dengan bertanya, "Renggo Sina, kau tahu 'kan aku Vajra, salah seorang peserta di medan ini?"

Renggo mengangguk.

"Mengapa kau tak melawanku?"

Suara dan cara bicara Renggo seperti remaja pria berusia delapan belas tahun yang minim kosa kata. "Vajra sudah selamatkan Renggo. Vajra tak lawan Renggo. Renggo berterima kasih pada Vajra. Lagipula, tenaga Renggo hampir habis karena belari dan menembak rusa tadi."

Vajra mengerutkan dahinya. "Memangnya apa yang telah terjadi pada dirimu... dan operatormu?"

"Biar aku saja yang menerangkan kejadiannya," kata sebuah suara remaja pria yang persis suara Renggo, namun seolah-olah berasal dari mikrofon. "Perkenalkan, akulah Sang Operator, panggil aku Opi saja supaya praktis. Tadi kami berhadapan dengan salah seorang peserta 'kelompok tarung' Los Soleil, seorang pria yang gaya rambut merahnya seperti telinga kucing."

 "Ernesto Boreas," tebak Vajra.

"Persis. Si rambut kucing itu tak kasat mata seperti hantu dan berkelebat amat cepat, menyayati tubuh Renggo dengan belati-belati semerah darah yang disebut Auro, yang adalah aura berbentuk gas merah yang diubah menjadi sekeras baja dengan prana kegelapan. Renggo berhasil memaksa Ernest bertarung dalam medan kubus semi-transparan untuk membatasi ruang geraknya. Tapi saat si 'hantu' nyaris kalah, 'penyakit' Renggo kumat dan ia diam membatu."

Vajra cukup terkejut mendengarnya. Bagian "kelemahan" memang tak dicantumkan pada database bagi peserta, tujuannya agar tiap peserta jadi lebih kreatif mencari titik kelemahan lawan masing-masing.

Opi melanjutkan, "Aku memaksa Renggo agar bergerak sesuai kehendakku tanpa mempedulikan 'penyakit'-nya itu untuk menghabisi Ernest. Namun si licik itu telah lebih dahulu merebut radar kristal yang terpasang di tubuh Renggo dan menikam alat penghubung antara aku dan Renggo. Kubah hilang seketika, dan Ernesto melarikan diri."

"Lalu, mengapa kau tak mengendalikan Renggo, Opi?"

"Karena fungsi pengiriman gambar visual dari Renggo padaku rusak, aku tak bisa memberikan saran dan perintah apapun padanya. Untunglah alat pengirim suara masih berfungsi, hingga aku bisa mendengar suara orang yang telah menolong Renggo dan menjawab semua pertanyaanmu lewat mikrofon yang berpindah-pindah seperti ular dan menyelip di bagian-bagian tertentu tubuh Renggo. Jadi aku dan Renggo berterima kasih padamu, Vajra."

Nada bicara Opi terdengar tulus, namun mata Vajra masih menyorot waspada. Setelah berpikir sejenak, Vajra berkata, "Nampaknya lawan-lawan kita di Los Soleil ini sungguh tangguh. Kalau kau... kalian mau, kita bisa bekerjasama dulu untuk mengatasi para peserta lain. Mungkin kalian akan bisa merebut radar kalian kembali. Bila semuanya lancar, kita akan bertarung satu lawan satu dalam 'babak final' misi ini nanti."

"Itu gagasan bagus, ya 'kan, Opi?" kata Renggo.

Suara Opi berujar, "Yah, daripada kita berjalan tak tentu arah menunggu kalah, bermitra dengan Vajra memang pilihan terbaik... untuk saat ini."

"Baguslah," ujar Vajra sambil tersenyum. "Nah, aku punya usul. Bagaimana kalau pertama-tama Renggo memesan beberapa perban ajaib untuk menyembuhkan luka dulu?"

"Apa maksudmu? Kau perlu tahu Vajra, barang pesanan yang diantarkan lintas ranah akan dijatuhkan ke sembarang tempat dalam lokasi pertarungan ini. Bagaimana kalau peserta lain menemukan benda itu lebih dulu, bukankah akhirnya kita juga yang rugi?" protes Opi.

"Justru itulah maksudku. Barang-barang kiriman itu akan dipasangi pemancar agar kita bisa melacaknya dengan radar, bukan? Nah, kita akan coba memesan satu perban setiap lima belas menit atau lebih. Bila salah satu barang itu jatuh dekat posisi kita, mungkin ada peserta lain yang ikut menghampiri barang itu pula. Saat itulah kita akan bertarung melawan peserta itu, jadi kita bisa menghemat waktu untuk bertahan hidup di 'neraka beku' ini."

Opi dan Renggo terdiam sejenak, mempertimbangkan usul Vajra itu. Sesaat kemudian, suara Opi kembali bergema. "Nah, satu perban ajaib sudah dipesan. Silakan mengamati radarmu, Vajra."

