Selamat Datang, Para Penjelajah!

Bersiaplah untuk menjelajahi dunia ciptaan imajinasi dari para pencipta dunia dari Indonesia. Dunia-dunia penuh petualangan, keajaiban dan tentunya konflik antara kebaikan dan kejahatan. Maju terus para penulis fantasi Indonesia! Penuhi Takdirmu!

Fantasy Worlds Indonesia juga adalah blog resmi dari serial novel, komik, game dan multimedia FireHeart dan Evernade karya Andry Chang yang adalah versi Bahasa Indonesia dari NovelBlog berbahasa Inggris Everna Saga (http://fireheart-vadis.blogspot.com) dan FireHeart Saga (http://fsaga.blogspot.com)

Rubrik Utama Fantasindo

18 August 2009

Hide and Seek - Bagian 4

Sementara, ketika semua perhatian teralih ke arah Ali dan emaknya, diam-diam kepala desa melarikan diri. Dalam kegelapan malam, ia hanya bisa lari tanpa tahu arah. Tanpa disadarinya, ia berlari menuju daerah terlarang itu. Ia berhenti sejenak dengan nafas terengah-engah.
“Ini... dimana ?”
Tiba-tiba kepala desa merasa ada tangan yang memegang kakinya. Dengan cepat ia menarik kakinya, lalu melangkah mundur.
“Si.. siapa itu ? Ja.. jawablah !”
Untuk kedua kalinya, ia merasa ada yang memegang kakinya. Belum sempat ia melepaskan diri, tangan lainnya juga ikut memegang, bahkan menariknya hingga terjerembab ke tanah. Pada saat itu, kepala desa baru sadar kalau tangan-tangan itu muncul dari tanah.
“I.. ini...”, untuk sesaat kepala desa merasa takut, tetapi kemudian kesombongannya kembali menguasai dirinya, “Cih, rupanya kalian ingin membalas dendam padaku ya ?! Huh, aku bukan orang yang lemah ! Aku pernah membunuh kalian, aku bisa melakukannya lagi !”
Dengan celurit di tangannya, ia memotong-motong tangan-tangan itu. Beberapa tangan akhirnya masuk kembali ke dalam tanah sambil mengeluarkan jeritan memilukan.
Kepala desa-pun tertawa dengan penuh rasa kemenangan.
“Hahaha... ternyata kalian hanya bisa menakut-nakuti saja ! Lebih baik kalian cepet-cepet ke akhirat deh !”
Kemudian ia-pun kembali berjalan dalam gelap, berusaha menemukan cahaya. Tiba-tiba terlihat sekilas cahaya dari kejauhan, dan kepala desa-pun berlari mendekat ke arah cahaya itu. Betapa terkejutnya dia, ketika menyadari bahwa cahaya itu berasal dari dalam gua tempat mayat-mayat itu selama ini disembunyikan.
“Jangan bercanda ! Apa kalian pikir aku mau begitu aja masuk ke dalam ?!”
Ketika ia berbalik hendak pergi dari situ, ketika ia mendengar sesuatu yang menyerupai bisikan. Kepada desa terdiam sejenak, tetapi desisan itu semakin mendekat. Akhirnya ia menengok. Tetapi tepat ketika ia menengok, suara-suara itu hilang, hanya cahaya remang-remang yang berasal dari dalam gua saja yang ada. Baru saja ia kembali membalikkan badan, suara-suara itu kembali terdengar.
“Huh, kalian pikir aku takut dengan kalian hah ?! Kalau kalian begitu ingin aku masuk ke dalam, baiklah, aku akan masuk ! Aku tidak takut sedikit-pun terhadap kalian !”
Kepala desa-pun akhirnya masuk ke dalam gua itu. Tak berapa lama, terdengar jeritan dari dalam gua, lalu keadaan sekitar gua kembali sunyi. Kepala desa tidak pernah keluar dari gua itu lagi.

