Semua yang diciptakan selalu ada tujuannya. Tapi tentu saja
terkadang engkau boleh memilih. Kalau engkau tak ingin dengan kelebihan
yang diberikan padamu, engkau bisa mengabaikannya bukan?” (hlm. 45)
Kofa pernah menjadi sangat indah. Dulu, dulu sekali. Salah satu desa kecil di utara
Larantuka, Nusa Tenggara Timur
ini, pernah menjadi sangat berbeda. Tidak gersang seperti desa-desa
lainnya. Hujan, entah mengapa, kerap turun di sana. Membilas tanah
dengan teratur sehingga sseperti menjadi sebuah kebiasaan. Tak heran
bila Kofa begitu hijau. Tak hanya bunga bugenvil yang tumbuh di sana,
hampir semua tanaman dapat mengakar. Seakan karang-karang yang ada di
setiap jengkal tanahnya telah terkalahkan oleh geliat humus-humus yang
begitu tipis.
Tak hanya sampai di situ, di empat penjuru
desa, di empat celah bukit karang dan empat jalan masuk desa, ada empat
mata air yang terus mengalir, atau lebih tepatnya menetes sepanjang
tahun. Tetesan-tetesan ini, yang semula hanya berupa genangan kecil,
lama kelamaan membentuk danau-danau, yang kemudian biasa dijadikan
tempat bermain anak-anak.
Orang-orang yang mampir, atau
tak sengaja mampir, kerap mengerutkan kening bila sudah berada di Kofa.
Biasanya seiring dengan tarikan napas panjang saat menghirup udara Kofa
dalam-dalam –seakan stok udara begitu tipisnya- mereka akan menanyakan
keherahanan itu. Tapi, tak pernah ada yang bisa menjawab dengan pasti.
Mungkin hanya beberapa orang tua yang masih hidup yang mampu
menjawabnya. Mereka kerap menghubungkan keadaan Kofa dengan keadaan yang
terjadi di masa lalu. Memang masih tetap terasa begitu kabut. Tapi dari
kejadian yang kabur itu setidaknya mereka masih punya bayangan
bagaimana Kofa bisa menjadi seperti sekarang. Ini dikarenakan adanya
hujan debu yang melanda daerah ini beberapa tahun lalu. Hujan debu yang
saat itu menggantikan tetes-tetes air hujan di kepala mereka…
Orang-orang
tua akan selalu mengingat bahwa sejak hujan debu ini, Kofa
perlahan-lahan berubah. Seperti putaran waktu yang bergeser, satu demi
satu pigura mulai terlihat berubah. Lalu segala sesuatunya
dihubung-hubungkan dengan hujan debu itu, karena mereka tidak bisa
menjawab dengan pasti bagaimana perubahan itu bisa terjadi.
Awalnya
mata mereka kerap tak sengaja melihat pantulan sinar di ujung-ujung
dedaunan tanaman mereka. Begitu mereka mendekat untuk melihat, suasana
sejuk langsung menyentuh kulit mereka yang panas. Lalu tanaman jagung,
yang biasanya mereka tanam di pekarangan rumah terlihat tumbuh lebih
cepat. Bijinya pun menjadi lebih besar. Tak heran sejak itu mulai sering
ditemui para perempuan Kofa tengah menumbuk biji-biji jagung untuk
dijadikan jagung titi di ambang pintu rumah.
Tidak hanya
jagung, tanaman-tanaman lain pun tumbuh lebih cepat. Beberapa pohon yang
belum pernah mereka lihat, tumbuh begitu saja memenuhi Kofa. Lalu mata
air itu pun muncul.
Awalnya hanya berupa rembesan air di
balik karang. Lalu air menetes tanpa henti dan menciptakan sebuah
genangan. Ini agak aneh karena mata air tersebut muncul di empat sudut
desa! Tak heran anak-anak Kofa yang tak pernah bermain-main dengan air
sebelumnya kini memiliki kebiasaan baru. Mereka menjadi senang bermain
air.
Demikian halnya dengan bocah kecil yang lahir pada awal hujan debu itu. Bocah dengan punuk di punggungnya,
Kitta Kafadaru.
Aku ingin menjadi burung-burung yang bisa terbang bebas menuju langit tak bertepi, dan bersembunyi di balik awan… (hlm. 6)
Kitta
Kafadaru adalah sosok istimewa yang terlahir dengan cahaya-cahaya di
tangannya. Konon ia bisa menyembuhkan penyakit-penyakit yang diderita
oleh orang-orang di desanya, Kofa. Namun, ternyata di balik
keistimewaannya, ia terlahir tak sempurna dengan sebuah punuk di
punggungnya.
Selama ini ia hanya menggenggam erat
orang-orang yang sakit itu, sambil membacakan doa dalam hati. Tentu,
bila akhirnya orang-orang itu sembuh, bukanlah karena dirnya, tapi
karena Tuhan berbaik hati mengabulkan doanya. (hlm. 31)
Akibat
pengelaman masa lalu yang memalukan, ia meninggalkan Kofa. Di
perjalanan, Kitta Kafadaru kemudian bertemu dengan seorang lelaki tua
yang selalu mengisahkan kisah-kisah ajaib padanya. Satu kisah tentang
Matu Lesso, orang yang dapat memanggil hujan dengan menabur pasir di
udara, kemudian seperti menginspirasi Kitta Kafadaru untuk menjadi
manusia biasa, tanpa cahaya-cahaya di tangannya, dan juga punuk di
punggungnya.
Beberapa kalimat favorit:
- “Tak
ada masalah yang terlalu berat, atau yang terlalu ringan. Kalau
terlalu berat, tentu kita takkan bisa menghadapinya, dan bila
terlalu ringan, kita takut cenderung akan meremehkannya.” (hlm. 37)
- “Tentu
saja semua orang punya beban hidup. Aku pun begitu. Tapi akhirnya
aku bisa menyikapi semuanya. Engkau tahu, sebenarnya beban hidup
akan membuat kita semakin tua.” (hlm. 39)
- Bukankah
sangat sulit kalau terus tersenyum, kala kita benar-benar punya masalah?
Bukankah senyum tersebut akan terasa palsu? (hlm. 22)
Diantara
sekian banyak tokoh yang muncul dalam buku ini, favorit saya adalah
Radius Mepe’. Lelaki yang merupakan warga baru di Kofa ini memang
memiliki banyak koleksi buku, koran dan majalah. Jumlahnya hampir
memenuhi satu rak besar. Ini jelas jauh lebih banyak dari buku-buku yang
dimilikinya sekolahnya. Kitta Kafadaru sangat suka bila mendapat
sesuatu yang baru dari buku. Dari sekian banyak buku yang dibacanya,
beberapa mash diingatnya dengan jelas sampai hari ini.
Ada
banyak pelajaran yang dapat kita petik dari pengalaman hidup yang
dijalani oleh seorang Kitta Kafadaru. Menjadi seseorang yang berguna
tidak harus berwujud sempurna.
“Ini tanah leluhur
kita, kita tak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku akan lebih memilih
mati di sini, daripada harus meninggalkannya.” (hlm. 154)
Keterangan Buku:
Judul : Miracle Journey
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Terbit : 2012
Tebal : 174 hlm.
ISBN : 978-602-02-0379-9
Sumber artikel: Facebook Note
http://www.facebook.com/notes/luckty-giyan-sukarno/review-miracle-journey/10151267461372693