==oOo==

Walau kedengarannya cukup masuk akal, rencana "memancing" para petarung dengan "barang bonus" tak berjalan cukup mulus. Perban pertama tak tampak di layar radar Vajra, jangkauan radar sejauh seratus meter memang kadang terasa menyebalkan.

Perban kedua dan ketiga tak tampak pula di layar. Barulah perban keempat muncul sebagai titik biru di radar. Vajra dan Renggo melesat cepat dan berhasil mengambilnya, namun tak ada peserta lain ikut muncul pula. Yah, setidaknya Vajra sudah menggunakan perban ajaib itu untuk menyembuhkan sisa luka luar di perutnya, akibat pertarungan melawan Zhaahir tadi.

Perban keenam tampak pula di layar, namun rupanya telah direbut dua peserta lain yang muncul terlebih dahulu. "Bersiaplah, Renggo! Ada dua peserta yang datang menyerang kita!" seru Vajra.

Seperti dugaan Vajra, satu titik hijau yang menampilkan nama "Reviss" itu bergerak dengan amat cepat menuju titiknya. Sementara titik kedua yang berwarna kuning, mewakili peserta yang telah kehilangan radarnya bergerak agak lebih lamban menuju titik kuning yang mewakili Renggo. Si Dalang Petir cepat-cepat menyimpan kembali radarnya, tubuhnya memancarkan prana dan siap bertarung. Tak ada seorangpun tampak mendekat, karena lagi-lagi badai salju menghalangi pandangan.

Mendadak, Vajra berbalik. Tampak sesosok pria meloncat, melemparkan sebilah besi tajam sepanjang lima belas sentimeter ke arahnya. Dengan cukup mudah Vajra menepis besi itu dengan kibasan tangan kiri sarat prana, sambil menembakkan panah-panah petir dengan tangan kanan.

"Hei, aku di sini," kata pria bermantel hitam itu sambil menusukkan belati kedua dari sisi kiri Vajra. Dengan gerak refleks, Vajra memutar tubuh lagi. Belati lawan membentur zirah pelindung dada Vajra dan terpental, sementara si rambut coklat ikal mundur, mengambil jarak.

Saat itulah Vajra baru mengenali penyerangnya. "Reviss Arspencer! Pekerja di restoran cepat saji yang diundang ke Alforea, lari dari kematian dan mendapatkan kekuatan sebagai petarung dari seorang pembunuh bayaran sakti yang memilih mati daripada menjalani 'petualangan' ini."

Reviss menjawab dengan nada sedingin ekspresi wajahnya, "Ya, itu benar. Tapi itu bukan urusanmu, Vajra, dan aku sama sekali tak berminat mendengar ceritamu."

"Terserah kau. Tapi coba jawab satu pertanyaanku. Apa yang kaulakukan sekembalinya kau dari Alforea dengan kesaktianmu itu? Apa kau akan membalas dendam pada orang-orang yang telah merampok dan menembakmu?"

Reviss menggeleng. "Maaf, balas dendam bukan gayaku. Kurasa aku akan membalas budi 'pendahuluku' itu dengan mengikuti jejaknya sebagai pembunuh bayaran."

"Hmm, menarik," ujar Vajra. "Balas dendam bukan gayamu, katamu? Baiklah, sebagai tanda terima kasihku atas jawabanmu itu, aku akan bertarung denganmu tanpa mengurangi tenaga."

Mendengarnya, Reviss mengulum senyum sinis. "Huh, justru tadi aku sengaja 'main-main' dulu agar kau meremehkanku." Tubuhnya lantas menebar aura misterius yang sulit ditebak unsurnya. "Mulai sekarang, anggaplah kau sudah pasti mati di tanganku."

Dua pasang mata hijau saling menatap tajam. Tak ada kebencian di sana, hanya naluri petarung yang memuncak. Tanpa aba-aba, Vajra dan Reviss melesat bagai bayangan.

Dengan amat cepat Vajra menembaki Reviss dengan panah-panah petirnya. Di sisi lain, kristal opal hitam di sarung tangan Reviss berpendar. Rupanya Reviss mengerahkan kemampuan khususnya yaitu Augment, sehingga kekuatan tangannya dan kecepatan tembakan pistol di tangannya meningkat dua kali lipat.

Namun, badai salju yang menghalangi kedua petarung itu membuat tembakan-tembakan mereka kurang akurat. Dua peluru Reviss sempat menyerempet dan mengenai tubuh Vajra, namun berkat prana petir pelindung, tembakan tepat sasaran hanya mampu menggores bagian kulit Vajra yang hanya terlindung jaket tebal. Sementara tiga panah petir Vajra menghunjam bagian bahu, tangan dan perut Reviss. Walaupun terlindung aura prana misterius, luka-luka berdarah yang timbul membuat pria berambut ikal pendek itu mengerang.

Tanpa menunggu magasin pistol Reviss kehabisan peluru, Vajra memperpendek jarak di antara mereka. Kedua tangannya berpendar, tanda tinju petir siap dikerahkan. Masuk jarak serang, sang dalang mulai memberondong ke arah lawan. Namun betapa terkejutnya dia, Reviss berhasil menghindar dari semua tinjunya, tak satupun kena sasaran. Inikah esensi kemampuan khusus kedua Reviss Arspencer, yaitu Forecast? Rupanya Reviss berhasil "meramal" setiap gerakan lawannya lima detik sebelum gerakan-gerakan itu terlontar.