Keesokan paginya, Nurul bersiap-siap untuk balik ke kota. Tetapi di pintu penginapan, beberapa orang desa termasuk Ali, berdiri menunggunya.
“Nak Nurul, apa Anda mau balik ke kota ?”
Nurul yang melihat itu, merasa bingung.
“I.. iya. Kenapa ?”
Mereka saling berpandangan satu dengan lainnya, lalu kembali memandang Nurul.
“Sebenarnya, kami mau minta maaf. Padahal dulu kamu tinggal di desa ini, tetapi sekarang kami malah memperlakukanmu sebagai orang luar. Selain itu, orang tuamu telah dibunuh kepala desa. Walau kami tidak tahu menahu, tetapi... kami tetap merasa bersalah atas kejadian itu.”
Nurul tertegun sejenak, lalu akhirnya ia tersenyum.
“Sudahlah, yang sudah berlalu biarkan berlalu. Kuakui, aku terkejut mengetahui bahwa bapak dan emakku dibunuh, tetapi itu bukan kesalahan kalian. Mengenai kalian menutup-nutupi kejadian masa lalu juga, itu karena ancaman dari kepala desa.”, lalu wajah Nurul berubah menjadi sedih, “Aku hanya merasa sedih mengingat para korban akibat masalah ini, termasuk teman mainku sejak kecil.”
Ali, yang dari tadi hanya berdiam diri, akhirnya bertanya, “Apakah namanya.. Soleh ?”
“Eh ?”, Nurul terkejut, “Ali, bagaimana kamu...”
Kata-katanya langsung dipotong oleh Ali, “Karena Mbak Nurul menyebut nama itu ketika kemarin malam hendak masuk ke dalam gua.”
Nurul terdiam sejenak.
“Soleh, ia.. menghilang 11 tahun yang lalu. Waktu itu, aku baru berumur 8 tahun, sedang Soleh lebih tua setahun dariku. Kami melanggar aturan, dan main petak umpet setelah maghrib. Aku beruntung, karena mendapat giliran jaga pertama.”, lalu wajah Nurul tampak setengah merenung, “Soleh dan teman-temannya menghilang, dan tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Mungkin ia sudah meninggal... tidak, ia sudah meninggal di dalam gua, aku tahu itu.”
“Dia.. cinta pertama Mbak Nurul ya ?”
Mendengar pertanyaan Ali, pipi Nurul langsung memerah, tetapi ia tidak menjawab apa-apa.
Lalu salah seorang penduduk desa yang ada di situ, berkata, “Maksud kedatangan kami pagi ini, selain untuk minta maaf, juga mau bilang pada Nak Nurul : Desa Sumur Batu ini adalah desa Nak Nurul juga. Kapan-pun Nak Nurul mau datang kemari, akan kami terima dengan senang hati.”
Nurul-pun kembali tersenyum.


Epiloque

Beberapa tahun kemudian...
Pada suatu siang yang cerah, tampak 2 orang anak sedang berjalan pulang sekolah. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berhenti sejenak. Anak yang lain bingung melihat temannya itu.
“Fajar, ada apa ?”
Anak bernama Fajar itu menunjuk ke suatu tempat. Temannya menengok ke arah yang ditunjuk oleh Fajar, yang rupanya hutan yang diberi batas tanda larangan masuk.
“Itu khan hutan yang nggak boleh dimasukkin. Kenapa memangnya ?”
Fajar menggeleng, “Bukan, tadi aku liat ada anak kecil sedang berdiri disana.”
“EH ?”, temannya terkejut, “Te.. tetapi itu tidak mungkin ! Bapakku bilang, tempat itu tempat angker. Yang masuk kesana, bisa ilang.”
“Kalau gitu, kenapa anak itu ada disana ?”
Keduanya saling berpandangan, lalu mereka berlari masuk ke dalam hutan...

END ?

Hide and Seek - Bagian 3

Tanggal 31 September 1965, seluruh bangsa Indonesia dihentakkan dengan kejadian penculikkan dan pembunuhan para petinggi TNI angkatan darat. Kejadian yang lebih dikenal dengan sebutan peristiwa G 30 S – PKI itu didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, yang ingin mengubah dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila menjadi komunis. Tetapi pada saat ini, akhirnya diketahui bahwa PKI hanyalah dijadikan sebagai alat bagi tujuan utama, yaitu melengserkan pemerintah yang berkuasa secara tidak langsung. Setelah kejadian itu, pada tanggal 11 Maret 1966 keluarlah sebuah surat perintah, yang dikenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), yang memberi hak bagi Letnan Jendral Soeharto untuk memusnahkan PKI dan seluruh antek-anteknya dari muka bumi Indonesia. Maka, pengejaran terhadap setiap orang yang mendapat cap ‘antek PKI’-pun berlangsung dengan gencar. Penahanan dan pembuangan terjadi di seluruh penjuru nusantara.
Pada suatu siang yang cerah di bulan Mei 1966, di Desa Sumur Batu.
Beberapa orang laki-laki, bersama dengan istri dan anak-anak mereka yang masih bayi, datang ke Desa Sumur Batu. Sekujur tubuh mereka kotor, dan ada beberapa bekas luka, yang sepertinya luka akibat tembakan. Mereka datang dan mohon kepada kepala desa, agar mereka dapat bersembunyi di desa itu. Pada awalnya kepala desa dan seluruh penduduk desa menyambut mereka dengan ramah, dan bersedia menyembunyikan mereka. Tetapi lalu tersiar isu, bahwa ada hadiah besar bagi yang dapat menyerahkan para buronan PKI kepada pemerintah. Dan akibatnya, terjadilah tragedi itu.
Pada suatu malam menjelang maghrib, penduduk desa mendatangi gua tempat persembunyian para buronan itu beserta keluarganya yang terletak di pinggir desa. Mereka datang membawa tongkat dan garu tanah sebagai senjata.
“A.. apa-apa’an ini ? Kenapa wajah kalian begitu menyeramkan ? Dan.. mengapa bawa tongkat segala ?”
Kepala desa maju dan berkata, “Kami tidak ingin berbuat kasar kepada kalian, jadi lebih baik kalian tidak melawan. Ikutlah bersama kami dengan baik-baik.”
“Ikut kalian ?”, lalu wajah laki-laki yang menjadi pimpinan kelompok buronan itu berubah marah, “Jadi, kalian akan menyerahkan kami kepada pihak pemerintah ?! Bukankah sudah kami katakan, kami hanyalah korban fitnah ! Kami bukanlah antek-antek PKI !”
Seorang penduduk langsung memotongnya, “Kalau memang bukan antek PKI, kenapa kalian harus kabur ? Itu tandanya kalian memang salah !”
“Kami difitnah dengan bukti-bukti palsu ! Saat ini kami sudah tidak bisa membela diri lagi. Apa kalian nggak percaya dengan kami ?”
Untuk sejenak, mereka semua terdiam. Tetapi tiba-tiba kepala desa tertawa dengan keras.
“Apa kalian benar-benar terlibat atau tidak, itu sudah tidak penting lagi. Yang penting adalah, kalian buronan dan kami akan dapat hadiah besar jika menyerahkan kalian, itu saja. Sekarang ikutlah baik-baik dengan kami !”
“Ka.. kalian...”
Ketika beberapa penduduk maju hendak menangkap mereka, mereka-pun melawan. Akhirnya perkelahian tidak terelakkan lagi. Seorang anak langsung dipeluk ibunya ketika sebuah garu tanah hampir mengenai tubuhnya. Anak itu hanya terpana, sementara tubuh ibunya tergeletak di tanah bersimbah darah. Sambil memeluk tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa, anak itu berkata, “Apa kalian masih menganggap diri manusia ?! Kalian tidak ada bedanya dengan binatang buas yang hanya mengejar uang !”
Akhirnya tidak ada seorang-pun di antara para buronan yang masih hidup; Termasuk wanita dan anak-anak. Melihat itu, para penduduk desa menjadi takut.
“Pak kepala desa, gimana ini ? Mereka semuanya mati.”
Kepala desa terdiam sejenak. Lalu akhirnya ia berkata, “Sial, kalau gini, kita nggak bisa dapet hadiah itu.”
Kemudian ia memandang semua penduduk desa yang ada di sekitar gua sambil berkata, “Semua, dengar ya ! Jangan sampai ada orang luar yang tahu kejadian hari ini. Kita harus merahasiakan kejadian ini !”

“Maka sejak itu, semua penduduk desa terus menerus menyembunyikan kejadian itu.”, kata ibunda Ali mengakhiri ceritanya.
“Itu sebabnya, daerah itu menjadi terlarang bagi orang luar. Kalau begitu, cerita mengenai setan penculik yang akan beraksi pada saat main petak umpet menjelang maghrib itu bohong belaka ?”
“Itu sebenarnya...”, untuk sesaat, tampak Sang nenek merasa ragu.
Tiba-tiba... “Cukup sampai situ !”
Celurit yang ada di tangan kepala desa menebas perut ibunda Ali. Nenek tua itu langsung jatuh bersimbah darah. Semua itu berlangsung sangat cepat, dan orang-orang yang berada di balai desa hanya dapat melongo melihat kejadian itu. Ali terdiam beberapa saat, baru akhirnya memeluk tubuh ibundanya sambil menjerit, “Emak !”