Sabetan-sabetan belati dan besi tajam Reviss balas mencecar Vajra. Vajra balas menyerang dengan tinju petirnya, namun ia hanya meninju udara. Gawat! Dengan jurus ketiga, Reposition, Reviss berteleportasi ke posisi di atas Vajra. Vajra meninju ke atas secara refleks, namun lawan sudah menancapkan besi tajam di bahu kirinya. Tiba-tiba, bahu kiri Vajra itu terasa melemah, padahal besi itu tertahan prana pelindungnya dan hanya setitik ujungnya yang menembus kulit.

Sebelum sempat bergerak, besi tajam kedua menancap di pinggang kanan Vajra. Lalu besi ketiga di perut depan dan besi keempat di punggungnya. Rasanya seperti ditusuki jarum-jarum akupunktur, namun efeknya malah membuat Vajra makin sulit bergerak. Ini gawat!

Reviss Arspencer lantas kembali mundur ke jarak tertentu sambil berkata, "Beristirahatlah dengan tubuh tercerai-berai, Vajra!" Ia lantas melemparkan dua buah granat ledak untuk menghabisi lawannya.

Dalam keadaan amat terdesak ini, Vajra terpaksa melakukan tindakan nekad pertama yang terbit dalam pikirannya. Teriring satu teriakan keras, ia menghentakkan prana petirnya hingga menyebar ke segala penjuru. Besi-besi tajam yang menancap di tubuh Vajra juga tercabut dan terlontar. Pancaran prana itu meledakkan kedua granat di udara. Imbas ledakan itu mementalkan tubuh kedua petarung ke arah berjauhan.  

Saat mendarat di salju, kaki Vajra menopang agar jangan sampai jatuh. Benaknya bekerja cepat, meramu rencana memanfaatkan pancaran prana pamungkas yang terlalu dini ini. Ia lantas bergerak secepat kilat, menyerang Reviss yang baru saja bangkit di kejauhan.

Reviss menajamkan penglihatannya, meramal dengan Forecast, Namun, sebelum lima detik, berondongan Tinju Brajamusti telah lebih dahulu menerpa tubuh pria bermantel hitam itu. Ditambah variasi gerakan dengan jurus-jurus Pencak Silat, tinggal satu cara untuk menghindar.

Sabetan tangan Vajra lagi-lagi menerpa udara, namun ia langsung mengubah arah serangan ke atas. Reviss yang muncul bak hantu dari atas terhantam keras dan kembali menghilang. Saat itu juga, Vajra menghantamkan telapak tangannya ke kiri sambil menendang ke kanan. Reviss berhasil menghindari telapak tangan, namun wajahnya terkena tendangan telak.

Vajra beringsut ke samping menghindari serangan dari depan, lalu berputar amat cepat hingga punggung tinjunya mengenai tengkuk Reviss yang menyerang dari belakang. Reviss tersuruk di salju, pola jurus Reposition-nya terbaca sudah dan diimbangi dengan kecepatan dewa.

Vajra kembali berjalan mendatangi Reviss dari kejauhan dengan prana petir menyambar-nyambar. Wajah Reviss pucat pasi seketika, ia bergumam kehabisan akal, "Gila...! Orang itu... seperti dewa! Tapi, masih ada satu cara untuk menghancurkan dewa!"

Dengan cepat Reviss bangkit. Opal di sarung tangannya kembali berpendar, menguatkan tangannya dan daya ledak empat granat yang dipegangnya dengan Augment.

Namun Vajra lebih cepat. Ia malah melompat mundur sambil memberondong Reviss dengan hujan petir Panah Pasopati. Tanpa harus terlalu akurat karena terhalang badai salju, sedikitnya tiga anak panah petir menancap di tubuh lawan. Tambahan pula, satu anak panah menghantam granat Reviss hingga pecah.

Empat granat berledakan secara beruntun. Vajra bahkan menggunakan sisa pancaran prananya untuk melindungi diri dari ledakan sambil terus mundur. Sungguh mengenaskan, Reviss Arspencer yang kehabisan akal terpaksa menggunakan cara nekad tanpa perhitungan matang.

Tiba-tiba, tubuh Reviss jatuh dari atas dan menghantam salju di hadapan Vajra. Rupanya akal sehat Reviss Arspencer pulih di sepersekian detik terakhir. Ia melepaskan granat-granatnya di tempat, lalu berteleportasi ke atas Vajra dengan Jurus Reposition ketiga.

Reposition hanya bisa dikerahkan tiga kali dalam satu kali pertarungan berdasarkan kapasitas prana aneh Reviss, jadi untunglah ia menyisakan jurus terakhir ini untuk menyelamatkan diri. Namun tetap saja, walau daya ledak granat teredam aura aneh, mantel hitam Reviss hangus dan tubuhnya kini penuh luka bakar. Reviss tak bergerak lagi namun masih bernapas, jadi ia pasti telah tak sadarkan diri.

Menegaskan hal itu, tubuh Reviss Arspencer lantas terurai jadi partikel-partikel cahaya putih dan diteleportasikan keluar dari Kaldera Los Soleil. Yang tertinggal hanya dua buah radar-smartphone kristal di salju, masing-masing menayangkan wajah dan nama Reviss Arspencer dan Lo Dmun Faylim pada layarnya.

"'Balas dendam bukanlah gayaku'. Aku akan terus mengingat kata-katamu ini, Reviss Arspencer," gumam Vajra sambil merapatkan dua telapak tangan di depan dadanya.

Vajra tak tahu apakah harus tersenyum atau mengerutkan dahi saat memungut dan menyimpan kedua radar kristal di kantung beskapnya. Yang pasti, kini ia merasa amat lemas karena menguras hampir seluruh prananya tadi. Kini ia telah mengantungi tiga radar, namun jantungnya berdegup kencang. Bagaimana jika ada peserta lain datang mencuri serang saat dirinya lemah?

Mata Vajra terbelalak, teringat sesuatu. Ia lantas memaksa diri berjalan terseok-seok, menyusuri hamparan salju. Yang ia tuju adalah suara-suara pertarungan di kejauhan dan posisi dua titik kuning yang terus bergerak di layar radarnya.

Vajra tahu, salah satu titik kuning itu pasti mewakili Renggo Sina. Dan petarung yang terpampang pada titik kuning kedua sangat mungkin adalah Si Anak Hilang, Lo Dmun Faylim.   


= Bagian 4 =
ENAM KUNCI TAKDIR

Saat tiba di lokasi pertarungan, mata hijau Vajra terbelalak dan mulutnya ternganga.

Sesosok robot tinggi besar tengah bertarung melawan seorang remaja laki-laki berambut putih. Keduanya bergerak akrobatis dengan salto, tendangan berputar, gerakan baling-baling sambil berusaha menghantam lawan. Lubang-lubang sedalam dua puluh lima meter atau kurang bertebaran di salju, menandakan laga ini sudah berlangsung amat lama dan seimbang.

Parahnya, Renggo Sina dan Lo Dmun Faylim alias Lodun kini bertarung dalam sebuah ruang kubus oranye semi-transparan berukuran panjang-lebar-tingginya masing-masing lima puluh meter. Dalam waktu kira-kira satu menit, petarung yang paling banyak mendaratkan pukulan pada lawannya boleh keluar dari "medan kematian" ini. Sedangkan yang kalah akan terkurung, lalu diledakkan dengan bom berbentuk bola hitam besar dalam ruang kubus itu.

Yang paling menakjubkan dari kubus ajaib Renggo ini, sihir Lodun tak bisa melubanginya. Kalaupun si rambut putih menyentuh lantai, yang berlubang hanyalah tanah di bawah lantai itu, sedangkan lantai kubus tetap utuh.

"Huh, sudah kubilang tubuh besarmu takkan bisa mengimbangi kelincahanku!" Lodun sesumbar, nampaknya dia hampir pasti menang. "Rasakan ini untuk penentu kekalahanmu! Apertis!"

"Tidaaak!" Suara Opi alias Sang Operator bergema.

Sebelum Renggo bisa mencegahnya, sebuah lubang bertitik tengah dua puluh sentimeter dan sedalam enam puluh sentimeter telah tergali di tubuh logamnya. Ternyata Renggo tak termasuk "makhluk hidup" dalam batasan sihir Lodun, dan Lodun baru tahu itu karena selama ini menganggap Renggo makhluk hidup yang jiwanya merasuki tubuh robot ini. Lubang itu juga membuat perangkat kotak bermata, alat komunikasi dengan Opi rusak total dan membuat bocor "ransel baterai" di punggung Renggo.

"Kesempatan!" Sambil mengatakannya, Renggo tiba-tiba memeluk tubuh ramping Lodun erat-erat, hingga satu tangan Lodun melesak masuk dalam tubuh sang robot. Dalam keadaan ini, siapapun yang menang atau kalah pasti bakal meledak dalam kubus maut.

"Lepaskan aku, robot sialan! Dasar curang! Apertis! Apertis!" Dalam keadaan terbelenggu, tangan Lodun tak bisa digunakan untuk merapal Sihir Penggali Lubang. "Ini sudah semenit, dan aku sudah menang! Mana kehormatanmu? Lepaskan aku!"

Vajra sudah mendekat dan bermaksud mengeluarkan Lodun dan Renggo dari kubus maut, tapi Jaring Dalangsukma-nya buyar saat menerpa dinding magis.

"Jangan ikut campur, Vajra!" teriak Renggo, mata merah dari visornya yang rusak berkilauan. "Berikan aku kehormatan dengan mati bersama musuh! Walau bom tak jadi muncul, aku sendirilah yang akan meledak! Selamat tinggal, Vajra, aku senang bisa... menganggapmu sebagai... teman!"