Sementara penduduk desa yang berada di balai desa menjadi sangat ketakutan.
“Pa.. Pak kepala desa, kenapa Anda.. sampai membunuh emaknya Ali ?”
“Dia terlalu banyak bicara ! Dulu sudah pernah kubilang khan, selama aku masih hidup, takkan kubiarkan rahasia ini bocor ! Jadi jika perlu, aku akan menyingkirkan orang-orang yang bisa membahayakan desa kita ini.”
DEG ! Tiba-tiba Nurul menyadari sesuatu.
“Bapak dan emakku, apa mereka..”, wajah Nurul semakin pucat, “.. juga ‘disingkirkan’ ?!”
Kepala desa tidak menjawab; Hanya serigainya semakin mengerikan.
Tiba-tiba sebuah tinju mendarat tepat di rahang kepala desa. Tubuh kepala desa terlontar cukup jauh dan celurit di tangannya terjatuh. Ali langsung mengambil celurit itu dan hendak menyerang kepala desa yang sudah terkapar di tanah, tetapi beberapa penduduk desa segera menahannya.
“Ali, tahan emosimu !”
Sambil meronta, Ali berkata, “Kalau tidak ada dia, emak tidak akan menderita ! Kalau tidak ada dia, emak masih hidup !”
Tiba-tiba terdengar suara lemah, “Ali... henti..kan... !”
Mendengar itu, Ali dan penduduk desa tertegun. Bersama-sama mereka menengok ke arah ibunda Ali, yang rupanya masih hidup. Ali segera melepaskan diri, lalu berlari ke arah ibundanya.
“Emak, rupanya emak masih hidup !”
Ibunda Ali terbatuk darah, kemudian berkata, “Aku.. ber..tahan, untuk.. memberi..tahu..kan sebuah ra..hasia.. padamu... uhuk uhuk...”
“Emak, jangan bicara lagi ! Aku akan membawamu ke rumah sakit.”
Ketika Ali hendak menggendong tubuh ibundanya, ibundanya malah menepis tangan Ali.
“Per..cuma... Emak.. nggak kuat.. lagi. Ali, dengar ! Kamu.. bukan anak..ku yang.. sebenarnya.”
Mendengar itu, bola mata Ali terbelalak. Ia memandang wajah ibundanya dengan pandangan tidak percaya.
“Emak, apa.. maksudmu ?”
“Aku.. bukan.. emakmu ! Uhuk..”, Sang nenek kembali batuk mengeluarkan darah, “Emakmu.. yang sebe..narnya.. sudah.. meninggal. Sama seperti.. Nurul, ia juga.. berhasil.. menemukan gua.. itu, tetapi.. ketahuan.. kepala desa. Setelah.. membunuh emak..mu, kepala desa juga.. bermaksud.. membunuhmu. Aku.. mati-matian.. memohon, agar kamu.. tidak dibunuh. Akhirnya.. kepala desa.. setuju.. dengan janji.. aku takkan.. cerita.. ke kamu.. uhuk uhuk.”
Ali terdiam, sementara air matanya terus mengalir di pipinya.
“Maaf..kan aku, Nak. Emak.. kandungmu.. ada di.. gua itu.”
Setelah berkata demikian, Sang nenek kembali terbatuk darah berulang-ulang. Ali yang masih terdiam, tersadar kemudian menjadi panik, “Emak, bertahanlah ! Aku.. tidak pernah bertemu emak kandungku, jadi bagiku, emak adalah emak Ali satu-satunya !”
Mendengar kata-kata Ali, nenek itu tersenyum dan berkata, “Teri..ma.. ka..sih...”
Untuk terakhir kalinya ia terbatuk darah, lalu kemudian menutup mata untuk selama-lamanya.

Hide and Seek - Bagian 2

11 tahun kemudian

Nurul telah beranjak menjadi gadis remaja, dan telah pindah ke sebuah kota besar. Ia mendapat pekerjaan sebagai seorang reporter sebuah televisi swasta yang terdapat di kota itu. Walau begitu, ia masih tetap tidak dapat melupakan kejadian masa kecilnya; Ketika tidur, kadang ia bermimpi sedang berjalan di antara pepohonan di pinggir desanya, mencari Soleh dan teman-temannya. Dan akhirnya masa lalunya itu kembali menghampirinya.