Giliran Lodun berteriak, "Tidaaak! Ayah! Ibuu!"

Terlambat sudah. Tas di punggung Renggo meledak, meluluh-lantakkan tubuh logam sang robot. Bahan-bahan peledak yang tersisa dalam pakaian Lodun juga ikut meledak, hingga daya penghancurnya jadi berlipat ganda. Kabar baiknya, daya ledakan itu diredam hampir sepenuhnya oleh dinding kubus yang kekuatannya bisa jadi melebihi Tinju Brajamusti Vajra, hingga dinding itu pecah berkeping-keping dan lenyap seketika.

Daya ledakan yang tersisa mendorong tubuh Vajra sampai jatuh terduduk di salju. Kedua tangan Vajra terangkat untuk melindungi diri. Saat tangan-tangannya diturunkan, Vajra melihat sebuah ceruk besar di tanah yang isinya air lelehan salju tadi dan serpihan-serpihan tubuh Renggo. Tak ada sisa tubuh Lodun di sana, mungkin manusia-siluman itu telah diteleportasi kembali ke Despera sepersekian detik sebelum meledak.

Vajra terhenyak melihat pemandangan ini. Tiga peserta telah gugur, dan dua di antaranya dengan amat mengenaskan. "Lo Dmun Faylim, Renggo Sina," gumamnya. "Bila takdir maha kuasa mengizinkan, semoga kita bertemu kembali di Alforea."

==oOo==

Tak mau berlama-lama di "pusat ledakan" dan "daerah penuh lubang", Vajra kembali berjalan seorang diri, mencari tempat yang cukup aman untuk melakukan tapa brata.
Penasaran, Vajra mencoba mengatupkan ibu jari dan telunjuknya di layar radar smartphone itu. Ternyata peta medan tarung Kaldera Es Los Soleil terpampang seluruhnya sampai ke dinding-dinding batasnya. Jarak jangkau radar yang hanya maksimal seratus meter tak terlalu masalah baginya. Yang penting kini titik hijau bertanda "VAJRA" kini berada di tengah-tengah daerah ini.

Tiba-tiba, muncul gagasan baru dalam benak Vajra. Setelah yakin tak ada monster atau peserta turnamen lain di sekitarnya, ia duduk bersila di atas salju. Dalang muda yang juga seorang sarjana ini lantas menyimpan kembali radarnya di balik beskapnya. Ia lalu menebar Jaring Dalangsukma ke sekelilingnya hingga membentuk semacam jaring laba-laba dengan prana yang selalu mengalir dan terhubung dengan prana tubuhnya. Inilah sebuah radar buatan sendiri, yang akan mengirimkan sinyal pada Vajra apabila ada siapapun atau apapun yang mendekat dalam jarak seratus meter dari dirinya, selama makhluk itu tidak terbang.

Vajra mengalirkan prana petirnya sedikit-sedikit, agak lemah dan terus-menerus mengaliri jaringnya, sambil ia mulai memulihkan prana tubuhnya sendiri, yaitu tapa brata konsentrasi penuh dengan mata tertutup. Sedikit demi sedikit, luka luar-dalam yang dideritanya dari pertarungan melawan Zhaahir dan Reviss kembali pulih dan merapat.

Beberapa menit kemudian, sebuah sinyal elektrik menjalar dari ujung radar Jaring Dalangsukma ke sumbernya. Menilik frekuensi sinyal yang timbul dari jaring yang diinjak, Vajra bisa mengenali si pendatang dari derap langkahnya. Namun ia malah terus bersila dengan mata tertutup, meneruskan aktivitas pemulihan dirinya.

"Wah, rupanya kau masih terus bertanding, Vajra," ujar suara si pendatang.

Vajra jelas mengenal suara lembut bernada agak formal itu. "Kau juga, Pangeran Zhaahir. Apa tinggal kita berdua saja yang masih berada di padang kaldera es ini?" Ia lantas membuka mata, melihat pria berpakaian serba putih itu masih menunggang kuda hitamnya, Qorrum. Bedanya, kini pakaian putih dan mantel penuh bercak-bercak darah dari luka-luka Zhaahir sendiri.

"Entahlah. Terakhir yang aku tahu, aku tadi bertarung dengan Ernesto Boreas, dan dia lari setelah aku mempengaruhinya dengan Surat Izin Dari Kaisar-ku."

"Haha, itu jurus yang pantas bagi orang yang suka menikam dari belakang seperti dia."

Zhaahir menunduk sambil mengepalkan satu tangannya. "Tapi Ernesto melarikan diri sebelum menyerahkan radar-radar yang ia pegang padaku. Kurasa khasiat surat gaibku itu mulai luntur."

"Tenang saja, kau masih punya 'ilmu-ilmu simpanan' lain, 'kan?" Vajra bangkit berdiri, prana petir di tubuhnya kembali menyambar-nyambar. "Ayo kita selesaikan tarung kita yang tertunda tadi, nanti aku ingin mendengar lebih banyak tentang kisahmu bersama Eri di Kedai Alkima."

"Haha, kau memang pria yang menarik, Vajra," kata Zhaahir sambil menghunus sebilah pedang berbilah lengkung dari jenis scimitar dan menyandang sebentuk perisai perunggu. "Ayo, kita tentukan siapa di antara kita yang lebih pantas disebut ksatria dan pria sejati."

Tanpa aba-aba, kedua petarung berlari ke arah lawan masing-masing. Vajra masuk jarak jangkauan serangan Tinju Brajamusti dengan mendoncang maju seperti harimau menerkam mangsanya. Sebelum tinjunya membentur perisai Zhaahir yang terulur, tiba-tiba si topeng separuh menarik kembali tinju itu.

Dengan amat cepat Vajra meraih surai Qorrum, berayun sambil bergelantungan lewat bawah leher kuda hitam sejenis Kuda Arab itu, kembali melompat dan menghantam dada Zhaahir dari sisi lain. Pedang di tangan hampir lepas, badan Zhaahir yang terdorong ke belakang kembali tegak, sambil tangannya menebaskan pedang ke arah Vajra.

Vajra cepat-cepat menghindar ke satu sisi, bilah pedang yang tampak membara oleh prana api itu hanya menggores prana pelindungnya saja.

Zhaahir menghentikan derap lari Qorrum, berbalik dan kembali menerjang ke arah lawannya dengan pedang teracung lurus layaknya komandan pasukan kavaleri.

Vajra juga berbalik dan lari menyambut lawan dalam gebrakan kedua ini. Namun tiba-tiba, saat jarak antara dirinya dan Zhaahir kurang dari lima meter, banyak sekali duri-duri semerah darah seukuran lengan orang dewasa dan setajam baja mencuat dari tanah bersalju di sekitar kedua petarung itu. Qorrum si kuda amat terkejut, namun Zhaahir mencangkulkan kedua tumitnya pada sisi perut kudanya. Bagai sembrani, Qorrum melompat tinggi dan keluar dari lautan duri itu.

Malang, sedikitnya tiga duri menghantam prana pelindung di tulang kering dan paha Vajra saat ia berlari. Sang dalang terjatuh, dan tubuhnya tertancap beberapa duri lainnya. Kabar baiknya, Vajra sempat melindungi kepala, leher dan sebagian tubuhnya dengan kedua lengannya yang dilapisi dengan prana pelindung terkuat, Brajamusti, sehingga duri-duri tak sampai menembus bagian-bagian vital tubuh yang terlindungi lengan dan Zirah Antakusuma itu. Namun kabar buruknya, dua duri merah seakan menyusup lewat pertahanan lapis pertama Vajra, ujungnya menembus prana pelindung dan membuka luka baru di perut pahlawan super itu.

Dengan satu entakan prana petir di kaki, Vajra bersalto ke belakang dan keluar dari jebakan itu. Namun ia langsung jatuh bertekuk lutut, matanya terbelalak ngeri melihat darah yang terus keluar dari luka di perutnya itu. Untung plester gaib penyembuh luka dari Renggo masih tertempel di luka lamanya yang sudah mulai mengering. Vajra cepat-cepat membuka plester itu dan memindahkannya ke luka barunya, menyalurkan prana sebisanya untuk menghentikan keluaran darah.

Tiba-tiba, di depan Vajra berdiri seorang remaja pria berkulit putih pucat, berambut merah gaya telinga kucing, memakai kemeja merah bergaris-garis putih, rompi bulu hitam yang tebal, celana jeans hitam dan sepatu bot abu-abu. Tak salah lagi, inilah pendekar yang dijuluki "Bayangan Merah", Ernesto Boreas. Sebentuk aura semerah darah, transparan dan membulat tampak membungkus tubuh rampingnya.

Wajah tampan Ernest tampak muram saat berkata, "Wah, gawat. Orang ini juga tak langsung mati terkena jurus pamungkasku, Agony's Embrace." Ernest lantas mengacungkan sepasang duri panjang yang ia cabut dari salju, ekspresi wajahnya berubah menyeringai. "Tapi tak apa, toh aku masih bisa menghabisi kalian berdua dengan duri-duri Auro-ku ini. Selamat jalan, Vajra!"

Ironis, Ernest menghunjamkan kedua durinya ke tubuh Vajra yang masih sibuk berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri. Dengan refleks, Vajra menekuk pinggangnya ke belakang sambil satu tangannya berusaha menangkap setidaknya salah satu duri.

"Hei, jangan lupakan aku, Kepala Kucing!" Tiba-tiba Zhaahir muncul dengan amat cepat sambil menunggang Qorrum, menebas punggung Ernest dengan pedang berapinya.

Serangan Ernest terhenti, ia segera berbalik ke arah penyerangnya. "Siaal!" Sambil mempercepat gerakan dan serangannya satu setengah kali lipat dengan ilmunya, Swift Shift, Ernesto masuk ke "ladang duri", lalu dengan amat cepat melemparkan duri-duri Auro seperti hujan lembing.