Pada suatu hari yang cerah di bulan November, tepatnya 1 hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-18, ia mendapat sebuah tugas dari atasannya, untuk meliput sebuah kejadian aneh pada sebuah desa. Nurul sangat terkejut ketika mendengar nama desa tempat kejadian itu terjadi.

“De.. Desa Sumur Batu ? Me.. memangnya, ada kejadian apa, Pak ?”

“Ada beberapa orang turis yang sedang berkunjung ke desa tersebut, yang sepertinya menghilang. Sudah 2 hari mereka tidak berada di tempat penginapan, dan penduduk desa juga mengatakan tidak pernah melihat mereka selama 2 hari itu. Coba kamu cari berita mengenai masalah ini.”

“Apa polisi sudah melakukan penyelidikan ?”

Atasannya itu termenung sesaat, lalu menjawab, “Itulah yang aneh. Sepertinya di desa itu tidak ada polisi sama sekali, dan penduduk desa juga agak aneh. Mereka seperti.. menyembunyikan hal ini dari pihak luar. Aku sendiri mendapat laporan mengenai kejadian ini, dari seorang rekan saya yang kebetulan singgah di desa itu.”, lalu atasannya menengok kepada Nurul sambil berkata, “Nurul, kamu jangan mengatakan kepada mereka, kalau kamu seorang reporter ! Mereka pasti tidak akan mengatakan apapun jika kamu mengaku sebagai wartawan.”

Mendengar itu, Nurul hanya bisa mengangguk sambil menjawab, “Baik Pak, saya mengerti.”

Ketika sedang berjalan di lorong studio, ia termenung memikirkan hal itu.

Desa Sumur Batu, desa tempat asalku dahulu. Dan kejadian yang sama seperti yang dulu menimpa Soleh, kembali terjadi lagi disana. Kali ini, aku tidak akan melarikan diri lagi.

Aku akan menyelidikinya, dan mencari tahu rahasia apa yang disembunyikan para penduduk !

Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-18, pagi-pagi benar Nurul sudah berangkat menuju Desa Sumur Batu, desa tempatnya berasal; Bukan untuk merayakan hari ulang tahunnya, melainkan untuk tugasnya sebagai reporter, sekaligus untuk menyelidiki kejadian pada masa lalunya.

Setelah melalui perjalanan melelahkan naik bis melewati daerah pegunungan, akhirnya Nurul sampai juga di Desa Sumur Batu. Matahari sudah berada pada puncaknya, ketika Nurul turun dari bis yang membawanya. Nurul memperhatikan sekelilingnya, lalu menarik nafas dalam-dalam.

Akhirnya aku kembali kemari. Abah, emak, bagaimana keadaan kalian ?

Lalu Nurul berjalan memasuki desa. Tampak olehnya beberapa pemuda desa sedang mencangkul sawah mereka, sementara yang lainnya menebang pohon. Ada juga anak-anak sekolah berlari-lari di pematang sawah, sepertinya baru pulang dari sekolah. Nurul berhenti sejenak, tersenyum.

Semuanya tidak berubah, masih seperti dulu ketika aku meninggalkan desa ini.

Kira-kira, apa ada yang masih ingat denganku ya ?

Akhirnya Nurul sampai di sebuah rumah penginapan tempatnya tinggal selama beberapa hari. Seorang kakek tua yang sudah agak bungkuk, menyambutnya dengan ramah dan sopan.

“Apakah Anda datang dari kota ? Selamat datang di desa kami, Desa Sumur Batu. Penginapan ini memang kecil dan sangat sederhana, tapi saya harap Anda bisa kerasan disini.”

Setelah berkata demikian, kakek itu mengantar Nurul menuju kamarnya. Ketika kakek itu hendak pergi, Nurul bertanya, “Kakek, maaf, tapi bolehkah saya menanyakan sesuatu ?”

Kakek itu berhenti, lalu menengok sambil tersenyum ramah.

“Apa yang hendak ditanyakan ?”

“Saya dengar, sejak beberapa hari yang lalu, ada pengunjung seperti saya yang menghilang. Apa kakek mengetahui sesuatu ?”

Mendengar pertanyaan Nurul, wajah kakek itu langsung berubah; Senyumnya menghilang, dan berganti dengan wajah marah.

Lalu, sambil berjalan pergi, beliau menjawab, “Saya tidak tahu apa-apa !”

Nurul terpana beberapa saat melihat perubahan sikap yang begitu mendadak dari Sang kakek pemilik penginapan. Lalu akhirnya ia duduk sambil menggelengkan kepala.

Tempat pertama yang dikunjungi Nurul adalah rumahnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat rumahnya dalam keadaan rusak dan tidak ditinggali lagi. Kepada seseorang yang kebetulan lewat di situ, Nurul bertanya, “Maaf Pak, orang yang dulu tinggal disini pindah kemana ?”

Laki-laki setengah baya yang membawa cangkul itu memperhatikan Nurul dengan tajam.

“Kamu orang luar ? Jangan berbuat macam-macam, kalau nggak ingin ‘menghilang’ seperti yang kemarin itu !”

Mendengar jawaban itu, Nurul untuk kedua kalinya terkejut. Sementara orang itu melanjutkan perjalanannya.

Kenapa mereka sepertinya nggak suka dengan orang luar ?

Lalu, apa yang terjadi dengan keluargaku ?

Nurul menarik nafas panjang, lalu pergi menuju pinggiran desa, tempat terakhir ia melihat Soleh. Ketika melihat sebuah pohon besar, sekilas ia teringat akan hari itu.

Kalau aku tidak terpilih jaga pertama, apakah aku juga akan menghilang ?

Tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya, “Hey kamu, ngapain kamu disitu ?!”

Nurul menengok, dan melihat seorang pemuda desa bertelanjang dada dengan membawa cangkul, dan sebuah handuk dekil tersandang di pundaknya, berdiri menatapnya dengan pandangan tajam.

“E.. eh, saya hanya...”

“Itu tempat yang nggak boleh dimasukkin, apa kamu nggak tahu ? Cepat pergi !”

Nurul terkejut, “Tempat yang nggak boleh dimasukkin ?”, lalu ia berlari mendekat ke arah si pemuda tersebut, “Kenapa ?”

Ditanya seperti itu, wajah pemuda tersebut tampak kebingungan.

“Yah, kalau kamu tanya sih, aku juga sebenarnya nggak tahu. Menurut abah, dulu disini pernah ada yang ilang disembunyikan setan, jadi aku nggak boleh ke sana.”

Mendengar itu, Nurul terdiam. Ia sadar, bahwa yang dimaksud ‘ilang disembunyikan setan’ pasti-lah Soleh dan kawan-kawannya.

Tiba-tiba pemuda itu bertanya lagi, “Eh, apa kamu orang dari luar desa ?”

“I.. iya, memangnya kenapa ?”

Reaksi pemuda itu sangat berbeda dengan orang-orang yang sebelumnya ditemui Nurul; Pemuda itu tersenyum gembira.

“Wah, aku senang banget bisa ketemu orang luar. Apa kamu dari kota ? Ceritakan dong, kota itu kayak apa sih ?”, lalu sambil menggaruk bagian belakang kepalanya, ia berkata, “Maklum aja, aku dari lahir nggak pernah keluar dari desa ini.”

Nurul-pun tersenyum, “Boleh saja. Tapi kamu juga harus menceritakan mengenai desa ini ya ?”

Pemuda itu mengajak Nurul ke sebuah rumah gubuk kecil di pinggiran desa.

“Inilah rumahku. Memang kecil, tapi yah... memang beginilah keadaanku. Disini aku tinggal bersama dengan emakku yang udah tua, karena abah mati setahun yang lalu.”

Ketika pintu dibuka, dari dalam rumah terdengar suara, “Ali, apa kamu udah pulang ?”

“Iya emak, kebetulan hari ini kerjaan cepat selesai. Dan, aku bawa tamu nih.”

Di dalam rumah itu, Nurul melihat seorang wanita tua dengan rambut yang hampir seluruhnya sudah memutih, berwajah keriput, dan memakai baju yang sudah agak kumal. Dengan berjalan tertatih-tatih, ia mendekati mereka.

“Aduh Ali, kenapa kamu membawa gadis cantik ini ke gubuk kita ?”, lalu wanita tua itu menengok ke arah Nurul, “Maaf ya, anak ini memang suka seenaknya saja. Tempat ini nggak cocok untuk gadis secantik kamu.”

Sambil tersenyum, Nurul menjawab, “Nggak apa-apa kok. Dulu waktu masih kecil, saya juga tinggal di tempat seperti ini.”

“Eh ?”, wanita tua itu memperhatikan Nurul, “Jadi kamu.. bukan berasal dari kota ?”

“Sekarang saya memang tinggal di kota besar, tetapi ketika kecil saya tinggal di desa.”

“Oh, begitu.”, lalu wanita tua itu tertawa, “Kalau gitu, silahkan ngobrol dulu dengan Ali. Saya akan menyiapkan hidangan.”

Lalu wanita tua itu membalikkan badan sambil terbatuk-batuk. Sementara Ali, si pemuda tersebut, telah menyiapkan sebuah bangku untuk Nurul.

“Silahkan duduk. Maaf kalau rumah ini berantakan, karena nggak ada yang ngurus.”

Setelah Nurul duduk, Ali langsung menanyakan banyak hal mengenai kota. Ketika Nurul bercerita, Ali mendengarkan dengan penuh semangat. Dan akhirnya, tiba giliran Nurul yang bertanya mengenai desa tersebut.

“Aku dengar, katanya beberapa hari yang lalu, ada beberapa orang dari luar desa yang hilang ya ? Sebenarnya, gimana kejadiannya ?”

Ali terdiam sejenak, lalu menjawab, “Kayaknya orang-orang itu masuk ke dalam daerah terlarang tadi. Dan sejak itu, tidak ada seorang-pun yang melihat mereka lagi. Kenapa kamu tertarik dengan hal itu ?”

“Ah, itu...”, Nurul berusaha mencari alasan yang tepat, “... karena hal itu sepertinya menarik. Aku ini seseorang yang menyukai misteri, jadi rasanya penasaran kalau ada kejadian seperti itu.”

Tiba-tiba wanita tua ibunda Ali menyeletuk, “Penasaran sih boleh-boleh aja, tapi kalau tidak ati-ati, nanti bisa ilang juga kayak mereka ! Pokoknya, jangan masuk ke daerah terlarang itu !”

Nurul-pun mengangguk, “Tenang saja, saya akan ingat nasehat Anda. Saya tidak akan masuk kesana.”

Hide and Seek - Bagian 1

By: Excelsior


Ada sebuah larangan

Dilarang bermain petak umpet setelah maghrib.

Jika larangan itu dilanggar

maka akan terjadi hal yang sangat mengerikan.

Pada suatu siang yang cerah, seorang anak perempuan berusia sekitar 10 tahun berlari menuju rumahnya yang terletak di pinggir sebuah desa kecil. Ia baru saja pulang dari sekolah.

“Emak, Nurul laper nih. Ada makanan apa ?”

Ibunya tersenyum sambil menjawab, “Ada tempe sama ikan teri. Tapi jangan lupa cuci tangan dulu ya ?”

Gadis kecil bernama Nurul itu mengangguk, lalu pergi ke belakang rumahnya. Ketika sedang mencuci tangannya, tiba-tiba seorang anak laki-laki sebaya dengannya datang.

“Hey Nurul, sore ini kita maen yuk ?”

“Maen ? Maen apa, Soleh ?”

“Maen petak umpet. Aku udah ngumpulin anak-anak, tinggal kamu aja.”

Mendengar itu, Nurul terkejut.

“Eeh, ta.. tapi kan, nggak boleh maen petak umpet abis maghrib ? Kata emak, bisa bahaya.”

Sambil tersenyum mengejek, Soleh berkata, “Alaaa, itu kan cuma alasan supaya kita nggak pergi maen. Udah deh, kamu mau ikut ato nggak ?”

Nurul terdiam. Akhirnya Soleh berkata lagi, “Kalo kamu nggak mau, kita nggak temenan lagi !”

“E.. eh, i.. iya deh, Nurul ikut. Tapi Nurul tetap temenan sama Soleh ya ?”

Soleh tersenyum.

“Begitu dong. Nanti setelah sholat maghrib, kita ketemu di belakang masjid. Jangan lupa ya ?”

Nurul mengangguk, lalu Soleh pergi.

Petang harinya, gema ‘Allahu Akbar...’ menggema di seluruh penjuru desa. Nurul dan ibunya, sama seperti yang lainnya, segera bersiap pergi ke masjid. Tetapi di dalam hatinya, sebenarnya Nurul merasa takut.

Ya Allah, apa yang harus Nurul lakukan ? Nurul takut, tapi kalau tidak mau, nanti Soleh nggak mau temenan sama Nurul lagi.

Akhirnya setelah menjalani sholat maghrib, Nurul pergi juga ke belakang masjid. Disana telah menunggu Soleh dan teman-temannya, bahkan ada beberapa anak yang sepertinya berasal dari desa sebelah.

“Akhirnya dateng juga kamu, Nurul. Kita udah nungguin kamu dari tadi lho.”

“So.. Soleh !”, Nurul tampak terkejut, “Kamu.. nggak ngikutin khotbah ustad ?”

“Lagi males.”, jawab Soleh dengan setengah acuh, “Udahlah, nggak usah jadi anak sok alim. Paling khotbahnya sama aja kayak kemarin-kemarin ini khan ?”

“Soleh, nggak baik bilang kayak gitu lho !”

“Iya deh, laen kali aku pasti ikutin kok. Sekarang kita main yuk !”

Lalu bersama-sama mereka pergi ke pinggiran desa, agar tidak ada orang dewasa yang melihat. Setelah melakukan hom-pim-pa, ternyata yang mendapat giliran jaga pertama adalah Nurul.

“Nurul, kamu itung sampai 50 ya ? Dan jangan ngintip !”, demikian pesan Soleh.

Nurul mengangguk, kemudian menghadap pohon dan mulai menghitung.

“Satu ... dua ... tiga ............. tiga puluh lima ... tiga puluh...”, tiba-tiba saja suatu perasaan aneh menghinggapi Nurul; Perasaan cemas yang luar biasa.

Dengan perlahan, ia membuka matanya lalu menengok ke belakang. Suasana sekelilingnya sangat gelap, bahkan di langit tidak terlihat bintang satu-pun.

“So.. Soleh, teman-teman !”

Nurul berjalan dengan penuh rasa takut, berusaha mencari Soleh dan teman-temannya di dalam kegelapan.

Setengah jam kemudian.

Nurul dengan terburu-buru masuk ke dalam rumahnya. Ketika melihat Nurul masuk, ibunya langsung memarahinya.

“Nurul, kamu pergi kemana aja ? Kenapa kamu menghilang begitu saja selesai shalat ?”

“E.. emak, ga.. gawat ! Soleh, dia.. dia...”, Nurul terbata-bata.

“Tenang dulu, Nurul.”, lalu ibunya menyodorkan segelas air padanya, “Nih, minum dulu.”

Nurul langsung meneguk habis air dalam gelas tersebut. Setelah menenangkan diri, akhirnya Nurul berkata, “Emak, Soleh dan teman-temannya menghilang !”

“A.. APA ?! Apa maksudmu ?”

“Maaf emak, tapi tadi selesai shalat, Nurul pergi ke belakang masjid untuk menemui Soleh. Kami mau main petak umpet.”

“Main petak umpet ?!”, wajah ibu Nurul langsung berubah karena marah, “Nurul, bukannya emak selalu peringatin kamu, jangan main petak umpet selewat maghrib ?! Kamu lupa ya ?!”

Nurul tidak menjawab, hanya menunduk, tidak berani menatap wajah ibunya.

“Kita harus kasih kabar ke orang tua Soleh. Kamu musti ikut !”

Nurul mengangguk, lalu ia mengikuti ibunya keluar rumah. Tak lama, mereka sudah berada di rumah Soleh. Ibunda Soleh langsung jatuh lemas begitu mendengar bahwa Soleh bermain petak umpet. Melihat itu, Nurul merasa ada hal yang disembunyikan oleh para orang dewasa di desa ini. Tetapi ia tidak menanyakannya. Ayah Soleh meminta bantuan beberapa laki-laki dewasa untuk mencari Soleh dan teman-temannya. Dan Nurul diminta menunjukkan tempat dimana mereka bermain petak umpet. Malam semakin larut, dan mereka mulai mencari dalam gelap. Nurul hanya bisa duduk menunggu dengan perasaan bersalah, karena tidak melarang Soleh. Sekitar dua jam kemudian, pencarian dihentikan dan Soleh serta teman-temannya dinyatakan hilang tanpa jejak. Tampak jelas kekecewaan bercampur rasa sedih pada wajah kedua orang tua Soleh, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dan bayangan wajah keduanya terekam jelas dalam ingatan Nurul, sampai ia dewasa.

Berita Antar Dunia

Pusat Berita Dunia-Dunia