Zhaahir yang terlanjur maju dan tak sempat menghindar terpaksa menangkis hujan duri itu dengan perisainya. Tapi malang, empat duri menghunjam tubuh kuda hitamnya. "Qorrum!" raung sang pangeran, namun kuda terlanjur jatuh bersama penunggangnya.

Lima menit berlalu sudah dari serangan pamungkas. Ladang duri lenyap, begitu pula aura pelindung ekstra di tubuh Ernest. Gantinya, aura semerah darah Ernest pulih dan ia membentuknya menjadi senjata pertama, yaitu Pedang Auro berbilah sepanjang lengan pria dewasa. "Biar kuhabisi kau dulu, Zhaahir, baru Vajra!" Ernest melesat maju bagai bayangan merah, melaksanakan niatnya itu.

Mendadak, Vajra menebar larik-larik jaring petir yang mengenai Si Bayangan Merah. Gerakan Ernest terhenti, tubuhnya kejang-kejang bagai tersengat aliran listrik bertegangan tinggi.

"Sekarang, Zhaahir!" teriak Vajra sekuat suara.

Sebelum Ernest sempat berontak atau meledakkan Auro alias Prana Darah Kegelapan-nya, Zhaahir si Pangeran Bertopeng sudah berlari kencang ke arahnya.

"Ini balasan dari Qorrum!" Ditambah raungan penuh duka, Zhaahir menorehkan satu tebasan menyilang yang amat dalam dengan pedang berapinya di tubuh si pembunuh gelap.

"C-curang... kalian main keroyokan...! Terkutuk kalian, Zhaahir dan Vajra...!" Bahkan saat nyawa meninggalkan raga, Ernesto Boreas tetap menampilkan seringai khasnya dengan mata biru terbelalak selebar-lebarnya. Tubuhnya jatuh telentang. Darah si pembunuh berdarah dingin ini benar-benar jadi dingin saat menggenangi salju putih di bawah jenazahnya. Sampai kapanpun, ia takkan menyesali cara bertarungnya yang selalu menghalalkan semua cara agar menang.

Tubuh Ernest lantas terurai dan lenyap, menyisakan dua keping radar kristal yang menampilkan wajah dan teks Renggo Sina dan Ernesto Boreas pada layar masing-masing.

"Silakan ambil itu, Zhaahir. Kaulah yang sudah mengalahkan Ernest," ujar Vajra.

Namun si pangeran-ksatria bertopeng menggelengkan kepala. "Aku belum tentu menang darinya tanpa bantuanmu. Aku tak berhak mengambil radar-radar itu sebelum menang darimu, Vajra."

"Begitukah menurutmu?" Vajra tersenyum simpul di balik topeng separuhnya. "Tampaknya kita memang harus menuntaskan pertarungan kita yang dua kali tertunda ini sekarang juga, dengan satu gebrakan terakhir." Ia mengatakannya karena tahu kedua petarung yang tersisa di Los Soleil ini sama-sama terluka, meskipun luka baru di perut Vajra masih sedikit-sedikit berdarah. Wajah sang dalang ini tampak pucat karena kehilangan banyak darah.

"Aku bisa menunggumu sampai kau tuntas memulihkan diri," kata Zhaahir. "Tapi kalau kau bersikeras, ayo kita kerahkan prana pamungkas kita masing-masing." Ia lantas mengalirkan segenap prana api yang terkandung di tubuhnya pada pedangnya.

Sebaliknya, Vajra harus memaksa diri meningkatkan konsentrasi prananya, hingga prana petirnya tampak bagai sayap-sayap halilintar yang menyambar-nyambar di sekujur tubuhnya.

"Baiklah, Zhaahir. Kaulah yang layak dapat kehormatan menjajal ajian pamungkas Vajra untuk pertarungan satu-lawan-satu. Sambutlah dia, Naga Petir Pancanaka!"

Apa Vajra sudah gila? Atau bosan hidup? Saat bagian mata Topeng Pancanaka tampak berkilat-kilat, Vajra menyilangkan kedua telapak tangan di depan ulu hati seperti gerakan awal Meriam Brajamusti. Bedanya, saat telapak-telapak itu dihentakkan hingga terulur lurus ke depan, yang muncul adalah selarik petir panjang yang ujungnya berbentuk ular naga raksasa.

Vajra berlari sambil menggerakkan kedua telapaknya seperti memutar roda kemudi mobil. Ajaibnya, naga petir ikut meliuk ke arah yang diinginkan pengendalinya. Yang tampak janggal, entah karena jurus ini belum dikuasai dengan sempurna, gerakan si naga malah menyusuri tanah, menyemburkan salju yang dilandanya ke arah lawan.

Di sisi lain, Zhaahir bergerak kesana-kemari menghindari serangan Vajra ini. Pedang dan tinju apinya diayunkan bagai menari-nari, menebas dan memecah setiap curahan dan bongkahan salju yang menghujaninya. Pamungkas prana api yang adalah kekuatan dasar yang terkandung dalam tubuh dan aura Zhaahir membuat es mencair dengan seketika. Sehingga yang menerpa si pangeran bertopeng tinggal air yang rasanya seperti kehujanan saja.

Setelah hampir semenit kejar-kejaran, Naga Pancanaka Vajra tiba-tiba lenyap. Vajra terkesiap, lalu cepat-cepat menghimpun prana kembali. Inilah resiko mengerahkan jurus yang baru separuh jadi, kadang bisa macet di tengah jalan seperti sebelum Vajra menguasai Pencak Silat dan pusaka-pusakanya diperbaiki Bun dulu.

Tentu sebagai pendekar, Zhaahir juga menyadari gelagat Vajra itu. Ia maju dengan tinju dan pedang api membara sambil berseru, "Kamu memang sangat kuat, Vajra, kuakui itu! Tapi ingat, kecongkakan mendatangkan laknat! Ini buktinya!"

Saat Zhaahir hampir masuk jarak serang, Vajra malah menyeringai. "Terjebak kau!"

Saat itu pula, Zhaahir melihat percikan air yang terbang dari tubuhnya sendiri. Ia baru sadar tubuhnya sedang basah kuyup, tapi kesadarannya itu amat-sangat terlambat.

Kepastiannya, Vajra lantas memberondong setiap jengkal tubuh Zhaahir dengan Tinju Petir Brajamusti, yang dipercepat, diperkuat, distabilkan dan dengan gerakan penuh variasi dari ilmu Pencak Silat. Air yang membasahi Zhaahir menghantarkan petir Vajra, membuat daya perusak tinju-tinju petir makin besar dan menyebar. Akhirnya Vajra berhenti menyerang dan mundur beberapa langkah dari lawannya.

"Maafkan aku, Eri... Aku... sudah kalah dari Vajra...!" Seluruh pakaian Zhaahir Khavaro koyak, menghitam dan menebar bau hangus. Hanya topeng perunggunyalah yang masih utuh, menjaga keelokan wajah yang jadi sumber fantasma kemuliaannya. Tubuhnya dipenuhi cedera dan luka luar-dalam yang terasa nyeri tak terperi. Segala pertahanan dan daya tahan tubuhnya hancur total. Hasil akhirnya sudah pasti, Sang Putra Mahkota Khavaro roboh dengan wajah terbenam di salju, tak bergerak lagi.

Vajra hanya menatap "buah tangan"-nya itu sambil terhenyak. Mungkin ia memang terlalu serius bertarung seperti sesumbarnya di babak awal tadi. Namun, melihat dada Zhaahir masih naik-turun, senyum lega menghiasi wajah pemuda berambut hijau itu.

Giliran tubuh Zhaahir terurai menjadi ribuan bulir cahaya, lalu menghilang dan meninggalkan radar kristal dengan layar yang menampilkan wajah dan nama pangeran bertopeng itu – beserta istri kawin larinya, Sandhora Eri yang manis. Hasil akhir misi di Los Soleil ini jelas sudah.

"Hah, selalu sekarat di akhir misi," ujar Vajra pada dirinya sendiri. "Jangan sampai ini jadi kebiasaan, nanti Guru Bima, Guru Arjuna dan Guru Gatotkaca bakal melarung diriku dalam Kawah Candradimuka yang asli." Benar saja, luka-luka di perut Vajra kembali terbuka akibat memaksa diri mengerahkan prana petir pamungkas tadi. Ia terjatuh lemas, meringkuk di atas salju yang membekukan tubuh – dan harap saja – tumpahan darahnya pula.

Tiba-tiba, keenam radar kristal yang jadi kunci takdir Vajra kini keluar dari kantung beskap atau  melayang dari tanah, lalu membentuk formasi berupa heksagon, bidang bersisi enam. Selarik sinar terpancar dari tengah heksagon itu, membentuk sebuah portal heksagonal di hadapan Vajra.

Dari portal itu muncullah Maid Eloise. Wajah gadis itu tampak tersenyum manis sambil ia berkata, "Selamat, Vajra. Kau telah menuntaskan misi di Los Soleil ini dengan kemenangan sempurna." Ya, mungkin kemenangan ini memang sempurna, tapi kondisi Vajra jelas tidak.

Vajra memaksa diri bangkit berdiri, lalu berjalan ke arah portal dengan tubuh gemetaran hebat. Setiap saat ia bisa kehilangan kesadaran, atau lebih parah lagi, kehilangan nyawa. Si dalang bertopeng separuh lalu bicara pada pemandunya seraya tersenyum kalem, "Oh ya, Maid Eloise, boleh tolong kembalikan smartphone-ku?"    


Sumber Referensi:
Fudo Myo-o alias Acala: http://en.wikipedia.org/wiki/Acala
Raja Baldwin IV  dari Yerusalem: http://en.wikipedia.org/wiki/Baldwin_IV_of_Jerusalem
Sultan Saladin alias Salah ad-Din Yusuf ibn Ayyub: http://en.wikipedia.org/wiki/Saladin
Arjuna, Bima dan Gatotkaca dalam Mahabharata: http://en.wikipedia.org/wiki/Mahabharata

No comments:

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia